Anda di halaman 1dari 9

a) pengertian dan istilah tindak pidana perbankan

Pengertian dari tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh satu peraturan hukum,
larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut, dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana, adalah suatu perbuatan yang
oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan
ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditujukan yang ditimbulkan
oleh kelakuan orang). Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang melakukannya
(Moeljatno, 1983:63).
Berdasarkan rumusan tindak pidana yang dirumuskan oleh Moeljatno ini tindak pidana
mengandung unsur-unsur,yaitu:
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum);
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar).
Berdasarkan hal tersebut diatas, bisa disimpulkan bahwa terdapat dua istilah yang seringkali
dipakai secara bergantian walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah
“Tindak Pidana Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan”. Yang pertama
mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata dilakukan oleh bank atau orang bank,
sedangkan yang kedua tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup tindak
pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank atau keduanya.
Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk menampung segala jenis
perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan dalam menjalankan
usaha bank. Tidak ada pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada yang
mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah tindak pidana yang
menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan sasaran tindak pidana itu (crimes
against the bank).

Untuk lebih jelasnya, berikut perihal jenis dan bentuk tindak pidana perbankan:
Dalam UU Perbankan terdapat tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari pasal 46
sampai dengan Pasal 50A. Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat
macam:
1. Jenis tindak pidana perbankan dibidang perizinan usaha/ legalitas bank (pasal 46 ayat (1) dan
(2) UU Perbankan 1992), yang dapat berbentuk:
-Menjalankan usaha serupa bank
-Menjalankan usaha bank
-Menjalankan usaha bank dalam bank
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk ke dalam
jenis tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, terdapat dalam Pasal 46, yang berbunyi:
Ayat (1): “Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,
deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu tanpa izin usaha dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17,
diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000 (dua ratus miliar
rupiah).”
Ayat (2): “Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di lakukan oleh badan hukum
yang berbentuk perseorangan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan
terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah
melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua-duanya”[5]
3. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Rahasia Bank
Pasal 47 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa barang siapa tanpa membawa perintah
tertulis atau izin dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A,
dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah).
Ayat (2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang
dengan sengaja memberikan keterangan yang wajibadedidikirawan dirahasiakan menurut Pasal 40,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pasal 47A. UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai
bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjaraadedidikirawan
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.15.000.000.000,00
(lima belas miliar rupiah).
4. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Pengawasan Dan Pembinaan Bank
Pasal 48 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau
pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan adedidikirawanketerangan yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Ayat (2) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai
bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-
kurangnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
5. Tindak Pidana Yang Berkaitan Dengan Usaha Bank
Pasal 49 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa, Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau
pegawai bank yang dengan sengaja :
a) membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan,
maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b) menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan
dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalamadedidikirawan dokumen atau laporan
kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c) mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu
pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan
usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan,
menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan)
tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 50 UU Perbankan menyebutkan bahwa, Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja
tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap
ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku
bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8
(delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. \5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

B. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Kegiatan Perbankan


1. Tindak Pidana Pasar Modal
Kebijakan formilatif mengenai Tindak Pidana Pasar Modal (TTPM) diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UUPM), pada bab XV tentang
ketentuan pidana (pasal 103-110). Menurut pasal 110, TTPM terdiri dari dua kelompok jenis tindak
pidana, yaitu:
1. TPPM yang berupa “kejahatan”, diatur dakam pasal 103 Ayat (1), pasal 104, pasal 106, dan pasal
107;
2. TPPM yang berupa “pelanggaran”, diatur dalam pasal 103 Ayat (2), pasal 105, dan pasal 109.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Tindak Pidana Pasar Modal secara singkat dapat didefinisikan
sebagai, segala perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan pidana dalam Undang-Undang
Pasar Modal.

Adapun peran bank dalam kegiatan pasar modal adalah sebagai berikut:
a. Bank sebagai kustodian, yaitu sebagai pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain
yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain,
menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya;
b. Bank sebagai wali amanat, yaitu sebagai pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek yang
bersifat utang.

Berdasarkan peranannya dalam kegiatan pasar modal, maka bank akan menjadi subjek TPPM jika:
a. Melanggar pasal 43 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai custodian
tanpa persetujuan Bapepam;
b. Melanggar pasal 50 UU Pasar Modal, yaitu menyelenggarakan usaha sebagai wali amanat yang
tidak terdaftar di Bapepam.

Pasal 103 Ayat (1) UU Pasar Modal menyebutkan bahwa Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di
Pasar Modal tanpa izin, persetujuan, atau pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal
13, Pasal 18, Pasal 30, Pasal 34, Pasal 43, Pasal 48, Pasal 50, dan Pasal 64 diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah)

2. Tindak Pidana Pencucian Uang


Tindak Pidana Pencucian Uang ( money laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai
aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan adedidikirawanperbuatan lainnya atas hasil
dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organized crime maupun individu yang melakukan
tindakan korupsi, perdagangan narkotik dan tindak pidana lainnya dengan tujuan
menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut
sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang
tersebut berasal dari kegiatan illegal.
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
a) Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box;
b) Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro;
c) Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
d) Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang
bersangkutan;
e) Penggunaan fasilitas transfer atau EFT;
f) Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait; dan
g) pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Secara sederhana terdapat tiga tahap dalam proses pencucian yaitu :
1) Placement (penempatan) ini dideteksi juga dengan adanya kewajiban orang yang membawa
uang tunai ke dalam atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia sejumlah seratus juta ruliah
atau lebih untuk melaporkan kepada Direktorat adedidikirawanJenderal Bea Cukai. Kemudian
Direktorat Jenderal Bea Cukai melaporkannya kepada PPATK (Pasal 16 UU No. 15 Tahun 2002).
2) Layering, diartikan sebagai memindah-mindahkan hasil kejahatan dari suatu tempat ke tempat
lainnya dengan maksud agar sumber dan pemiliknya dapat dikaburkan (pembukaan sebanyak
mungkin rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif)
3) Integration, yaitu suatu proses dimana uang hasil kejahatan yang telah dicuci di investasikan
kembali pada suatu bisnis yang legal sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan
aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry.

D. Pelaku Tindak Pidana Bank


Pada umumnya pelaku tindak pidana di bidang perbankan melibatkan :
a. Anggota masyarakat tertentu yang telah berulang kali melakukan tindak pidana di bidang
perbankan.
b. Mantan pejabat/karyawan bank yang telah diberhentikan dengan tidak hormat
c. Oknum pejabat/karyawan bank yang telah mengalami kejenuhan atau frustasi atau bekerja sama
dengan pihak di luar bank.
Pada umumnya dalam pelaksanaan tindak pidana yang terorganisir ini terdapat pembagian tugas
di antara mereka yaitu sebagai koordinator, sponsor, ahli pemalsu warkat, ahli pemalsu tanda
tangan, ahli pencukil nomor seri, ahli pemalsu identitas, nasabah bank baik dalam maupun di luar
negeri. Tindak pidana yang telah terorganisir rapi ini pada umumnya menggunakan cara ”cut out”
yaitu di antara para pelaku tidak saling kenal. Pada kenyataanya bentuk perbuatan seperti ini sering
terjadi terhadap orang-orang yang justru sama sekali tidak mengenal mekanisme dan akibat
hukum surat kuasa.

3.a) Tindak Pidana Perbankan pencegahan dengan:


3.a.1) pengawasan internal :pengawasan yang dilakukan oleh dewan komisaris
3.a.2)pengawasan eksternal : pemerintah maupun pihak BI melakukan audit kepada bank yang
bersangkutan
3.b) Tindak Pidana Pencucian Uang :
3.b.a) peranan PPATK(pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan)
PPATK memiliki tugas dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 26 dan 27 UU-
TPPU (undang-undang tindak pidana pencucian uang No.25 Tahun 2003 ) antara lain:
a.Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh.
b. Memberikan nasihat dan bantuanadedidikirawan kepada instansi yang berwenang.
c. Melaporkan hasil anilisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang
kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
d. Meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK).
e. Melakukan audit terhadap PJK mengenai kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam UU-TPPU
dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan.
f. Memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya tersebut, PPATK bersifat independen sebagaimana
yang dimuat dalam UU-TPPU yaitu :
a) Bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
b) Tidak diperkenankannya setiap pihak untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.
c) Diwajibkannya kepala dan adedidikirawanwakil kepala PPATK untuk menolak setiap campur
tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
3.b.b)Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle/KYC)
Menurut Peraturan Bank Indonesia, yang dimaksud dengan Prinsip KYC adalah prinsip yang
diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah
termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.

Dimensi bentuk tindak pidana perbankan, bisa berupa tindak kejahatan seseorang terhadap bank,
tindak kejahatan bank terhadap bank lain, ataupun kejahatan bank terhadap perorangan sehingga
dengan demikian bank dapat menjadi korban maupun pelaku.
Adapun dimensi ruang, tindak pidana perbankan tidak terbatas pada suatu ruang tertentu bias
melewati batas-batas territorial suatu negara, begitu pula dimensi bentuk bisa terjadi seketika,
tetapi juga bisa berlangsung beberapa lama.
Adapun ruang lingkup terjadinya tindak pidana perbankan, dapat terjadi pada keseluruhan lingkup
kehidupan dunia perbankan atau yang sangat berkaitan dengan kegiatan perbankan dan kebih
luasnya mencakup jiga lembaga keuangan lainnya,
sedangkan ketentuan yang dapat dilanggarnya baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis juga
meliputi norma-norma kebiasaan pada bidang perbankan, namun semua itu tetap harus telah
diatur sanksi pidananya. Lingkup pelaku dan tindak pidana perbankan dapat dilakukan oleh
perorangan maupun badan hukum (korporasi).

KETENTUAN HUKUM
Dalam hal terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh orang dalam
terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu.
1.Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal
263 (pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378
(penipuan), 362 (pencurian), dll.
2.Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo
UU no. Tahun 2002. Ketentuan UU Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus yang
menimpa bank pemerintah UU ini dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku,
mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara.
3.UU Perbankan. Ketentuan dalam undang-undang ini biasanya diterapkan apabila
Komisasris, Direksi, Pegawai dan pihak terafiliasi dengan bank (“orang dalam”) atau orang
yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.
Berikut adalah sembilan kasus perbankan pada kuartal pertama yang dihimpun oleh Strategic
Indonesia melalui Badan Reserse Kriminal Mabes Polri:
1. Pembobolan Kantor Kas Bank Rakyat Indonesia (BRI) Tamini Square. Melibatkan supervisor
kantor kas tersebut dibantu empat tersangka dari luar bank. Modusnya, membuka rekening atas
nama tersangka di luar bank. Uang ditransfer ke rekening tersebut sebesar 6 juta dollar AS.
Kemudian uang ditukar dengan dollar hitam (dollar AS palsu berwarna hitam) menjadi 60 juta
dollar AS.
2. Pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank Internasional Indonesia
(BII) pada 31 Januari 2011. Melibatkan account officer BII Cabang Pangeran Jayakarta. Total
kerugian Rp 3,6 miliar.
3. Pencairan deposito dan melarikan pembobolan tabungan nasabah Bank Mandiri.
Melibatkan lima tersangka, salah satunya customer service bank tersebut. Modusnya
memalsukan tanda tangan di slip penarikan, kemudian ditransfer ke rekening tersangka.
Kasus yang dilaporkan 1 Februari 2011, dengan nilai kerugian Rp 18 miliar.
4. Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Margonda Depok. Tersangka seorang wakil pimpinan
BNI cabang tersebut. Modusnya, tersangka mengirim berita teleks palsu berisi perintah
memindahkan slip surat keputusan kredit dengan membuka rekening peminjaman modal
kerja.
5. Pencairan deposito Rp 6 miliar milik nasabah oleh pengurus BPR tanpa sepengetahuan
pemiliknya di BPR Pundi Artha Sejahtera, Bekasi, Jawa Barat. Pada saat jatuh tempo
deposito itu tidak ada dana. Kasus ini melibatkan Direktur Utama BPR, dua komisaris,
komisaris utama, dan seorang pelaku dari luar bank.
6. Pada 9 Maret terjadi pada Bank Danamon. Modusnya head teller Bank Danamon Cabang
Menara Bank Danamon menarik uang kas nasabah berulang-ulang sebesar Rp 1,9 miliar
dan 110.000 dollar AS.
7. Penggelapan dana nasabah yang dilakukan Kepala Operasi Panin Bank Cabang Metro
Sunter dengan mengalirkan dana ke rekening pribadi. Kerugian bank Rp 2,5 miliar.
8. Pembobolan uang nasabah prioritas Citibank Landmark senilai Rp 16,63 miliar yang
dilakukan senior relationship manager (RM) bank tersebut. Inong Malinda Dee, selaku RM,
menarik dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik melalui slip penarikan kosong yang
sudah ditandatangani nasabah.
9. Konspirasi kecurangan investasi/deposito senilai Rp 111 miliar untuk kepentingan pribadi
Kepala Cabang Bank Mega Jababeka dan Direktur Keuangan PT Elnusa Tbk.

Pada dasarnya pencegahan bank fraud dapat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama,
Penerapan Peraturan Undang-Undang. Kedua, Kebijakan Manajemen Bank.
Penerapan Peraturan
Kebijakan Manajemen Bank
Pendekatan kedua untuk mencegah terjadinya kejahatan perbankan dapat dilakukan dengan
Kebijakan Manajemen bank. Menurut Lester A. Pratt dalam Bank Frauds Their Detection and
Prevention kebijakan ini dapat dilakukan melalui langkah berikut:
Pertama, Kebijakan Personalia. Kebijakan ini meliputi peraturan seleksi, pelatihan, promosi dan
penggajian dari pegawai dan pejabat bank. Program dimaksud harus dilakukan secara hati-hati
untuk mencegah kejahatan. Peraturan tentang promosi pegawai harus menempatkan dan keahlian
seseorang di atas senioritas. Penggajian pejabat dan pegawai bank harus seiring dengan
meningkatnya pendapatan dan pertumbuhan institusi sesuai dengan kompetensi serta partisipasi
seorang pegawai atau pejabat dalam jabatannya untuk mendukung kesuksesan bank.
Kedua, Kebijakan Pengawasan. Kebijakan tentang fungsi pengawasan menetapkan cara yang aman
dan lazim dalam setiap kegiatan usaha bank untuk mencapai tujuan organisasi, baik pengawasan
melekat sejara berjenjang, audit intern, Direktur/Unit Kepatuhan dan Unit Manajemen Risiko. Hal
yang penting dalam pengawasan adalah penilaian atas efisiensi, ekonomis dan keamanan dalam
setiap fungsi departemen.
Ketiga, Tanggung Jawab Direksi. Setidaknya ada lima tanggung jawab yang wajib diemban direksi
dalam rangka mencegah terjadinya bank fraud, yaitu:
(1) Direksi bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan bank dan
memastikan usaha bank berjalan dengan baik.
(2) Direksi bank bukan penjamin atas kebenaran dan kelakuan yang patut dari pejabat
eksekutifnya, namun mereka harus melakukan pengawasan terhadap tindak-tanduk eksekutif
banknya dengan seksama.
(3) Direksi harus menaruh perhatian terhadap penerapan prinsip kehati-hatian dalam setiap
kegiatan usaha bank.
(4) Direksi bank harus mengetahui setiap fakta yang mencurigakan, sehingga harus menempatkan
orang yang dapat dipercaya.sebagai pengawas.
(5) Direksi tidak diharapkan memantau kegiatan rutin perbankan setiap hari, tetapi mereka harus
mempunyai pengetahuan pelaksanaan kegiatan usaha bank pada umumnya, dan memberikan
arahan kepada hal-hal yang penting
Penanggulangan Bank Fraud
Dalam hal terjadi bank fraud atau tindak pidana di bidang perbankan maka bank harus melakukan
hal-hal sebagai berikut: Pertama, melakukan investigasi yaitu memeriksa bank fraud baik oleh tim
intern maupun berkerja sama dengan tim investigasi ekstern sesuai dengan standar investigasi
yang ditetapkan; Kedua, melaporkan kepada otoritas perbankan agar dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut, dan Ketiga, melaporkan kepada penegak hukum (Kepolisian) untuk ditindaklanjuti sesuai
prosedur yang berlaku.
Sementara, peran BI selaku otoritas perbankan melakukan pengawasan dengan pendekatan
pengawasan berdasarkan kepatuhan dan berdasarkan risiko, yaitu pengawasan/pemeriksaan yang
difokuskan pada risiko yang melekat pada aktivitas fungsional bank .serta sistem pengendalian
risiko,.sehingga dapat melakukan pencegahan permasalahan yang potensial timbul di bank.
Dengan pengawasan ini BI dapat mendeteksi risiko operasional dari Citigold (private banking).
Pengawasan BI juga dapat dilakukan dengan cara pengawasan tidak langsung, antara lain melalui
laporan berkala yang disampaikan bank dan pengawasan langsung yang bertujuan untuk (1)
mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank, dan (2) memantau tingkat kepatuhan
dan praktek-praktek yang tidak sehat yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.
Last but not least adalah pengawasan oleh manajemen bank untuk mencegah terjadinya
kejahatan bank. Langkah terpenting dalam manajemen bank yang baik terdiri dari penetapan
kebijakan kegiatan usaha perbankan yang sehat oleh direksi, membentuk organisasi untuk
melaksanakan kebijakan tersebut dan mengawasi pelaksanaan operasional perbankan melalui
pengawasan melekat berjenjang, audit intern, unit kepatuhan dan unit manajemen risiko.
Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
10 tahun 1998, dan UU No. 23 Tahun 1999 telah diubah dengan UU No 3 tahun 2003 tentang Bank
Indonesia, menegaskan kedudukan bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan
dengan tugas dan kewenangan antara lain :
1. memberikan dan mencabut izin usaha bank;
2. menetapkan peraturan dalam bidang perbankan;
3. melakukan pengawasan terhadap bank;
4. mengenakan sanksi terhadap bank yang melanggar ketentuan perbankan.
Berkaitan dengan pengenaan sanksi, kewenangan Bank Indonesia hanya menyangkut pengenaan sanksi
administrative (administrative prosess), sedangkan sanksi pidana merupakan kewenangan dari aparatur
negara pada system peradilan pidana (kepolisian, Kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan)
sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Kewenangan BI selaku otoritas pengawas bank kepada terjadinya kejahatan perbanak terbatas hanya pada
aspek prudential banking dengan wewenang pemberian sanksi administratif. Sedangkan untuk pelanggaran
yang bersifat tindak pidana (fraud) sepenuhnya menjadi kewenangan aparat penegak hukum (polisi,
kejaksaan dan pengadilan).
Tanpa kepastian dan penegakan hukum yang baik dan tegas, sistem pengawasan bank akan menjadi
tumpul. Sudah bukan rahasia lagi kalau penegakan hukum di sini dirasakan sangat lemah, khususnya
terhadap penjahat kerah putih. Artinya, upaya untuk menciptakan suatu sistem perbankan yang sehat,
harus dilakukan seiring dengan upaya penyempurnaan dan penegakan hukum di negeri ini.
Soal pelanggaran, BI memiliki wewenang memberi sanksi administratif, termasuk pemberhentian pengurus
bank dan pencantuman pengurus atau pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
Untuk mengatasi kejahatan perbankan, BI juga telah membuat Unit Khusus Investigasi Perbankan yang
mengivestigasi tindak pidana pada bank, khususnya pihak yang terafiliasi. Yakni, pengurus, karyawan,
pemilik dan pemegang saham bank, serta pihak lain yang menjadikan bank sebagai sarana melakukan
tindak pidana.
https://r324.wordpress.com/2008/06/03/tindak-pidana-di-bidang-perbankan/
http://hkmperbankan.blogspot.com/2010/11/tindak-pidana-perbankan-dan-pencucian.html
https://ninyasminelisasih.com/2011/08/25/tindak_pidana_bank/
https://click-gtg.blogspot.com/2009/03/tindak-pidana-bank.html
http://zriefmaronie.blogspot.com/2014/05/tindak-pidana-perbankan.html
https://ekonomi.kompas.com/read/2011/05/03/09441743/Inilah.9.Kasus.Kejahatan.Perbankan
http://stabilitas.co.id/home/detail/mencegah-dan-menanggulangi-kejahatan-perbankan

Anda mungkin juga menyukai