Anda di halaman 1dari 6

Nama: Dede Sulaiman Al-Mufidiansyah

NPM: 1806139203

Kelas Hukum Perbankan Reg

Tugas Mingguan 4

1. Perbedaan Bank Umum Syariah dengan Bank Umum Konvensional antara lain:
a. Dasar Hukum: untuk Bank Syariah memiliki dasar hukum Al-Quran dan UU
No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sedangkan Bank Konvensional
memiliki dasar hukum UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan.
b. Visi & Misi: untuk Bank Syariah memiliki visi & misi Falah, Taawun dan
Profit Oriented. Sedangkan Bank Konvensional memiliki visi & misi yang
Profit Oriented saja.
c. Konsep Time Value of Money: dalam Bank Syariah tidak mengenal konsep
Time Value of Money, sedangkan dalam Bank Konvensional mengenal konsep
Time Value of Money dan diterapkan dalam segala transaksi yang dilakukan.
d. Fungsi dan Kegiatan Bank: dalam Bank Syariah dikenal Financial
Intermediary, Manajer Investasi, Investor, Jasa Keuangan dan Sosial.
Sedangkan dalam Bank Konvensional hanya dikenal Financial Intermediary
dan Jasa keuangan.
e. Mekanisme dan Objek Usaha: dalam Bank Syariah dikenal sistem Bagi
Hasil (Profit Sharing), anti MAGRIB (Maysir, Gharar, Riba dan Batil).
Sedangkan dalam Bank Konvensional dikenal sistem Bunga dan terkesan pro-
MAGRIB.
f. Hubungan dengan Nasabah: dalam Bank Syariah dikenal dengan sistem
Kemitraan, sedangkan Bank Konvensional mengenal sistem Pinjam
Meminjam.
g. Nasabah: dalam Bank Syariah, nasabah dapat terdiri dari Mitra, Investor,
Debitur dan WIC (Walk in Customer). Sedangkan Bank Konvensional,
nasabah dapat berupa Debitur, Kreditur dan WIC.
h. Struktur: dalam Bank Syariah, terdapat Dewan Pengawas Syariah sedangkan
dalam Bank Konvensional tidak terdapat Dewan Pengawas Syariah.
i. Resiko: dalam Bank Syariah dikenal rate of return investment beserta 8 jenis
resiko lainnya. Sedangkan dalam Bank Konvensional hanya mengenal 8 jenis
resiko antara lain Kredit, Likuiditas, Operasional, Reputasional, Market, Legal
Strategic and Compliant.
j. Badan Hukum: Bank Syariah hanya dapat berbentuk Perseroan Terbatas
(PT), sedangkan Bank Konvensional dapat berbentuk PT, Koperasi,
Perusahaan Daerah (PD) dan lainnya.
2. Perkembangan Perbankan Syariah selama 10 tahun terakhir dapat dibilang cukup
pesat, tetapi dari sisi ukuran industri dan dampak terhadap perekonomian nasional
masih belum cukup besar jika dibandingkan dengan industri perbankan konvensional.
Permasalahan yang dihadapi oleh perbankan syariah antara lain kurang selarasnya visi
dan kurangnya koordinasi antar pemerintah dan otoritas dalam pengembangan
perbankan syariah, dimana pemerintah haruslah turun tangan untuk membantu
perkembangan perbankan syariah contohnya seperti pelonggaran kebijakan.
Kemudian masih banyak perbankan syariah yang masih belum memiliki modal yang
cukup. Sehingga berdampak kepada skala industri dan individual bank yang masih
kecil, dan kondisi modal yang tidak memadai mempengaruhi rendahnya ekspansi aset
perbankan, selain itu, permodalan yang tidak memadai juga menghambat pembukaan
kantor cabang, pengembangan infrastruktur, dan pengembangan segmen layanan.
Selanjutnya terkait kuantitas dan kualitas SDM yang belum memadai, serta teknologi
informasi kurang mendukung pengembangan produk serta layanan. Kemudian dalam
hal pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap bank syariah.
Lalu ada terkait pengaturan dan pengawasan yang belum optimal. Untuk mengatasi
masalah-masalah ini, ada ahli hukum yang melihat bahwa dibutuhkannya proses
Merger untuk pembentukan Bank Syariah yang berskala besar untuk memperbesar
pangsa pasar, dimana dalam hal ini OJK sudah mengusulkan agar Bank Syariah
khususnya BUMN untuk segera melakukan Merger yang tentunya akan membantu
menguatkan permodalan Bank Syariah. Awal tahun 2021 sudah dilakukan Merger
antara beberapa Bank Syariah BUMN yang menghasilkan Bank Syariah Indonesia
(hasil dari merger) yang diharapkan dapat memberbesar pangsa pasar, dan tentunya
memperkuat permodalan Bank Syariah di Indonesia.
3. Hal tersebut dikarenakan penggunaan Akad Murabahah dan Musyarakah memberi
banyak manfaat bagi nasabah yang menggunakannya. Karena Akad Murabahah
dikenal minim resiko sedangkan Akad Musyarakah dikenal lebih fleksibel dan lebih
sesuai dengan kebutuhan nasabah. Terkait keunggulan dan kelemahannya adalah
sebagai berikut:
a. Akad Murabahah
i. Keunggulan: Dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan modal
usaha kerja, investasi atau terkait kegiatan konsumtif (seperti
kendaraan bermotor atau rumah.) kemudian angsuran tidak akan
bertambah (tetap) selama masa perjanjian.
ii. Kelemahan: Jika terjadi kerugian, nasabah harus tetap membayar
tambahan dari utangnya ke Bank (sehingga nasabah rugi berlipat-
lipat). Kemudian terkait resiko penolakan nasabah, dimana nasabah
sebenarnya berhak untuk menolak barang yang akan dibeli jika tidak
sesuai, tetapi karena Bank menetapkan uang muka / jaminan, nasabah
tetap diharuskan untuk membeli barang tersebut.
b. Akad Musyarakah
i. Keunggulan: Dapat digunakan sesuai kebutuhan nasabah seperti
misalnya kebutuhan modal usaha (seperti tanah dan bangunan, mesin
pabrik/industri, bahan baku usaha dan kebutuhan operasional lainnya).
Kemudian pembayaran angsurannya bersifat fleksibel (dapat dilakukan
per bulan atau sesuai jadwal pembayaran yang telah disepakati) dan
juga menerapkan skema bagi hasil (syirkah). Lalu Bank dan nasabah
bersama-sama memiliki atas suatu aset yang menjadi objek perjanjian.
Dan juga tidak terpengaruh inflasi atau suku bunga pasar.
ii. Kelemahan: Beresiko terjadi pelimpahan atas beban biaya transaksi
dan pembayaran pajak. Mengurangi pendapatan Bank atas margin
sewa yang dibebankan pada aset yang menjadi objek perjanjian.
Terakhir cicilan atas beban angsuran di tahun-tahun pertama akan
cukup memberatkan nasabah, tetapi akan menjadi ringan di kemudian
hari.
4. Dalam Peraturan OJK No. 12/POJK.01/2017, tepatnya dalam Pasal 1 angka 11 dan 12
diatur mengenai CDD dan EDD, dimana dalam Pasal 1 angka 11 disebutkan bahwa
Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Dilligence) atau CDD adalah kegiatan berupa
identifikasi, verifikasi dan pemantauan yang dilakukan PJK untuk memastikan
transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi Calon Nasabah,
Nasabah, atau WIC. Kemudian dalam Pasal 1 angka 12 disebutkan bahwa Uji Tuntas
Lanjut (Enhanced Due Dilligence) atau EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam
yang dilakukan PJK terhadap Calon Nasabah, WIC, atau Nasabah, yang beresiko
tinggi termasuk Populer Secara Politis (PEP) dan/atau dalam area beresiko tinggi.

Bank tentunya perlu untuk menerapkan CDD dan EDD karena adanya integrasi
teknologi informasi ke dalam industri jasa keuangan yang tentunya menyebabkan
peningkatan resiko, dimana Bank diharuskan untuk memiliki data yang dapat
digunakan untuk menilai resiko dari nasabahnya, serta memanajemen resiko yang
dimilikinya (disebut juga Risk Based Approach).

Kemudian juga terdapat prinsip yang disebut Prinsip Mengenal Nasabah, yang diatur
dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan OJK No. 22/POJK.04/2014. Dimana Prinsip
Mengenal Nasabah diterapkan oleh Penyedia Jasa keuangan yang digunakan untuk
mengetahui latar belakang dan identitas nasabah, melakukan pemantauan rekening
dan transaksi nasabah, serta melaporkan transaksi yang mencurigakan. Dalam hal ini,
CDD dan EDD adalah salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan Prinsip Mengenal
Nasabah yang dijelaskan sebelumnya.

Kemudian terkait kapan CDD dan EDD perlu diterapkan terdapat dalam Pasal 15 dan
31 Peraturan OJK No. 12/POJK.01/2017. Dimana dalam Pasal 15, Bank wajib
melakukan prosedur CDD pada saat: 1) melakukan hubungan usaha dengan calon
nasabah; 2) terdapat transaksi keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang
asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp 100.000.000,- (seratus juta
rupiah); 3) terdapat transaksi Transfer Dana sebagaimana dimaksud dalam POJK ini;
4) Terdapat indikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait dengan
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; atau PJK meragukan kebenaran
informasi yang diberikan oleh Calon Nasabah, Nasabah, penerima kuasa, dan/atau
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). Lalu dalam Pasal 31, Bank wajib melakukan
EDD dalam hal menentukan Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) atau WIC
adalah Populer Secara Politis (PEP), dan dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC tergolong beresiko tinggi, termasuk PEP.
5. PPATK, atau dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam Pasal 1 angka 2, adalah Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan yang merupakan lembaga independen yang dibentuk
dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. Terkait
salah satu persyaratan dari pembekuan rekening nasabah oleh PPATK diatur dalam
Pasal 44 ayat (1) huruf i, yaitu PPATK dalam melaksanakan fungsi analisis atau
pemeriksaan laporan dan informasi dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk
menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi yang diketahui atau
dicurigai merupakan hasil tindak pidana. Dapat disimpulkan dari pasal tersebut bahwa
salah satu persyaratan pembekuan rekening nasabah oleh PPATK adalah apabila
terdapat kegiatan transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak
pidana yang termasuk dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Pasal 2 UU ini.

Kemudian dalam Peraturan Kepala PPATK No. 18 tahun 2017, dalam Pasal 2
disebutkan bahwa PPATK dapat meminta PJK untuk melakukan Penghentian
Sementara Transaksi, baik seluruh maupun sebagian yang termasuk penghentian
aktivitas rekening. Selanjutnya dalam Pasal 3 memuat alasan-alasan penghentian
tersebut antara lain adanya indikasi awal tindak pidana pencucian uang dan/atau
tindak pidana lain, atau terdapat harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak
pidana. Kemudian Pasal 4 menyebutkan bahwa PJK akan melaksanakan Penghentian
Sementara Transaksi segera setelah menerima surat permintaan Penghentian
Sementara Transaksi dari PPATK, dimana Penghentian Sementara Transaksi ini dapat
dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja dan dapat diperpanjang paling lama 15 (lima
belas) hari kerja. Kemudian dalam Pasal 6 disebutkan bahwa PJK wajib membuat
berita acara Penghentian Sementara Transaksi dalam rangkap 2 (dua) dan dibuatkan 1
(satu) salinan dan dikirimkan kepada Pengguna Jasa sesegera mungkin paling lama 1
(satu) hari kerja setelah Penghentian Sementara Transaksi dilaksanakan.

Selanjutnya terkait Keberatan, terdapat dalam Pasal 8-11 Perka PPATK No. 18 Tahun
2017, dimana dapat disimpulkan bahwa Keberatan tersebut dapat diajukan kepada
PPATK yang berdasarkan alasan yang disertai penjelasan, bukti, dokumen asli, atau
salinan yang dilegalisir terkait sumber dana dan latar belakang transaksi. Kemudian
PPATK akan melakukan penelitian terhadap keberatan tersebut, dan apabila
dikabulkan maka PPATK akan meminta PJK untuk mencabut Penghentian Sementara
Transaksi, dan apabila ditolak maka pihak yang mengajukan keberatan tersebut akan
diberitahu.

Anda mungkin juga menyukai