Anda di halaman 1dari 8

Tabur Risiko Operasional, Tuai Risiko Reputasi

Siapa menanam, kelak dia akan memanen. Terkuaknya kasus pembobolan Citibank NA Indonesia
laksana petir di siang bolong. Betapa tidak, Citibank adalah bank global papan atas yang selama ini
terkenal ketat dan telah banyak melahirkan bankir-bankir ternama di tanah air. Sebut saja beberapa
di antaranya, Robby DJohan (mantan dirut Bank Niaga), Jerry Ng (dirut BTPN), dan Emirsyah Satar
(dirut Garuda dan mantan wadirut Bank Danamon).

Sayangnya kini reputasi cemerlang Citibank yang telah hadir di Indonesia sejak 1968 ini tengah
diujung tanduk, menyusul kegagalan mengantisipasi resiko operasionalnya. Alhasil Malinda Dee
Melinda alias Inong alias MD, Senior Relationship Manager Private Banking Citibank, sukses
membobol banknya sendiri selama bertahun-tahun.

Dampak terbongkarnya kejahatan MD, selain menggoyahkan reputasi Citibank, juga membawa efek
berantai pada industri perbankan nasional yang tengah berupaya ekstra memulihkan kredibilitasnya
akibat skandal Bank Century. Tetapi, kasus MD dan Citibank seperti meruntuhkan seluruh kerja
keras tersebut. Alhasil kredibilitas perbankan Tanah Air pun kembali goyah.

Bahkan kasus yang bagai air kini mengalir deras hingga menyentuh persoalan pencucian uang.
Malinda Dee lewat pengacaranya mengaku bahwa Citibank telah menampung dana pencucian uang
nasabahnya selama 10 tahun. Malinda mengaku itu (menampung pencucian uang nasabah).
Citibank tahu karena untung, kata salah satu kuasa hukum Inong Malinda Dee, Indra Sahnun Lubis,
di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (26/4).

Jadi pihak Citibank telah lama mengetahui praktik Malinda yang kini telah merugikan nasabah
sebesar Rp16,03 miliar. Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting, Amalia E Maulana
mengatakan, bank besar seperti Citibank akan merepresentasi industrinya. Dampaknya, jika terjadi
masalah pada Citibank maka akan mempengaruhi reputasi bank lain dalam pasar tersebut. Ini logis
sebab,kalau bank sekaliber Citibank yang dikenal profesional saja sudah seperti itu, bagaimana kita
bisa percaya dengan bank-bank lainnya? tutur Amalia setengah bertanya.

Di pihak lain, bagi BI, kasus Citibank ibarat teman yang menikam dari belakang. Pasalnya, Citibank
yang memiliki kantor pusat di Amerika Serikat (AS) ini merupakan salah satu bank yang dijadikan
mitra BI saling tukar informasi terkait penyusunan sistem pengendalian bank. Bahkan terbitnya
Peraturan BI soal direktur kepatuhan tak lepas dari masukan bank tersebut.

Faktor Penyebab

Pertanyaannya, mengapa praktik pembobolan dana nasabah bank yang sudah berlangsung lama ini
baru diketahui? Pengamat hukum perbankan Siti Sundari menilai setidaknya ada tiga poin penting
yang menjadi penyebab kasus-kasus kejahatan perbakan sering kali terlambat terdeteksi.

Pertama, akibat lemahnya manajeman risiko opersional bank. Menurut Siti yang juga Ketua
Indonesia Banking School ini seharusnya dalam mengelola risiko operasional, manajemen wajib
memastikan setiap unit kerja menjalani fungsi dan tugasnya sesuai prosedur. Sekecil apapun
kesalahan tidak bisa ditoleransi. Hal ini diterapkan mulai level direktur hingga staf. Selanjutnya,
dipastikan masing-masing orang harus disesuaikan dengan kapasitas fungsi dan jabatannya.

Lalu bagaimana cara mencegah terjadinya risiko operasional. Caranya, setiap unit melakukan
pengendalian seluruh transaksi. Masing-masing unit juga wajib dilengkapi staff compliance. Ini yang
kita kenal dengan pengawasan melekat (waskat). Tujuannya adalah untuk memastikan semua
keputusan bisnis tidak melanggar undang undang. Sebagai gambaran, kredit yang disalurkan sebuah
bank harus dicatat. Tidak hanya di level staf, namun juga hingga ke level kepala seksi, kepala bagian
hingga direksi.

Aspek lain yang juga penting dalam pengelolaan risiko operasional adalah cara pengenalan identitas
nasabah atau lebih dikenal Know Your Customer (KYC). Apakah prinsip KYC-nya sudah benar-benar
sesuai prosedur atau tidak. Komponen dalam KYC perlu ditanyakan secara jelas seperti identitas
perusahaan atau perorangan, cash flow, dan asal sumber dana. Kalau ada yang janggal bank bisa
mengklarifikasi. Jika nasabah tidak mau klarifikasi, baru bank melapor ke Pusat Pelaporan Analisis
Transaksi dan Keuangan (PPATK). Poin kedua yang memunculkan kejahatan perbankan, kata Siti
Sundari, adalah kurang optimal internal audit dari bank yang bersangkutan. Secara teoritis, jika
fungsi pokok internal audit benar maka akan mencegah terjadinya kesalahan di seluruh unit kerja.
Mereka bisa melakukan cek silang (cross check) setiap transaksi yang terjadi antara staf di front
office dengan data yang ada di komputer.

Poin berikutnya adalah kurang optimalnya tindak lanjut hasil audit eksternal. Mereka yang
bertanggung jawab terkait hal ini bisa Kantor Akuntan Publik (KAP), BI, hingga Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang memerikas bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jika ketiga poin itu
dijalankan optimal tentu akan terlihat di titik mana kesalahan itu terjadi, apakah di BI, internal
operasional bank, atau divisi kepatuhan. Di samping itu, tentunya semua langkah tadi akan
meminimalisir terjadinya pratik ilegal seperti yang dilakukan MD pada banknya, kata Siti Sundari,
wanita yang pernah menjabat direktur di direktorat pengawasan BI ini.

Cerita Lama

Sejatinya, modus pembobolan bank, seperti dalam kasus Citibank, relatif menggunakan pola lama,
yakni manipulasi dokumen, sesuatu yang seharusnya bisa diantisipasi nasabah dan bank sejak awal.
Namun akibat kurang responsifnya langkah preventif itu, bank sekaliber Citibank pun akhirnya
kebobolan.

Memang kasus pembobolan bank tak hanya monopoli Citibank, sebab Mabes Polri mencatat,
sepanjang 2010 hingga awal 2011, terdapat delapan perkara kejahatan perbankan dengan total
kerugian mencapai Rp85 miliar. Ini dengan asumsi kerugian di Citibank hanya sekitar Rp17 miliar.
Nyatanya banyak yang menyebut angka pembobolan oleh MD melebihi Rp 100 miliar.

Bahkan beberapa pekan setelah kasus Citibank, terbit kasus Bank Mega yang mengelola deposito
perusahaan pengelola pelat merah PT Elnusa Tbk (ELSA). Meski Direktur Utama Bank Mega JB
Kendarto menegaskan, pembobolan sebesar Rp 111 miliar itu bukan terjadi pada banknya,
melainkan pada rekening Elnusa yang diambil oleh pegawainya sendiri, tetap saja kasus itu
mencoreng dunia perbankan.

Kembali ke Citibank. Jika menilik sejarah, kasus kejahatan bank yang menimpa Citibank ternyata
bukan yang pertama bagi bank papan atas tersebut. Pada 1995, mantan Presiden Meksiko Carlos
Santina juga pernah melakukan kejahatan pencucian uang yang melibatkan Citibank. Saat itu, Carlos
Santina meminta adiknya mentransfer uang 1 juta dollar AS kepada Citibank cabang AS. Namun
untuk transkasi tersebut, Carlos meminta Menteri Keuangannya memanggil petinggi Citibank AS
datang ke Meksiko.

Selanjutnya, dari Citibank AS, uang ditransfer ke Citibank Cayman Islan, dan dilarikan ke Citibank
Swiss. Ironisnya, setelah rezim Presiden Carlos Santana tumbang, mereka dihukum atas tuduhan
kejahatan narkoba, bukan pencucian uang. Sementara petinggi Citibank AS yang menangani kasus
tersebut dihukum 10 tahun dengan tuduhan terlibat pencucian uang.

Dari sini sudah jelas terlihat prinsip KYC tidak diterapkan sesuai prosedur. Belum lagi, Citibank AS
tidak menanyakan identitas lengkap nasabah karena sang presiden mengatasnamakan perusahaan.
Jangankan alamat perusahaan, nama perusahaanpun tidak ditanya, akta jual belinya dimana,
kisah Sundari.

Kisah kejahatan perbankan lain yang tak kalah spektakuler adalah skandal Baring Bank (Barings) pada
1995. Barings merupakan bank tua di Inggris (berdiri sejak 1762), akhirnya harus bangkrut setelah

merugi 827 juta poundsterling dalam transaksi trading di pasar uang. Penyebab kerugiannya pun
sangat konyol akibat Barings terlalu percaya pada trader mudanya, Nicholas Leeson, 28 tahun, yang
bekerja di Singapore Futures Exchange.

Orang yang biasa dipanggil Nick Leeson ini telah dianggap sebagai trader brilian karena dalam setiap
transaksi trading-nya menghasilkan untung besar. Barings akhirnya memberi Nick Leeson peran
ganda, sebagai trader sekaligus manajer pelaksana dan pencatat settlement, peran yang seharusnya
dipegang oleh orang yang berbeda dalam rangka penegakan pengawasan internal (internal control
enforcement).

Peluang ini rupanya dimanfaatkan Nick Leeson melakukan sejumlah manipulasi data dan informasi.
Leeson berhasil menyembunyikan kerugian yang berasal dari posisi trading-nya yang terus
meningkat hingga dua tahun sampai akhirnya muncul ke permukaan. Di Indonesia sendiri, kasus
kejahatan perbankan yang tingkatnya relatif setara dengan kasus Nick Leeson adalah skandal Bank
Duta (1990) yang mengakibatkan kerugian 420 juta dollar. Modusnya,transaksi valas yang dilakukan
salah satu direkturnya tidak melalui proses otorisasi semestinya. Yang bersangkutan melaksanakan
transaksi untuk kepentingan bank sejalan dengan transaksi untuk kepentingan sendiri secara
bersamaan. Sayangnya, perlakuan (treatment) atas konsekuensi yang timbul dari transaksi yang
dilakukannya berbeda. Apabila transaksi menguntungkan, dilakukan pencatatan terhadap rekening
pribadi. Sebaliknya, jika merugikan, akan dicatat sebagai transaksi yang dilakukan bank.SP
Dari Bank Duta Hingga Citic

Inilah Sejumlah Kasus Transaksi Derivatif Yang Pernah Menyita Perhatian Publik :

Kasus yang timbul akibat transaksi derivatif valuta asing bukan kali ini saja terjadi. Dua tahun lalu PT
Indosat Tbk. juga tersandung transaksi ini, setelah Drajad W. Wibowo, anggota Komisi Keuangan dan
Perbankan DPR-RI menyoalnya. Drajad menengarai Indosat mengalami kerugian hingga 653 miliar
rupiah akibat transaksi derivatif yang dilakukan selama tiga tahun.
Tudingan Drajad terutama didasarkan pada laporan keuangan Indosat 2007, yang salah satu
komponennya menunjukan kerugian dari transaksi derivatif. Tudingan terhadap Indosat itu,
belakangan dianggap oleh pemerintah sebagai bukan transaksi derivatif. Kasusnya selesai meskipun
faktanya Indosat memang menerbitkan obligasi (surat utang) dalam bentuk dolar masing-masing 300
juta dollar AS dan 250 juta dollar AS.
Bunga dari obligasi itulah dibayarkan dalam bentuk dolar dan besarnya tetap (fixed). Indosat juga
memiliki fasilitas kredit ekspor dari Finlandia sebesar 34 juta dolar AS. Indosat juga diketahui
memasuki kontrak interest rate swaps dan cross currency swaps. Nilai nominal dari kontrak tersebut
pada akhir Desember 2006 mencapai 400 juta dollar AS atau sekitar 68,5 persen dari total kewajiban
dolar Indosat.

Jauh sebelum Indosat, beberapa bank juga pernah terbelit persoalan transaksi ini. Yang terbesar dan
menghebohkan adalah skandal transaksi valuta asing yang melibatkan Bank Exim pada 1998. Bank
itu limbung setelah mengalami kerugian akibat transaksi hingga 6,64 triliun rupiah.
Sebelum kekalahan itu terbongkar, Bank Exim memang dikenal banyak mengambil keuntungan dari
perbedaan suku bunga antara suku bunga rupiah dengan bunga pergerakan kurs. Polanya, bank itu
meminjam dana dalam bentuk dolar Amerika tanpa di-hedging (lindung nilai). Dana itu lalu
dipinjamkan kembali dalam bentuk rupiah dengan bunga cukup tinggi di pasar uang antar bank.
Katakanlah pergerakan kurs berkisar 5-6 persen (saat sebelum krismon 1998), dan sementara suku
bunga rupiah bergerak pada kisaran 17 persen, maka Bank Exim akan menangguk selisih bunga
hingga 12 persen. Mei 1997, bank itu kembali melakukan pola yang sama dengan mengikat kontrak
forward sebesar 2.725 rupiah untuk 1 dollar AS.
Nilainya mencapai 2,16 miliar dollar AS atau 15 kali lipat melampaui ketentuan yang dibolehkan
otoritas moneter. Mengantongi ekuitas 1,5 triliun rupiah, dengan ketentuan itu Bank Exim
sebetulnya hanya bisa melakukan transaksi derivatif sekitar 350 miliar rupiah.
Bank Duta
Singkat cerita dengan kontrak itu, berarti Bank Exim akan menyerahkan dolarnya (short position)
dengan harga yang sudah dipatok rata-rata 2.725 rupiah. Dua bulan kemudian badai krismon
menghantam Indonesia dan berujung pada melambungnya nilai dolar. Hingga Agustus 1997, bank itu
sebetulnya sudah berpotensi rugi 150 miliar namun belum dilakukan langkah pencegahan. Tak juga
melakukan lindung nilai itu.
Puncaknya terjadi pada Desember, ketika harga dolar sudah mencapai 3.191 rupiah. Saat itu potensi
kerugian Bank Exim sudah menggelembung hingga 6,64 triliun rupiah. Kasus itu terbongkar setelah
ada dalam laporan keuangannya kepada Bank Indonesia, neraca Bank Exim terlihat bersih. Padahal
dalam off balance sheet atau neraca yang tidak dilaporkan, keuangan Bank Exim tidak
mencantumkan kewajiban membayar 2,16 miliar dolar AS.
Skandal menghebohkan di ujung 1998 itu belakangan menyeret Hedi Rahadi Salmun, Direktur
Sindikasi dan Jasa Keuangan Bank Exim dan Saleh Azis, Kepala Biro Pengelolaan Dana Bank Exim ke
sel tahanan. Bank Exim kemudian dilebur ke dalam Bank Mandiri, bersama antara lain Bank Bumi
Daya.
Bank lain yang juga pernah kolaps akibat transaksi derivatif adalah Bank Duta. Pada kuartal terakhir
1990, bank itu terhuyung-huyung karena kalah bermain valas sebesar 417 dollar AS. Sama dengan
Bank Duta saat itu mengikat transaksinya melalui delapan bank. Salah satunya melalui National Bank
of Kuwait cabang Singapura.
Diketahui kemudian, Bank Duta dinilai salah mengambil posisi karena membuat kontrak forward
lewat mata uang Jerman dengan valas dolar AS. Kasus ini bukan hanya menyebabkan Dicky Iskandar
Di Nata (Direktur Utama Bank Duta) dipecat dari jabatannya, melainkan juga membuatnya
mendekam di penjara.

Kasus yang lebih kecil pernah terjadi antara Bank Subentra dan Bank Internasional Indonesia (BII).
Dua bank ini sempat bersengketa, setelah transaksi valas yang dilakukan keduanya pada 1997. Oleh
BII, Bank Subentra dinilai cidera janji memenuhi tagihan 97,9 miliar rupiah setelah mengikat
transaksi valas dengan BII.
Alasan penolakan Bank Subentra, karena mereka menilai BII tak memenuhi sejumlah syarat. Antara
lain syarat-syarat dan ketentuan umum mengenai opsi pertukaran valas. Merasa dipermainkan,
manajemen BII lalu mengadukan kasus ke polisi. Herutomo, Direktur Treasury Subentra sempat
diperiksa polisi.
Kasus yang relatif baru menimpa Citic Pacific Ltd. Hong Kong. Perusahaan baja dan properti itu
menelan kerugian setelah melakukan spekulasi terhadap dolar Australia. Perusahaan ini
memperkirakan dolar Australia akan menguat terhadap dolar Amerika.
Kontraknya diteken pada 7 September 2009. Namun sekitar 40 hari kemudian, Citic sudah
mengumumkan kerugian akibat transaksi itu. Dari kerugian 2,4 miliar dola AS yang diumumkan,
kerugian Citic karena bertaruh di mata uang Negeri Kanguru itu diperkirakan mencapai 2,2 miliar AS.

Pembobolan Bank: Over Trust, Moral Hazard, dan Sistem Pengawasan


Kasus pembobolan dana (nasabah) bank di salah satu bank asing yang saat ini ramai diberitakan,
sejatinya bukan hal baru. Jika kita mencermatinya, sejatinya tidak ada teknik dan modus yang
tergolong canggih. Rangkaian kegiatan untuk mengelabui nasabah dan bank masih menggunakan
pola lama: manipulasi dokumen, yang seharusnya bisa diantisipasi nasabah dan bank sejak awal.
Pertanyaannya, tapi kenapa praktek pembobolan dana (nasabah) bank yang berlangsung lama ini
baru terdeteksi?

Saya melihat, munculnya kasus pembobolan dana (nasabah) bank ini sejatinya bermula dari satu
celah: bank terlalu percaya (over trust) kepada karyawan. Kepercayaan tinggi pada karyawan yang
dianggap berprestasi memang bisa membuat bank lalai dan akhirnya membiarkan terjadinya
pengabaian sistem dan prosedur dalam proses transaksi bank: identifikasi, analisis, otorisasi, dan
review. Saya tidak percaya bahwa sekelas bank asing yang punya reputasi internasional tersebut
tidak memiliki sistem pengendalian internal (internal control system) yang baik. Setiap bank pasti
memiliki sistem pengendalian intern-nya yang telah disesuaikan dengan tingkat kompleksitas bank
terkait. Bank Indonesia (BI) sendiri juga telah melakukan review dan penilaian atas keandalan sistem
pengendalian suatu bank secara periodik. Dengan kata lain, BI sejatinya telah mengetahui tingkat
keandalan pengendalian intern setiap bank.

Terjadinya kasus pembobolan dana (nasabah) bank tersebut, sejatinya bukan karena tidak adanya
sistem pengendalian intern, melainkan karena tidak dijalankannya sistem pengendalian intern
tersebut sebagaimana mestinya. Dan kondisi ini bermula karena karena adanya sikap over trust yang
timbul dari subyektivitas pihak manajemen bank. Akibatnya, banyak proses yang seharusnya dilalui,

akhirnya dilewati begitu saja, padahal proses tersebut sejatinya penting sebagai checking setiap
transaksi bank yang prudent (hati-hati).

Kasus pembobolan dana (nasabah) bank yang terjadi di salah satu bank asing saat ini, mengingatkan
kita pada kasus Baring Brothers (Barings) pada 1995. Barings merupakan bank tua di Inggris (berdiri
sejak 1762), akhirnya harus bangkrut setelah merugi 827 juta poundsterling dalam transaksi trading
di pasar uang. Penyebab kerugiannya pun sangat konyol: akibat Barings terlalu percaya pada trader
mudanya, Nicholas Leeson (28 tahun), yang bekerja di Singapore Futures Exchange. Nick Leeson
telah dianggap sebagai trader brilian karena dalam setiap transaksi trading-nya, terbukukan
menghasilkan untung besar. Barings akhirnya menempatkan Nick Leeson, yang seorang trader ini
juga berperan sebagai manajer pelaksana dan pencatat settlement, peran yang seharusnya dipegang
oleh orang yang berbeda dalam rangka internal control enforcement.

Ternyata, Nick Leeson telah melakukan sejumlah manipula data dan informasi. Leeson berhasil
menyembunyikan kerugian yang berasal dari posisi trading-nya yang terus meningkat hingga dua
tahun sampai akhirnya muncul ke permukaan. Walapun kejadian ini dipersepsikan sebagai tindakan
rouge trader, salah satu penyebab keadaan tersebut adalah kegagalan proses dan prosedur
pengendalian intern. Dan kegagalan penerapan pengendalian internal ini adalah karena over trust
manajemen Barings kepada karyawannya.

Sebelum kasus Nick Leeson, kasus serupa sejatinya telah terjadi di Indonesia. Kasus Bank Duta (1990)
yang mengalami kerugian US$420 juta, adalah akibat ketergantungan yang berlebihan pada
karyawan/pejabat kunci. Modusnya, transaksi valas yang dilakukan oleh salah satu direkturnya tidak
melalui proses otorisasi semestinya. Yang bersangkutan melaksanakan transaksi untuk kepentingan
Bank sejalan dengan transaksi untuk kepentingan sendiri secara bersamaan. Sayangnya, perlakuan
(treatment) atas konsekuensi yang timbul dari transaksi yang dilakukannya berbeda. Apabila
transaksi menguntungkan, dilakukan pencatatan terhadap rekening pribadi, sebaliknya jika
merugikan akan dicatat sebagai transaksi yang dilakukan Bank.

Kesimpulan adalah rentetan pembobolan dana (nasabah) bank di atas sejatinya bermula dari
ketidaktaatan bank dalam menerapkan sistem pengendalian intern-nya secara konsisten, akibat
sikap over trust manajemen bank kepada karyawan kunci. Dan sayangnya, karyawan kunci yang
bersangkutan menggunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya tersebut untuk tujuan moral
hazard, memperkaya diri sendiri.

Bisakah kegagalan penerapan proses dan prosedur pengendalian intern sebuah bank ini ditarik
sebagai kegagalan BI selaku otoritas pengawas bank? Kalau mau ditarik, tentu saja bisa, tetapi harus
dilihat secara proporsional. Tugas BI adalah mengawasi perbankan secara makro. Dalam konteks

pengawasan makro, BI melakukan pengawasan mikro: melalui audit secara periodik. Dari sinilah, BI
seharusnya sudah menemukan adanya kejanggalan.

Perlu dicatat, pengendalian intern bank adalah sepenuhnya tanggung jawab bank. Oleh karenanya,
bila ada kerugian yang timbul akibat pengendalian intern bank, manajemen bank itulah yang harus
bertanggung jawab. BI selaku otoritas harus memberikan assessment terhadap manajemen bank
terkait dengan tidak diterapkannya pengendalian intern secara baik.***

Dimuat oleh Seputar Indonesia, Kamis, 7 April 2011

Anda mungkin juga menyukai