1. BUKU
Judul : Korupsi Belum Ada Matinya
Penulis : Dr. Binoto Nadapdap, S.H., M.H
Penerbit : Jakarta, Jala Permata Aksara, 2014
Deskripsi Fisik : 212 Hal; 20,5cm x 14cm
Bahasa : Indonesia
Pada 10 Oktober 2018, Jiwasraya mengirimkan surat kepada tujuh bank yaitu Standard
Chartered Bank, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Victoria, Bank ANZ, Bank QNB Indonesia,
Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Tabungan Negara (BTN). Isinya menyatakan bahwa PT
Asuransi Jiwasraya tidak dapat membayar polis jatuh tempo kepada 1.286 pemegang polis
asuransi yang tersebar di ketujuh bank, dengan nilai Rp802 miliar.
Pada bulan yang sama, Menteri BUMN ketika itu, Rini M. Soemarno, meminta dilakukan
audit investasi terhadap Jiwasraya. Hasil audit mendeteksi gangguan likuiditas yang
menyebabkan perseroan tak mampu membayar klaim jatuh tempo senilai Rp802 miliar pada
November 2018. Angka itu kemudian naik menjadi Rp12,4 triliun pada akhir 2019.
Permasalahan bermula ketika manajemen Jiwasraya sebelumnya menawarkan produk-
produk asuransi yang menjanjikan bunga tinggi, di luar standar kewajaran produk sejenis di
pasar (product mispricing), serta masa perlindungan asuransi yang panjang. Salah satunya yakni
produk bancassurance JS Savings Plan yang ditawarkan dengan jaminan tingkat pengembalian
(guaranteed return) sebesar 9% - 13% selama periode 2013 – 2018, dengan periode pencairan
setiap tahun.
Namun jaminan return JS Savings Plan lebih besar dibandingkan dengan tingkat suku bunga
deposito pada tahun finansial 2018 (yaitu 5,2% - 7,0%), imbal hasil obligasi tingkat idA –
idAAA (8,0% - 9,5%), dan pertumbuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) yang berada di
level -2,3%.
Dengan return yang lebih tinggi dari pertumbuhan instrumen-instrumen investasi di pasar
dan jangka waktu produk yang dapat dicairkan setiap tahun, Jiwasraya terus terkena risiko pasar.
Bunga yang tinggi membuat perseroan harus menempatkan investasi di instrumen yang high risk
demi mencapai imbal hasil yang besar. Sayang, imbal hasil investasi yang tidak tercapai
membuat liabilitas kian membengkak. Alhasil, untuk membayar klaim jatuh, perseroan
mengandalkan perolehan premi baru sehingga lama kelamaan menjadi bom waktu.
Demi mengincar high return, manajemen perusahaan pun melakukan aktivitas investasi
secara gegabah atau tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian. Hasil temuan aktivitas investasi
perseroan yang dipaparkan pada rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR RI pada
Desember 2019 menunjukkan bahwa investasi yang dilakukan terkonsentrasi pada saham dan
reksa dana saham yang berkualitas rendah.
Sebanyak Rp5,7 triliun atau 22,4% aset finansial yang dimiliki Jiwasraya ditanamkan dalam
bentuk saham. Dari jumlah tersebut, hanya 5% yang merupakan saham LQ45. Kemudian,
sebanyak Rp14,9 triliun atau 59,1% dari aset finansial ditanamkan dalam bentuk reksa dana.
Hanya saja, dari jumlah tersebut, hanya 2% yang dikelola oleh top tier manajer investasi di
Indonesia.
Perusahaan juga diketahui tidak menerapkan portofolio manajemen atau portofolio guideline
yang mengatur nilai maksimum penempatan dana pada aset high risk. Oleh karena itu, kondisi
pasar modal yang melemah pada FY 2018 menyebabkan sebagian besar aset Jiwasraya tidak
dapat diperjualbelikan.
Selain itu, ada indikasi bahwa manajemen sebelumnya aktif melakukan rekayasa dalam hal
pembentukan harga saham atau window dressing, untuk menunjukkan keuntungan yang lebih
menarik. Jual beli saham dengan dressing reksa dana dilakukan dengan modus membeli saham
over price kemudian dijual pada harga negosiasi (di atas harga perolehan) kepada manajer
investasi, untuk kemudian dibeli kembali oleh Jiwasraya. Hal itu terlihat dari investasi Jiwasraya
yang dominan pada saham dan reksa dana saham – yang underlying asset-nya sama dengan
portofolio saham langsung.
\Kemudian, tekanan likuiditas muncul dari produk JS Savings Plan. Pada 2018, kepercayaan
nasabah terhadap produk itu mulai berkurang sehingga menurunkan penjualan. Sementara itu,
klaim dan manfaat yang harus dibayarkan terus berjalan. Tidak ada aset cadangan yang cukup
untuk memenuhi kewajibannya. Lapse rate (klaim) pun naik terus naik ke angka 51%, kemudian
ke angka 85%, sehingga menekan likuiditas perseroan. Pada akhirnya, opsi menunda
pembayaran polis jatuh tempo menjadi tak terhindarkan.
Judul : Melawan Korupsi: Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Penulis : Juwono, Vishnu
Penerbit : Jakarta : KPG (Kepustakawanan Popular Gramedia), 2018
Deskripsi Fisik : xxvi, 436 halaman :illustrasi ;21 cm
Bahasa : Indonesia
PEMBAHASAN
Era Reformasi dimulai pada tahun 1998, sebagai tanda dari berakhirnya masa
kepemimpinan Soeharto yang telah berjalan selama 32 tahun. Setelah Soeharto undur diri dari
jabatannya pada 21 Mei 1998, kedudukannya digantikan oleh Presiden BJ Habibie. Penyebab
lengsernya Soeharto dari jabatan presiden tidak terlepas dari adanya gerakan mahasiswa
Indonesia pada 1998. Kala itu, sejumlah mahasiswa dan rakyat menuntut adanya reformasi
dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dalam gerakannya, mahasiswa Indonesia menyampaikan
beberapa tuntutan reformasi.(Adryamarthanino, 2022).
Keadaan Indonesia yang semakin tidak Rakyat menuntut diadakannya reformasi total
terutama pada pada bidang ekonomi, bidang politik dan hukum. Krisis ekonomi Indonesia bukan
hanya disebabkan oleh merosotnya nilai rupiah, tetapi juga oleh tatanan politik yang tidak
demokratis, yang terlampau diabadikan kepada kekuasaan yang otoriter, sehingga tidak
mendatangkan keadilan yang sebenarnya. Ketika pemerintah dinilai tidak mampu memulihkan
ekonomi, kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan Soehartopun menghilang. Oleh karena itu
rakyat maupun mahasiswa menuntut agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai
Presiden Indonesia (Supriyanto, 2022).
Ada 6 (Enam) Agenda Reformasi yang dituntut oleh rakyat harus dijalankan
oleh pemerintahan di era Reformasi, antara lain :
1. Adili Soeharto dan kroni-kroningnya;
2. Amandemen UUD 1945;
3. Hapuskan Dwi Fungsi ABRI;
4. Hapuskan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
5. Otonomi Daerah seluas-luasnya;
Tegakkan Supremasi Hukum.(LBH Jakarta, 2020) Salah satu amanat reformasi yang dituntut
oleh masyarakat hingga saat ini yang belum sepenuhnya terwujud adalah terkait dugaan kasus
korupsi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh mendiang Presiden
Soeharto dan kroni-kroninya.
Salah satu kasus Mendiang Presiden Soeharto adalah kasus korupsi tujuh Yayasan yang
mana kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka atas dugaan korupsi tujuh yayasan yang
dipimpinnya. Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7
yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar,
Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab),
Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan
Trikora
Jurnal Kertha Negara Vol. 9 No. 10 Tahun 2021, hlm.879-893
PEMBAHASAN
Tiga hal utama tentang pembangunan, yaitu politik, ekonomi dan sosial, adalah suatu hal
yang menuntut intensitas penanganan yang sungguh – sungguh serta sebuah design besar yang
memiliki kompleksitas yang rumit. Terutama untuk Negara Indonesia yang dalam usaha
menjejakan platform pembangunannya secara menyeluruh untuk saat ini tengah mengalami masa
sulit. Dalam mengukur perekonomian suatu negara, Negara wajib memiliki satu elemen penting
yaitu adanya Pasar modal di dalamnya. Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara
industri yang maju mempunyai ciri yang menonjol yaitu kondisi pasar modal yang berkembang
serta tumbuh dengan baik. Dalam rangka mengetahui keadaan perusahaan yang masuk pada list
di Bursa Efek, kita dapat mengetahuinya melalui angka Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
dan angka IHSG ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan atau kondisi sebuah negara
dalam lingkup perekonomiannya. Apabila angka IHSG menunjukan grafik yang merosot secara
tajam, dapat diindikasikan bahwa ada krisis ekonomi yang sedang melanda suatu negara.1
Beberapa negara di Asia termasuk Indonesia pernah dilanda Krisis ekonomi, tetapi perlu kita
ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalaminya dalam kurun waktu
yang cukup lama dikarenakan fondasi perekonomiannya yang ternyata amat rapuh. Faktor
penyebab yang menimbulkan keadaan tersebut adalah perilaku atau mental yang buruk dalam
pengelolaan kegiatan usaha yang dilakukan oleh beberapa orang yang menduduki posisi penting
atau pimpinan yang ada di dalam perusahaan.
Faktanya, belakangan ini terungkap kasus yang diduga merugikan negara dengan jumlah
sebesar Rp 13,7 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) dari hasil
pemeriksaannya menyatakan adanya laba semu dalam pembukuan PT Asuransi Jiwasraya sekitar
pada tahun 2010 – 2019 sebanyak dua kali. Pertama, pada tahun 2016 BPK mengadakan
pemeriksaan dengan suatu tujuan yang terlah ditentukan. Kemudian, pada tahun 2018 BPK
mengadakan pemeriksaan yang bersifat investigatif. Hasil dari pemeriksaan tersebut salah
satunya adalah sejak tahun 2006, Jiwasraya melakukan pembukuan laba semu melalui akuntansi
yang direkayasa sedangkan di sisi lain, perusahaan tersebut telah mengalami kerugian yang
cukup signifikan. Ketua BPK, Agung Firman Sampurna, menyatakan bahwa pembukuan laba
yang dilakukan oleh Jiwasraya sejak tahun 2006 merupakan pembukuan laba semu, yang
dilakukan dengan cara akuntansi yang di rekayasa atau window dressing, sedangkan keadaan
keuangan menjelaskan bahwa perusahaannya sedang mengalami kesulitan dalam keuangannya.
Besarnya kerugian negara yang disebabkan oleh penyelewengan dalam menjalankan
usaha di bidang pasar modal pada kasus tersebut, menandakan sebenarnya peranan pasar modal
bagi perekonomian di Indonesia sangat vital. Pasar modal akan sangat menguntungkan negara
jika tidak ada penyelewengan di dalamnya. Dalam melaksanakan pembangunan perekonomian
pada suatu negara, pemerintah serta masyarakat memiliki peranan penting dalam segi
pembiayaannya. Pemasukan pemerintah untuk sebagai modal untuk pembangunan nasional
berasal dari pembayaran pajak dan penerimaan lainnya. Dalam hal kegiatan investasi,
masyarakat dapat memperoleh dananya melalui lembaga pembiayaan, perbankan serta pasar
modal. Pasar modal merupakan salah satu pilihan alternatif bagi pemerintah maupun pihak
swasta untuk melakukan pendanaan.4 Namun, perlu kita ketahui pasar modal memiliki sisi
negatifnya yaitu adanya oknum – oknum dalam kegiatan investasi yang melakukan kejahatan
“kerah putih” atau bisa disebut white collar crime yang sangat merugikan negara dan
masyarakat. Kejahatan “kerah putih” dilakukan dengan cara yang sempurna sehingga seseorang
yang seharusnya merasakan kerugian dari kejahatan tersebut, tidak merasakan telah mengalami
kerugian dikarenakan kejahatan tersebut.
Perlu kita ketahui bahwa pada umumnya kejahatan ekonomi dan kejahatan korporasi
tidak melibatkan kekerasan didalamnya, namun melibatkan praktik pelanggaran kepercayaan,
manipulasi, penyesatan, penyembunyian kenyataan, kecurangan dan pengelakan peraturan
dengan mencari celah (legal loophole). Berbeda dengan kasus perdata yang mengandung unsur
perbuatan melawan hukum serta wanprestasi dan juga dengan kasus hukum administratif yang
seringkali berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang,15 Tindak pidana dalam kasus
Jiwasraya ini dapat dikelompokkan hubungannya dengan tindak pidana pasar modal, tindak
pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi.
Kasus Jiwasraya memiliki adanya dugaan Investasi Ponzi di dalamnya. Investasi Ponzi
adalah suatu investasi palsu yang menggunakan cara memberikan keuntungan pada investor dari
uang yang di dapat dari milik investor yang sama atau dari uang investasi yang dilakukan
investor yang lain, sehingga pembayaran keuntungan investasi bukan berasal dari keuntungan
yang diperoleh dalam menjalankan kegiatan usaha yang dilakukan oleh lembaga yang dimaksud.
Skema yang digunakan dalam investasi Ponzi, dapat diibaratkan seperti “setelah gali lobang
kemudian tutup lobang”, yang cara beroperasinya adalah dengan mencari premi baru untuk
membayar keuntungan pada nasabah premi lama. Dalam hal laporan keuangan, perusahaan yang
melakukan skema investasi ponzi ini melakukan window dressing yang bertujuan untuk
menunjukan performa yang terlihat bagus dengan cara memasukan premi sebagai pendapatan
bukan sebagai utang. Sebelum melakukan penjualan produk dengan menunjukan pemikat bunga
yang pasti, seharusnya tindakan yang dilakukan terlebih dahulu oleh Direksi lama Jiwasraya
serta regulatornya melakukan penghitungan manfaat dan resiko produknya dengan teliti yang
bertujuan untuk mencegah peristiwa gagal bayar oleh perusahaan yang pada akhirnya
menimbulkan kerugian pihak investor atau nasabah
Jurnal Achmad, Kajian Kasus BLBI: Penggeseran Hukum Publik
Aang Achmad
PEMBAHASAN
Kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh bank penerima dana
didasarkan atas kebijakan pemerintah akibat adanya krisis moneter Tahun 1997/1998 dengan
tujuan untuk memulihkan atau menyelamatkan stabilitas perekonomian negara yang
diselewengkan, ternyata tidak dipergunakan sesuai tujuan dan tidak dikembalikan dalam tempo
yang ditentukan. Tetapi sebaliknya, justru dipergunakan untuk kepentingan pribadi dengan
kelompoknya (melibatkan para pejabat negara), untuk itu negara telah dirugikan, akibatnya
goncangan perekonomian bangsa bertambah hebat. Penyelesaian kasus tersebut, tidak dapat
diselesaikan melalui Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). KUHP sebagai hukum
positif, ternyata tidak dapat menyelesaikan tindak pidana korupsi secara tuntas, untuk itu
diperlukan ketentuan hukum di luar KUHP. Karena tindak pidana korupsi merupakan tindak
pidana luar biasa, oleh karenanya harus diselesaikan secara luar biasa pula.
Tahun 1976-1998 merupakan titik puncak praktik korupsi yang dilakukan oleh para
banker, 4 ketika Negara Indonesia sedang mengalami krisis moneter yang luar biasa, hingga sulit
memulihkan kondisi perekonomian di Indonesia, pemerintah memberikan kucuran dana
khususnya kepada bank-bank besar yang kemungkinan masih bisa diselamatkan, yaitu melalui
Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Maksud baik pemerintah tersebut kemudian
diselewengkan, BLBI dipergunakan untuk kepentingan para pemegang saham pengendali
(memperkaya diri sendiri), sehingga setelah dikaji tindakan para obligor merugikan keuangan
negara yang berakibat tambah terpuruknya kondisi perekonomian negara, yang pada akhirnya
mengganggu stabilitas nasional.
Dalam kasus BLBI, para penegak hukum sulit untuk membuktikan unsur kejahatan dan
pelanggaran”-nya sendiri semata-mata dikarenakan karakteristik para pelaku korupsi untuk
memanipulasi asas dan prinsip-prinsip hukum yakni yang bersembunyi dibalik asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence),5 atau bahkan berlindung pada asas legalitas, karena
melaksanakan aturan yang dikeluarkan pemerintah, menyalahkan aturan yang ada (multi tafsir),
protes terhadap aturan yang ada hingga mengajukan proses uji konstitusi, bahkan menuduh balik
penegak hukum melakukan kejahatan yang sama dengan pelaku, mencemarkan nama baik,
hukum melanggar HAM. Di samping itu juga kasus BLBI sarat dengan muatan politik, serta
celakanya uang hasil korupsi banyak disimpan di luar negeri.
Menurut Nigel Walker proses penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui tiga
cara, melalui cara penerapan hukum pidana (criminal law application), melalui tanpa pidana atau
non penal (prevention without punishment) dan campuran dari keduanya.6 Penulis sependapat
dengan Nigel Walker, bahwa penyelesaian kasus BLBI dengan cara campuran dari keduanya,
dengan memperhatikan asas ultimum remidium yang menyebutkan bahwa penerapan pidana
merupakan upaya terakhir.7 Lebih lanjut Niegel Walker mengatakan “Hukum Pidana jangan
digunakan apabila kerugian atau bahaya yang timbul lebih besar dibanding dengan perbuatannya
sendiri”, dapat dijadikan tolak ukur dalam mencari alternatif penyelesaiaan tindak pidana
korupsi, khususnya penyelesaian kasus BLBI.
Maka, menjadi tepat apabila UUPTPK kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan berbagai pembaharuan yang
luar biasa, antara lain memuat secara tegas mengenai pengertian sifat melawan hukum formil dan
materiil, dimuatnya aturan hukuman mati, mengatur tentang batas minimum sanksi pidana
penjara dan denda yang sifatnya kumulatif, mengatur juga tentang pembuktian terbalik, dan
dimuatnya aturan tentang pemanfaatan hukum perdata dalam penyelesaian pengembalian aset
atau kerugian negara yang dikorupsi, selain itu juga memperbolehkan penggunaan sarana
elektronik sebagai alat bukti, serta adanya peran serta masyarakat dalam proses pemberantasan
tindak pidana korupsi.8 Oleh karenanya penulis berpendapat bahwa tujuan dari pembaharuan
hukum pidana yang luar biasa tersebut, adalah selain untuk mempermudah pembuktian, juga
memberikan pilihan penyelesaian tindak pidana korupsi, dengan memperhatikan asas ultimum
remidium.
3. INTERNET
Kasus PT TPPI
https://kumparan.com/kumparannews/kasus-kondensat-eks-bos-pt-tppi-honggo-wendratno-
dituntut-18-tahun-penjara-1tZdsOzX3Na/4
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/07/140716_bankcentury_101
https://narotama.ac.id/berita/detail/18993-kpk-tetapkan-bupati-kotawaringin-timur-tersangka-suap-tambang