Anda di halaman 1dari 24

ISIP4131 - Sistem Hukum Indonesia

Tinjauan Mata Kuliah


Mata kuliah Sistem Hukum Indonesia akan membahas tentang hakikat dan karakteristik hukum di
Indonesia, kaidah dasar dalam pembentukan hukum di Indonesia, perkembangan studi hukum di
Indonesia, komponen substitusi hukum, substansi hukum positif di Indonesia, susunan dan kekuasaan
badan-badan peradilan di Indonesia, kekuasaan kehakiman, penafsiran, penggolongan dan klasifikasi
hukum, serta unsur-unsur bangunan sistem hukum di Indonesia.

Dengan mempelajari mata kuliah ini, Anda akan memperoleh gambaran tentang bagaimana praktik-
praktik hukum di Indonesia dijalankan, yang tentu saja banyak perbedaan dengan praktik-praktik hukum
di negara lain. Dengan demikian Anda akan lebih mantap dan percaya diri dalam proses pembelajaran
serta akan memberikan tuntunan bagi Anda dalam berbuat sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang
berlaku.

Secara umum setelah Anda mempelajari mata kuliah ini Anda akan mampu menganalisis proses
pembuatan hukum di Indonesia dan implementasinya. Secara khusus setelah mempelajari mata kuliah
ini Anda dapat:

1. menjelaskan hakikat dan karakteristik sistem hukum di Indonesia;


2. menjelaskan kaidah dasar dalam pembentukan hukum dan sumber hukum di Indonesia;

3. menjelaskan perkembangan sistem hukum di Indonesia;

4. menjelaskan komponen substitusi hukum;

5. menjelaskan substansi hukum positif di Indonesia;

6. menjelaskan susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan di Indonesia;

7. menjelaskan kekuasaan kehakiman;

8. menjelaskan penafsiran, penggolongan dan klasifikasi hukum;

9. menjelaskan unsur-unsur bangunan sistem hukum di Indonesia.

Untuk memudahkan dalam memahami materi mata kuliah ini, maka penyajian materi di kemas dalam 9
modul sebagai berikut:

1. Modul 1 : Hakikat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia.


2. Modul 2 : Kaidah Dasar dalam Pembentukan Hukum dan Sumber Hukum di Indonesia.

3. Modul 3 : Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia.

4. Modul 4 : Komponen Substitusi Hukum.

5. Modul 5 : Substansi Hukum Positif di Indonesia.

6. Modul 6 : Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan di Indonesia.


7. Modul 7 : Kekuasaan Kehakiman.

8. Modul 8 : Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum.

9. Modul 9 : Unsur-unsur Bangunan Sistem Hukum di Indonesia.

Agar Anda berhasil dengan baik dalam menguasai materi mata kuliah ini, ikuti saran-saran sebagai
berikut:

1. 1. Bacalah dengan seksama modul demi modul dengan cara menggaris-bawahi konsep-konsep
esensial.
2. 2. Kerjakan latihan demi latihan pada setiap modul.

3. 3. Gunakan semua pendukung dengan baik untuk memperkuat pemahaman Anda.

MODUL 1: Hakekat dan Karakteristik Sistem Hukum di Indonesia

Kegiatan Belajar 1: Pengertian dan Fungsi Hukum Indonesia


Rangkuman
Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang mengatur hubungan
manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia. Sebagai hukum nasional, berlakunya
hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan ditujukan pada subyek hukum dan objek
hukum tertentu pula. Subyek hukum Indonesia adalah warga negara Indonesia dan warga negara asing
yang berdomisili di Indonesia. Sedangkan objek hukum Indonesia adalah semua benda bergerak atau
tidak bergerak, benda berwujud atau tidak berwujud yang terletak di wilayah hukum Indonesia.

Hukum Indonesia sebagai perlengkapan masyarakat ini berfungsi untuk mengintegrasikan kepentingan-
kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta ketertiban dan keteraturan. Karena hukum
mengatur hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat dan sebaliknya, maka
ukuran hubungan tersebut adalah: keadilan.

Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur-unsur atau bagian-
bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan yang didasarkan
pada UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila. Sebagai satu sistem, sistem hukum Indonesia telah
menyediakan sarana untuk menyelesaikan konflik diantara unsur-unsurnya. Sistem hukum Indonesia
juga bersifat terbuka, sehingga di samping faktor di luar sistem seperti: ekonomi, politik, sosial dapat
mempengaruhi, sistem hukum Indonesia juga terbuka untuk penafsiran yang lain

Kegiatan Belajar 2: Mazhab-mazhab (Aliran) dalam Hukum


Rangkuman
Beberapa aliran hukum yang telah berkembang sesuai dengan jamannya dan memberi pengaruh serta
mewarnai sistem hukum di dunia adalah: aliran legisme, freie rechtslehre dan rechtsvinding. Masing-
masing aliran mempunyai karakteristik yang berbeda.

Aliran legisme yang telah memberi corak pada sistem hukum kontinental merupakan suatu mazhab yang
menganggap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Diasumsikan bahwa hukum identik
dengan undang-undang, sehingga tidak ada hukum yang lain di luar itu. Sebagai konsekuensi dari aliran
ini, hakim bersifat pasif dan hanya berkewajiban untuk menerapkan undang-undang saja.

Sedangkan aliran freie rechtlehre berpendapat bahwa undang-undang tidak cukup mampu mengikuti
perkembangan masyarakat, sehingga hakim diberi kebebasan untuk menciptakan hukum sendiri sesuai
dengan keyakinannya (judge made law), bebas untuk melakukan interpretasi bahkan hakim bebas untuk
menyimpangi undang-undang.

Aliran yang berada diantara dua aliran ekstrem di atas adalah aliran rechtsvinding. Pada aliran ini hakim
tetap terikat pada undang-undang tetapi tidak seketat seperti aliran legisme. Hakim bertugas untuk
menemukan hukum, dan diberi kebebasan untuk menyelaraskan undang-undang dengan
perkembangan jaman. Pada aliran ini yurisprudensi mempunyai kedudukan yang penting sebagai
sumber hukum formil setelah undang-undang. Aliran rechtsvinding ini sedikit banyak mempengaruhi
sistem hukum di Indonesia

Kegiatan Belajar 3: Karakteristik Hukum di Indonesia (Positif dan Progresif)


Rangkuman
Salah satu hal yang spesifik dari hukum Indonesia sehingga membedakannya dari hukum negara lain
adalah tekad untuk tidak melanjutkan hukum warisan pemerintah kolonial yang pernah menjajahnya.
Tekad ini direalisasikan dengan melakukan perubahan fundamental pada hukum "warisan" kolonial.

Perubahan yang sudah dilakukan meliputi:


1). melakukan unifikasi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2) menghapus sistem pembagian golongan; dan
3) memberlakukan satu sistem peradilan umum di seluruh Indonesia dengan menghapuskan perbedaan
sistem peradilan yang sempat ada pada masa pemerintahan kolonial.

Ciri khas yang lain dari hukum Indonesia adalah:


1) diberlakukannya keanekaragaman (pluralistis) hukum perdata;
2) berlakunya hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis; dan
3) membentuk hukum nasional yang mampu mengikuti perkembangan masyarakat dan tetap mewadahi
keanekaragaman hukum adat.

Kegiatan Belajar 4: Pluralisme Hukum di Indonesia


Rangkuman
Dalam hukum positif Indonesia berlaku bermacam-macam hukum perdata, yaitu hukum perdata Eropa
(KUHPerdata), hukum adat dan hukum Islam. Pluralisme hukum perdata ini disebabkan karena
berdasarkan Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda digolongan menjadi golongan Eropa, Bumi Putra
dan Timur Asing. Dan berdasarkan Pasal 131 IS kepada masing-masing golongan diberlakukan hukum
perdata yang berbeda.

Untuk mengatasi kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka, berdasar pada Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945, ketentuan-ketentuan tersebut di atas masih diberlakukan. Tetapi UU Nomor 62 Tahun 1958
dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/1966, hanya mengenal pembagian penduduk menjadi
warga negara Indonesia dan warga negara Asing dan menghapuskan penggolongan penduduk. Sehingga
meskipun hukum perdata dalam hukum positif Indonesia masih bersifat pluralistis, tetapi tidak lagi
ditujukan pada golongan penduduk tertentu, melainkan ditujukan kepada warga negara Indonesia
secara umum.

Daftar Pustaka

 Achmad Sanoesi.(1987). Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung:
Tarsito.
 Artidjo Alkostar. (1997). Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 Asis Safioedin. (1989). Beberapa Hal tentang Burgerlijke Wetboek. Bandung: Alumni

 Bachsan Mustafa .(2003). Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: Citra Adiyta Bakti

 L.J. van Apeldorn. (1985). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita

 Riduan Syahrani. (2000). Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni

 Saleh Adiwinata .(1983). Perkembangan Hukum Perdata dan Adat Sejak tahun 1960. Bandung:
Alumni.

 Satjipto Rahardjo. (1996). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

 Siti Soetami. (1995). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Eresco

 Soedjono Dirdjosisworo. (1999). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Raja Grafindo Persada

 Soediman Kartohadiprodjo. (1984). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia

 Soedikno Mertokusumo. (1999). Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty

 __________________. (1999). Penemuan Hukum. Yogyakarta: Liberty

 Soepomo. (1965). Sistem Hukum di Indonesia Setelah Perang Dunia ke II. Jakarta: Pradnya
Paramita.

 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbotjaroko. (1989). Perihal Kaidah Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.

 Soerojo Wignjodipoero (1988). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: CV Haji Masagung.

 Sunaryati Hartono. (1991). Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung:
Alumni.

MODUL 2: Kaidah Dasar Pembentukan Hukum dan Sumber-sumber Hukum di Indonesia

Kegiatan Belajar 1: Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa


Rangkuman
Pandangan hidup bangsa merupakan kesatuan dari rangkaian nilai-nilai luhur, yang berfungsi sebagai
kerangka acuan untuk menata kehidupan individu, interaksi antar individu, dan individu dengan alam
sekitarnya dalam suatu lingkup kehidupan berbangsa.

Pedoman hidup (pandangan hidup) bangsa dan negara mengandung dua konsepsi dasar mengenai
kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Pertama, bersifat khusus yaitu
"..melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa...". Kedua, bersifat umum dengan artian dalam lingkup kehidupan
sesama bangsa di dunia, yang dalam pembukaan UUD 1945 berbunyi: "…dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…".

Bangsa Indonesia merupakan kausa materialis Pancasila atau asal dari nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai
Pancasila pada hakikatnya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang digali dari bangsa Indonesia sendiri.
Nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan telah ada
dan tercermin dan terkandung dalam kehidupan masyarakat yang berupa adat-istiadat, kebudayaan,
dan kebiasaan dalam memecahkan permasalahan mereka sehari-hari.

Susunan isi, arti, dan esensi nilai-nilai Pancasila dapat dikategorikan ke dalam tiga lingkup: Pertama,
umum-universal, yaitu sebagai pangkal tolak penjabarannya dalam bidang-bidang kenegaraan dan tertib
hukum Indonesia, serta penerapannya dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, umum-kolektif, yaitu
sebagai pedoman kolektif negara dan bangsa Indonesia terutama dalam menegakkan tertib hukum
Indonesia. Ketiga, khusus-kongkrit, dalam artian isi, arti, dan esensi Pancasila dapat dijabarkan dalam
berbagai bidang kehidupan.

Kegiatan Belajar 2: Pancasila Sebagai Dasar Negara


Rangkuman
Pancasila sebagai dasar negara amat penting dan mendasar bagi Indonesia. Pancasila merupakan
landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara. Unsur-unsur Pancasila telah dimiliki oleh bangsa
Indonesia sebagai kristalisasi dari asas-asas dalam kebudayaan, nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian
diformulasikan oleh para pendiri negara sebagai dasar negara oleh Panitia Sembilan (asal mula
tujuan/kausa finalis), dan selanjutnya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan
Pancasila sebagai dasar negara yang sah (asal mula karya/kausa efisien).

Pancasila memiliki kedudukan yuridis sebagai dasar negara sejak 18 Agustus 1945 di mana bersamaan
dengan diundangkannya UUD 1945 dalam berita Republik Indonesia Tahun II No 7 oleh PPKI. Sebab,
secara formal Pancasila memperoleh kedudukan yuridis konstitusional dalam pembukaan UUD 1945
alinea keempat.

Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia membawa konsekuensi logis, yakni kekuatan
imperatif atau memaksa secara hukum. Kekuatan imperatif atau memaksa artinya menuntut warga
negara untuk taat dan tunduk kepada Pancasila dan aturan hukum yang dijiwainya. Pelanggaran
terhadap Pancasila dan peraturan-peraturan yang dijiwainya diikuti dengan sanksi hukum sesuai dengan
hukum yang berlaku.

Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya tercantum sila-sila dalam Pancasila tidak dapat diubah, oleh
karena secara tegas tidak dijadikan sebagai salah satu objek perubahan ketentuan Pasal 37 tentang
perubahan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, kedudukan Pancasila secara konstitusional tidak
dapat diubah. Menurut ketentuan Pasal 37 ayat (1) sampai ayat (5) UUD 1945. hanya pasal-pasal
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai perubahan.

Dasar negara menjiwai dan dijabarkan dalam bentuk perundang-undangan, dengan tujuan untuk
mengatur ketertiban masyarakat dan mencapai tujuan hidup bernegara. Menurut UU No. UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tata urutan perundang-undangan
adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)


2. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemeerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
3. Peraturan Pemerintah (PP)
4. Peraturan Presiden (Perpres)
5. Peraturan Daerah (Perda), terdiri dari :
6. Perda Propinsi
7. Perda Kabupaten/Kota
8. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat

Kegiatan Belajar 3: Kaidah Pancasila, Peran dan Fungsi Sumber Hukum


Rangkuman
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan
yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan
nyata.

Sumber-sumber hukum diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: Pertama, sumber hukum
materiil, yaitu sumber hukum yang menentukan isi suatu norma hukum. Sumber hukum materil dapat
ditinjau dari banyak sudut pandang, misalnya sudut pandang ahli sejarah; sudut pandang ahli sosiologi;
sudut pandang para filsuf; dan sebagainya. Kedua, sumber hukum formil, yaitu sumber hukum ditinjau
dari bentuk dan tata cara penyusunannya.

Yang termasuk sumber hukum formil adalah sebagai berikut : Undang-Undang (statute), Kebiasaan
(custom), Keputusan-keputusan Hakim (Jurisprudensi), Traktat (treaty), dan Pendapat Sarjana Hukum
(doktrin)

Dalam hukum positif Indonesia, hukum lahir dari berbagai sumber hukum formil tersebut. Dalam
kesatuan integral hukum di Indonesia, menurut Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004, Pancasila merupakan
sumber dari segala sumber hukum.

Fungsi dan peranan Pancasila sebagai sumber hukum, antara lain, pertama, sebagai perekat kesatuan
hukum nasional, dalam arti Setiap aturan hukum yang mengatur segi-segi kehidupan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filsafat, pandangan hidup dan dasar negara.
Dan, kedua, sebagai cita-cita hukum nasional, bermakna bahwa seluruh peraturan yang timbul dan
mengatur kehidupan masyarakat dibentuk untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila secara utuh.

Daftar Pustaka

 CST Kansil. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: PT Balai Pustaka.
 Darmodihardio. (1996). Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:
Rajawali.

 Kaelan. (1993). Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma.

 _____________ (2000). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

 L. J. van Apeldoorn. (2001).Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

 M. Abdul Karim. (2004). Menggali Menggali Muatan Pancasila dalam Perspektif Islam.
Yogyakarta: Surya Raya.

 Maria Farida Indrati Soeprapto. (1998). Ilmu Perundang-indangan Dasar dan Pembentukannya.
Yogyakarta: Kanisius.

 Notonagoro. (1975). Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tujuh.

 Sudikno Mertokusumo. (1999); Mengenal hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

 UU No. 10 Tahun 2004.

 UUD1945 (`sebelum dan sesudah amandemen)

 Wawan Tunggul Alam. (2000). Bung Karno Menggali Pancasila. Jakarta: Gramedia.

MODUL 3: Perkembangan Sistem Hukum Indonesia

Kegiatan Belajar 1: Perkembangan Hukum di Indonesia pada Masa Pendudukan Belanda dan Jepang
Rangkuman
Sepanjang sejarah, Indonesia pernah dijajah beberapa negara antara lain Belanda, Inggris dan Jepang.
Negara penjajah mempunyai kecenderungan untuk menanamkan nilai serta sistem hukumnya di wilayah
jajahan, sementara masyarakat yang terjajah juga mempunyai tata nilai dan hukum sendiri.

Ketika Indonesia dikuasai Belanda pertama kali, yaitu oleh VOC, tidak banyak perubahan di bidang
hukum. Namun ketika diambil alih oleh Pemerintah Belanda, banyak peraturan perundangan yang
diberlakukan di Hindia Belanda baik itu dikodifikasi (seperti BW, WvK, WvS) maupun tidak dikodifikasi
(seperti RV, HIR). Namun ternyata Belanda masih membiarkan berlakunya hukum adat dan hukum lain
bagi orang asing di Indonesia. Kemudian pada tahun 1917 Pemerintah Hindia Belanda memberi
kemungkinan bagi golongan non Eropa untuk tunduk pada aturan Hukum Perdata dan Hukum Dagang
golongan Eropa melalui apa yang dinamakan "penundukan diri". Dengan demikian terdapat pluralisme
hukum atau tidak ada unifikasi hukum saat itu, kecuali hukum pidana yaitu pada tahun 1918 dengan
memberlakukan WvS (KUH Pidana) untuk semua golongan. Selain itu badan peradilan dibentuk tidak
untuk semua golongan penduduk. Masing-masing golongan mempunyai badan peradilan sendiri.

Pada tahun 1942 Pemerintahan Bala Tentara Jepang menguasai Indonesia. Peraturan penting yang
dikeluarkan pemerintah yaitu beberapa peraturan pidana, kemudian ada Osamu Seirei Nomor 1 Tahun
1942 yang dalam salah satu pasalnya menentukan badan/lembaga pemerintah serta peraturan yang
sudah ada masih dapat berlaku asalkan tidak bertentangan dengan Pemerintahan Bala Tentara Jepang.
Hal ini penting untuk mencegah kekosongan hukum dalam sistem hukum di Indonesia pada masa itu.

Kegiatan Belajar 2: Perkembangan Hukum di Indonesia pada Awal Kemerdekaan, Masa Orde Lama,
Orde Baru dan reformasi
Rangkuman
Setelah kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan
kepribadian bangsa melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan ke bentuk
hukum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil, masih belum dapat membuat
peraturan untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum,
hukum lama masih berlaku dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS
(pada saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS 1950). Sepanjang
tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal, sehingga hukum yang ada cenderung
bercorak responsif dengan ciri partisipatif, aspiratif dan limitatif.

Pada masa Orde Lama Pemerintah (Presiden) melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD
1945. Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan kepemimpinan yang
otoriter. Akibatnya hukum yang terbentuk merupakan hukum yang konservatif (ortodok) yang
merupakan kebalikan dari hukum responsif, karena memang pendapat Pemimpin lah yang termuat
dalam produk hukum. Pada tahun 1966 merupakan titik akhir Orde lama dan dimulainya Orde Baru yang
membawa semangat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Namun Soeharto sebagai penguasa Orde Baru juga cenderung otoriter. Hukum yang lahir kebanyakan
hukum yang kurang/tidak responsif. Apalagi pada masa ini hukum "hanya" sebagai pendukung
pembangunan ekonomi karena pembangunan dari PELITA I - PELITA VI dititik beratkan pada sektor
ekonomi. Tetapi harus diakui peraturan perundangan yang dikeluarkan pada masa Orde Baru banyak
dan beragam.

Setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi
yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembenahan
sistem hukum termasuk agenda penting reformasi. Langkah awal yang dilakukan yaitu melakukan
amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945, karena UUD merupakan hukum dasar yang menjadi
acuan dalam kehidupan bernegara di segala bidang. Setelah itu diadakan pembenahan dalam
pembuatan peraturan perundangan, baik yang mengatur bidang baru maupun perubahan/penggantian
peraturan lama untuk disesuaikan dengan tujuan reformasi.

Kegiatan Belajar 3: Peranan Pemerintah dalam Implementasi Hukum pada Masing-masing Periode
Rangkuman
Berbicara bagaimana peranan Pemerintah dalam implementasi hukum di Indonesia terkait dengan
politik hukum yang dijalankan Pemerintah, karena politik hukum itu menentukan produk hukum yang
dibuat dan implementasinya. Pada masa Penjajahan Belanda, politik hukumnya tertuang dalam Pasal
131 IS (Indische Staatsregeling) yang mengatur hukum mana yang berlaku untuk tiap-tiap golongan
penduduk. Adapun mengenai penggolongan penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan politik
hukum itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum.

Setelah Indonesia merdeka, untuk mencegah kekosongan hukum dipakailah Aruran peralihan seperti
yang terdapat pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS dan Pasal 142 UUDS
1950. Hukum tidak terlalu berkembang pada masa awal kemerdekaan, akan tetapi implementasinya
relatif baik yang ditandai lembaga peradilan yang mandiri. Hal ini merupakan efek dari berlakunya
demokrasi liberal yang memberi kebebasan kepada warga untuk berpendapat. Sebaliknya pada masa
Orde lama, peran pemimpin (Presiden) sangat dominan yang menyebabkan implementasi hukum
mendapat campur tangan dari Presiden. Akibatnya lembaga peradilan menjadi tidak bebas.

Ketika Orde Baru berkuasa, politik hukum yang dijalankan Pemerintah yaitu hukum diarahkan untuk
melegitimasi kekuasaan Pemerintah, sebagai sarana untuk mendukung sektor ekonomi dan sebagai
sarana untuk memfasilitasi proses rekayasa sosial. Hal ini dikarenakan Pemerintah Orde Baru lebih
mengutamakan bidang ekonomi dalam pembangunan. Perubahan terjadi ketika memasuki era reformasi
yang menghendaki penataan kehidupan masyarakat di segala bidang. Semangat kebebasan dan
keterbukaan (transparansi) menciptakan kondisi terkontrolnya langkah Pemerintah untuk mendukung
agenda reformasi termasuk bidang hukum. Langkah-langkah yang diambil antara lain pembenahan
peraturan perundangan, memberi keleluasaan kepada lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya
serta memberi suasana kondusif dalam rangka mengembangkan sistem kontrol masyarakat untuk
mendukung penegakan hukum.

Daftar Pustaka

 Abdul Hakim G. Nusantara. (1988), Politik Hukum Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia
 C.S. T. Kansil (1984), Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

 Hartono Hadisoeprapto (1999), Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty.

 Kusumadi Pudjosewojo. (1984), Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Aksara Baru.

 Moh. Mahfud, MD.( 1999), Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta, Gama Media.

 R. Abdoel Djamali (2005), Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.

 Satjipto Rahardjo (2000), Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.

 Sarjita (2004), Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi dan Komisi Konstitusi, Yogyakarta: Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional.

MODUL 4: Komponen Substansi Hukum

Kegiatan Belajar 1: Sistem Hukum Adat dan Hukum Perdata


Rangkuman
Hukum Adat merupakan hukum tidak tertulis yang dibentuk dan dipelihara oleh masyarakat hukum adat
tanpa campur tangan dari penguasa, yang dilengkapi dengan sanksi sebagai upaya pemaksa. Hukum
adat merupakan hukum yang bersifat lokal, dan karena dibentuk oleh masyarakat hukum adat yang tata
susunannya sangat tergantung pada faktor pembentuknya, mengakibatkan hukum adat menjadi plural
dan berbeda diantara tiap daerah dan tiap masyarakat.
Sesuai dengan faktor genealogis maka ada 3 masyarakat hukum adat, yaitu masyarakat matrilineal,
patrilineal dan parental. Sedangkan berdasar pada faktor teritorial terbentuk 3 macam masyarakat,
yaitu: persekutuan desa, persekutuan daerah dan perserikatan kampung.

Hukum Perdata merupakan hukum yang mengatur hubungan antar perorangan, mengatur hak dan
kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat. Sistematika Hukum
Perdata menurut Ilmu Pengetahuan terdiri dari 4 bagian, yaitu: hukum Orang, hukum Harta Kekayaan,
hukum Perikatan dan hukum Waris. Sedangkan pembagian Hukum Perdata berdasarkan Undang-
Undang, terdiri atas 4 buku: Buku I tentang orang, Buku II tentang Benda, Buku III tentang Perikatan,
Buku IV tentang Pembuktian dan daluwarsa.

Kegiatan Belajar 2: Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia


Rangkuman
Dalam rangka menegakan hukum perdata materil diperlukan hukum perdata formil (hukum acara
perdata) atau adjective law , yakni aturan hukum yang mengatur bagaimana menegakkan hukum
perdata materil dengan perantaraan hakim di pengadilan sejak pemajuan gugatan sampai pada
pelaksanaan putusan. Asas-asas yang perlu diperhatikan dalam bercara perdata, antara lain:Hakim
bersifat menunggu; Hakim bersikap pasif; Sidang terbuka untuk umum; mendengar kedua belah pihak;
beracara itu dikenakan biaya, terikatnya hakim pada alat bukti; dan putusan hakim harus disertai alasan-
alasan. Beracara perdata itu melalui 3 (tiga) tahap, yaitu pendahuluan, penentuan, dan pelaksanaan.

Kegiatan Belajar 3: Sistem Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia
Rangkuman
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara negara dengan
warga negara. Hukum Pidana dalam pengertian sempit hanya mencakup hukum pidana materiil saja,
sedangkan Hukum Pidana dalam arti luas mencakup hukum pidana materil dan hukum pidana formil
atau Hukum Acara Pidana.

Hukum Pidana materil diatur dalam KUHP, sedang Hukum Acara Pidana diatur dalam UU No. 8 Tahun
1981 tentang KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hukum Acara Pidana atau hukum formil merupakan ketentuan tentang tata cara proses perkara pidana
sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan tindak pidana hingga pelaksanaan keputusan sampai
pelaksanaan putusan pengadilan, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut
dengan proses perkara pidana berdasarkan undang-undang, serta diciptakan untuk penegakan hukum
dan keadilan. Fungsi dan tujuan Hukum Acara Pidana adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum
pidana untuk mencari kebenaran materil dan bertujuan untuk mencari kebenaran materil.

Hak dan kewajiban bagi pihak yang bersangkut paut dengan proses perkara pidata mengacu pada asas
hukum Acara Pidana, antara lain: perlakuan di muka sidang; perintah tertulis dari yang berwenang,
memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya; hadirnya terdakwa, sidang terbuka untuk umum dll.

Selanjutnya dalam proses berita acara pidana meliputi beberapa tahap, yaitu:
1. Penyidikan oleh penyidik (penyidik polisi dan penyidik PNS);
2. Penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau penuntut umum;
3. Pemeriksaan di depan sidang oleh hakim; dan
4. Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga pemasyarakatan.
Setelah Anda baca rangkuman tersebut di atas, Anda mengecek kembali sejauh mana penguasaan Anda
terhadap materi tentang sistem Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Bila sekiranya ada hal-hal yang
belum Anda kuasai, cobalah baca sekali lagi bagian-bagian yang dimaksud.

Daftar Pustaka

 Achmad Sanoesi.(1987). Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung:
Tarsito.
 Adani Chazawi.(2005). Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Andi Hamzah.
(1994). Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

 ----------------; (1998). KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta

 ----------------; (2006) .Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

 Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 Bachsan Mustafa .(2003) Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: Citra Adiyta Bakti.

 Bambang Pornomo.(1994). Asas-asas hukum Pidana. Jakarta: ghalia Indonesia.

 Boer Mauna. (2005). Hukum Internasional - Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Globalisasi. Bandung. Alumni

 I Wayan Parthiana. (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju

 Hartono Hadisoeprapto. (2000). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty

 Moh. Koesnardi 4 Bintan Saragih.(1988). Ilmu Negara. Jakarta: gaya Media Pratama.

 Moh. Koesnardi 4 Harmaily Ibrahim.(1983). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakrat:
Pusat Studi hukum tata negara FH UI.

 Max Boli Sabon dkk.(1992). Ilmu Negara . Jakarta: Gramedia.

 Riduan Syahrani. (2000). Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. Alumni.

 Saleh Adiwinata .(1983). Perkembangan Hukum Perdata dan Adat Sejak tahun 1960. Bandung:
Alumni.

 Siti Soetami. (1995). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Eresco.

 Soedjono Dirdjosisworo. (1999) Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada

 Soediman Kartohadiprodjo (1984) Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia

 Sudarto. (1990). Hukum Pidana I. Semarang: FH Undip

 Soerojo Wignjodipoero (1988). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: CV Haji Masagung.

 Sudikno Mertokusumo. (1998). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

 ------------; (1999). Mengenal Hukum. Yogyakarta. Liberty


 Soleman B. Taneko. (1987). Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang.
Bandung: Eresco

 Sugeng Istanto. (1998). Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

 SF. Marbun & Moh Mahfud MD. (1987). Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta:
Liberty

 S. Toto Pandoyo. (Wawasan Nusantara Dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta
Pembangunan Nasional. Jakarta: Bina Aksara.

 Sri Soemantri. (1976). Sistem-sistem Pemerintahan Negara Asean. Bandung: Tarsito.

MODUL 5: Substansi Hukum Positif Indonesia

Kegiatan Belajar 1: Sistem Hukum Tata Negara Indonesia dan Sistem Hukum Administrasi Negara
Rangkuman
Negara merupakan pangkal tolak dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Rakyat
sebagai salah satu unsur negara secara otomatis menjadi warga negara, sedangkan penduduk adalah
warga negara Indonesia dan Orang asing yang bertempat tinggal secara sah di Indonesia. Di samping
Rakyat unsur negara yaitu Wilayah dan Pemerintahan yang berdaulat. Wilayah negara tidak hanya
daratan saja, tetapi juga perairan (laut). Pemerintah yang berdaulat tercermin dalam bentuk negara
sebagai organisasi kekuasaan yang berdaulat kedalam dan keluar. Sesuai UUD 1945 kekuasaan negara
tersebut didistribusikan ke dalam berbagai lembaga negara secara horisontal maupun vertikal. Sifat
hubungan antara lembaga negara terutama antara eksekutif dan legislatif akan menentukan corak
sistem pemerintahannya. Mengingat wilayah Indonesia yang luas dan jumlah penduduk yang banyak
serta permasalahan yang komplek, sebagian urusan pemerintahan diselenggarakan oleh pemerintahan
daerah berdasar asas desentarlisasi, dekonsentarsi dan tugas pembantuan.

Hukum Tata Negara dan Hukum administrasi Negara mempunyai hubungan erat. Hukum Administrasi
negara meliputi semua aturan hukum yang bersifat teknis (negara dalam keadaan bergerak), sedang
Hukum tata Negara meliputi semua aturan hukum yang bersifat fondamental (negara dalam keadaan
diam/tidak bergerak).

Alat Administrasi Negara dalam menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dengan pihak masyarakat, baik di lapangan hukum
privat maupun lapangan hukum publik. Di samping itu alat administrasi negara diperbolehkan
melakukan kebebasan bertindak (freis ermessen). Akan tetapi agar dalam menjalankan fungsinya tidak
sewenang-wenang, alat administrasi negara harus memperhatikan dan melaksanakan 13 (tiga belas)
asas pemerintahan yang baik.

Kegiatan Belajar 2: Sistem Hukum Internasional


Rangkuman
Hukum Internasional sebagai hukum yang mengatur pergaulan negara-negara berdaulat memiliki
subyek hukum yang antara lain terdiri dari: negara, organisasi internasional, Palang Merah Internasional,
tahta suci, manusia, dan perusahaan transnasional. Berbeda dengan hukum nasional yang memiliki
kekuasaan eksekutif pusat sehingga mampu untuk memaksa warganya mentaati peraturan yang
dibuatnya, hukum internasional tidak memiliki kekuatan tersebut. Sehingga yang menjadi dasar
berlakunya hukum internasional adalah anggapan pada hukum internasional itu, yang kemudian muncul
menjadi dua asas: asas pacta sunt servanda dan asas primat hukum internasional.

Hukum internasional mencakup hukum perang dan damai, yang mengatur bagaimana hubungan antara
negara-negara yang sedang berperang maupun sedang menjalin perdamaian. Dalam pergaulan
internasional, diantara negara-negara tersebut terjalin hubungan diplomatik. Sehingga diantara mereka
terjadi saling penempatan wakil diplomatik seperti duta, konsul ataupun atase.

Daftar Pustaka

 Achmad Sanoesi.(1987). Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung:
Tarsito.
 Adani Chazawi.(2005). Sstelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Andi Hamzah.
(1994). Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

 ----------------; (1998). KUHP dan KUHAP. Jakarta: Rineka Cipta

 ----------------; (2006) .Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

 Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 Bachsan Mustafa .(2003) Sistem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: Citra Adiyta Bakti.

 Bambang Pornomo.(1994). Asas-asas hukum Pidana. Jakarta: ghalia Indonesia.

 Boer Mauna. (2005). Hukum Internasional - Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Globalisasi. Bandung. Alumni

 I Wayan Parthiana. (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju

 Hartono Hadisoeprapto. (2000). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty

 Moh. Koesnardi 4 Bintan Saragih.(1988). Ilmu Negara. Jakarta: gaya Media Pratama.

 Moh. Koesnardi 4 Harmaily Ibrahim.(1983). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakrat:
Pusat Studi hukum tata negara FH UI.

 Max Boli Sabon dkk.(1992). Ilmu Negara . Jakarta: Gramedia.

 Riduan Syahrani. (2000). Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung. Alumni.

 Saleh Adiwinata .(1983). Perkembangan Hukum Perdata dan Adat Sejak tahun 1960. Bandung:
Alumni.

 Siti Soetami. (1995). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Eresco.

 Soedjono Dirdjosisworo. (1999) Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada

 Soediman Kartohadiprodjo (1984) Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia

 Sudarto. (1990). Hukum Pidana I. Semarang: FH Undip


 Soerojo Wignjodipoero (1988). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: CV Haji Masagung.

 Sudikno Mertokusumo. (1998). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

 ------------; (1999). Mengenal Hukum. Yogyakarta. Liberty

 Soleman B. Taneko. (1987). Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang.
Bandung: Eresco

 Sugeng Istanto. (1998). Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

 SF. Marbun & Moh Mahfud MD. (1987). Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta:
Liberty

 S. Toto Pandoyo. (Wawasan Nusantara Dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta
Pembangunan Nasional. Jakarta: Bina Aksara.

 Sri Soemantri. (1976). Sistem-sistem Pemerintahan Negara Asean. Bandung: Tarsito

MODUL 6: Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Peradilan di Indonesia

Kegiatan Belajar 1: Macam-macam Badan Peradilan di Indonesia


Rangkuman
Badan-badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung merupakan suatu bagian sebagai pelaku kekuasan
kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan. Badan-badan Peradilan yang dimaksud, yakni badan
peradilan dalam lingkungan peradilan Umum dan badan peradilan dalam lingkungan peradilan khusus.

Lingkungan Peradilan Umum terdiri dari Pengadilan Negeri yang merupakan peradilan tingkat pertama
dan Pengadilan Tinggi merupakan peradilan tingkat banding. Dalam lingkungan Peradilan Umum
dibentuk pengadilan khusus, antara lain: Pengadilan Anak; Pengadilan Niaga; Pengadilan HAM,
Pengadilan Korupsi; Pengadilan Hubungan Industrial, Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum, terdiri dari
Mahkamah Syariah sebagai peradilan tingkat pertama di ibukota kabupaten/Kota dan Mahkamah
syariah sebagai peradilan tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Lingkungan peradilan khusus terdiri dari: Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata usaha
Negara. Dalam lingkungan Peradilan Agama terdiri dari Pengadilan Agama yang merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Dalam
lingkungan Peradilan Agama dibentuk pengadilan khusus sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, yakni Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selanjutnya dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari: Pengadilan Militer; Pengadilan Militer Tinggi;
Pengadilan Utama; dan Pengadilan Pertempuran. Dalam lingkungan Peradilan tata Usaha Negara juga
dibentuk Pengadilan Khusus, yakni Pengadilan Pajak. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri
dari Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara sebagai peradilan tingkat banding. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara juga dibentuk pengadilan
khusus, yakni Pengadilan Pajak.
Pembinaan teknis, organisatoris, administrasi, dan keuangan badan-badan pengadilan tersebut di atas di
bawah Mahkamah Agung, kecuali Pengadilan Pajak pembinaan keuangan di bawah Departemen
Keuangan.

Kegiatan Belajar 2: Kekuasaan Badan-badan Peradilan di Indonesia


Rangkuman
Badan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi) dan badan peradilan khusus
(peradilan Agama, Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) merupakan badan-badan Peradilan di
bawah Mahkamah Agung sebagai bagian dari pelaku kekuasaan kehakiman dalam rangka menegakkan
hukum dan keadilan.

Keempat badan pengadilan tersebut masing-masing mempunyai kekuasaan/wewenang untuk


mengadili, yaitu kekuasaan/kewenangan/ kompetensi Absolut maupun Relatif. Kompetensi absolut,
yaitu wewenang adalah wewenang yang berhubungan dalam memeriksa jenis perkara tertentu secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan yang sama (Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) maupun dalam lingkungan peradilan lain (pengadilan
Negeri dan Pengadilan Agama). Kekuasaan relatif adalah suatu pembagian wewenang suatu pengadilan
yang berkaitan dengan suatu perkara yang dapat diperiksa oleh pengadilan di tempat lain.

Adapun kekuasaan/wewenang badan peradilan Umum adalah memeriksa dan memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara pada umumnya perkara perdata dan perkara pidana. Pengadilan Negeri
berwenang memeriksa, dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, sedang Pengadilan Tinggi
memeriksa dan memutus di tingkat banding. Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi
mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh semua lingkungan peradilan yan berada di bawah Mahkamah Agung.

Kekuasaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum, antara lain; (1).Pengadilan Anak
berwenang memeriksa d, memutus dan menyelesaikan perkara anak nakal; (2) Pengadilan Niaga ,
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban
pembayaran utang, di pengadilan wilayah hukum Debitur; (3) dan perkara lain di bidang perniagaan
yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang; (3) Pengadilan HAM, memeriksa dan memutus
Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan Kemanusiaan; (4) Pengadilan
Korupsi, memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK; (5)
Pengadilan Hubungan Industrial, memeriksa dan memutus (a) di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak; (b) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; (c) di tingkat pertama
mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;(4) di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh satu tempat perusahaan. Wewenang relatif Pengadilan
Hubungan Industrial pada pengadilan yang daerah hukumnya tempat buruh /pekerja bekerja/tempat
perusahaan berada.; (70 Peradilan Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dilakukan oleh
Mahkamah Syariah sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Kekuasan/kewenangan Peradilan Agama, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di


tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, pewarisan, Wasiat,
Hibah, Wakaf, Infak. Shadaqoh dan ekonomi syariah, pada pengadilan yang wilayah hukumnya
kediaman pemohon, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
Kekuasaan badan Peradilan Militer berwenang: (1) mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:(a) prajurit; (b) Yang berdasarkan Undang-
Undang dipersamakan dengan prajurit; (c) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang;(d) seseorang yang tidak
masuk golongan huruf a, huruf b dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan
Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer; (2)
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata; (3)
Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan
dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar
dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan (Undang-Undang No. 31
Tahun 1997, Pasal; 9)

Kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara. Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan khusus dari Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, mempunyai wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.

Daftar Pustaka

 Anonim.(1997). Bahan Pokok Bagi Penyuluhan Hukum. Jakarta: Departemen Kehakiman


Indonesia.
 -----------.( 1998). Undang-Undang Peradilan Umum. Jakarta: Grafindo.

 -------------. (2003). Undang-Undang Peradilan Militer. Bandung: Citra Samodra.

 ------------. ( 2004). Peradilan Umum. Bandung: Fokusmedia..

 -------------. (20050. Undan-Undang No. 37 Tahun 2005 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Fokusmedia.

 -------------. (2006). Kumpulan Lengkap Perundangan HAM. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

 -------------. (2006), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006. Yogyakarta: Citra
Utama.

 Bachsan. (2003). Siostem Hukum Indonesia Terpadu. Bandung: Citra Adya Bakti

 Galang Asmara.(2006). Peradilan Pajak. Bandung: Laks Bang Pressindo

 Hartono Hadisoeprapto. (2003). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

 Lalu Husni. (2005). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri Melalui Pengadilan dan di Luar
Pengadilan. Jakrta: Raja Grafindo Persada.

 Jurnal:

 Ai Yasa Abubakar. (2004). Peradilan Syariat Islam di Aceh: Latar Belakang dan Landasan Hukum.
Jentera Jurnal Hukum Pembaharuan Peradilan. Edisi 2 tahun II Juni 2004. Pembaharuan
Peradilan
MODUL 7: Kekuasaan Kehakiman

Kegiatan Belajar 1: Kekuasaan Kehakiman yang Bebas dan Tidak Memihak


Rangkuman
Indonesia dikatakan sebagai negara hukum, hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan bukan berdasar atas kekuasaan semata-mata. Ini menunjukkan bahwa segala tindakan
harus dilandasi oleh hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Selain itu suatu
negara dikatakan sebagai negara hukum bila mempunyai ciri-ciri antara lain: Adanya pengakuan dan
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan atau
kekuatan lain dan tidak memihak, serta adanya legalitas dalam arti hukum.

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yakni Pasal 24 ayat (1) dan
(2) dan Pasal 25. dan mengalami perubahan setelah Amandemen ke III UUD 1945 pada tanggal 9
November 2001 oleh MPR. Menurut UUD 1945 kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan lain seperti pemerintah maupun badan lain selain pemerintah
sehubungan dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, maka ada beberapa faktor yang
menyebabkan kekuasaan kehakiman dapat bebas dan tidak memihak yakni :
1. Landasan Yuridis tentang Mahkamah Agung.
2. Kualitas dan Integritas Para hakim.
3. Tradisi kehidupan hukum dalam masyarakat.

Mengapa yang disebut faktor yang menyebabkan kekuasaan kehakiman dapat bebas dan tidak memihak
salah satunva adalah landasan yuridis tentang Mahkamah Agung, hal ini karena Mahkamah Agung
merupakan puncak dari proses peradilan yang dilakukan di Indonesia, di mana semua peradilan-
peradilan yang berada di bawahnya bernaung di bawah Mahkamah Agung. Faktor kualitas dan integritas
para hakim sangat penting, karena ini menyangkut hakim dalam mengambil suatu keputusan dan
kemudian tradisi hukum dalam masyarakat yakni bahwa adanya hukum untuk dapat memenuhi
tuntutan rasa keadilan bagi masyarakat.

Kegiatan Belajar 2: Kekuasaan Mengadili


Rangkuman
Kekuasaan mengadili adalah kekuasaan yang dimiliki oleh hakim di peradilan dalam usaha menerima,
memeriksa dan memutus perkara. Berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak pada sidang
pengadilan, menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Ada empat tiang peradilan yang kita kenal menurut Undang-undang No. 14 Tahun 1970 j.o Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 yakni peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Sedangkan jika dilihat dari macam pengadilan, maka dibedakan atas Pengadilan Sipil
dan Militer. Pengadilan Sipil terbagi lagi menjadi Pengadilan Umum dan Khusus. Pengadilan Umum
terdiri dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, sedangkan Pengadilan Khusus
terdiri dari Pengadilan Agama, Adat dan Administrasi Negara. Sedangkan Pengadilan Militer sendiri
terdiri dari Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi dan Pengadilan Tentara Agung.

Pengadilan Negeri adalah suatu pengadilan yang umum atau sehari-hari, yang memeriksa dan memutus
perkara perdata dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk pada pertama. Pengadilan Tinggi
adalah pengadilan banding yang mengadili pada tingkat kedua suatu perkara perdata atau pidana yang
telah diadili atau diputus pada Pengadilan Negeri.

Jika segala upaya hukum telah dilakukan dan belum mencapai hasil yang memuaskan terhadap putusan
Pengadilan Negeri maupun pengadilan Tinggi, maka seseorang dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung merupakan badan peradilan tertinggi dan terakhir di Indonesia di dalam
memutuskan suatu perkara baik perkara perdata maupun perkara pidana.

Kegiatan Belajar 3: Kekuasaan Kehakiman Setelah UUPKK (Undang-Undang Pokok Kekuasaan


Kehakiman) dan KUHAP
Rangkuman
Mengenai kekuasaan kehakiman selain ketentuan dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945, kita juga mengenal
Undang-undang anorganik mengenai kekuasaan kehakiman yang menjadi penjelasan dari berlakunya
UUD 1945 Pasal 24 dan 25 tersebut. Ada tiga UU tentang Kekuasaan Kehakiman yang pernah berlaku di
Indonesia yakni:
1. Undang-undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan
Kejaksaan.
2. Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
4. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung

Dari keempat Undang-undang ini terdapat perbedaan dan persamaan, namun yang perlu dicatat bahwa
ada dua hal pokok yang terdapat dalam ketiga undang-undang tersebut yakni:
1. Kekuasaan Kehakiman yang Bebas.
2. Hak menguji oleh Mahkamah Agung.

Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum.

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka
menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya
pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan
ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan
keadilan.

Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 berwenang untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dan
e. memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Daftar Pustaka

 Adji Seno, Oemar. (1990). Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta: Erlangga
 Kansil, C.S.T. (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

 Lewis, Anthony. (1984). Peranan MA di Amerika Serikat. Jakarta: Pradya Paramita.

 Sagala, B, Budiman. (1982). Praktik Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Ghalia
Indonesia.

 Saleh, Wantjik. K. Budiarto, M. (1981). KUHAP 1981. Jakarta: Ghalia Indonesia.

 Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi (2006), Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi, Jakarta

 Noer, Deliar. (1984). Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Penghidmatan.

 Kusnardi, Moh, & Saragih, Bintan. B. (1978). Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem
UUD 1945. Jakarta: PT. Gramedia

 Musanef. (1993). Sistem Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Masagung.

 Wahyono, Padmo. (1984). Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

 Moehammad, Goenawan. Mengapa Kami Menggugat. Jakarta: Alumni Tempo.

 Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: P & K.

 Media Indonesia. Rabu, 29 Januari 1997.


MODUL 8: Penafsiran, Penggolongan dan Klasifikasi Hukum

Kegiatan Belajar 1: Penafsiran Hukum


Rangkuman
Agar tercipta suatu kepastian hukum. Untuk terciptanya atau kepastian hukum tentu syarat yang paling
utama yang harus dipenuhi adalah adanya hukum atau peraturan perundangan yang mengaturnya
dengan jelas. Peraturan perundangan yang ada terkadang masih ada hal-hal yang sangat penting tetapi
tidak dimuat. Hal tersebut bisa disebabkan oleh dinamika kehidupan masyarakat yang lebih cepat
dibandingkan dengan saat penetapan peraturan perundangan yang bersangkutan. Keadaan seperti ini
mengharuskan Badan-badan Peradilan (Hakim) untuk melakukan tindakan guna mencapai keadilan.
Untuk mencapai ke arah itu tentu hakim dapat melakukan pembentukan hukum, pengisian, kekosongan
hukum, melakukan konstruksi hukum atau harus menafsirkan hukum. Semua itu dilakukan hanya untuk
terciptanya suatu kepastian hukum dalam masyarakat.

Tidak sedikit macam-macam penafsiran hukum yang ada. Hal tersebut tergantung dari para ahli yang
mengemukakan pandangannya.

Hakikat dan penafsiran hukum meliputi: a. penafsiran Tata Bahasa; b. Penafsiran Sahih (Authentic,
Resmi); c. Penafsiran Historis (sejarah hukum dan sejarah undang-undang); d. Penafsiran Sistematis; e.
Penafsiran Nasional; f. Penafsiran Teleologis (Sosiologis); g. Penafsiran Eksekutif; h. Penafsiran Restriktif;
i. Penafsiran Analogis dan J. Penafsiran a. Contrario (Menurut Peringkaran)

Kegiatan Belajar 2: Penggolongan dan Klasifikasi Hukum


Rangkuman
Penggolongan hukum menurut Achmad Sanusi (1977), bahwa hukum dapat digolongkan menurut hal-
hal berikut;
1. Sumber-sumber dan bentuk sumber keberlakuannya;
2. Kepentingan yang diatur atau dilindunginya;
3. Hubungan aturan-aturan hukum itu satu sama lain;
4. Pertaliannya dengan hubungan-hubungan hukum; dan
5. Hal kerjanya berikut pelaksana sanksinya.

Penggolongan ditinjau dari sumber-sumbernya, hukum dapat kita golongkan ke dalam klasifikasi;
1. Hukum undang-undang;
2. Hukum persetujuan;
3. Hukum traktat (perjanjian antar negara);
4. Hukum kebiasaan dan hukum adat;
5. Hukum yurisprudensi; dan
6. Mengingat sumber hukum itu ada yang berbentuk naskah (tertulis) dan ada yang tidak berbentuk
naskah (tidak tertulis).

Hukum tertulis, meliputi hukum undang-undang, hukum perjanjian, hukum traktat. Sedangkan Hukum
tidak tertulis, meliputi hukum kebiasaan dan hukum adat.

Di tinjau dari sudut kepentingan yang diaturnya, hukum dapat digolongkan ke dalam hukum privat dan
hukum publik. Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan orang
perseorangan dan juga kepentingan-kepentingan negara dalam kedudukannya bukan sebagai penguasa.
Hukum publik adalah hukum yang mengatur/melindungi kepentingan-kepentingan negara sebagai
penguasa. Mengikuti susunan tradisional, terdapat penggolongan hukum sebagai berikut:

Hukum Privat meliputi; Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum Privat Internasional; sedangkan

Hukum Publik meliputi; Hukum Tata Negara, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Antar Negara, Hukum
Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata dan Hukum (Acara) Pengadilan Tata Usaha Negara

Pembidangan hukum secara klasik yang sudah dikenal dan senantiasa dianut dalam banyak tata hukum,
terutama di Eropa serta Hindia Belanda dulu meliputi;
1. Hukum Tata Negara (Staatsrecht=Constitusional Law).
2. Hukum Tata Usaha Negara.
3. Hukum Dagang.
4. Hukum Pidana.
5. Hukum Acara Perdata.
6. Hukum Acara Pidana.

Pembidangan secara tradisional. Sedangkan, pembidangan yang didasarkan pada terkodifikasinya


bidang-bidang hukum tersebut meliputi:
1. Hukum Perdata (Privaatrech atau Burgelijkerecht atau Civil Law).
2. Hukum Pidana (Handelsrecht atau Commercial Law.
3. Hukum Pidana (Strafrech atau Criminal Law).
4. Hukum Dagang.
5. Hukum Pidana.
6. Hukum Acara Perdata.
7. Hukum Acara Pidana.

Pembidangan secara tradisional. Sedangkan, pembidangan yang didasarkan pada terkodifikasinya


bidang-bidang hukum tersebut, yaitu:
1. Hukum Perdata (Privaatrech atau Burgerlijkerecht atau Civil Law);
2. Hukum Dagang (Handelsrecht atau Commercial Law);
3. Hukum Pidana (Strafrecht atau Criminal Law);
4. Hukum Acara Pidana (Strafprocessrecht);
5. Hukum Acara Perdata (Burgelijkeprocessrecht);
6. Hukum Tata Usaha Negara (Administratierecht atau Administrative Law).

Awal abad 19 merupakan saat mulai terjadinya perkembangan lapangan-lapangan hukum baru di
banyak negara yang menganut sistem welfare state (negara kesejahteraan). Perkembangan itu
memunculkan lapangan-lapangan hukum baru yang belum dikodifikasikan, di antaranya: 1). Hukum
Agraria, 2). Hukum Asuransi, 3). Hukum Perbankan, 4). Hukum Adat, 5). Hukum Internasional dan 6).
Hukum Perburuhan yang kemudian bernama hukum ketenagakerjaan.

Bidang-bidang hukum baru pada abad ke 20 berefek pada perkembangan hukum yang lebih pesat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan melahirkan bermacam-macam bidang hukum yang makin spesifik,
seperti jenis-jenis hukum tersebut adalah;
1. Hukum korporasi.
2. Hukum Investasi.
3. Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual.
4. Hukum Persaingan usaha.
5. Hukum Perlindungan Konsumen.
6. Hukum Kontrak.
7. Hukum Tentang Perempuan.
8. Hukum tentang Anak.
9. Hukum tentang E-Commerce (Hukum E-Banking dan E-Business.
10. Hukum Pasar Modal.
11. Hukum Pasar Uang; dan lain-lain.

Kategori atau golongan hukum adalah mencakup pengertian-pengertian dasar hukum mengenai subjek
hukum, hubungan hukum dan objek hukum, dan juga akibat hukum. Sedangkan Pengertian hukum :
merupakan konsep-konsep yang digunakan untuk menyampaikan "kehendak" dari aturan hukum.
Termasuk didalamnya antara lain: asas hukum, fakta hukum dan sebagainya.

Daftar Pustaka

 Achmad Sanusi, (1977). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.


 Desril Radjab, dkk. (2005). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

 Moch. Kusnardi, dkk. (1983). Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara UI.

 Kansil C.S.T (2004), Sekitar UUD 1945 Dewasa Ini, Jakarta: Percetakan Negara RI.

 ---------------, (1986). Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka

 Mustafa, Bachsan. (1985). Sistem Hukum Indonesia, Bandung: Remaja Karya

 Satjipto Rahardjo. (1991). Ilmu Hukum Bandung: Citra Aditya Bakti.

 Rusli Effendy dkk. (1991). Teori Hukum,Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

 Sri Harini Dwiyatmi. (2006). Pengantar Hukum Indonesia Bogor: Ghalia Indonesia.

 Surojo Wignyodiputra. (1994). Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Bandung: Alumni.

 C.S.T Kansil. (1983). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

 Van Apeldoorn. (1980). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita

 Udin S Winataputra. (2003). Modul Materi dan Pembelajaran PKN. Pusat Penerbitan Universitas
Terbuka

MODUL 9: Unsur-unsur Bangunan Sistem Hukum di Indonesia


Kegiatan Belajar 1: Pengertian Sistem Hukum
Rangkuman
Sistem adalah seperangkat unsur-unsur yang mempunyai hubungan fungsional secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.

Ada dua sistem hukum besar, yaitu (1) sistem hukum Common Law atau Anglo Saxon dan (2) sistem
hukum Civil Law atau Kontinental. Sistem hukum Common Law adalah suatu sistem hukum yang
didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi
dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia,
Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Quebec) dan Amerika Serikat, walaupun negara bagian
Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistem Eropa Kontinental Napoleon).
Dalam konteks negara kita, Indonesia menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama
yaitu sistem hukum Eropa Kontinental, sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum
syariat Islam.

Kegiatan Belajar 2: Sistem Hukum di Indonesia


Rangkuman
Hukum Positif Indonesia adalah hukum yang berlaku saat ini di Indonesia, hukum positif Indonesia
menurut lapangan hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Sistem hukum Adat dan hukum Kebiasaan. Hukum adat adalah hukum asli masyarakat Indonesia,
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang
lalu.
2. Sistem hukum perdata Eropa, yakni hukum perdata yang diberlakukan di Indonesia oleh Pemerintah
kolonial berdasarkan asas konkordasi. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara
orang yang satu dengan orang yang lain yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
3. Sistem hukum Acara Perdata, yakni hukum yang mengatur tentang tata cara bagaimana tentang
mempertahankan hukum materil. Hukum acara sering disebut juga hukum formal, hukum acara perdata
berarti mengatur tata cara bagaimana mempertahankan hukum perdata, atau merupakan hukum
proses.
4. Sistem hukum Pidana. Hukum pidana adalah serangkaian peraturan yang memuat tentang kejahatan
dan pelanggaran.
5. Sistem hukum acara pidana, yakni hukum acara atau hukum proses atau hukum formal adalah
bagaimana cara mempertahankan hukum pidana materil.
6. Sistem hukum Tata Negara, adalah hukum yang menyangkut organisasi-organisasi kenegaraan yakni
yang menyangkut struktur, wewenang dan tanggung jawab organisasi kenegaraan tersebut.
7. Sistem hukum Administrasi negara, yakni hukum yang merupakan serangkaian peraturan-peraturan
hukum yang mengatur cara bagaimana badan-badan pemerintah melaksanakan tugas pemerintah.

Daftar Pustaka

 Dwiyatni Harini, S. (2006). Pengantar Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.


 Effendy .R, dkk. (1991). Teori Hukum, Ujung Pandang: Hasanudin University Press.

 Mustafa, B. (1984). Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remadja Karya.

 Soekanto, S, dan Purbacaraka, P. (1993). Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
 Apedoorn, Van. L. J. (1985). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.

 http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum.

 Kusnardi. M, Ibrahim. H. (1980). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: FHUI.

 Kansil, C.S.T. (1986.). Pengantar 11mu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.

 Melia, S. Djaja. (1981). Tata Hukum Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: Tarsito.

 Wignyodipuro, Soerojo. R. (1983). Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah


Kemerdekaan. Jakarta: Gunung Agung.

Anda mungkin juga menyukai