Anda di halaman 1dari 27

KELOMPOK 1

TINDAK PIDANA PERBANKAN YANG BERKAITAN DENGAN PERIZINAN

PRESENTED BY;
1. NONI FADILLAH (1840050192)
2. REINHOLD HIFALDO (1940050125)
3. LORENSIUS LUMBANTORUAN (1940050002)
4. RAJA DAULAT BATAM (1840050118)
5. YOSAFAT ANDRIAN SINAGA (1940050112)
6. ROBERTO VAILDO (1940050004)
7. MICHAEL MAULITUS (1940050125)
8. NICO DEMUS (1840050134)
9. JUAL MIKEL (1840050062)
10. JONATHAN GOMGOM (1940050120)
11. JULIANA BERNADETA (1640050075)
DEFINISI
 Tindak pidana di bidang perbankan adalah setiap
perbuatan yang melanggar ketentuan yang diatur dalam
UU Perbankan maupun yang terdapat dalam ketentuan
pidana umum ataupun dalam tindak pidana khusus lainnya
yang terkait dengan tindak pidana di bidang perbankan.
 Tindak pidana di bidang perbankan dapat digolongkan
sebagai tindak pidana khusus.
PENERAPAN PASAL DALAM TINDAK
PIDANA PERBANKAN

 UU BANK (UU NO 10 TAHUN


1998 PERUBAHAN ATAS UU  TINDAK PIDANA MODUS
NO 7 TAHUN 1992) BANK (PASAL 372, 378, 263,
 UU BANK SYARIAH (UU NO 374 KUHP)
21 TAHUN 2008)
Penyempurnaan Pengaturan Tindak Pidana dalam UU Nomor
10 tahun 1998

1. Terdapat 13 macam tindak pidana, dimana dalam UU Perbankan


sebelumnya hanya ada 11 macam tindak pidana
2. Ada batasan minimum dan maksimum mengenai ancaman
pidana penjara dan denda, dimana dalam UU perbankan
sebelumnya hanya ada batasan maksimum dan tidak ada batasan
minimum
3. Adanya peningkatan jumlah maksimum ancaman pengenaan
denda menjadi paling tinggi Rp. 200 milliar, dimana sebelumnya
paling tinggi adalah Rp. 10 milliar
Pengelompokan Ketentuan Tindak Pidana di Bidang
Perbankan dalam UU Perbankan

• Tindak pidana berkaitan dengan perizinan (pasal 46)


• Tindak pidana berkaitan dengan rahasia Bank (pasal 47,
47a)
• Tindak pidana berkaitan dengan pengawasan Bank (pasal
48)
• Tindak pidana berkaitan dengan kegiatan usaha (pasal 49)
• Tindak pidana berkaitan dengan pihak terafiliasi (pasal
50, 50a)
TINDAK PIDANA DI BIDANG PERBANKAN
 Ruang Lingkup

 UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan


 UU No.10/1998 (UUP) dan
 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UUPS)

1. Tindak Pidana Perizinan (Ps 46 UUP, Ps 59 UUPS)


2. Tindak Pidana Rahasia Bank (Ps 47, Ps 60 UUPS)
3. Tindak Pidana Pembukaan Rahasia Bank (Ps 47A UUP, Ps 61 UUPS)
4. Tindak Pidana Pengawasan Bank (Ps 48 UUP, Ps 62 UUPS)
5. Tindak Pidana Pencatatan Palsu, Suap, Prinsip Kehati-hatian (Ps 49 UUP, Ps 63 UUPS)
6. Tindak Pidana Ketaatan Terhadap Ketentuan (Ps 50 UUP, Ps 64, Ps 66 UUPS)
7. Tindak Pidana Pemegang Saham (Ps 50A UUP, Ps 65UUPS)
Tindak Pidana Berkaitan dengan Perizinan
 LATAR BELAKANG :
• Keharusan adanya izin Pimpinan BI bagi kegiatan penghimpunan dana
masyarakat, kecuali ditentukan lain dalam perundang-undangan lainnya.
• Kegiatan menghimpun dana pada dasarnya harus diawasi, mengingat
dalam kegiatan tersebut terkait kepentingan masyarakat yang dananya
• disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut.
 PELAKU :
• Siapa-pun, bisa individu maupun badan hukum
Dasar Hukum lainnya terkait Tindak pidana Bank

 KUHP, seperti pemalsuan (Ps 263 & 264), pencurian (Ps


362 & 363), penggelapan (Ps 372 & 374), penipuan (Ps 378)
 Pelanggaran UU No.31/1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
UU No.20/2001
 Pelanggaran UU No.15/2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU
No.25/2003
Tindak Pidana Perizinan
 Ps. 16 UU Perbankan : “Setiap pihak yang
melakukan kegiatan menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum
atau BPR dari Pimpinan BI, kecuali apabila kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur
dengan undang-undang tersendiri”
 Bank sebagai suatu badan usaha yang
mempunyai kegiatan usaha menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkannya
kembali kepada masyarakat dalam berbagai
bentuknya, sudah tentu membutuhkan
persyaratan dalam melaksanakan kegiatan
usahanya. Ini sangat penting untuk
melindungi kepentingan masyarakat,
terutama terhadap nasabah penyimpan dan
 simpanannya. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
(UU Perbankan) mengatur mengenai perizinan untuk menjalankan kegiatan
usaha dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1), (2), (3). Dalam ketentuan Pasal 16
ayat (1) UU Perbankan terkandung arti bahwa kegiatan menghimpun dana
dari masyarakat oleh siapa pun pada dasarnya merupakan kegiatan yang
perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan
masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana
tersebut. Sehubungan dengan itu dalam Pasal 16 ayat (1) ditegaskan bahwa
kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya
dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank
Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat, atau bentuk lain dari lembaga
bank yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat, yaitu
Perbankan Syariah baik Bank Syariah, Unit Pembiayaan Rakyat Syariah atau
Unit Usaha Syariah sebagaimana yang telah diatur dalam Undang Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU No. 21/2008).
 Terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam
simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun, atau
oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup
sebagai kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU
Perbankan, namun diatur dengan undang-undang tersendiri.Dari ketentuan
Pasal 16 ayat (2) dapat dikemukakan bahwa dalam hal memberikan izin usaha
sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain
memperhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini, juga wajib memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank,
tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan
pembangunan ekonomi nasional.14 Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1),
dan ayat (2), maka berhubungan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU
Perbankan dapat dikemukakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia memuat antara lain adalah: 1)persyaratan untuk menjadi
pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di bidang perbankan dan
konduite yang baik; 2) larangan adanya hubungan keluarga di antara pengurus
bank; 3) modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat; 4) batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan; 5)
kelayakan rencana kerja; 6) batas waktu pemberian izin pendirian bank
 Undang-Undang Perbankan membedakan secara
tegas bentuk hukum untuk Bank Umum, bentuk
hukum untuk Bank Perkreditan Rakyat, bentuk
hukum untuk Bank Syariah, dan bentuk hukum
dari kantor perwakilan dan kantor cabang yang
berkedudukan di luar negeri.Dalam Pasal 21 ayat
(1) UU Perbankan, Bank Umum memiliki tiga
bentuk hukum, yaitu perseroan terbatas, koperasi,
dan perusahaan daerah, untuk Bank Perkreditan
Rakyat yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) bentuk
hukumnya adalah perusahaan daerah, koperasi,
perseroan terbatas, dan bentuk lain yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
 Sedangkan bentuk hukum dari Bank Syariah adalah perseroan
terbatas sebagaimana ketentuan Pasal 2 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Perbankan Syariah.
Dan bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang
yang berkedudukan di luar negeri adalah mengikuti bentuk
hukum kantor pusatnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal
21 ayat (3) UU Perbankan. Ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU
Perbankan menyatakan bahwa Bank Umum hanya dapat
didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia, warga negara Indonesia dan/atau badan hukum
Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum
asing secara kemitraan. Kemudian Pasal 22 ayat (2)
menentukan bahwa ketentuan mengenai persyaratan
pendirian bank yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia
 Ketentuan mengenai pendirian Bank Umum di atas, tidak berlaku bagi
pendirian Bank Perkreditan Rakyat. Untuk pendirian Bank Perkreditan Rakyat
berlaku ketentuan sendiri yang sedikit berbeda dengan pendirian Bank
Umum. Menurut Pasal 23 UU Perbankan, Bank Perkreditan Rakyat hanya
dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum
Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah
daerah, atau dapat memiliki bersama ketiganya. Berbeda lagi ketentuan
mengenai pendirian Bank Syariah, ketentuan pendirian bank syariah dalam
Pasal 16 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009
menyatakan bahwa selain dapat didirikan oleh warga negara Indonesia
dan/atau badan hukum Indonesia; warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing
secara kemitraan, Bank Syariah dapat dimiliki oleh pemerintah daerah.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 16 ayat (2) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/3/PBI/2009 tertera ketentuan kepemilikan oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b paling banyak sebesar 99% dari modal disetor Bank.
Penyalahgunaan Perizinan dalam Bank
Perkreditan Rakyat
 Ketentuan larangan melakukan kegiatan usaha menghimpun dana
dari masyarakat dalam lingkup Bank Perkreditan Rakyat tidak
memiliki perbedaan prinsipiil terhadap pengaturan perizinan
melakukan usaha sebagai Bank Umum. Selain tunduk pada
ketentuan Pasal 16 dan Pasal 46 UU Perbankan kegiatan
menghimpun dana dalam lingkup usaha Bank Perkreditan Rakyat
juga tunduk pada ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/26/PBI/2006. Hanya saja produk perbankan yang dikeluarkan
sebagai sarana penghimpun dana dari masyarakatoleh Bank
Perkreditan Rakyat berbeda dengan produk perbankan yang
dikeluarkanoleh Bank Umum. dalam hal ini Pasal 13 UU Perbankan
memberikan ketentuan bahwa Bank Perkreditan Rakyat melakukan
usaha menghimpun dana dari masyarakat hanya dalam bentuk
simpanan berupa deposito berjangka dan tabungan.
Penyalahgunaan Perizinan dalam
Bank Syariah
 Perkembangan Perbankan Syariah dimulai
pada dekade 1960 di Timur Tengah. Namun
aktivitas lembaga keuangan dengan prinsip
dasar syariah telah dilaksanakan sejak awal
perkembangan Islam di dunia, dibuktikan
dengan adanya transaksi-transaksi berupa
pemberian pinjaman, penyimpanan uang
(deposito), dan tukar-menukar uang (money
changer) yang
 semuanya merupakan bentuk dari transaksi modern saat ini. Di
Indonesia, perkembangan perbankan syariah mulai giat pada lebih dari
10 tahun terakhir. Perkembangan yang sangat baik dari sisi pembiayaan
yang diberikan, penghimpunan dana, kinerja serta pengembangan infra
struktur perbankan syariah secara nasional. Hal tersebut tidak dapat
dilepaskan dari peran pemerintah khususnya perhatian terhadap UU No.
21/2008 di Indonesia.22 Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan
penghimpunan dan menerima dana dari masyarakat dalam tiga jenis
simpanan dan juga berupa pinjaman dari lembaga keuangan yang
kegiatan operasionalnya berdasarkan syariah, yaitu: 1) Giro yang sesuai
dengan prinsip al_ wadiah23. Giro berdasarkan prinsip al-wadiah
dimaksudkan bank dapat menggunakan dana yang berasal dari giro
dengan atau tanpa izin dari nasabah untuk membiayai kegiatan operasi
bank; 2) Tabungan dalam perbankan syariah menggunakan prinsip yang
sama seperti yang dijalankan oleh perbankan konvensional, atau dapat
pula menggunakan prinsip al wadiah dan al-mudharabah; 3) Deposito
berjangka yang sesuai dengan prinsip al mudharabah , yaitu para
deposan diberikan imbalan atas dasar pembagian keuntungan begitu
juga apabila terjadi kerugian.
 Dalam masyarakat sering juga kita temui kegiatan menghimpun dana
yang dilakukan oleh perorangan atas nama orang itu sendiri tanpa
melibatkan suatu instansi lembaga perbankan atau lembaga lain
yang dalam anggaran dasar pendiriannya memang mencantumkan
kegiatan menghimpun dana dari masyarakat (berdasarkan ketentuan
dalam undang-undang yang mengatur masing-masing lembaga
penghinpun dana non bank) sebagai salah satu bentuk usaha yang
dilakukan. Dengan pembatasan apabila kegiatan menghimpun dana
dilakukan dalam bentuk simpanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 UU Perbankan maka kegiatan menghimpun dana tersebut
tunduk pada Undang Undang Perbankan. Sedangkan apabila dana
yang dihimpun melalui kegiatan penghimpunan dana di luar
pengaturan UU Perbankan dihimpun melalui instrumen yang juga
diatur di luar UU Perbankan, maka ketentuan pengaturan tunduk
kepada peraturan sebagaimana dimaksud.
Contoh kasus tindak perizinan
perbankan
 Sebagai contoh, dalam putusan Pengadilan Negeri Kupang perkara
pidana register Nomor 237/Pid.B/2015/PN.Kpg tanggal 6 November
2015, Jaksa Penuntut mendakwa Tersangka telah “Menghimpun Dana
dari Masyarakat dalam Bentuk Simpanan Tanpa Ijin Usaha dari
Pimpinan Bank Indonesia yang Dilakukan Secara Bersama-Sama”
sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) UU RI
No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
 Atas tuntutan jaksa, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar
putusan sebagai berikut:
 “Menimbang, bahwa untuk pembuktian unsur-unsur 46 ayat (1) jo
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan Kesatu
tersebut harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
 1. Unsur Barang Siapa;
 2. Unsur Menghimpun Dana dari Masyarakat dalam Bentuk Simpanan;
 3. Unsur Tanpa Ijin Usaha dari Pimpinan Bank Indonesia;
 4. Unsur “melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan”;
 “Menimbang bahwa yang dimaksud dengan Simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk
lainnya yang dipersamakan dengan itu sebagaimana dalam Bab 1 Pasal 1 angka
5 Undang-Undang RI No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
 “Menimbang bahwa yang dimaksud dengan Tabungan adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati,
tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang
dipersamakan dengan itu, sebagaimana dalam Bab 1 Pasal 1 angka 9 Undang-
Undang RI No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan;
 “Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan dapat
diperoleh fakta-fakta sebagai berikut ;
 - Bahwa benar terdakwa membentuk sebuah lembaga keuangan mikro dengan nama Lembaga
Kredit Finansial (LKF) MITRA TIARA, kemudian terdakwa mengurus Surat Ijin Tempat Usaha,
kemudian menjalankan usaha dengan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpan
pinjam;
 - Terdakwa pada Tahun 2008 sesuai inisiatif terdakwa dan saksi PETRUS TALU HURIN
mendirikan Lembaga keuangan Mikro dengan langkah awal terdakwa mengurus akte pendirian
pada tahun 2008, setelah mendapatkan AKTA pendirian terdakwa mengurus Surat Ijin tempat
Usaha di Bagian Ekonomi Kab. Flores Timur tahun 2008 juga dan setelah Akta Notaris dan SITU
terbit terdakwa dan saksi PETRUS TALU HURIN merekrut saksi YOHAKIM REGI HERA dan bertiga
mulai menyusun konsep kerja;
 - Bahwa benar pada saat itu terdakwa mencari nasabah awal dengan cara mendatangi keluarga
dan pada bulan mei—juni 2008 terdakwa sudah mendapatkan nasabah sekitar belasan orang
dengan simpanan terbesar saat itu sebesar Rp 15.000.000 dan saat itu isteri terdakwa atas
nama saksi MARIA BERNADETE BUDI GAPUN yang biasa dipanggil MEI juga menjadi nasabah
awal, saat itu terdakwa sebagai ketua dan saksi PETRUS TALU HURIN sebagai anggota;
 - Bahwa untuk menarik anggota masyarakat supaya menjadi nasabah dan menyimpan uang miliknya di
Lembaga Kredit Finansial (LKF) Mitra Tiara maka terdakwa NIKOLAUS LADI, SH., MM membuat brosur lalu
membagi-bagikan kepada anggota masyarakat dengan jalan dititipkan kepada para calon nasabah serta
diletakkan di kantor Lembaga Kredit Finansial (LKF) Mitra Tiara supaya siapa saja bisa mengambilnya,
dalam brosur yang dibagikan tersebut dijelaskan bahwa “tabungan simpanan yang dikelola adalah jenis
tabungan yang diperuntukan bagi semua kalangan seperti Pegawai Negeri Sipil, Swasta, Petani, Nelayan
dengan bunga yang tinggi yaitu 10% perbulan dan didampingi oleh Lembaga Pemberdaya.”
 “Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dan dikaitkan dengan pengertian simpanan
dan tabungan sebagaimana dalam bab I Pasal 1 Ketentuan Umum dalam Undang-Undang RI No. 10 tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maka didapat
kesesuaian bahwa lembaga yang dibentuk oleh terdakwa yaitu LKF Mitra Tiara bergerak dalam
bidang jasa keuangan dimana lembaga yang dibentuk terdakwa ada menerima nasabah untuk menyimpan
uangnya di lembaga LKF Mitra Tiara dengan janji akan memberikan bunga 10% dari simpanan yang
disimpan sehingga masyarakat disekitar wilayah larantuka dan sekitarnya menyimpan dana ke LKF Mitra
Tiara dan jumlah nasabah sekitar 16 ribu sehingga dengan demikian menurut Majelis Hakim Unsur
Menghimpun Dana dari Masyarakat dalam Bentuk Simpanan telah terpenuhi;
 “Bahwa benar LKF Mitra Tiara berjalan sejak tahun 2008 s/d bulan desember 2013 dan terdakwa juga
tahu ijin yang harus dimiliki oleh terdakwa yaitu Ijin Oprasional berupa Ijin dari Bank Indonesia dan
Lembaga Penjamin Simpanan namun kedua ijin tersebut tidak dimiliki oleh terdakwa dalam
menjalankan kegiatan LKF Mitra Tiara.
 “Bahwa unsur Pasal 16 ayat (1) UU No. 7 tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 10 tahun 1998 yaitu, setiap pihak
 yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu
memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali
apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-Undang tersendiri;
 “Bahwa yang dimaksud dengan pengecualian dalam penjelasan Pasal 16 UU Perbankan disebutkan bahwa di masyarakat
terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan atau semacam simpanan misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan
asuransi. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha Perbankan berdasarkan ketentuan
dalam ayat ini. Kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut diatur
dengan Undang-undang tersendiri;
 Bahwa kegiatan Lembaga Kredit Finansial (LKF) Mitra Tiara tersebut memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 Ayat (1) dan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang perbankan tersebut termasuk dalam kegiatan menghimpun dana
sebagaimana di maksud dalam Pasal 16 Ayat (1) undang-undang perbankan;
 “Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, bahwa terdakwa membentuk lembaga kredit financial
(LKF) Mitra Tiara dimana lembaga ini mempunyai kegiatan menghimpun dana dari masyarakat tapi tidak mempunyai
ijin dari Instansi yang berwenang dalam hal ini Bank Indonesia;
 “Menimbang bahwa sebagaimana diatur dalam Pasal 16 angka 1. UU RI No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa ‘Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau
Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat
dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.’
 “Menimbang bahwa dalam hal ini terdakwa dan saksi-saksi yang memberikan keterangan dipersidangan menyatakan
bahwa LKF Mitra Tiara tidak mempunyai ijin untuk menghimpun dana dari masyarakat dimana LKF Mitra Tiara hanya
mempunyai akta Pendirian dari Notaris dan surat izin tempat usaha dari Pemerintah Daerah Setempat, padahal dana
yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk tabungan sebesar Rp 94.719.721.137,- dana tersebut merupakan jumlah
setoran pokok dan setoran bunga tabungan nasabah yang di setor lagi atau di perhitungkan sebagai tambahan setoran
tabungan bagi nasabah penabung. Dari total dana tersebut telah ditarik oleh nasabah sebesar Rp 32.860.638.733,-
sehingga sisa saldo tabungan nasabah menjadi sebesar Rp 61.869.082.404,-.
 “Menimbang bahwa berdasarkan hal tersebut diatas maka menurut Majelis
hakim Unsur Tanpa Ijin Usaha dari Pimpinan Bank Indonesia telah terpenuhi;
 “Menimbang, bahwa dari uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat
Terdakwa dapat dikualifikasikan sebagai orang yang “menyuruh melakukan”
dalam arti kata “bersama-sama melakukan” , karena memenuhi syarat yaitu
sedikitnya harus ada 2 (dua) orang pelaku serta harus dipenuhi 2 (dua) unsur
yaitu :
 a. ada persamaan niat artinya antara pelaku yang satu dengan pelaku yang
lain harus ada satu kerjasama yang diinsyafi (bewuste samenwerking);
 b. ada persamaan dalam perbuatan atau para pelaku bersama-sama telah
melaksanakan niat tersebut (gezemenlijke uitvoering);
 “Dengan demikian unsur melakukan, menyuruh melakukan dan turut serta
melakukan dalam pengertian bersama-sama melakukan terpenuhi dalam diri
terdakwa;
Kesimpulan
 Landasan yuridis pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana
perizinan di bidang perbankan diatur dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat
(2) UU Perbankan. Mengenai pengaturan perizinan Bank Umum, Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Syariah diatur dalam peraturan tersendiri,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum,
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank
Perkreditan Rakyat, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/3/PBI/2009
tentang Bank Umum Syariah. Mekanisme pengenaan sanksi yang
diberikan oleh UU Perbankan terhadap pelanggar ketentuan perizinan
bank tersebut menunjukkan peran penting sarana penal dalam
penegakan ketentuan perizinan pendirian bank, baik secara langsung
sebagai sarana represif atau secara tidak langsung untuk dimaksudkan
sebagai sarana preventif. Hal ini merupakan konsekuensi atas
diterapkannya penalisasi dalam lingkup perizinan yaitu perubahan
sanksi administrasi menjadi sanksi pidana karena sanksi administrasi
tersebut melanggar kepentingan umum.
SEKIAN & TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai