Anda di halaman 1dari 4

Bank BUMN ungkap modus baru fraud perbankan

JAKARTA. Perbankan badan usaha milik negara (BUMN) mencermati sejumlah modus yang sering
ditemui terkait kasus kejahatan alias fraud. Jika ditarik garis besar kasus kejahatan ini terutama berasal
dari dua sumber yaitu penyaluran kredit dan dari implementasi digital banking.

Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk mengakui, fraudterbesar terjadi ketika
proses pemberian kredit.

“Biasanya dilakukan dengan melakukan pemalsuan laporan keuangan, dokumen dan data penjualan,”
ujar Tiko ketika memberikan paparan di RDP, Komisi XI DPR, Kamis (30/3).

Dari fraud kredit ini, modus yang sering digunakan adalah mempailitkan diri sendiri. Mandiri mencatat
ada sebanyak 17 kasus kepailitan sedang ditangani. Selain pemailitan diri, biasanya juga menggunakan
pemalsuan dokumen baik bank guarantee maupun bilyet deposito.

Suprajarto, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengatakan, selain dari kredit, juga
ada fraud dari digital banking. Untuk kejahatan dari digital banking, jenisnya cukup variatif.

“Biasanya yang modus yang sering digunakan adalah melakukan skimmingdengan menggandakan pita
magnetik dan phisiing dengan mengkloning dan memodifikasi website seolah seperti asli,” papar
Suprajarto.

Selain itu, ada juga modus swim swap, yaitu dengan penggantian kartu sim. Terkait ini biasanya pelaku
bekerja sama dengan agen atau outlet seluler untuk bisa mendapakan akses terhadap kartu SIM korban.

Tiko mengaku modus terbaru fraud digital banking ini adalah indikasi adanya alat buatan Russia yang
bisa mengintervensi gelombang mesin ATM sehingga bisa mengeluarkan uang.

Terkait modus baru ini, Mandiri mengaku sempat kebobolan. Namun, Tiko belum mau merinci
kerugian dalam kasus ini. Ia kemudian menyebut, Mandiri sudah melakukan update ke beberapa mesin
ATM yang ada.

Untuk beberapa kasus fraud ini, BRI dan Mandiri mengaku akan mengganti dana nasabah jika terbukti
bahwa ada kesalahan dengan sistem perbankan.

http://infobanknews.com/tag/fraud/

Melawan Pembobolan Bank


oleh Paul Sutaryono

KASUS perbankan kembali muncul. Pada awal Maret 2017 Bareskrim Mabes Polri
mengungkapkan bahwa kasus pembobolan terjadi di tujuh bank (dua bank pemerintah dan
lima bank swasta). Kemudian, menyusul kasus deposito bodong alias palsu di bank
pemerintah lainnya pada minggu ketiga Maret 2017. Bagaimana kiat melawan kasus
perbankan?
Kasus pertama yang potensi kerugiannya mencapai Rp846 miliar itu, berkaitan dengan
pemalsuan dokumen pengajuan kredit. Sementara, kasus kedua berkaitan dengan deposito
bodong yang memiliki potensi kerugian Rp258 miliar.

Akibat kasus kedua tersebut, bank pemerintah itu terkena kartu kuning atau sanksi dari
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Yakni, kantor kas bank pelat merah itu tidak boleh melayani
pembukaan semua jenis rekening baru, baik tabungan, giro, maupun deposito, untuk
sementara waktu. OJK juga melarang bank pemerintah tersebut memanfaatkan tenaga
kerja alih daya dan tidak membolehkannya membuka kantor cabang baru hingga risiko
operasional kembali normal.

Lantas, alternatif solusi apa saja yang patut diambil untuk mengatasi kasus perbankan?
Pertama, pertanyaan yang paling sering muncul di permukaan adalah mengapa terjadi
kecurangan (fraud). Ada teori segitiga kecurangan (fraud) menurut Donald Cressey, yang
terdiri atas motif, kesempatan, dan rasionalisasi.

Motif adalah alasan seseorang melakukan fraud. Motif itu bisa berupa keserakahan, balas
dendam, tekanan keluarga, kecanduan judi dan minuman, kebutuhan yang mendesak, dan
utang selangit. Untuk itu, bisa saja pejabat tinggi yang sudah mandi harta setiap hari, tetapi
masih juga melakukan fraud. Itu terjadi bukan lantaran mempunyai utang banyak,
melainkan karena serakah.

Sementara itu, kesempatan merupakan lingkungan yang mendukung dalam


melaksanakan fraud. Pada umumnya, kesempatan itu bersumber dari tingkat jabatan,
posisi, kewenangan, atau otoritas seseorang. Audit internal yang kurang baik akan makin
memperlonggar lahirnya kesempatan bagi seseorang untuk berbuat fraud.

Adapun, yang dimaksud dengan rasionalisasi adalah bagaimana pelaku fraud melakukan
justifikasi (pembenaran) perilaku yang tidak layak tersebut. Dengan bahasa lebih bening,
rasionalisasi merupakan sebab yang menjelaskan perilaku seseorang yang berbeda motif
satu orang dengan orang lain. Oleh karena itu, ketika pelaku fraud telah melakukan
rasionalisasi perbuatannya, ia tetap merasa tidak bersalah, sekalipun tertangkap basah.
Bahkan, pelaku berani menyatakan bahwa ia tidak pernah menerima uang. Satu sen pun
tidak. (Bersambung ke halaman berikutnya)

Kedua, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana pengawasan yang dilakukan OJK selama
ini. Sebelumnya, kita harus memahami apa tugas OJK terlebih dahulu. OJK melaksanakan
tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan,
jasa keuangan di sektor pasar modal, dan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana
pensiun, lembaga pembiayaan, serta lembaga jasa keuangan lainnya.

Yang dimaksud dengan lembaga jasa keuangan lainnya adalah pegadaian, lembaga
penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan,
dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib,
yang meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan.
Tegasnya, tugas OJK sangat luas cakupannya dan strategis, mulai dari mengatur,
mengawasi, sampai dengan mengelola industri perbankan dan industri keuangan nonbank
(IKNB).

Jangan lupa bahwa OJK mengelola aset perbankan, perasuransian, lembaga pembiayaan,
dan dana pensiun yang mencapai Rp8.250 triliun. Perinciannya, aset perbankan mencapai
Rp6.607 triliun, kemudian disusul aset asuransi Rp913,07 triliun, lembaga pembiayaan
Rp499,12 triliun, dan dana pensiun Rp233,68 triliun (Koran Kontan, 18 Januari 2017).

Selama ini OJK melakukan pengawasan terhadap sektor perbankan setiap semester atau
dua kali dalam setahun sejauh tidak ada kasus. Artinya, OJK sudah barang tentu tidak dapat
memelototi setiap hari aktivitas operasional 118 bank, yang terdiri atas empat kelompok
bank umum kegiatan usaha (BUKU). Itu pun belum termasuk bank perkreditan rakyat
(BPR).

Tentu saja, setiap bank mempunyai kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap bank
mereka sendiri. Oleh karena itu, setiap bank wajib memiliki divisi atau unit audit,
manajemen risiko, dan hukum. Bahkan, setiap kantor cabang telah memiliki unit audit
internal.

Jadi, secara umum, industri perbankan sudah sangat diatur (highly regulated) oleh
regulator, baik OJK, Bank Indonesia (BI), maupun Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Bahkan, kantor cabang sebagai tempat kejadian kasus pemalsuan dokumen pengajuan
kredit dan deposito itu pasti sudah dilengkapi dengan unit audit internal.

Sekalipun demikian, sudah pasti OJK tidak bisa lepas tangan begitu saja. Mengapa? Karena,
memang, tugas utama OJK adalah melakukan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan,
baik bank maupun nonbank. (Bersambung ke halaman berikutnya)

Dengan bahasa lebih lugas, OJK hendaknya makin profesional dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya selama ini. Secara umum, OJK melakukan tugas pengawasan dari aspek
mikroprudensial. Sebaliknya, BI melakukan tugas pengawasan dari aspek makroprudensial.
Pembagian tugas seperti itu sudah disepakati bersama ketika fungsi pengawasan BI
dialihkan ke OJK pada awal Januari 2014.

Ketiga, pertanyaan lanjutannya adalah mengapa masih terjadi kasus seperti itu. Setiap
kasus perbankan dapat dikatakan hampir selalu melibatkan orang dalam bank itu sendiri.
Katakanlah, kasus deposito palsu. Apa yang dipalsukan? Terdapat beberapa kemungkinan,
yakni lembar bilyet deposito, nomor seri deposito, atau tanda tangan pejabat yang palsu.
Semuanya bisa terjadi.

Kemungkinan pemalsuan itu akan lebih tinggi ketika sang deposan (pemilik deposito) itu
tidak pernah datang sendiri ke bank. Dengan kalimat lebih lugas, deposan hanya menerima
deposito ketika sudah jadi. Padahal, kita sebagai deposan sudah sepatutnya melakukan
pengecekan langsung kepada petugas bank tempat deposito itu diterbitkan. Kesempatan
emas inilah yang dimainkan oleh pihak luar untuk main mata dengan orang dalam bank
demi memperoleh keuntungan finansial.

Keempat, secara kasatmata, sesungguhnya pemalsuan deposito itu modus lama, tapi terus
bermunculan lantaran ada orang dalam yang ikut bersekongkol. Kedua kasus itu
merupakan risiko operasional.

Apa itu risiko operasional? Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark (2000) mengatakan,
risiko operasional meliputi dua komponen risiko. Satu, risiko kegagalan operasional,
meliputi risiko yang bersumber dari sumber daya manusia (SDM), proses, dan teknologi.
Dua, risiko strategi operasional, yang berasal dari beberapa faktor, antara lain politik, pajak,
regulasi, pemerintah, masyarakat, dan kompetisi.

Dengan bahasa manajemen risiko, kedua kasus tersebut bersumber dari SDM, yakni orang
dalam bank yang bekerja sama dengan pihak luar. Jenis risiko yang satu ini cukup sulit
dicegah seratus persen. Sarinya, kasus itu bukan berasal dari risiko proses dan teknologi.
(Bersambung ke halaman berikutnya)

Kelima, masalahnya kemudian, bagaimana bank dapat melakukan mitigasi risiko kasus
perbankan. Dari sisi manajemen risiko, bank wajib meningkatkan penerapan manajemen
risiko, baik risiko operasional, kredit, pasar, maupun likuiditas.

Selain itu, bank wajib melakukan revitalisasi atau melakukan peremajaan sistem dan
prosedur atau standard operating procedures (SOP) setiap saat. Sudah seharusnya SOP
disesuaikan dengan perubahan produk dan jasa serta perkembangan lingkungan industri
perbankan. Hal itu tampaknya sesuatu yang sepele, tapi sungguh penting dan mendesak
untuk dilakukan mitigasi risiko. Karena, SOP menjadi panduan setiap pegawai bank dalam
melakukan tugas operasional sehari-hari.

Keenam, terkait dengan teori segitiga fraud itu, bank wajib melakukan perbaikan dari sisi
manajemen SDM. Ringkas tutur, manajemen sudah seharusnya meningkatkan penerapan
manajemen jenjang karier (career path management atau CPM).

Orang bekerja itu bukan hanya mencari gaji, melainkan juga ingin memperoleh
penghargaan dari orang lain sejalan dengan “teori motivasi” Abraham Maslow. Intinya,
orang (baca: pegawai) itu membutuhkan prestise, penghargaan dari orang lain, status,
ketenaran, dominasi, menjadi orang penting, kehormatan, diterima, dan apresiasi.

Oleh karena itu, manajemen bank perlu lebih memperhatikan pegawai yang mempunyai
karier mentok supaya tidak gelap mata. Kondisi gelap mata itu bisa menimbulkan motif
balas dendam yang berujung fraud. Inilah potensi risiko operasional.

Ketujuh, tak berhenti di situ, bank perlu kembali menerapkan pengawasan melekat (waskat)
atasan langsung terhadap bawahan. Meskipun hal itu sudah dianggap sebagai kiat
pengawasan usang, model pengawasan itu masih dapat dimanfaatkan hingga saat ini.
Kok bisa? Ingat senantiasa bahwa kini banyak bank memanfaatkan tenaga kerja alih daya
(outsourcing) sebagai salah satu langkah efisiensi. Langkah itu diambil, mengingat makin
banyak bank yang memiliki kantor kas untuk melakukan penetrasi pasar sedalam mungkin
dengan menempatkan tenaga kerja alih daya itu. Di sinilah waskat diperlukan untuk
mitigasi risiko operasional.

Berbekal aneka alternatif solusi demikian, bank amat diharapkan dapat melawan kasus
perbankan dengan jitu. (*)
Penulis adalah pengamat perbankan dan mantan Assistant Vice President Bank Negara
Indonesia (BNI)

Anda mungkin juga menyukai