MATERI PELAYANAN
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
DASAR HUKUM
PENDAHULUAN
DASAR DI UNDANGANKANNYA
UU NO 28 TAHUN 2009
UU 28/2009
1.Pajak Hotel
2.Pajak Restoran
3.Pajak Hiburan
4.Pajak Reklame
5.Pajak Penerangan Jalan
6.Pajak Parkir
7.Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (perubahan
nomenklatur)
8.Pajak Air Tanah (pengalihan dari Prov)
9.Pajak Sarang Burung Walet (baru)
10.PBB Pedesaan & Perkotaan (baru)
11.Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (baru)
UU NO 12 TAHUN 1994
Subjek
UU NO 28 TAHUN 2009
Sama
(Pasal 78 ayat 1 & 2)
(Pasal 4 Ayat 1)
Objek
Tarif
NJKP
NJOPTK
P
Bumi dan/atau
bangunan,kecualikawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan(Pasal 77 Ayat 1)
Sebesar 0,5%
(Pasal 5)
(pasal 80)
Tidak Dipergunakan
(Pasal 3 Ayat 3)
(Pasal 77 Ayat 4)
TarifxNJKPx (NJOP-NJOPTKP)
PBB
Terutan 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP) atau
g
0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)(Pasal 7)
Max:0,3% x (NJOP-NJOPTKP)
(Pasal 81)
SEBELUM
SESUDAH
Luas tanah: 500 m2 ; NJOP =
Rp3.400.000/m2
Luas bangunan: 150 m2 ; NJOP
= Rp1.300.000/m2
NJOPTKP = Rp10.000.000,NJOP tanah = 500 x
Rp3.400.000,-= Rp
1.700.000.000,NJOP bangunan = 150 x RP
1.300.000,-= Rp
195.000.000,- +
NJOP tanah + bangunan=
Rp1.895.000.000,NJOPTKP = Rp 10.000.000,- NJOPKP= Rp1.885.000.000,PBB = 0,3% x
2011
Jumlah
1
Kab./Kota
Keterangan Kota Surabaya
2012
2013
2014
17
105
369
1.Kota Depok
2.Kab. Bogor
3.Kota Palembang
4.Kota Bandar
Lampung
5.Kota Gorontalo
6.Kota Medan
7.Kab. Deli Serdang
8.Kota Palu
9.Kota Pekanbaru
10.Kota Balikpapan
11.Kota Samarinda
12.Kota Pontianak
13.Kab. Sidoarjo
14.Kab. Gresik
15.Kota Semarang
16.Kab. Sukoharjo
17.Kota Yogyakarta
37.Kota Tasikmalaya
38.Kab. Bandung
39.Kab. Bandung
Barat
40.Kota Cimahi
41.Kota Banjar
42.Kab. Sukabumi
43.Kab. Karawang
44.Kab. Bekasi
45.Kota Bogor
46.Kab. Majalengka
47.Kota Cirebon
48.Kota Bekasi
49.Kab. Bantul
50.Kab. Sleman
51. Kab. Demak
52.Kab. Batang
53.Kota Rembang
54.Kab. Grobogan
55.Kab. Semarang
56.Kota Tegal
57.Kab. Tegal
58.Kota Pemalang
59.Kota Pekalongan
60.Kab. Pekalongan
61.Kab. Kudus
62.Kab. Banyumas
63.Kab. Klaten
64.Kab. Wonosobo
65.Kab. Temanggung
66.Kota Surakarta
67.Kab. Cilacap
68.Kota Magelang
69.Kab. Magelang
70.Kab. Purworejo
71.Kab. Karanganyar
72.Kab. Kebumen
Sisanya
73.Kab. Boyolali
74.Kota Mojokerto
75.Kab. Mojokerto
76.Kab. Bojonegoro
77.Kab. Tuban
78.Kab. Ponorogo
79.Kab. Jember
80.Kota Kediri
81.Kota Malang
82.Kab. Pasuruan
83.Kota Pasuruan
84.Kab. Kediri
85.Kota Batu
86.Kab. Banyuwangi
87.Kota Probolinggo
88.Kab. Badung
89.Kota Denpasar
90.Kab. Jembrana
91.Kab. Tabanan
92.Kab. Lombok
Barat
93.Kota Mataram
94.Kab. Kubu Raya
95.Kota Tarakan
96.Kota Bontang
97.Kab. Berau
98.Kab. Kutai Barat
99.Kota Banjarmasin
100.Kab. Katingan
101.Kab. Gowa
102.Kab. Kolaka
103.Kota Makassar
104.Kab. Mimika
105.Kab. Fak Fak
1.
2.
3.
POSITIF
1.
2.
3.
4.
Data objek dan subjek PBB P2 dapat lebih akurat karena pemerintah
daerah lebih menguasai wilayahnya dibandingkan dengan
pemerintah pusat.
Jika ada perubahan berkaitan dengan data objek dan subjek PBB P2
dapat segera diselesaikan karena perubahan dilakukan di daerah
tanpa harus dilakukan di luar daerah
Daerah dapat meningkatkan potensi PBB P2 dengan lebih
mengoptimalkan NJOP, sepanjang penentuan NJOP selama ini oleh
pemerintah pusat dinilai masih dibawah nilai pasar objek yang
bersangkutan
Dengan kewenangan yang dimiliki oleh daerah, daerah dapat lebih
transparan dan akuntabel dalam penentuan tarif dan pengelolaan
administrasi pemungutan
NEGATIF
Penetapan NJOP dengan berdasarkan nilai pasar dan menggunakan tarif
maksimum dalam rangka meningkatkan pendapatan PBB P2, apabila tidak
dilaksanakan dengan perencanaan yang jelas dan melibatkan pihak-pihak
terkait dapat menimbulkan gejolak di masyarakat
2. Pemerintah daerah harus menyediakan anggaran khusus dalam rangka
pengelolaan PBB P2 sejak tahap persiapan sampai dengan pelaksanaan
meliputi kemungkinan penambahan kantor dan pegawai baru maupun untuk
melengkapi peralatan administrasi, komputerisasi dan pelatihan SDM;
3. Kesenjangan penerimaan PBB P2 antar daerah makin menonjol karena
disparitas potensi penerimaan pajak daerah lainnya. Daerah yang memiliki
potensi penerimaan pajak daerah lainnya atau mengandalkan bagi hasil lain
dari pemerintah pusat, cenderung mengabaikan pemungutan PBB P2 (karena
sulit dan kompleks bahkan tidak dipungut) dan sebaliknya daerah yang
semata-mata mengandalkan penerimaan PBB P2 kemungkinan akan
menerapkan tarif yang maksimal guna menggenjot penerimaannya;
4. Pengelolaan PBB P2 oleh daerah dapat mengakibatkan beragamnya kebijakan
antara satu daerah dengan daerah lainnya, misalnya perbedaan tarif,
NJOPTKP, dan NPOPTKP. Perbedaan tersebut dapat mengakibatkan
ketidakadilan baik bagi masyarakat wajib pajak, pelaku bisnis, maupun
masyarakat pada umumnya.
1.