Pengertian kejahatan di bidang perbankan berbeda dengan kejahatan perbankan. Kejahatan di bidang perbankan merupakan kejahatan yang terjadi di kalangan dunia perbankan, baik yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan maupun dalam perundang-undangan lainnya. Karakter yang ditampilkan oleh kejahatan ekonomi di bidang perbankan tersebut, merupakan kejahatan tanpa menggunakan kekerasan, seperti pada kejahatan-kejahatan konvensional, naumn dampaknya jauh lebih besar dibandingkan kejahatan konvensional. Pelakunya pun berkembang, semula yang dapat melakukan kejahatan hanyalah manusia, namun dengan adanya temuan dari ilmu hukum (normatif), korporasi diakui sebagai subjek hukum pidana (kecuali dalam Undang-Undang tentang Perbankan). Akibatnya, maka telah menambah perbendaharaan tentang pelaku kejahatan tersebut, yaitu koporasi dianggap dapat melakukan kejahatan. Selain itu, seperti yang dipaparkan oleh Center for Banking Crisis “kejahatan ekonomi di bidang perbankan meliputi pula, antara lain, penyalahgunaan dana BLBI,dan manipulasi data laporan.’’ Padahal jika mengacu pada penjelasan ketentuan pasal 30 undang-undang no.7 tahun 1992 sebagaimana diubah dengan undang-undang no.10 tahun 1998 tentang perbankan, aturan mainnya sudah jelas sehingga apabila konsekuen dengan aturan main itu, maka besar kemungkinan terjadi berbagai penyelewengan yang di lakukan oleh bank akan dapat di hindari. Ini berarti terjadinya krisis berkepanjangan di Indonesia serta berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, yang mengakibatkan pula hancurnya lembaga perbankan, merupakan dampak dari kejahatan di bidang perbankan yang dilakukan oleh bank. Dampak berikutnya yaitu timbulnya korban yang jauh lebih besar dibandingkan dengan korban kejahatan biasa (konvensional).
TP Perbankan Di Tinjau Dari UU 10/1998 Tentang Perbankan
Kejahatan perbankan adalah salah satu kejahatan bisnis yaitu kejahatan yang timbul dari dari praktek praktek bisnis. Bisnis merupakan salah satu aktivitas usaha yang utama dalam menunjang perkembangan ekonomi. Kata bisnis diambil dari bahasa Inggris “bussines” yang berarti kegiatan usaha. Istilah bisnis yang dimaksudkan adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran atau jasa. Dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam resiko tertentu dalam usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan. Begitu juga dengan perbankan yang merupakan kegiatan usaha di bidang jasa yang tujuan utamanya mencari keuntungan. Jadi dapat disimpulkan disini kejahatan perbankan merupakan bagian dari kejahatan bisnis. Dalam hal terjadinya suatu Tindak Pidana Perbankan yang dilakukan oleh orang dalam, terdapat beberapa undang-undang yang dapat diterapkan yaitu: (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan), Pasal 372 (penggelapan dalam jabatan), Pasal 378 (penipuan), Pasal 362 (pencurian), dan lain-lain, maka pasal-pasal KUHP diterapkan biasanya apabila bank menjadi korban dari suatu tindak pidana; (2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diterapkan terhadap kasus-kasus yang menimpa bank pemerintah. Undang-undang ini untuk mempermudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara; (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ketentuan dalam undang- undang ini biasanya diterapkan apabila komisaris, direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan bank (orang dalam) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.
Berkenaan dengan pasal-pasal mengenai tindak pidana perbankan, telah
terjadi perubahan yang cukup signifikan yang terdapt di dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah mengenai pengenaan sanksi yang jauh lebih berat dan ditetapkan minimum dan maksimum dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perbankan.
Tidak semua pasal-pasal dari undang-undang perbankan dapat menjerat
pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka sepanjang tidak diatur oleh Undang- undang ini dapat diterapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti tindak pidana yang berkaitan dengan tindakan pemalsuan dokumen atau warkat, maka dapat diberlakukan ketentuan Pasal 263 atau Pasal 264 KUHP yang mengatur pemalsuan surat, atau penggelapan dapat dikenakan pasal 372 KUHP yang mengatur tentang penggelapan, Pasal 378 (penipuan), Pasal 362 (pencurian).
Penanganan Kredit Bermasalah, bahwa salah satu kejahatan perbankan yang
sering terjadi dan memiliki dampak yang luar biasa sesuai yang tercantum salah satunya di Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan satu kejahatan perbankan yang begitu sering terjadi yaitu adanya kredit bermasalah. Kredit bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang tidak menguntungkan bagi bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya, dan juga terhadap kehidupan ekonomi dan moneter dalam suatu negara.
Melihat dampak yang sedemikian besar terhadap kredit bermasalah, maka
hal tersebut harus segera ditangani. Dalam penanganan kredit bermasalah adalah kecepatan pengembalian biaya yang seminimal mungkin menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam upaya bank mengatasi permasalahan kredit bermasalah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan kredit bermasalah adalah keinginan debitur untuk menyelesaikan kewajiban, tingkat kerja sama dan keterbukaan debitur, kemampuan financial debitur, sumber pengembalian pinjaman, prospek usaha debitur, mudah tidaknya menjual jaminan, kelengkapan dokumentasi jaminan, ada tidaknya tambahan jaminan baru, sengketa tidaknya jaminan, dan ada tidaknya sumber pembayaran dari usaha lain.
Penyelesaian kredit melalui institusi hukum dapat dilakukan melalui
pendekatan litigasi (jalur pengadilan) dan pendekatan nonlitigasi (di luar pengadilan). Pendekatan litigasi akan menyerap biaya yang cukup besar serta memakan waktu yang cukup lama karena adanya proses hukum. Sedangkan pendekatan nonlitigasi menyerap biaya yang relative lebih kecil serta memakan waktu yang relative lebih singkat. Upaya penyelesaian nonlitigasi dapat ditempuh melalui proses mediasi yang akhir-akhir ini sedang dikampanyekan oleh Bank Indonesia dan sedang banyak digunakan oleh bank dalam menyelesaikan sengketa terhadap nasabahnya.
TP Perbankan dalam KUHP Indonesia
Tindak pidana perbankan merupakan perbuatan pidana dengan menggunakan lembaga bank sebagai sarana dan atau lembaga bank sebagai objeknya. Tindak pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana korporasi. Bahan hukum primer yang digunakan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Menurut UU No 10 Tahun 1998, tindak pidana di bidang perbankan terdiri dari tiga belas (13) macam. Dari ketiga belas macam tindak pidana di bidang perbankan tersebut, dikelompokkan menjadi, yaitu: 1). Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, 2). Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, 3). Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank, 4). Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan oleh pengurus, pegawai, pihak terafilisiasi, dan pemegang saham bank. Berdasarkan UU 10 Tahun 1998, korporasi bukan merupakan subjek hukum pidana. Ini berarti jika terjadi tindak pidana di bidang perbankan, bank sebagai korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Konsep Undang- Undang Perbankan sejalan dengan konsep KUHP yang belum mengenal korporasi sebagai subjek hukum pidana. UU Perbankan dapat digolongkan ke dalam peraturan perundang-undangan bidang hukum administratif yang memuat sanksi pidana. Namun UU Perbankan tidak berdiri sendiri dalam penyelesaian masalah tindak pidana perbankan, lantaran ruang lingkup tindak pidana perbankan yang cukup luas. Tidak hanya mencakup tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh orang dalam bank, namun juga termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang- orang di luar bank, yang memiliki keterkaitan yang erat dengan industri perbankan. Peraturan perundang - undangan tersebut bersifat khusus, yang di dalam ketentuannya dapat menjadi rujukan terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan tindak pidana perbankan. undang-undang yang menyokong UU Perbankan dalam menghadapi masalah kejahatan perbankan adalah UU No 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang ini telah mengadopsi konsep pertanggungjawaban hukum korporasi sehingga dimungkinkan bank dapat dipidanakan, dengan syarat suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.
Ekonomi makro menjadi sederhana, berinvestasi dengan menafsirkan pasar keuangan: Cara membaca dan memahami pasar keuangan agar dapat berinvestasi secara sadar berkat data yang disediakan oleh ekonomi makro