Penguasaan terhadap materi mata kuliah ini akan merupakan bekal yang mantap bagi Anda
untuk meningkatkan kinerja dan layanan pembelajaran siswa-siswi Anda. Di samping itu juga
bermanfaat bagi Anda untuk mengamati dan menganalisis dalam praktik penyelenggaraan
Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Setelah Anda mempelajari materi mata kuliah ini diharapkan dapat memiliki kemampuan
memahami dan menjelaskan:
Untuk mencapai tujuan tersebut materi HTN RI ini disajikan seperti, maka perlu dipelajari dalam
mata kuliah berikut:
1
Agar Anda berhasil menguasai materi tersebut di atas, ikutilah petunjuk belajar berikut ini.
Mulailah dengan membaca modul pertama. Untuk mempelajari setiap modul ikutilah prosedur
berikut ini.
1. Baca pendahuluan setiap modul dengan cermat, sebelum membaca materi kegiatan
belajar.
2. Baca materi kegiatan belajar dengan cermat dan baca buku penunjang lainnya termasuk
perangkat perundang-undangan yang mendukungnya.
3. Kerjakan latihan sesuai petunjuk/rambu-rambu yang diberikan. Jika tersedia kunci
latihan, janganlah melihat kunci sebelum mengerjakan latihan.
4. Baca rangkuman, kemudian kerjakan tes formatif secara jujur, tanpa terlebih dahulu
melihat kunci.
5. Laksanakan tindak lanjut sesuai dengan prestasi yang Anda peroleh dalam mempelajari
setiap kegiatan belajar.
1. Hukum Tata Negara merupakan hukum publik, yang memberikan landasan yuridis bagi
pembentukan struktur negara dan mekanisme pemerintahan.
2. Hukum Tata Negara memuat norma hukum yang mengatur organisasi negara sebagai
organisasi kekuasaan.
3. Hukum Tata Negara mengatur hubungan antara pemegang kekuasaan dan individu
sebagai warga negara.
4. Hukum Tata Negara memandang negara sebagai suatu organisasi yang terdiri dari
berbagai lembaga yang mendukung organisasi tersebut.
Penggunaan istilah ini selain dipengaruhi oleh kebiasaan dalam dunia akademik dan praktik,
tetapi dipengaruhi pula oleh kondisi hukum positif di negara masing-masing. Lebih dari itu
dipengaruhi pula oleh dasar-dasar serta nilai dan aspek filosofis dalam negara tersebut. Hal ini
ada kaitannya pula dengan keragamannya perumusan definisi pengertian yang dirumuskan oleh
para pakar yang terikat oleh kondisi masing-masing.
Di Indonesia istilah Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Usaha Negara masih bertahan dan
ditopang dengan kondisi yang ada serta perkembangan dalam dunia akademik maupun praktik
yang masih membedakan kedua lapangan kajian hukum ini.
2
Berikut ini perlu diperhatikan bahwa Hukum Negara, yaitu yang objeknya negara terdiri dari
HTN dan HTUN. Seperti telah dikemukakan bahwa untuk hal tertentu kedua lapangan hukum ini
sulit untuk dibedakan bahkan tidak dapat dipisahkan dalam kerangka studi hukum secara makro.
Namun, dapat dikemukakan bahwa ciri utama dari HTN memuat norma-norma hukum yang
mengatur tentang struktur organisasi negara dan mekanisme pemerintahan. Berbeda dengan
kaidah hukum publik lainnya yang mengatur kepentingan umum kaitannya masih dengan
perilaku manusia. Silakan Anda pelajari gambar di atas.
Dalam rangka studi Hukum Tata Negara akan dihadapkan kepada perlunya membedakan antara
tugas dan lapangan HTN dan HTUN sehingga bagi yang akan melakukan studi dapat memilih
dan menempatkan perhatian pada sasaran pembahasan yang tepat. Dengan demikian, diharapkan
memiliki ketepatan secara yuridis.
Kegiatan Belajar 2: Ruang Lingkup dan Hubungan Hukum Tata Negara dengan Ilmu
Politik dan Ilmu-Ilmu Sosial lainnya
Rangkuman
Logemann dalam hukumnya HTN Staatrecht van Indonesia het formele system HTN mencakup
Susunan dari jabatan, penunjukan mengenai jabatan, tugas dan kewajiban dari lembaga dan
pimpinan, kebenaran dan kewenangan dari lembaga-lembaga negara, batas wewenang dan tugas
dari jabatan beberapa daerah dan yang dikuasainya, hubungan antar lembaga dan hubungan
antara jabatan dan pejabat.
Ruang lingkup HTN menurut Usep Ranawijaya adalah ketentuan hukum administrasi negara
sebagai bagian dari organisasi negara bertugas melaksanakan yang ditetapkan pokok-pokoknya
oleh badan ketatanegaraan yang lebih tinggi dan ketentuan hukum mengenai organisasi negara
lainnya.
Pertama melihat fenomena HTN sebagai masalah yang objek kajiannya yuridis konstitusional,
atau validitas kebenaran. Kedua pendekatan yang tidak terbatas pada yuridis konstitusional lebih
luas dan bersifat multi disiplin.
Hukum Tata negara merupakan perwujudan konstitusional dari nilai-nilai Pancasila untuk di
implementasikan dalam kehidupan bernegara. Maka yang menjadi sumber materiil itu tidak lain
dari Pancasila. Kekuatannya bahan yang akan dijadikan muatan hukum tata negara tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
3
Bahkan jika bertentangan maka hukum tersebut cacat karena hukum, tidak memiliki kekuatan
lagi. Berdasarkan hal tersebut di atas maka yang menjadi sumber hukum tata negara di Indonesia
ialah 'Pancasila'
Konvensi harus bersifat melengkapi dan memperkuat implementasi UUD 1945. Tidak boleh
bertentangan dan jika bertentangan tidak akan memiliki kekuatan hukum, bahkan gugur dengan
sendirinya dan dinyatakan 'Inkonstitusional'
Kedudukan konvensi yang demikian memiliki fungsi dan peran dalam memperkuat fleksibilitas
dari UUD 1945. Inilah merupakan ciri utama dari konvensi dalam kerangka pelaksanaan UUD
1945 tersebut.
Daftar Pustaka
Arbi Sanit. (1981). Sistem Politik Indonesia Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan. Jakarta: Rajawali.
David E. After (1970). Pengantar Analisis Politik. Jakarta: Rajawali.
Easton, David. (1971). A System Analysis of Political Life. New York-London, Sydney:
John Wiley & Sons Inc.
Kranenburg. (1950). Ilmu Negara Hukum. Terjemahan. Mr. Tk. B. Sabaroedin.
Moch. Kusnadi, dkk. (1983). Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum
tata Negara UI.
M. Solly Lubis. (1993). Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Satjipto Rahardjo. (1991). Ilmu Hukum Tata Negara, Bandung; Citra Aditya.
Sjachran Basah. (1987). Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan).
Bandung: Alumni.
Soehino. (1983). Ilmu Negara, Yogyakarta Liberty.
Suwarma Almuchtar. (1999). Peradilan Tata Usaha Negara Bandung: Epsilon.
___________. (1999). Pengantar Studi Hukum Tata Negara. Bandung: Gelar Pustaka
Mandiri.
___________. (2000). Pengantar Studi sistem Politik. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
___________. (2001). Revitalisasi Pendidikan Demokrasi dan ilmu Hukum Tata Negara.
Pengukuhan Guru Besar, UPI, Bandung.
Strong, C.F. (1960). Modern Political Constitution: An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing From. London: Sidgwick & Jackson, Ltd.
Padmo Wahyono. (1984). Penghimpun Masalah Ketatanegaraan di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
4
1. Proklamasi merupakan bagian yang terintegrasi dengan pembukaan UUD 1945, sebagai
keputusan politik bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan. Memiliki
kedudukan secara yuridis sebagai sumber Hukum Tata Negara.
2. Rumusan Pancasila sebagai dasar negara terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 pada
alinea keempat, merupakan sumber dari sumber Hukum Tata Negara, memiliki
kedudukan yang kokoh dan tidak ada suatu badan yang berhak dan berwenang untuk
mengubahnya.
3. Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara, rumusannya dalam Pembukaan UUD 1945
ditulis "Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
4. Pembukaan UUD 1945, merupakan sumber nilai dan moral untuk membentuk Hukum
Tata Negara bagi kepentingan mendirikan dan membangun negara Indonesia.
Memberikan arah bagi isi Hukum Tata Negara Indonesia.
5. Arah dan isi, antara lain terwujud dalam konsep-konsep dasar yang mencakup tentang
konsep dasar negara, falsafah bangsa, tujuan negara, bentuk dan susunan organisasi
negara, fungsi negara, lembaga dan sistem perwakilan, lembaga dan sistem
permusyawaratan, sistem Undang-Undang Dasar dalam membangun Indonesia Merdeka,
konsep Negara Hukum, Konsep Negara Berketuhanan Yang Maha Esa, konsep negara
kesejahteraan, konsep negara kekeluargaan (integralistik), konsep demokrasi Pancasila.
6. Konsep-konsep tersebut digunakan pada saat pembentukan Hukum Tata Negara.
Konsekuensinya untuk memahami dan mendapatkan makna yang benar perlu
menggunakan konsep-konsep tersebut pada saat melakukan studi tersebut.
Menyadari pentingnya kedudukan pembukaan UUD 1945, dalam rangka melakukan studi
Hukum Tata Negara, perlu ditegaskan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan
UUD 1945, harus dijadikan landasan nilai moral untuk mempelajari dan memberikan makna
dalam kerangka menafsirkan hukum tersebut.
Makna dari negara hukum selalu dikaitkan sebagai kebalikan dari konsepsi negara kekuasaan.
Oleh karena itu negara hukum menunjuk kepada sistem konstitusional, artinya sistem
konstitusional merupakan ciri utama dari konsepsi negara hukum.
Trias Politika walaupun tidak dilaksanakan secara konsekuen namun di Inggris tetap dipandang
penting dalam pemikiran politik kenegaraan. Begitu pula di negara kita, UUD 1945 tidak
menganut teori ini secara konsekuen. Namun demikian untuk bidang kekuasaan yudikatif masih
dijadikan dasar pemikiran. Kekuasaan kehakiman bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya.
Sistem pemerintahan menurut UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan tetapi yang
5
dikembangkan teori "pembagian kekuasaan". Pembagian kekuasaan lebih tepat dan sesuai
dengan ide dari negara kesatuan yang berintikan paham integralistik yang berdasarkan Pancasila.
Para Pendiri Republik ini dengan sengaja merumuskan pasal-pasal konstitusi kita sebagai
penjabaran Pancasila, ideologi kita dengan kalimat-kalimat pendek yang mereka sebut sebagai
aturan-aturan pokok. Mereka sengaja membuat UUD yang "supel atau elastik sifatnya".
Dikemukakannya lebih lanjut bahwa mereka percaya UUD akan tahan lama tidak akan lekas
usang dan ketinggalan jaman.
Tujuh prinsip tersebut sebagai kaidah untuk membangun sistem pemerintahan berdasarkan UUD
1945. Dalam kerangka studi Hukum Tata Negara khasanah ini perlu dijadikan paradigma dalam
mempelajari aspek yuridis konstitusional sistem dan arah mekanisme pemerintahan negara.
Demokrasi Pancasila merupakan sistem demokrasi yang secara yuridis konstitusional di atur
dalam UUD 145, merupakan model ideal demokrasi yang akan ditumbuhkembangkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila.
Daftar Pustaka
Arbi Sanit. (1981). Sistem Politik Indonesia Kestabilan peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan. Jakarta: Rajawali.
David E. After. (1997). Pengantar Analisis Politik. Jakarta: Rajawali.
Easton, David. (1971). A System Analysis of Political Life. New York, London, Sydney:
John Wiley & Sons Inc.
Jimly Asshidiqie. (2005). Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia 2005.
____________. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Jakarta: Mahkamah Konstitusi
RI.
Kranenburg. (1955). Ilmu Negara Umum. Terjemahan, Mr. Tk. B. Sabroedin.
Moch. Kusnardi, dkk.(1983). Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara UI.
M. Solly Lubis. (1993). Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Mahkamah Konstitusi. (2005). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Satjipto Rahardjo. (1991). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya.
Sjachran Basah. (1987). Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan).
Bandung: Alumni.
Suchino. (1983). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Suwarma Almuchtar. (1999). Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Epsilon.
. (1999). Pengantar Studi Hukum Tata Negara. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
. (2000). Pengantar Studi Sistem Politik. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
. (2001). Revitalisasi Pendidikan Demokrasi dan Ilmu Hukum Tata Negara, Pengukuhan
Guru Besar. Bandung: UPI.
Strong, CFP. (1960). Modern Political (Constitution: An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing From). London: Sidgwick & Jackson Ltd.
6
Padno Wahyono. (1984). Pengantar Himpunan ketatanegaraan di Indonesia, Jakarta:
Galia Indonesia.
Sifat perwakilan dari sebuah perwakilan dibedakan menjadi 2, yaitu perwakilan politik dan
perwakilan fungsional. Proses perwakilan politik pada umumnya ditempuh dengan melalui
pemilihan umum, yaitu pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat. Proses
perwakilan fungsional banyak dilakukan dengan cara pengangkatan, yang biasanya didasarkan
atas pertimbangan keahlian atau kemampuan. Sifat perwakilan yang kedua tersebut dinilai oleh
sementara ahli sebagai kurang demokratis.
Fungsi lembaga perwakilan yang pokok ada, yaitu fungsi legislatif dan fungsi pengawasan.
Sementara itu mengenai macam atau bentuk lembaga perwakilan juga ada 2 macam, yaitu sistem
2 kamar (bicameral) dan sistem satu kamar (unicameral).
Sesuai dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 dan sebagai konsekuensi kembali ke UUD
1945, Presiden membentuk MPRS yang dituangkan dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun
1959. Pada awal Orde Baru, berdasar Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966, MPRS tetap
dipertahankan dan dinyatakan berkedudukan dan berfungsi sebagaimana MPR yang dimaksud
dalam UUD 1945, setelah diadakan perombakan keanggotaannya. Pada masa Orde Baru, telah
enam kali dibentuk/disusun keanggotaan MPR, setelah berlangsungnya pemilihan umum 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 sebagai bagian dari siklus lima tahunan dalam sistem
ketatanegaraan Orde Baru.
7
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, susunan MPR terdiri atas anggota DPR ditambah utusan
dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-
undang. Pada masa Orde Baru, Undang-undang terakhir dimaksud adalah UU No. 5 Tahun 1995,
antara lain menetapkan jumlah anggota MPR sebanyak 1000 orang. Pada era reformasi, undang-
undang dimaksud adalah UU No. 4 Tahun 1999, yang antara lain menetapkan jumlah anggota
MPR sebanyak 700 orang.
Keanggotaan DPR sebagian besar diisi dengan cara dipilih lewat pemilihan umum dan ada
sebagian yang diangkat. Pada masa Orde Baru jumlah anggota DPR sebanyak 500 orang, semula
terdiri dari 400 orang dipilih dan 100 orang diangkat dari ABRI, kemudian berubah menjadi 425
orang dipilih dan 75 orang diangkat adalah wakil dari ABRI. Berdasar undang-undang terbaru
tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, yakni UU No. 4 Tahun 1999, jumlah
anggota DPR hasil pemilihan umum 1999 di era reformasi dinyatakan pada Pasal II sebanyak
500 orang, terdiri dari 462 orang dipilih dan 38 orang diangkat dari ABRI.
Dilihat dari sejarahnya, pada masa awal kemerdekaan, sebelum terbentuk MPR dan DPR, tugas
kedua lembaga negara ini dijalankan oleh Komite Nasional, yang sehari-harinya dijalankan oleh
Badan Pekerja Komite Nasional. Pada masa RIS yang hanya delapan bulan, menurut Konstitusi
RIS, anggota DPR RIS berjumlah 150 orang yang terdiri dari 50 orang dari negara bagian RI dan
100 orang dari negara-negara bagian lainnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950, pemilihan
umum 1955 menghasilkan DPR yang beranggotakan 272 orang. Walaupun kemudian,
dibubarkan oleh Presiden tahun 1960. Selanjutnya, Presiden membentuk DPR GR, yakni DPR di
masa Demokrasi Terpimpin. Lembaga ini dipertahankan di masa awal Orde Baru meskipun
keanggotaannya mengalami perombakan hingga terbentuknya DPR hasil pemilihan umum. DPR
hasil pemilihan umum di masa Orde Baru terbentuk dari hasil pemilihan umum tahun 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilihan umum berikutnya menurut agenda Orde Baru akan
berlangsung pada tahun 2002, namun sesuai dengan tuntutan reformasi dimajukan pada tahun
1999. Dengan demikian, akan menghasilkan DPR baru.
8
Keanggotaan DPR tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota DPR yang dipilih melalui
Pemilu. Wakil setiap provinsi yang duduk sebagai anggota DPD berjumlah masing-masing 4
(empat) orang. Pada masa Reformasi jumlah anggota DPR sebanyak 128 orang dari 32 provinsi.
1. Pimpinan DPD.
2. Panitia Ad Hoc (PAH).
3. Badan Kehormatan.
4. Panitia Musyawarah (Panmus).
5. Panitia Perancang Undang-undang (PPUU).
6. Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT).
7. Panitia Kerja Sama Antar-Lembaga Parlemen (PKSALP).
Daftar Pustaka
Kegiatan Belajar 1: Sistem Pemerintahan Negara RI Berdasar UUD 1945 (Kurun Waktu
I), Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Kurun Waktu II), dan UUD 1945 sesudah
Perubahan
Rangkuman
Sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Sistem Pemerintahan
Presidensial (Sistem Kabinet Presidensial), yang bertanggung jawab terhadap jalannya
pemerintahan adalah Presiden. Menteri-menteri sebagai pembantu Presiden dan bertanggung
jawab kepada Presiden. Presiden adalah Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam kurun waktu I berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 telah terjadi "perubahan praktik
ketatanegaraan" Republik Indonesia tanpa mengubah ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan tersebut ialah dengan keluarnya Maklumat Wakil Presiden tanggal 16 Oktober 1945
dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah
tanggal 14 November 1945 tersebut terjadi perubahan dari sistem pemerintahan Presidensial
(Sistem Kabinet Presidensial) menjadi sistem pemerintahan Parlementer (Sistem Kabinet
Parlementer).
9
Pada waktu berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar
Sementara penyelenggaraan pemerintahan negara menganut sistem pemerintahan Kabinet
Parlementer (Sistem Pertanggungjawaban Menteri). Sistem Kabinet Parlementer pada masa
berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat belum berjalan sebagaimana mestinya, sebab
belum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, sedangkan pada waktu
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara, Sistem Kabinet Parlementer baru berjalan
sebagaimana mestinya, setelah terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan
umum tahun 1955.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahan Negara yang dianut kembali berdasar
pada Undang-Undang Dasar 1945, yakni berdasar pada sistem pemerintahan Presidensial. Sistem
pemerintahan berdasar Undang-Undang Dasar 1945 kurun waktu II ini, dapat dibedakan menjadi
3 masa, yaitu berikut ini.
1. Masa Orde Lama/Demokrasi Terpimpin (5 Juli 1959 - 11 Maret 1966), dalam praktik
sistem pemerintahan Negara Presidensial belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pemerintahan Presidensial dijalankan dengan
berdasar Demokrasi Terpimpin, semua kebijakan atas kehendak atau didominasi oleh
Pemimpin sehingga terjadi penyimpangan-penyimpangan atau Penyelewengan-
penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan
Pemimpin dalam hal ini oleh Presiden.
2. Masa Orde Baru/Demokrasi Pancasila (11 Maret 1966 - 21 Mei 1998), penyelenggaraan
pemerintahan negara dengan sistem pemerintahan Presidensial dengan berdasar pada
Demokrasi Pancasila pada awal pemerintahan Orde Baru mengadakan koreksi total atas
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama. Dengan demikian,
sistem pemerintahan presidensial sudah dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945, tetapi dalam praktiknya Presiden Soeharto selama berkuasa kurang lebih 32
tahun cenderung melakukan KKN. Atas lainnya, memaksa Presiden Soeharto turun dari
jabatannya, dan akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan berhenti
sebagai Presiden, dan melimpahkan kepada Wakil Presiden, yakni B. J. Habibie sebagai
Presiden Baru.
3. Masa Orde Reformasi (21 Mei 1998 sampai sekarang), penyelenggaraan pemerintahan
masih tetap berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, yakni menganut sistem
pemerintahan presidensial. Namun, dalam pelaksanaannya dilakukan secara kristis
(reformis) artinya peraturan perundangan yang tidak berjiwa reformis diubah/diganti.
Sistem Presidensial ini lebih dipertegas di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sesudah Perubahan. Di samping itu, dianut sistem pemisahan
cabang-cabang kekuasaan negara yang utama dengan prinsip checks and balances
10
Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara, istilah Lembaga-lembaga
Negara tersebut disebut Alat-alat Perlengkapan Negara.
Berbeda dengan Lembaga-lembaga Negara berdasar Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan
Undang-Undang Dasar Sementara. Menurut Konstitusi RIS maupun Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah Perubahan, Lembaga-lembaga Negara yang
dimaksud adalah Alat-alat Perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat ialah berikut ini.
1. Presiden.
2. Menteri-menteri.
3. Senat.
4. Dewan Perwakilan Rakyat.
5. Mahkamah Agung Indonesia.
Dewan Pengawas Keuangan, (Bab 11 pada Ketentuan Umum Konstitusi Republik Indonesia
Serikat).
1. Presiden.
2. Menteri-menteri.
3. Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Mahkamah Agung.
5. Dewan Pengawas Keuangan, (Bab 11 pada Ketentuan Umum, Pasal 44 Undang-Undang
Dasar Sementara).
Apabila ditelaah atau dibandingkan dari susunan Lembaga-lembaga Negara atau Alat-alat
Perlengkapan Negara berdasar ketiga Undang-Undang Dasar tersebut di atas, terdapat persamaan
dan perbedaan yang prinsip di antara Lembaga-lembaga Negara atau Alat-alat Perlengkapan
Negara tersebut. Persamaan dan perbedaan tersebut baik mengenai penyebutan dalam susunan
Lembaga-lembaga Negara atau Alat-alat Perlengkapan Negara dari ketiga UUD tersebut.
Selanjutnya, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah
Perubahan, lembaga-lembaga negara yang memegang kekuasaan, terdiri dari berikut ini.
11
1. Dewan Perwakilan Rakyat yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2. Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan.
3. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang memegang kekuasaan kehakiman.
Kemudian, lembaga-lembaga dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terdiri dari berikut ini.
Apabila ditelaah atau dibandingkan dari susunan lembaga-lembaga negara atau alat-alat
perlengkapan Negara berdasar keempat UUD tersebut di atas, terdapat persamaan dan perbedaan
yang prinsip di antara lembaga-lembaga negara tersebut. Persamaan dan perbedaan tersebut baik
mengenai penyebutan dalam susunan lembaga-lembaga negara atau alat-alat perlengkapan
negara dari keempat UUD tersebut maupun mengenai tugas dan kewajiban dari lembaga-
lembaga negara atau alat-alat perlengkapan negara dari keempat UUD tersebut.
Daftar Pustaka
Abdul Mukthie Fadjar. (2006). Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
A.G. Pringgodigdo. (1969). Perubahan Kabinet Presidensial Menjadi Kabinet
Parlementer. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
H.A.K. Pringgodigdo. (1981). Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan.
Jimly Asshiddiqie. (2006). Pengantar Ilmu Hukum tata Negara. Jilid II. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Joeniarto. (1990). Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Cetakan Ketiga. Jakarta:
Bumi Aksara.
Muhammad Yamin. (1959). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jilid
Pertama. Jakarta. Yayasan Prapantja.
Sri Soemantri, (1976), Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN. Bandung:
Tarsito.
______. (1986). Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung: Alumni.
S. Toto Pandoyo. (1983). Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan Undang- Undang Dasar
1945 Proklamasi Kemerdekaan dan Kekuasaan MPR. Yogyakarta: Liberty.
Sekretariat Jenderal MPR RI. (2006). Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
______. (2006). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Anonim. (1998). Ketetapan-ketetapan Sidang Istimewa MPR 1998. Jakarta: Sinar
Grafika.
12
MODUL 5: Pemilihan Umum
Dengan demikian, pemilihan umum merupakan sarana mutlak untuk mewujudkan pemerintahan
yang berdasar demokrasi.
Suatu pemerintahan dapat disebut sebagai pemerintahan yang demokratis jika memenuhi 3
standar penampilan politik, yaitu partisipasi rakyat dalam pemilihan umum, pemerintahan yang
stabil, dan terjaminnya tertib politik. Sementara itu, mengenai keterikatan wakil rakyat yang
mewakili dengan rakyat yang diwakili dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe perwakilan delegasi
(mandat) dan tipe perwakilan truste (independen).
Kehadiran partai-partai politik merupakan wadah penyaluran aspirasi politik rakyat, yang dalam
kenyataannya terbagi dalam berbagai kelompok aspirasi. Secara nyata, partai politik inilah yang
akan menampung keanekaragaman kelompok dengan aspirasinya itu. Dengan demikian, partai
politik juga merupakan sarana penting dalam sistem demokrasi. Mengenai sistem kepartaian,
dikenal adanya sistem partai tunggal, dwi-partai, dan multipartai.
Sistem pemilihan mekanis dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pemilihan dengan sistem distrik
dan sistem proporsional. Dalam sistem distrik, wilayah negara dibagi menjadi distrik-distrik, dan
setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil memperoleh bagian satu kursi di lembaga
perwakilan rakyat. Kursi di setiap distrik ini diperebutkan oleh caloncalon/partai-partai politik
berdasar suara terbanyak yang diperoleh. Dalam sistem proporsional, kursi-kursi yang tersedia di
setiap daerah pemilihan dibagi oleh partai-partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara
yang diperolehnya.
13
Kelebihan sistem distrik, antara lain hubungan antara wakil rakyat yang terpilih dengan rakyat
lebih dekat, kepentingan distrik lebih diperhatikan, dan kecenderungan membentuk partai baru
dapat dibendung sebab setiap distrik hanya tersedia satu kursi. Kelemahannya, antara lain kurang
memperhitungkan partai kecil, banyak suara yang hilang dan adanya kemungkinan untuk lebih
menonjolkan kepentingan distriknya. Adapun kelebihan sistem proporsional, antara lain tak ada
suara yang hilang/tidak diperhitungkan dan lebih representatif karena jumlah kursi yang
diperoleh seimbang dengan persentase dukungan suara yang diperoleh dalam pemilihan umum.
Kelemahannya, antara lain kurang eratnya hubungan antara wakil rakyat dengan rakyat,
pimpinan partai sangat menentukan dalam menentukan calon wakil rakyat, dan kemungkinan
berdirinya partai-partai baru lebih terbuka.
Pemilihan umum selanjutnya dilaksanakan di masa Orde Baru pada tahun 1971, 1977, 1982,
1987, 1992, dan 1997. Pemilihan umum 1971 diikuti oleh 10 organisasi peserta pemilihan
umum. Setelah diadakan penyederhanaan sistem kepartaian, pemilihan umum selanjutnya diikuti
oleh 3 organisasi peserta pemilihan umum, sesuai dengan nomor urutnya adalah PPP, Golkar,
dan PDI. Sepanjang masa Orde Baru, pemilihan umum menghasilkan kemenangan mutlak
Golkar.
Pemilihan umum selanjutnya yang menurut siklus lima tahunan Orde Baru akan diselenggarakan
pada tahun 2002, sesuai dengan tuntutan era reformasi diajukan pada tahun 1999. Dalam iklim
kebebasan berpolitik, pemilihan umum 1999 ini diikuti oleh 48 partai politik Di samping asas
langsung, umum, bebas, dan rahasia yang sudah ditetapkan pada masa Orde Baru, pada
pemilihan umum era reformasi ini ditambah dengan asas jujur dan adil. Perbedaannya dengan
masa Orde Baru, penyelenggaraan pemilihan umum 1999 lebih banyak melibatkan unsur-unsur
masyarakat luas, dan pada saat Pemilu 2004 pelaksanaannya dipisah antara Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD
yang dilaksanakan secara langsung.
Daftar Pustaka
14
Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Pramata.
Kegiatan Belajar 1: Demokrasi di Indonesia Berdasarkan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949,
UUDS 1950, UUD 1945 Sesudah Perubahan dan Implementasinya dari Masa UUD 1945
(Kurun Waktu I) sampai Sekarang
Rangkuman
Lahirnya sistem pemerintahan demokrasi adalah untuk membatasi kekuasaan/penguasa yang
mutlak atau sewenang-wenang. Pembatasan dapat dilakukan baik dengan suatu konstitusi
maupun dengan suatu hukum kebiasaan. Apabila pembatasan kekuasaan penguasa yang
sewenang-wenang terhadap warga negaranya dengan suatu konstitusi disebut demokrasi
konstitusional.
Menurut Miriam Budiardjo ada bermacam-macam istilah demokrasi, antara lain demokrasi
konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi rakyat, demokrasi liberal, demokrasi
Pancasila, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dari sekian banyak aliran itu hanya ada dua
kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi komunis.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 pembatasan terhadap kekuasaan penguasa yang sewenang-
wenang tersebut dirumuskan secara yuridis yang disebut Negara Hukum (rechtsstaat) oleh para
ahli Eropa Kontinental, dan Rule of Law oleh para ahli Anglo-Saxon. Keduanya mempunyai
tujuan yang sama bahwa dalam negara yang berdaulat adalah hukum.
Implementasi demokrasi di Indonesia dari masa UUD 1945 Kurun Waktu I (18 Agustus 1945
sampai dengan sekarang) dapat dibedakan sebagai berikut.
1. Pada masa UUD 1945 kurun waktu I (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949),
dilaksanakan demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial mengalami perubahan
dengan Maklumat Pemerintah 14 November 1945 menjadi demokrasi dengan sistem
pemerintahan parlementer.
2. Pada masa Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950) dan UUDS 1950
(17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959), dilaksanakan demokrasi dengan sistem pemerintahan
parlementer/ demokrasi liberal.
3. Pada masa UUD 1945 kurun waktu II (5 Juli 1945-sekarang), meliputi 3 masa, yaitu
berikut ini.
1. Masa Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966), dilaksanakan demokrasi terpimpin
dengan berbagai penyimpangan atau penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD
945.
2. Masa Orde Baru (11 Maret-21 Mei 1998), dilaksanakan demokrasi Pancasila.
Pada awal Orde Baru dalam rangka melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen melakukan tindakan koreksi terhadap
penyimpangan-penyimpangan atau penyelewengan terhadap pelaksanaan
15
demokrasi terpimpin pada masa orde lama. Namun, pada akhir kepemimpinan
Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun banyak
terjadi penyimpangan-penyimpangan atau penyelewengan terhadap pelaksanaan
demokrasi Pancasila yang berakibat turunnya Presiden Soeharto. Hasil Sidang
Umum MPR Maret 1998 (Presiden Soeharto) yang melimpahkan wewenangnya
kepada wakil Presiden B.J. Habibie (Presiden Baru) pada tanggal 21 Mei 1998.
3. Orde Reformasi (21 Mei 1998 sekarang), demokrasi dalam proses atau
demokratisasi yang oleh para ahli disebut demokrasi semu (pseudo democracy),
demokrasi liberal yang belum terkonsolidasi (unconsolidated liberal democracy).
Demokrasi sekarang ini, ada yang menyebut sebagai demokrasi tanpa label atau transisi menuju
demokrasi. Untuk tegaknya demokrasi di Indonesia selain melakukan perubahan UUD 1945,
juga telah dilakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang politik.
Implementasi demokrasi Pancasila pada era reformasi ini, telah banyak memberikan ruang gerak
kepada partai politik maupun lembaga negara (DPR) untuk mengawasi pemerintahan secara
kritis dan dibenarkan untuk berunjuk rasa, beroposisi maupun optimalisasi hak-hak DPR seperti
hak bertanya, interpelasi, inisiatif, dan amendemen.
Kegiatan Belajar 2: Hak Asasi Manusia Berdasarkan UUD 1945, Konstitusi RIS 1949,
UUDS 1950,UUD Tahun 1945 sesudah Perubahan dan Implementasinya dari Masa UUD
1945 (Kurun Waktu I) sampai Sekarang
Rangkuman
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia semenjak ia dilahirkan dan senantiasa
melekat pada dirinya sendiri sebagai wujud pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Dalam
implementasinya selalu diperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban antara kepentingan
perseorangan dengan kepentingan umum.
Ditinjau dari sudut historis timbulnya hak asasi manusia bertujuan untuk membatasi kekuasaan
penguasa yang bersifat absolut.
Hak asasi manusia berdasar UUD 1945 (UUD Proklamasi) terdapat dalam Pembukaan, Batang
Tubuh dan Penjelasan UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945, tampak jelas banyak
menyebutkan tentang hak-hak asasi manusia. Hal ini dapat dilihat dalam alinea pertama, pada
hakikatnya merupakan pengakuan akan adanya kebebasan untuk merdeka. Di samping itu,
pengakuan akan kemanusiaan merupakan inti dari hak-hak asasi manusia. Kemudian alinea
kedua, menyatakan bahwa Indonesia negara yang adil. Adil di sini maksudnya adalah negara
yang dapat menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban baik dalam hubungan antara
lembaga-lembaga negara, antara warga negara dengan negara maupun antara warga negara
dengan warga negara atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Selanjutnya,
alinea keempat, menunjukkan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam
segala bidang kehidupan, yaitu ekonomi, hukum politik, sosial dan budaya yang dijabarkan
dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 beserta Penjelasannya.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, dapat diketahui bahwa hak-hak asasi manusia dirumuskan
dalam 8 pasal, yakni Pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, dan tidak diatur secara terperinci
sebagaimana perumusan hak asasi manusia dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Hal ini
16
bukan berarti hak asasi manusia dalam UUD 1945 bertentangan dengan rumusan hak asasi dalam
Universal Declaration of Human Rights 1948. Walaupun rumusan hak asasi dalam UUD 1945
tersebut disusun sebelum keluarnya Universal Declaration of Human Rights, tetapi mempunyai
nilai lebih karena pemuatan hak-hak asasi manusia tersebut merupakan hasil pikir Bangsa
Indonesia sendiri. Lain halnya dengan rumusan hak asasi manusia dalam Konstitusi RIS 1949
dan UUDS 1950 yang dipengaruhi oleh rumusan hak-hak asasi dalam Universal Declaration of
Human Rights oleh Majelis Umum PBB. Selanjutnya, pada era reformasi perumusan HAM
dalam diperluas dalam Perubahan Kedua UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sejumlah
10 pasal, yakni dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.
Walaupun sudah banyak peraturan perundang-undangan yang merupakan instrumen dari Pasal-
pasal UUD 1945 yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, tetapi dalam implementasinya
dari masa UUD 1945 kurun waktu I sampai sekarang masih sangat memprihatinkan belum sesuai
dengan yang diharapkan. Dalam kenyataan banyak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi baik
yang dilakukan oleh aparat negara maupun masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdul Mukthie Fadjar. (2006). Hukum Konstitusi Dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Bagir Manan. (1996). Kedaulatan Rakyat, Hak asasi manusia dan Negara Hukum.
Jakarta: Gaya Media Pratama.
Bibit Suprapto. (1985). Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Frans Magnis Suseno. (1996). Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
Ismail Sunny. (1977). Mekanisme Demokrasi Pancasila. Jakarta: Aksara Baru.
James W. Nickel. (1996). Hak Asasi Manusia, Making Sense of Human Rights Refleksi
Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Jimly Asshiddqie. (2006). Pengantar Ilmu hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
KOMNAS HAM. (1997). Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka.
Kuntjoro Poerbopranoto. (1979). Hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
_______. (1987). Sistem Pemerintahan Demokrasi. Bandung: Eresco.
Miriam Budiardjo. (1983). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Muhammad Yamin. (1959). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Djilid
Pertama. Jakarta: Yayasan Prapantja.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, (1983). Pengantar Hukum Tata Negara. Cetakan
kelima. Jakarta: Pusat Studi Hukum tata Negara UI Fakultas Hukum dan sinar Bhakti.
Sekretariat Jenderal MPR RI. (2006). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat jenderal MPR RI
________. (2006). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
S. Toto Pandoyo. (1981). Ulasan terhadap Beberapa Ketentuan Undang-Undang Dasar
1945 Sistem Politik dan Perkembangan Kehidupan Demokrasi. Yogyakarta: Liberty.
17
Siswono Yudohusodo. (1999). Peran Pendidikan Tinggi dalam Demokratisasi. Dalam
Jawa Pos tanggal 22 April 1999, hal. 4.
Sri Hartini. (2005). Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Praktik Penyelenggaraan
Negara di Indonesia dalam Era Globalisasi. Dalam Jurnal Civics Media Kajian
Kewarganegaraan. Volume 2, Nomor 1, Juni 2005. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan FISE UNY
T. Mulya Lubis. (1993). Hak-Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Berbeda dengan negara yang menganut Trias Politica, Negara Indonesia setelah perubahan UUD
yang menganut kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Sehingga
tidak ada sebutan lagi lembaga tertinggi seperti MPR sebagaimana UUD yang belum diubah. Di
samping kedaulatan rakyat itu dilakukan secara langsung oleh rakyat dalam pemilu, sebagian
dilaksanakan oleh lembaga tinggi Negara (Presiden dan Wakil Presiden; DPR; DPD; MPR; MK;
MA, dan BPK).
Hubungan antarlembaga tinggi Negara tersebut sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945,
yakni mempertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan yang
utama (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dengan prinsip saling mengawasi (checks and
balances).
Penyelenggaraan pemerintahan Daerah diarahkan pada pelaksanaan asas otonomi yang seluas-
luasnya dan tugas pembantuan. Dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah diperlukan kerja
sama antara alat perlengkapan Daerah/aparat Daerah yang dalam bekerjanya sesuai dengan
kedudukan, tugas dan wewenang masing-masing.
18
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah Daerah/Daerah Otonom dapat menggunakan
sumber-sumber keuangan yang berasal dari sumber pendapatan Daerah sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 157 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 meliputi berikut ini.
Daftar Pustaka
Abdul Mukthie Fadjar. (2006). Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI
Bagir Manan. (1994). Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut UUD 1945. Jakarta:
Sinar Harapan.
Busro dan Abu Daud Busroh. (1984). Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Dahlan Thaib. (1994). DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta:
Liberty.
Jimly Asshiddiqie. (2006). Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca-
Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI.
________. (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK RI
Joeniarto. (1967). Pemerintahan Lokal. Yogyakarta: Gadjah Mada.
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih. (1983). Susunan Pembagian Kekuasaan menurut
Sistem Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Gramedia.
Soehino. (1980). Perkembangan Pemerintahan di Daerah. Yogyakarta: Liberty.
Sarundajang. (1996). Pemerintahan Daerah di Beberapa Negara. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Sekretariat Jenderal MPR RI. (2006). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
_________. (2006). Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Siswanto Sunarno. (2005). Hukum Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sinar Grafika.
Sri Soemantri. (1986). Tentang Lembaga-lembaga Negara menurut UUD 1945. Bandung:
Alumni.
_________. Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.
_________. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
_________. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bandung:
Citra Umbara
19
MODUL 8: Kapita Selekta Kenegaraan
Kebenaran ilmiah bukanlah kebenaran mutlak, akan tetapi yang kebenaran relatif bersifat
alamiah terikat oleh ruang dari waktu dan terbuka untuk dikritisi guna memperkuat validitas
ilmiahnya. Oleh karena itu, pendekatan etik religius merupakan tuntutan epistemologis untuk
membangun Hukum Tata Negara yang prophentik syarat dengan nilai-nilai bukan bebas nilai.
Sosok ilmu inilah yang akan mampu menjelaskan berbagai gejala dan masalah pelaksanaan
Undang-Undang Dasar 1945 berkait dengan nilai-nilai sosial budaya. Untuk memperkuat bahwa
studi hukum tata negara tidak cukup menyelidiki pasal demi pasal dari undang-undang dasar,
tetapi harus menyelidiki juga bagaimana praktiknya, dan bagaimana suasana kebatinannya,
seperti dikemukakan dalam penjelasan.
Mengedepankan hukum secara fungsional dalam era globalisasi sebagaimana tuntutan pada
sistem politik modern, perlu mengembangkan paradigma dan teori hukum yang berdasarkan
pada Pancasila sebagai rechtsidee. Strateginya tidak hanya pada saat mengonstruksi hukum,
tetapi meliputi pula pada saat hukum itu berperan sebagai kekuatan sistem politik dengan
memfungsionalkan lembaga politik secara optimal sesuai dengan semangat negara hukum yang
demokratis berdasarkan pada UUD 1945.
Salah satu geniusitas dari UUD 1945, yang menyatakan Negara Indonesia adalah berdasarkan
pada hukum (rechstaat) bukan kekuasaan semata (machtstaat). Indonesia "berdasarkan atas
20
hukum", di mana hukum harus mengedepankan supremasi by the law memberikan landasan
yuridis terhadap berbagai unsur dalam sistem politik.
Secara konstitusional menurut UUD 1945 sistem politik yang dianut ialah sistem demokrasi
mengingat di dalam UUD 1945 terkandung dalam Pembukaan kekuasaan di mana kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif didistribusikan kembali oleh MPR, yaitu kekuasaan legislatif
kepada DPR bersama-sama Presiden, kekuasaan eksekutif kepada Presiden sebagai mandataris
MPR dan kekuasaan yudikatif kepada Mahkamah Agung.
UUD 1945 daya fleksibilitas bukan saja karena ada Pasal 37 yang mengatur tentang perubahan,
tetapi juga dinyatakan sebagai hukum dasar tertulis, dalam pengertian dalam implementasinya
masih didukung oleh konstitusi tidak tertulis. Dengan demikian, kelemahan yang terdapat dalam
konstitusi tertulis dapat diimbangi dengan kekuatan dari hukum yang tidak tertulis yang tumbuh
dalam praktik kehidupan bernegara aktualisasi dan fleksibilitas konstitusional dari UUD 1945
akan mudah dilaksanakan. Namun demikian, tentu saja ini merupakan wacana hukum tata negara
yang memungkinkan untuk membangun teori hukum yang berbasis pada realitas empirik dan
nilai-nilai konstitusional yang tumbuh dalam kerangka implementasi UUD 1945.
Amendemen dalam UUD 1945 diatur dalam Pasal 37 yang dilakukan oleh MPR dan hingga
sekarang yang dianut berdasarkan teori amendemen yang dianut di negara Anglo Saxon, dengan
menggunakan paradigma bahwa perubahan harus dilakukan pada batang tubuh tidak pada
pembukaan. Kedua, pada pasal-pasal tertentu yang dinilai tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan tuntutan bernegara. Ketiga, pasal-pasal yang diamendemenkan masih
merupakan bagian dari UUD aslinya.
21
Daftar Pustaka
Arbi Sanit. (1981). Sistem Politik Indonesia Kestabilan peta Kekuatan Politik dan
Pembangunan. Jakarta: Rajawali.
David E. After. (1997). Pengantar Analisis Politik. Jakarta: Rajawali.
Easton, David. (1971). A System Analysis of Political Life. New York-London, Sydney:
John Wiley & Sons Inc.
Jimly Asshidiqie. (2005). Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-undang. Jakarta: Mahkamah Konstitusi
RI.
Kranenburg. (1955). Ilmu Negara Umum. Terjemahan. Mr. Tk. B. Sabroedin.
Moch. Kusnardi, dkk.(1983). Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat Studi Hukum
Tata Negara UI.
M. Solly Lubis. (1993). Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Mahkamah Konstitusi. (2005). Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Satjipto Rahardjo. (1991). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya.
Sjachran Basah. (1987). Ilmu Negara (Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan).
Bandung: Alumni.
Suchino. (1983). Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty.
Suwarma AL Muchtar. (1999). Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Epsilon.
_________. (1999). Pengantar Studi Hukum Tata Negara. Bandung: Gelar Pustaka
Mandiri.
_________. (2000). Pengantar Studi Sistem Politik. Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
_________. (2001). Revitalisasi Pendidikan Demokrasi dan Ilmu Hukum Tata Negara.
Pengukuhan Guru Besar. Bandung: UPI.
Strong, CFP. (1960). Modern Political (Constitution: An Introduction to the Comparative
Study of Their History and Existing From). London: Sidgwick & Jackson Ltd.
Padmo Wahyono. (1984). Pengantar Himpunan Masalah Ketatanegaraan di Indonesia.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
MODUL 9: Materi dan Model Pembelajaran Hukum Tata Negara sebagai Pengalaman
Belajar Pendidikan Kewarganegaraan
22
kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian
hasil belajar.
Materi HTN untuk PKn meliputi Pengertian sumber hukum tata negara adalah sesuatu yang
dijadikan bahan penyusunan dan pengesahan dari pada hukum tata negara tersebut. Pada
umumnya sumber hukum diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan kaidah hukum itu ada. Di
samping hukum tata negara sebagai landasan mekanisme dalam ketatanegaraan yang mengatur
hubungan antara lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 kedudukan sumber hukum tata
negara dapat diartikan bahwa studi hukum tidak mungkin melepaskannya dari keharusan
mempelajari sumber hukumnya karena dengan mempelajari sumber hukum tata negara kita dapat
melihat kadar kekuatan dari pada hukum tersebut dan seandainya lemah sumbernya maka akan
lemah pula kualitas keabsahan hukum tersebut.
Jenis sumber Hukum Tata Negara adalah terdapat 3 klasifikasi, meliputi berikut ini.
Pendekatan belajar kontekstual dapat dapat diwujudkan, antara lain dengan metode-metode
kooperatif; penemuan; inkuiri; interaktif; eksploratif; berpikir kritis dan pemecahan masalah
yang berhubungan dengan praktik hukum tata negara
Kewarganegaraan dapat menggunakan berbagai media meningkatkan hasil belajar, seperti slide,
film, radio, televisi, dan komputer yang dilengkapi CD-ROOM dan hubungan internet dapat
dimanfaatkan untuk mengakses berbagai informasi tentang isu-isu internasional dan aktivitas
kewarganegaraan di negara-negara lain.
Model pembelajaran Yurisprudensi Inkuiri, yaitu suatu pendekatan yang dipandang tepat dalam
membelajarkan konsep hukum tata negara sebagai salah satu materi PKn. Termasuk dalam
proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan.
23
Format Rencana Pelaksanaan Pembelajaran meliputi berikut ini.
1. Mata Pelajaran.
2. Kelas/Semester.
3. Pertemuan ke .
4. Alokasi Waktu.
5. Standar Kompetensi.
6. Kompetensi Dasar.
7. Indikator.
1. Tujuan Pembelajaran.
2. Hakikat bangsa dan unsur-unsur terbentuknya negara
3. Metode Pembelajaran.
4. Langkah-langkah Pembelajaran.
1. Kegiatan awal.
2. Kegiatan inti.
3. Kegiatan Penutup.
4. Alat dan sumber belajar.
5. Penilaian.
6. Instrumen Penilaian.
Daftar Pustaka
24