Anda di halaman 1dari 6

TIARA PUTRI ELENA

43118010047

TUGAS SESI 5 – MANAJEMEN RISIKO BISNIS

1. Apa yang dimaksud dengan risiko hukum? Jelaskan.


Jawab :

Risiko hukum adalah risiko yang timbul karena ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam


mengelola munculnya permasalahan hukum yang dapat menimbulkan kerugian
atau kebangkrutan bagi perusahaan. Risiko hukum antara lain dapat bersumber
daripada operasional, perjanjian dengan pihak ketiga, ketidakpastian hukum dan kelalaian
penerapan hukum, hambatan dalam proses litigasi untuk penyelesaian klaim, serta
masalah yurisdiksi antar negara. Di beberapa negara, risiko hukum disebabkan oleh posisi
hukum yang kurang jelas, misalkan kepemilikan properti atau masalah kepailitan. Risiko hukum
dari suatu negara umumnya berbeda dengan negara lainnya.

2. Mengapa risiko hukum menjadi hal yang penting untuk diperhatikan oleh
perusahaan?
Jawab :

Terdapat beberapa alasan yang membuat perusahaan harus memperhatikan risiko hukum secara
serius. Berikut di antaranya;

1. Berkurangnya Kekhawatiran Hukum

Denda atau pelanggaran hukum yang ditetapkan oleh badan pengawas maupun pemerintah
setempat umumnya bisa mengakibatkan kerugian dari sisi materiil dan non materiil. Tak hanya
terkena denda yang nominalnya cukup fantastis, reputasi atau citra perusahaan juga akan menjadi
buruk di masyarakat atau konsumen.
Untuk itu, dengan memperhatikan risiko hukum dapat membantu perusahaan menghindari
masalah hukum seperti pencabutan izin usaha, tuntutan hukum, penutupan perusahaan, dan
denda yang jumlahnya lumayan besar.

2. Peningkatan Operasi Bisnis

Sering kali, peraturan dan standar yang ditetapkan turut memberikan wawasan industri agar
membantu perusahaan menjalankan operasional bisnisnya. PCI SSC (Payment Card Industry
Security Standards Council), HIPAA (Health Insurance Portability and Accountability Act of
1996), dan GDPR (General Data Protection Regulation) hanyalah beberapa contoh badan
pengawas yang memantau semua risiko terbaru yang dapat memengaruhi data konsumen.
Dengan mempertahankan hukum, perusahaan dapat terhindar dari pelanggaran data dan risiko
lainnya.

3. Hubungan Masyarakat yang Disempurnakan

Setiap kali perusahaan dapat memberi tahu pelanggan, stakeholder, dan rekan bisnis bahwa
perusahaan selalu mematuhi hukum dan semua prosedur dan standar industri yang berlaku,
reputasi dan hubungan masyarakat yang dimiliki perusahaan pun akan meningkat.

3. Carilah kasus yang terjadi pada perusahaan, berkaitan dengan kasus Manajemen
Risiko Hukum dan Kepatuhan, dan jelaskan bagaimana peristiwa (kasus) tersebut tsb
bisa terjadi dan bagaimana cara memitigasi (MENGURANGI) risiko hukum tersebut
agar tidak terjadi lagi. Kasus bebas, bisa dalam perusahaan kecil/besar ataupun badan
usaha lain. Kasus setiap mahasiswa tidak boleh sama!!
Jawab :

KASUS BNI 46 – Penyelewengan Perbankan dan Tipibank

BANK sebagai lembaga intermediasi sering digunakan sebagai sarana dan/atau sasaran untuk
memperkaya diri sendiri, keluarga, atau kelompok tertentu secara melawan hukum yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan bank mengalami permasalahan struktural.
Perbuatan tersebut dapat dilakukan baik oleh komisaris, direksi, pegawai, pihak terafiliasi,
pemilik/pemegang saham bank, atau pihak lain sehingga dapat menyebabkan turunnya tingkat
kepercayaan masyarakat (distrust) terhadap sistem perbankan.

Peranan perbankan dalam perekonomian di Indonesia sangat besar. Sebagai lembaga


intermediasi, perbankan mampu mengatur dan mengelola lalu lintas dan transaksi keuangan
secara cepat dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya.

Oleh karena itu jumlah dana yang dikelola oleh perbankan tidak sedikit, resiko yang dihadapi
juga sangat besar, baik resiko hukum, likuiditas, managemen dan risiko lainnya yang sudah
dijelaskan di atas.

Dari sisi hukum resiko yang dihadapi adalah pelanggaran terjadinya tindak pidana di bidang
perbankan oleh para bankir dan stakeholder terkait.  Resiko ini jelas ada mengingat secara
keseluruhan uang yang dititipkan nasabah sangat besar.

Berbagai kasus penyimpangan, penyalahgunaan dana nasabah banyak terjadi, seperti kasus BNI
46 KCU Ambon yang akan diproses secara hukum.

Peranan yang begitu besar ternyata berdampak pada munculnya berbagai penyimpangan baik
yang dilakukan oleh pejabat bank yang memiliki otoritas tertentu sebagaimana yang dilakukan
oleh Faradiba Yusuf yang mengakibatkan raibnya dana debitur dengan jumlah besar kurang lebih
124 milyar. Namun Hal ini perlu dibuktikan melalui suatu proses hukum yang dilaksanakan
secara jujur dan taransparan.  Kondisi ini tentu membutuhkan satu penanganan yang baik,
komprehensif, cepat dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Ini semua dapat terwujud apabila peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah
perbankan dapat dilaksanakan dengan baik oleh semua pihak penegakan hukum.  Namun melihat
fenomena yang terjadi pada BNI 46 KCU Ambon menunjukan adanya penyelewengan ketentuan
perbankan (PKP) dalam bentuk pelanggaran administratif dan tindak pidana bank (Tipibank).

Peranan BNI yang sangat strategis juga tidak terlepas dari berbagai tindakan yang dapat
merugikan kepercayaan masyarakat terhadap BNI khusunya BNI KCU Ambon, sebagai lembaga
yang menjalankan jasa keuangan dan non-keuangan. Setiap tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan atau regulasi perbankan disebut sebagai penyelewengan ketentuan perbankan (PKP)
dimana modus operandinya sangat variatif.

Dalam banyak kasus  lebih dari 90% penyelewengan ketentuan perbankan (PKP) di lakukan
melalui kerja sama orang luar dan orang dalam bank. Uniknya, orang dalam tersebut terdiri dari
para young urban profesional (YUPPIES), dengan ciri-ciri yang sama, yaitu muda, pintar, gesit,
workaholic, ambisius, punya posisi baik, punya penghasilan, dan memiliki angan-angan tinggi.

Apakah kebijakan CASH BACK pengucuran itu tepat, apakah portofolio likuiditas Bank BNI
KCU Ambon hanya bisa ditingkatkan untuk mencapai target harus dengan CASH BACK yang
akhirnya akibat kesalahan tata kelola dan kalkulasi sehingga berdampak pada tingkat
kepercayaan masyarakat.
Jika jawabannya tidak tepat, maka pertanyaannya adalah apakah tindakan tersebut merupakan
penyelewengan ketentuan perbankan (PKP) sebagai akibat tindakan diskresi yang diambil oleh
Farra selaku Kepala Marketing BNI KCU Ambon dan kemana saja aliran kucuran dana tersebut,
serta bagaimana mengejarnya dan siapa saja yang bisa dijerat dengan hukum.

Dalam kasus ini saya melihat bahwa tindakan atau keputusan Faradiba Yusuf memperlihatkan
secara nyata adanya penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya sebagai pejabat tertentu yang
menyebabkan  BNI KCU Ambon kehilangan dana milik masyarakat sebesar puluhan atau
ratusan milyar sebagaimana yang diberitakan yang menurut asumsi saya hal ini dilakukan oleh
Faradiba tidak sendirian tetapi ada pihak lain yang terlibat dan ikut menikmati hasil dari PKP ini.

Kasus BNI KCU Ambon seharusnya dicermati dari dua sisi, pertama tentang ada tidaknya
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Faradiba para pihak BNI KCU Ambon sehingga BNI
dirugikan sebesar 58,9 atau 124 milyar rupiah, dan kalau ini terjadi maka berarti telah terjadi
tindak pidana bank.

Disini penegak hukum (penyidik) seharusnya mempelajari apakah kebijakan Cash Back tersebut
sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undang berkaitan dengan layanan nasabah
prima (primary customer) yaitu POJ K No.57; yang Melakukan Layanan Nasabah Prima.
Kemudian sejumlah regulasi perbankan yang terkait seperti POJK.03/2016 tanggal 9 Desember
2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum PBI No.11/19/PBI/2009 tanggal 4
Juni 2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum; PBI 
No.14/12/PBI/2012 tanggal 15 Oktober 2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum.

PBI No.13/8/PBI/2011 tanggal 4 Februari 2011 tentang Laporan Harian Bank Umum; POJK
No.5/POJK.03/2016 tanggal 27 Januari 2016 tentang Rencana Bisnis Bank; POJK
No.18/POJK.07/2018 tanggal 10 September 2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di
Sektor Jasa Keuangan; POJK No.1/POJK.07/2013 tanggal 26 Juli 2013 tentang Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan;

Selajutnya, POJK No.38/POJK.03/2016 tanggal 7 Desember 2016 tentang Penerapan


Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum; dan POJK
No.18/POJK.03/2016 tanggal 22 Maret 2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum.

Apakah prosedur kebijakan Cash Back tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perbankan yang
ada, atau apakah Farra selaku Pejabat yang mengambil kebijakan tersebut memang berwenang
untuk melakukannya, dan jika memang iya maka apakah kebijakan tersebut sudah mendapat
persetujuan pimpinan di atas-nya.?

Masalah kedua yang harus segera diusut adalah masalah aliran dana yang konon dikatakan raib
pada  BNI KCU Ambon yang terjadi akibat penyalahgunaan wewenang dan pelanggran regulasi 
maka aliran dana yang keluar dari BNI KCU Ambon ke berbagai pihak siapapun itu.

Sepanjang pihak tersebut mengetahui atau patut menduga bahwa dana dari BNI KCU Ambon
tersebut tidak dapat dipertangguungjawabkan, maka mereka yang menerima (menikmati) dana
yang merupakan bagian dari Rp.124 milyar adalah pelaku penyelewengan ketentuan perbankan
(PKP) baik administratif maupun TIPIBANK.  

Peran OJK Sebagai Lembaga Pengawas

Dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan bank, OJK dapat menemukan  Penyimpangan
Ketentuan Perbankan (PKP), baik yang bersifat administratif maupun yang memiliki indikasi
Tindak Pidana Perbankan (TIPIBANK).

Penanganan PKP yang berindikasi dugaan tipibank perlu dilakukan dengan hati-hati guna
menghindari dampak yang mampu mempengaruhi reputasi bank dan demi terciptanya sistem
perbankan yang sehat guna mendukung stabilitas sistem keuangan.

Informasi PKP yang berindikasi tipibank dapat berasal dari hasil pengawasan bank dan/atau dari
pihak lain. Dalam hal diperlukan penanganan lebih lanjut dengan investigasi, maka akan
dilakukan investigasi terhadap pihak terafiliasi dengan bank dan/atau pihak lain yang menjadikan
bank sebagai sarana dan/atau sasarannya. OJK juga memiliki kewenangan untuk memberikan
sanksi administratif kepada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

OJK berdasarkan Undang-undang OJK memiliki salah satu kewenangan. Dari kewenangan yang
ada adalah Right to Supervise yaitu kewenangan untuk mengawasi meliputi: On-site
supervision yaitu pengawasan bank secara langsung terdiri dari pemeriksaan umum dan
pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan keuangan bank dan
untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku.

Kemudian, untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat yang membahayakan
kelangsungan usaha bank; dan Off-site supervision atau pengawasan tidak langsung  yaitu
pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan
hasil pemeriksaan, dan informasi lainnya.

Berkaitan dengan tugas pengawasan dari OJK maka sesuai ketentuang regulasi yang ada maka
ada dua pendekatan yang digunakan oleh lembaga ini untuk melaksanakan pengawasan kepada
operasionaldan aktivitas bank umum.

Yaitu, Compliance Based Supervision atau pengawasan berdasarkan kepatuhan yaitu


pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan
pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan
dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian (Prudential Banking
Principle). 

Pengawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari pelaksanaan pengawasan bank berdasarkan Risiko; dan Risk Based Supervision atau
Pengawasan Berdasarkan Risiko yaitu pengawasan bank yang menggunakan strategi dan
metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawas bank dapat mendeteksi risiko
yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu.
Untuk itu guna mencapai tujuan pengawasan di atas maka OJK perlu melakukan investigasi
dengan menggunakan beberapa metodologi investigasi untuk mengetahui penyimpangan yang
terjadi, antara lain:

1. Melakukan Penelitian yang terkait dengan dokumen pendukung dan informasi Awal dalam
identifikasi Tipibank;
2. Klarifikasi / Wawancara dengan pihak Bank atau pihak terkait lainnya;
3. Pemeriksaan on the spot atas objek pemeriksaan dan
4. Pengumpulan dokumen pendukung tambahan dugaan Tipibank
Jenis PKP yang berindikasi tipibank berdasarkan Pasal 46 s.d. 50A UU No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 antara lain:  i). Pencatatan
palsu, menghilangkan atau tidak melakukan pencatatan dalam pembukuan, dan mengaburkan,
mengubah, menyembunyikan, pencatatan dalam pembukuan; ii). Penghimpunan dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari OJK; dan iii). Kewajiban bank untuk
menyampaikan keterangan dan penjelasan mengenai usahanyadan kewajibannya penyimpan
kepada OJK.

Dari hasil investigasi tersebut apabila ditemukan adanya dugaan tipibank yang dilakukan oleh
pihak terafiliasi dan/atau pihak lain, maka selanjutnya dilimpahkan kepada satuan kerja OJK
yang melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan

Anda mungkin juga menyukai