Anda di halaman 1dari 6

Nama : Asti Noviani

Nim : 1312000246 (Genap)

Kelas : TPE - D

 Dampak Kejahatan Ekonomi Di Bidang Perbankan


Pengertian kejahatan di bidang perbankan berbeda dengan kejahatan
perbankan. Kejahatan di bidang perbankan merupakan kejahatan yang terjadi di
kalangan dunia perbankan, baik yang diatur dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan maupun dalam perundang-undangan lainnya.
Karakter yang ditampilkan oleh kejahatan ekonomi di bidang perbankan
tersebut, merupakan kejahatan tanpa menggunakan kekerasan, seperti pada
kejahatan-kejahatan konvensional, naumn dampaknya jauh lebih besar
dibandingkan kejahatan konvensional. Pelakunya pun berkembang, semula
yang dapat melakukan kejahatan hanyalah manusia, namun dengan adanya
temuan dari ilmu hukum (normatif), korporasi diakui sebagai subjek hukum
pidana (kecuali dalam Undang-Undang tentang Perbankan). Akibatnya, maka
telah menambah perbendaharaan tentang pelaku kejahatan tersebut, yaitu
koporasi dianggap dapat melakukan kejahatan.
Selain itu, seperti yang dipaparkan oleh Center for Banking Crisis
“kejahatan ekonomi di bidang perbankan meliputi pula, antara lain,
penyalahgunaan dana BLBI,dan manipulasi data laporan.’’ Padahal jika
mengacu pada penjelasan ketentuan pasal 30 undang-undang no.7 tahun 1992
sebagaimana diubah dengan undang-undang no.10 tahun 1998 tentang
perbankan, aturan mainnya sudah jelas sehingga apabila konsekuen dengan
aturan main itu, maka besar kemungkinan terjadi berbagai penyelewengan yang
di lakukan oleh bank akan dapat di hindari.
Ini berarti terjadinya krisis berkepanjangan di Indonesia serta berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan, yang mengakibatkan
pula hancurnya lembaga perbankan, merupakan dampak dari kejahatan di
bidang perbankan yang dilakukan oleh bank. Dampak berikutnya yaitu
timbulnya korban yang jauh lebih besar dibandingkan dengan korban kejahatan
biasa (konvensional).

 TP Perbankan Di Tinjau Dari UU 10/1998 Tentang Perbankan


Kejahatan perbankan adalah salah satu kejahatan bisnis yaitu kejahatan yang
timbul dari dari praktek praktek bisnis. Bisnis merupakan salah satu aktivitas
usaha yang utama dalam menunjang perkembangan ekonomi. Kata bisnis
diambil dari bahasa Inggris “bussines” yang berarti kegiatan usaha. Istilah
bisnis yang dimaksudkan adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri
atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran atau jasa.
Dengan menempatkan uang dari para entrepreneur dalam resiko tertentu dalam
usaha tertentu dengan motif untuk mendapatkan keuntungan. Begitu juga
dengan perbankan yang merupakan kegiatan usaha di bidang jasa yang tujuan
utamanya mencari keuntungan. Jadi dapat disimpulkan disini kejahatan
perbankan merupakan bagian dari kejahatan bisnis.
Dalam hal terjadinya suatu Tindak Pidana Perbankan yang dilakukan oleh
orang dalam, terdapat beberapa undang-undang yang dapat diterapkan yaitu:
(1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ketentuan KUHP yang biasa
dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan), Pasal 372 (penggelapan dalam
jabatan), Pasal 378 (penipuan), Pasal 362 (pencurian), dan lain-lain, maka
pasal-pasal KUHP diterapkan biasanya apabila bank menjadi korban dari
suatu tindak pidana;
(2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diterapkan terhadap
kasus-kasus yang menimpa bank pemerintah. Undang-undang ini untuk
mempermudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan
memperoleh uang pengganti atas kerugian negara;
(3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ketentuan dalam undang-
undang ini biasanya diterapkan apabila komisaris, direksi, Pegawai dan
pihak terafiliasi dengan bank (orang dalam) atau orang yang mengaku
menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.

Berkenaan dengan pasal-pasal mengenai tindak pidana perbankan, telah


terjadi perubahan yang cukup signifikan yang terdapt di dalam Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan adalah mengenai pengenaan sanksi yang jauh lebih
berat dan ditetapkan minimum dan maksimum dalam hal terjadi tindak pidana
di bidang perbankan.

Tidak semua pasal-pasal dari undang-undang perbankan dapat menjerat


pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan, maka sepanjang tidak diatur oleh Undang-
undang ini dapat diterapkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
seperti tindak pidana yang berkaitan dengan tindakan pemalsuan dokumen atau
warkat, maka dapat diberlakukan ketentuan Pasal 263 atau Pasal 264 KUHP
yang mengatur pemalsuan surat, atau penggelapan dapat dikenakan pasal 372
KUHP yang mengatur tentang penggelapan, Pasal 378 (penipuan), Pasal 362
(pencurian).

Penanganan Kredit Bermasalah, bahwa salah satu kejahatan perbankan yang


sering terjadi dan memiliki dampak yang luar biasa sesuai yang tercantum
salah satunya di Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan satu kejahatan
perbankan yang begitu sering terjadi yaitu adanya kredit bermasalah. Kredit
bermasalah dalam jumlah besar dapat mendatangkan dampak yang tidak
menguntungkan bagi bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya,
dan juga terhadap kehidupan ekonomi dan moneter dalam suatu negara.

Melihat dampak yang sedemikian besar terhadap kredit bermasalah, maka


hal tersebut harus segera ditangani. Dalam penanganan kredit bermasalah
adalah kecepatan pengembalian biaya yang seminimal mungkin menjadi bagian
yang tidak dapat terpisahkan dalam upaya bank mengatasi permasalahan kredit
bermasalah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan kredit
bermasalah adalah keinginan debitur untuk menyelesaikan kewajiban, tingkat
kerja sama dan keterbukaan debitur, kemampuan financial debitur, sumber
pengembalian pinjaman, prospek usaha debitur, mudah tidaknya menjual
jaminan, kelengkapan dokumentasi jaminan, ada tidaknya tambahan jaminan
baru, sengketa tidaknya jaminan, dan ada tidaknya sumber pembayaran dari
usaha lain.

Penyelesaian kredit melalui institusi hukum dapat dilakukan melalui


pendekatan litigasi (jalur pengadilan) dan pendekatan nonlitigasi (di luar
pengadilan). Pendekatan litigasi akan menyerap biaya yang cukup besar serta
memakan waktu yang cukup lama karena adanya proses hukum. Sedangkan
pendekatan nonlitigasi menyerap biaya yang relative lebih kecil serta memakan
waktu yang relative lebih singkat. Upaya penyelesaian nonlitigasi dapat
ditempuh melalui proses mediasi yang akhir-akhir ini sedang dikampanyekan
oleh Bank Indonesia dan sedang banyak digunakan oleh bank dalam
menyelesaikan sengketa terhadap nasabahnya.

 TP Perbankan dalam KUHP Indonesia


Tindak pidana perbankan merupakan perbuatan pidana dengan menggunakan
lembaga bank sebagai sarana dan atau lembaga bank sebagai objeknya. Tindak
pidana perbankan termasuk dalam tindak pidana korporasi. Bahan hukum primer
yang digunakan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992. Menurut UU No 10 Tahun 1998, tindak pidana di bidang perbankan terdiri
dari tiga belas (13) macam. Dari ketiga belas macam tindak pidana di bidang
perbankan tersebut, dikelompokkan menjadi, yaitu:
1). Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan,
2). Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank,
3). Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank,
4). Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan
oleh pengurus, pegawai, pihak terafilisiasi, dan pemegang saham bank.
Berdasarkan UU 10 Tahun 1998, korporasi bukan merupakan subjek hukum
pidana. Ini berarti jika terjadi tindak pidana di bidang perbankan, bank sebagai
korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Konsep Undang-
Undang Perbankan sejalan dengan konsep KUHP yang belum mengenal korporasi
sebagai subjek hukum pidana. UU Perbankan dapat digolongkan ke dalam
peraturan perundang-undangan bidang hukum administratif yang memuat sanksi
pidana. Namun UU Perbankan tidak berdiri sendiri dalam penyelesaian masalah
tindak pidana perbankan, lantaran ruang lingkup tindak pidana perbankan yang
cukup luas. Tidak hanya mencakup tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh
orang dalam bank, namun juga termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-
orang di luar bank, yang memiliki keterkaitan yang erat dengan industri perbankan.
Peraturan perundang - undangan tersebut bersifat khusus, yang di dalam
ketentuannya dapat menjadi rujukan terhadap masalah-masalah yang berhubungan
dengan tindak pidana perbankan. undang-undang yang menyokong UU Perbankan
dalam menghadapi masalah kejahatan perbankan adalah UU No 25 Tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-undang ini telah mengadopsi
konsep pertanggungjawaban hukum korporasi sehingga dimungkinkan bank dapat
dipidanakan, dengan syarat suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban
pidana.

Anda mungkin juga menyukai