Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

• Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang kaya dengan aturan untuk memberikan kemaslahatan bagi
penganutnya. Seperti halnya perikatan antar manusia. Islam telah mengaturnya secara global,
hanya saja perlu bagi kita untuk melakukan retafsirisasi terhadap ayat-ayat yang mengatur
tentang perikatan sesuai dengan tempat, keadaan, beserta zaman.
Sehingga para ulama’ terdahulu telah merumuskan asas-asas yang bersumber dari Al-
Quran dan Sunah. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pembentukan undang-undang. Jadi
kita perlu untuk mencari asas apa saja yang dikenal oleh Islam.
Kemudian perlu bagi kita untuk menganalisis asas-asas yang kita temukan dengan
keadaan di Indonesia saat ini. Apakah relevan atau tidak.
Karena, pada hakikatnya setiap individu itu akan melakukan suatu ikatan dengan individu
lainnya, Lembaga, serta Badan untuk kepentingan dalam kehidupanya. Jadi perikatan disisni
memiliki peran yang sangat penting bagi mereka agar dapat memudahkan dalam segala urusan-
urusan yang ada.

• Rumusan Masalah
• Apa yang di maksud dengan asas hukum perikatan Islam?
• Apa sajakah asas-asas yang dikenal dalam Islam?
• Bagaimanakah Eksistensi dari Asas-asas tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI HUKUM PRIKATAN ISLAM


Dalam hukum Islam, perikatan disebut Iltizam menurut istilah fiqh, perikatan (iltizam) ini
didefinisikan sebagai: “Suatu tindakan yang meliputi: pemunculan, pemindahan, dan
pelaksanaan hak.”
Definisi perikatan ini sejalan dengan pengertian akad (perjanjian) dalam arti umumnya
selain juga tercakup ke dalamnya pengerian tasaruf dan kehendak pribadi.Perikatan dapat
muncul dari perseorangan (seperti wakaf, wasiat, dll.), maupun dari dua belah pihak (sepert jual-
beli, ijarah, dll).
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, perikatan dalam perspektif UU Islam (qanun)
didefinisikan sebagai: “Keadaan tertentu seseorang yang ditetapkan syari’ah untuk dilakukan
atau tidak dilakukan demi mewujudkan kemaslahatan pihak lain.”
Unsur-unsur pembentuk perikatan dalam perspektif fiqh adalah:
• Multazam Iah yaitu orang yang berhak atas suatu prestasi.
• Multazim, yaitu orang yang berkewajiban memenuhi suatu prestasi.
• Mahal al-iltizam, atau obyek perikatan
• Perbuatan yang dituntut untuk mewujudkan perikatan.
• Iltizam atau perikatan itu sendiri.
Sesuatu atau peristiwa yang menimbulkan terjadinya perikatan disebut sebagai
sumber perikatan (masdar al-iltizam). Sumber-sumber perikatan tersebut dalam
hukumIslam adalah: akad, kehendak pribadi, perbuatan melawan hukum, perbuatan sesuai
hukum, dan syari’ah. Macam-macam sumber perikatan tersebut pada hakikatnya dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu: akad, Undang-undang (qanun), dan kehendak
perorangan.

B. ASAS-ASAS PERIKATAN
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara
terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.
Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran
yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya.
Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah
kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam
penegakan dan pelaksanaan hukum.
Setiap manusia semenjak lahir membutuhkan bantuan orang lain-lain dan merasa tidak
sanggup berdiri sendiri untuk memenuhi keinginannya yang adil yang dengan jalan itu manusia
mengambil apa yang diperlukan dari saudaranya tentulah dia mengambil apa yang ada di tangan
saudaranya itu dengan jalan paksaan, lalu terjadi perselisihan.
Oleh karena itu Hukum Islam mengadakan aturan-aturan bagi keperluan-keperluan itu
dan membatasi keinginan-keinginan hingga mungkinlah manusia memperoleh maksudnya tanpa
memberi mudarat pada orang lain.
Sehingga Ulama’ terdahulu merumuskan berbagai asas untuk dijadikan rumusan dalam
pembentukan sebuah aturan di mana asas tersebut begitu fleksibel. Maksudnya fleksibel adalah
tidak kaku dan bisa dipergunakan di manapun, dan kapan pun.
Sebenarnya dalam Al-Quran telah dijelaskan bahwa sesungguhnya semua orang Islam itu
bersaudara, dalam surat Al-Hujarat Ayat 10:

: Artinnya
Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
.rahmat
Menurut pendapat Muhammad Marsafy: bahwa sejak awal Islam mengatur hubungan
manusia itu secara ketat tidak seperti aturan yang dibuat oleh manusia yang terlalu ringan. Islam
benar-benar mempertimbangkan antara hak dan kewajiban juga mengenai keadilan dan
kesetaraan.
Asas perikatan setidaknya sama dengan asas perjanjian, karena antara dan perjanjian
sama-sama mengaitkan antara satu orang dengan orang lain. Asas-asas perjanjian tersebut
diklasifikasikan menjadi asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum
dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus. Adapun beberapa asas-asas
perjanjian dalam Hukum Islam adalah sebagai berikut :
• Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT.
Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid (57): 4:

: Artinnya
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian dia bersemayam
di atas ´arsy[1453] dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya [1454]. dan dia
bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-
nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung
jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,tanggung jawab kepada diri
sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah SWT. Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak
akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah
SWT.
• Asas Kebolehan (Mabda al-Ibahah)
Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan
sampai terdapat dalil yang melarang”.28 Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadis berikut
ini:
Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani:
‫ فإن هللا لم يكن نسيا‬،‫ فاقبلوا من هللا العافية‬،‫ وما سكت عنه فهو عافية‬،‫ وما حرم فهو حرام‬،‫ما أحل هللا في كتابه فهو حالل‬
Artinnya :
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah
adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah
pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun”.
Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya:
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan
dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah
telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah
mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia.
Kedua hadis di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah boleh atau mubah
dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti
bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan
bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat.

• Asas Keadilan (Al ‘Adalah)


Dalam asas ini menjelaskan bahwa sebuah perikatan harus berdasarkan keadilan. Bila
perikatannya tersebut tidak dilakukan dengan sebuah keadilan maka mereka tidak akan menjalin
ikatan yang baik, dan kehidupan akan kacau. Dalam QS. Al-Hadid (57): 25:

: Artinnya
”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan”.
Sangatlah jelas bahwa dalam islam mengharuskan sebuah keadilan antar sesamanya.
Dipertegas dalam surat An-Nahl ayat 90 :
Yang artinnnya :
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia
.memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran
Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam
mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan
memenuhi semua kewajibannya.

• Asas Persamaan Atau Kesetaraan

Asas ini menyampaikan bahwa sesungguhnya semua orang itu adalah sama, sama-
sama telah diciptakan oleh Allah SWT dari tanah. Banyak orang yang melupakan asas ini
sehingga mereka menebarkan permusuhan dan kebencian antar sesamanya, pada hal mereka
dari satu macam spesies. Apakah manusia tidak berpikir?
Hubungan mu’amalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sering kali
terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu sesama manusia
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia yang satu dengan
yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang
dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing-
masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan. Tidak diperbolehkan terdapat kezaliman
yang dilakukan dalam kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan
manusia berdasar perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Dalam QS.al-Hujurat (49): 13:

: Artinya
”Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal”

• Asas Kejujuran dan Kebenaran (Ash Shidiq)

Dalam asas ini dijelaskan mengenai bahwa dalam melangsungkan perikatan


dibutuhkan sebuah alasan kebenaran. Yang dimaksud di sini adalah bahwa seserongan
melakukan hubungan yang baik dengan orang lain dengan baik dan benar. Tidak ada unsur
lain yang bisa merugikan.

Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas
kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.33 QS.al-Ahzab (33): 70:

: Artinnya
“Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar”.

Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak
yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya.

• Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan

Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan
harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan
diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuannya
dalam al Qur’an dan Al Hadis. Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan
tujuan hukum Islam secara universal. Sebagaimana para filosof Islam di masa lampau seperti
al-Ghazali (w.505/1111) dan asy-Syatibi (w 790/1388) merumuskan tujuan hukum Islam
berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadis sebagai mewujudkan kemaslahatan. Dengan
maslahat dimaksudkan memenuhi dan melindungi lima kepentingan pokok manusia yaitu
melindungi religiusitas, jiwa-raga, akal-pikiran, martabat
• Asas Saling Memaafkan dan Sabar
Bahwa seseorang yang menjalin sebuah perikatan antar sesamanya harus ada rasa saling
memaafkan, ini dipertegas dengan Qs 24:22:

: Artinnya
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara
kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya),
orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah
mereka mema'afkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Selain saling memaafkan juga terdapat unsur sabar. Setiap orang Mukmin diwajibkan
untuk bersabar dalam setiap hal, termasuk dalam hal perikatan. Bila mana asas ini tidak
dilakukan, makan akan mudah terjadi pertikaian dan perselisihan karena semua menggunakan
emosi masing-masing.
Hal ini dikuatkan oleh Surat Al-Imran ayat 200:
: Artinnya
Hai orang-orang yang beriman, Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.

• Asas Kerelaan (mabda’ ar-rada’iyyah)


Dalam QS. An-Nisa (4): 29:

: Artinnya
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka
di antara kamu”,

dari ayat di atas dapat dipahami bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar
suka sama suka atau kerelaan antara masing-masing pihak tidak diperbolehkan ada tekanan,
paksaan, penipuan, dan mis-statement. Jika hal ini tidak dipenuhi maka transaksi tersebut
dilakukan dengan cara yang batil. Asas ini terdapat juga dalam hadis riwayat Ibn Hibban dan al-
Baihaqi yang artinya: ”Sesungguhnya jual beli berdasarkan perizinan (rida)”.
Selain itu asas ini dapat pula di lihat dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam
pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan
kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua
belah pihak, yang merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak.

• Asas Kepastian Hukum (Asas Pacta Sunt Servanda)


Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam kalimat terakhir QS. Bani Israil
(17): 15:

: Artinnya
”….dan tidaklah Kami menjatuhkan hukuman kecuali setelah Kami mengutus seorang Rasul
untuk menjelaskan (aturan danancaman) hukuman itu….”

Selanjutnya di dalam QS.al-Maidah (5): 95:


: Artinnya
. Allah Telah memaafkan apa yang Telah lalu[441]. dan barangsiapa yang kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai
(kekuasaan untuk) menyiksa

dapat dipahami Allah mengampuni apa yang terjadi di masa lalu. Dari kedua ayat tersebut
di atas dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu perbuatan pun
dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada dan
berlaku untuk perbuatan tersebut.
Asas kepastian hukum ini terkait dengan akibat perjanjian. Dalam hal ini hakim atau
pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas Pacta Sunt Servanda dapat disimpulkan dalam pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi, ”Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang”.
• Asas adil dan berimbang
Asas keadilan mengandung makna bahwa hubungan perdata tidak boleh mengandung
unsur-unsur penipuan, penindasan, pengambilan kesepakatan pada waktu pihak lain sedang
kesempitan. Asas ini juga mengandung arti bahwa hasil yang diperoleh harus berimbang dengan
usaha atau ikhtiar yang dilkakukan.
• Asas mendahulukan kewajiban dari hak
Asas ini mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan hubungan perdata, para pihak harus
mengutamakan penunaian kewajibannya lebih dahulu dari pada menuntut hak. Dalam sistem
ajaran islam, orang baru memperoleh haknya, misalnya mendapat imbalan (pahala), setelah ia
menunaikan kewajibannya lebih dahulu. Asas penunaian kewajiban lebih dahulu dari penuntutan
hak merupakan kondisi hukum yang mendorong terhindarnya wanprestasi atau ingkar janji.
• Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
Asas ini mengandung arti bahwa para pihak yang mengadakan hubungan
dan orang lain dalam hubungan perdatannya. Merusak harta kendatipun tidak merugikan
diri sendiri, tetapi merugikan orang lain, tidak dibenarkan dalam Hukum Islam. Ini berarti bahwa
menghancurkan atau memusnahkan barang, untuk mencapai kemantapan harga atau
keseimbangan pasar, tudak dibenarkan dalam Hukum Islam.

Artinnya :
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
• Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi
Asas ini mengandung makna bahwa hubungan perdata selayaknya dituangkan dalam perjanjian
tertulis dihadapan saksi-saksi (Qs. Al-Baqarah (2);282). Namun, dalam keadaan tertentu,
perjanjian itu dapat saja dilakukan secara lisan dihadapan saksi-saksi yang memenuhi syarat baik
mengenai jumlahnya maupun mengenai kualitas orangnya.
C. HUBUNGAN PERIKATAN DENGAN NON MUSLIM
Islam sendiri telah mengatur hubungan dengan orang non Muslim. Di bagi dalam tujuh hal,
yaitu:
• Pada dasarnya Islam tidak memaksa orang yang non muslim untuk memeluk agama
Islam. Ini berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 256:

: Artinnya

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada
buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui”

• Hak bagi orang non muslim untuk memeluk agamanya. Dengan tidak melarang mereka
untuk menyembah tuhannya dan tidak menghancurkan tempat ibadahnya. Hal ini
didasarkan sabda nabi :
‫اتركوهم وما يدينون‬
Biarkanlah mereka dan apa yang mereka yakini.
• Islam memperbolehkan pada mereka apa yang diperbolehkan dalam agama Islam itu
sendiri. Semisalnya jangan menyembelihkan babi untuk mereka, tidak memberikan
mereka minuman keras.
• Mereka (non Islam) bebas untuk melakukan perkawinan, perceraian dengan cara mereka
sendiri tanpa perlu untuk dibatasi.
• Islam perlu untuk menghargai pendapat mereka dalam hal sastra, keilmuan umum yang
tidak berhubungan dengan agama. Ini berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 46:

: Artinnya
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami Telah
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu;
Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri".

• Dalam masalah sanksi, antara orang muslim dan non muslim itu semua di samakan.
Kecuali dalam hal pewarisan, bahwa seorang muslim tidak bisa mewaris saudaranya yang
kafir ataupun sebaliknya.
• Islam membolehkan memakan makanan buatan orang (non muslim), sembelihan mereka,
beristri dengan mereka (kafir Dzimmi). Hal ini berdasarkan Al-Maidah ayat 5:

: Artinnya

“ Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah
beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi”
• Islam membolehkan untuk melakukan kunjungan pada orang non muslim yang sedang
sakit atau meninggal dunia. Memberikan hadiah pada mereka.

• ANALISIS EKSISTENSI ASAS PERIKATAN MASA KINI


Berdasarkan uraian kajian teoritik di atas kita dapat menyelaraskan asas-asas yang telah
dirumuskan oleh ulama’ terdahulu yang juga pengambilan bersumber dari Al-Quran dan Sunah
dengan masa kekinian. Kita tahu bahwa manusia merupakan makhluk sosial, dan saling
membutuhkan sehingga perlu adanya sebuah aturan yang mengatur hubungan hukum antara
seseorang dengan orang lain. Dan mau tidak mau harus terikat dengan orang lain. Oleh karena
itu Allah menyampaikan dalam wahyu-nya Dalam surat Al-Maidah ayat 2:

: Artinnya
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”
Di Indonesia sendiri dikenal juga Hukum Perdata yang mengatur hubungan seseorang
dengan orang yang lain, akan tetapi pengambilan dasar hukumnya bersumber pada BW.
Sehingga kita perlu membandingkan keduanya.
Asas perikatan dalam BW sendiri seperti:
• Asas consensus. (kesepakatan)
• Asas kebebasan berkontrak (pasal 1338 ayat 1  BW) : kebebasan yang dimiliki oleh para
pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, menentukan kepada siapa ia
berjanji, dan menentukan bentuk perjanjian tertulis atau tidak tertulis,
menerima/menyimpangi hukum perjanjian yang bersifat pelengkap.
• Pacta sun servanda (asas kepastian)
• Asas personalitas/kepribadian (pasal 1340 dan pasal 1315 BW, pengecualian pasal 1317
BW).
• Itikad baik (pasal 1338 ayat 3 BW).
Pada asas pertama yaitu asas consensus itu menyerupai asas kerelaan yang ada dalam
islam. Di mana kedua belah pihak harus saling rela/sepakat atas aturan yang mengikat mereka.
Asas kedua yaitu asas kebebasan berkontrak. Asas ini menyerupai asas kebolehan, di
mana semua hal adalah hal kecuali yang diharamkan oleh Allah SWT.
Asas ketiga yaitu asas kepastian. Asas ini menyerupai asas dalam Islam. Bahwa suatu
ikatan selama tidak melanggar suatu aturan yang ada maka dianggap tidak ada pelanggaran.
Akan tetapi apabila sebuah ikatan yang telah melanggar sebuah aturan maka ikatan tersebut akan
batal dan bersanksi.
Asas ke empat yaitu asas personalitas. Asas ini memiliki perbedaan dengan Islam.
Bahwa seseorang hanya bisa melakukan perikatan hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk
orang lain. Sedangkan dalam Islam dikenal perwakilan atau mewakili untuk mengikat orang lain.
Seperti halnya sebuah pernikahan, seorang wali bisa mengikat anaknya dalam sebuah
perkawinan tanpa sepengetahuan anaknya.
Asas ke lima yaitu asas Itikad baik. Asas ini memiliki persamaan dengan asas kejujuran
dalam Islam. Seseorang dalam melakukan sebuah perjanjian harus dengan maksud yang baik
bukan dengan unsur penipuan.
Bila melihat kelima asas di atas Islam telah mengatur lebih rinci dan lebih jelas daripada
yang ada dalam BW. Dan keseluruhannya memiliki persamaan. Jadi kesimpulannya secara
undang-undang, negara Indonesia telah menganut asas-asas yang ada dalam Islam.
Kemudian dari terdapat asas kemaslahatan yang menjadi kontroversial antara penganut
klasik dan kontemporer. Salah satu contoh dalam melakukan suatu perjanjian di mana penganut
klasik mengharuskan kedua belah pihak harus dipertemukan. Akan tetapi bagi penganut aliran
kontemporer hal tersebut tidak perlu dilakukan, hal ini dilakukan untuk kemaslahatan masing-
masing supaya tidak memudaratkan di antara mereka. Hal ini bisa dilakukan selama ada rasa
saling percaya di antara mereka. Contoh pembelian perkakas via internet.
BAB III
KESIMPULAN
Adapun beberapa kesimpulan dari rumusan masalah yang ada adalah sebagai berikut :
• Asas perikatan dalam Islam adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir
atau berpendapat. Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip
yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan
sebagainya. Jadi dasar yang dijadikan untuk melakukan suatu ikatan dengan orang lain
dalam hal apapaun terutama dalam hal transaksi (keperdataan) yang sesuai dengan
Islam.
• Adapun beberapa asas perikatan yang ada antara lain:
• Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi
• Asas Ilahiah atau Asas Tauhid
• Asas kebolehan (Mabda al-Ibadah)
• Asas keadilan (l-‘Adalah)
• Asas perasamaan atau kesetaraan
• Asas kejujuran dan kebenaran (Ash-Shidiq)
• Asas kemanfaatan dan kemaslahatan
• Asas saling memaafkan dan sabar
• Asas kerelaan (mabda’ar-rada’iyyah)
• Asaa kepastian Hukum (Asas pacta sunt servanda)
• Asas adil dan berimbang
• Asas mendahulukan kewajiban dari hak
• Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
• Asas tertulis atau diucapkan di depan saksi
• Eksistensi dari asas-asas perikatan ini dapat dipergunakan pada zaman sekarang karena,
pada awalnya Hukum positif Indonesia ini pun juga mengatur tentang asas-asas
perikatan yang hal itu sama fungsinnya dengan asas-asas yang ada di Hukum Islam itu
sendiri, akan tetapi dalam praktiknya mungkin terdapat perbedaan dalam
menyelesaikan dan dalam putusan. Namun secara segi kajiannya tetap sama.
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddiqy, Hasybi TM,1975, Filsafah Hukum Islam, Jakarta; Bulan Bintang.

Daud, Ali Mohammad, 2000, Hukum Islam pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum islam Di

Indonesia Jakarta : Raja Grafindo persada.

Hasan, Ali Mohammad, 2004, asuransi dalam prespektif Hukum Islam suatu tinjauan analisis

historis teori dan praktis, Jakarta : prenada media.

Http://www.scoutup.net/up/scoutup_1913430616.ppt

Http://akta-online.com/main/index.php?option=com_content &view=article&id=251%3Ahukum-perikatan-aamp-

persetujuan-khusus&Itemid=58.

Anda mungkin juga menyukai