0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
100 tayangan8 halaman
Kasus gagal bayar klaim polis senilai Rp 802 miliar oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) disebabkan oleh masalah tata kelola perusahaan, pengelolaan risiko, dan kepatuhan yang kurang memadai. Kementerian BUMN melaporkan dugaan korupsi di masa lalu Jiwasraya ke Kejaksaan Agung, sementara Menteri Keuangan akan mengajak pihak kepolisian dan KPK untuk mengusut permasalahan ini karena
Kasus gagal bayar klaim polis senilai Rp 802 miliar oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) disebabkan oleh masalah tata kelola perusahaan, pengelolaan risiko, dan kepatuhan yang kurang memadai. Kementerian BUMN melaporkan dugaan korupsi di masa lalu Jiwasraya ke Kejaksaan Agung, sementara Menteri Keuangan akan mengajak pihak kepolisian dan KPK untuk mengusut permasalahan ini karena
Kasus gagal bayar klaim polis senilai Rp 802 miliar oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) disebabkan oleh masalah tata kelola perusahaan, pengelolaan risiko, dan kepatuhan yang kurang memadai. Kementerian BUMN melaporkan dugaan korupsi di masa lalu Jiwasraya ke Kejaksaan Agung, sementara Menteri Keuangan akan mengajak pihak kepolisian dan KPK untuk mengusut permasalahan ini karena
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI KASUS JIWASRAYA PT Asuransi Jiwasraya (Persero) kini tengah menjadi sorotan public. Masalah ini bermula ketika perusahaan menunda pembayaran klaim produk asuransi JP Saving Plan sebesar Rp 802 miliar pada Oktober 2018. Kala itu, Jiwasraya menyatakan pemenuhan pendanaan untuk pembayaran masih diproses. Namun hingga kini, perseroan masih belum sanggup memenuhi kewajiban, hingga total polis jatuh tempo atas produk tersebut pada Oktober-Desembar 2019 mencapai sekitar Rp 12,4 triliun. Pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, kegagalan manajemen Jiwasraya yang tak mampu memenuhi kewajiban polis jatuh tempo kepada nasabah ini berakar dari ketidakmampuan korporasi dan pemerintah selaku regulator yang seolah membiarkan masalah jadi berlarut. “ini soal Tata Kelola dan integritas, baik manajemen pelaku pasar dan regulator. Ada pembiaran oleh regulator dan ketidak hatian dan moral hazard manajemen,” jelas Irvan kepada Liputan6.com. Senin (23/12/2019). Irvan lantas menceritakan duduk mula permasalahan, dimana Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan bahwa Jiwasraya memang teridikasi sebagai perusahaan yang secara keuangan tak sehat, khususnya sejak periode 2016-2018. “BPK sudah melakukan Audit Investigasi 2016 untuk thn buku 2014-2015 sudah dipublikasikan, hasilnya (MBM Tempo 15 Feb 2019). Ada banyak temuan tapi tidak dilanjuti aparat hukum maupun OJK,” tutur dia. Dia kemudian menyentil Otoritas Jasa Keuangan atau OJK yang dianggap mengabaikan aturan hukum mengenai pelarangan sebuah perusahaan tak sehat untuk menjual produk asuransi jiwa berbalut investasi yang ditawarkan melalui bank (bancassurance). “Ada POJK tentang Pemasaran Produk dan SE (Surat Edaran) OJK tentang Bancassurance yang melarang perusahaan dengan kondisi tidak sehat menjual produk bancassurance. OJK tidak menghentikan produk tersebut,” sindir Irvan.
PENYEBAB MUNCULNYA KASUS JIWASRAYA
Pengamat asuransi Herris Simanjuntak menilai penundaan pembayaran polis asuransi senilai Rp 802 miliar oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) disebabkan masalah tata kelola di perusahaan asuransi plat merah tersebut. Menurut Herris, hal tersebut tidak akan terjadi apabila tata kelola, manajemen risiko dan kepatuhan atau Governance, Risk management, and Compliance (GRC) berjalan dengan baik. “Jadi permasalahan pertama adalah corporate governance, penerapan tata kelola. Kedua, penerapan risk management-nya dalam setiap proses kayaknya masih kurang pas. Ketiga, compliance atau kepatuhan terhadap semua aturan-aturan itu. Jadi masalahnya di tiga itu,” ujar Herris seperti dikutip dari Antara, Jumat (12/10/2018). Secara lebih spesifik, Herris menyoroti soal kecukupan pencadangan yang dimiliki oleh Jiwasraya. Terjadinya penundaan pembayaran polis menunjukkan bahwa ada masalah di pencadangan perusahaan. “Mestinya misalnya saya ngeluarin produk, produk kemudian saya jadikan sampai lima tahun lagi saya tahu dia sudah akan nebus. Tebusannya adalah uangnya plus dia punya interest rate yang dijanjikan. Sekarang yang terjadi, pas ia jatuh tempo ternyata cadangannya enggak ada, duitnya enggak siap, itu kan berarti ada salah kelola kan,” kata Herris Kendati demikian, lanjut Heris, ia menyakini Jiwasraya tidak akan mengalami gagal bayar atau default. Jiwasraya memiliki kemampuan bayar namun likuiditasnya saat ini memang tengah mengalami tekanan sehingga terjadi penundaan pembayaran (delay payment) tersebut. Namun hal ini bisa saja mengganggu kepercayaan (trust) masyarakat terhadap industry perasuransian, yang sebelumnya sempat merosot karena kasus AJB Bumiputera dan Bumi Asih Jaya (BAJ). “Tidak akan gagal bayar, karena sebenarnya secara keuangan asetnya juga masih cukup untuk itu semua. Cuma timing-nya, artinya aturannya kan Oktober musti dibayar, ya Oktober dibayar, jangan minta misalnya jadi Desember atau kapan. Ini kan bisa mengurangi kepercayaan juga, kemudian perusahaan ini kan juga milik Negara, milik pemerintah,” ujar Herris. Dan adapun pedapat dari Direktur Utama Jiwasraya sendiri, Hexana Tri Sasongko menjelaskan karena salah strategi ini membuat perusahaan harus menanggung beban keuangan yang menggulung dari tahun ke tahun. Menurut Hexana, kajian yang dilakukannya berbuah tiga poin akar permasalahan. Pertama, perseroan melncurkan produk yang membutuhkan likuiditas tinggi, tetapi menjanjikan imbal hasil yang sangat tinggi. Imbal hasil yang tinggi tersebut menarik minat sejumlah nasabah dan menjadi sumber cuan bagi Jiwasraya. Hal tersebut terlihat dari terus bertambahnya nilai premi produk JS Plan, hingga puncaknya pada 2017 pedapatan premi Saving Plan mencapai 75,3 persen dari total premi Jiwasraya. Pada 2015, perolehan premi JS Plan mencapai Rp 5,15 triliun atau 50,3 persen dari total premi kala itu, pada 2016 meningkat menjadi Rp 12,57 triliun (69,5 persen dari total premi), dan 2017 menjadi Rp 16,54 triliun dengan total premi Rp 21,91 triliun. Pada 2018 perolehan premi JS Plan menyusut menjadi Rp 5,46 triliun atau 511 persen dari total premi. “Kenyataannya (imbal hasil JS Plan) tidak pernah bisa di-cover oleh investasi. Imbal hasil yang dijanjikan itu efektifnya 13 persen, turun jadi 7 persen, kondisi pasar jauh lebih rendah dari itu (sehingga menyebabkan kerugian),” ujar Hexana dalam paparannya saat rapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin, 16 Desember 2019. Dia juga menjelaskan bahwa saat pasar mulai bergejolak, para investor atau pemegang polis mulai mempertanyakan underlying investasi keuangan dari Jiwasraya. Hal tersebut berpengaruh terhadap menurunnya perolehan premi JS Plan pada 2018. Akar permasalahan kedua, menurut Hexana adalah penempatan investasi yang sangat jauh dari prinsip kehati-hatian. Hal tersebut menimbulkan masalah besar karen di sisi liabilitas, produk JS Plan mencatatkan kewajiban berbiaya tinggi. Investasi perseroa digeser ke instrument saham dan reksadana saham dengan volatilitas tinggi untuk mengejar tuntutan imbal hasil jumbo. Jika mengacu pada ketentuan OJK terkait komposisi penempatan investasi, imbal hasil JS Plan tidak akan terpenuhi. Nahas, langkah nekat menempatkan resiko yang terkonsentrasi di saham dan reksadana saham tier 3 berujung boncos. Bahkan, menurut Hexana, saham yang dipilih kala itu merupakan saham yang kinerjanya tidak baik, sehingga semakin membuka gerbang menuju masalah saat ini. “ Kenapa pilihannya seperti itu? Kalau diinvestasikan dalam bentuk government bond sesuai ketentuan 30 persen (dari total portofolio), itu tidak akan pernah mengejar janji return kepada nasabah. Ketika resiko terkonsentrasi pada portofolio tier 3, ketika market crash dia turunnya lebih banyak, ketika market recover dia mungkin tidak ikut recover,” ujar Hexana. Akar permasalahan ketiga adalah adanya penyajian balance sheet yang tidak sesuai. Hal tersebut sebetulnya telah ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melalui audit pada 2015. “Ditemukan penyajian balance sheet yang overstated asset tapi understated di sisi liabilitas, sehingga angka-angka perusahaan sebenarnya semu. Yakni saham divaluasi dengan angka tinggi, sedangkan di sisi liabilitas perhitungan cadangannya kurang dari ketentuan,” ujar dia. Hal tersebut memberikan dampak signifikan saat kondisi perekonomian makro mulai bergejolak pada penghujung 2017 dan awal 2018. Investasi- investasi yang ada dalam balance sheet tersebut nilainya berjatuhan dan membuat masyarakat mulai meragukan Jiwasraya. “Kalau meliat track record, kepercayaan masyarakat mulai menurun pada akhir 2017. Kalau saya melihat data empirisnya, memang pencairan (klaim) terus menerus (terjadi mulai 2018),” ujar Hexana. Gelombang pencairan klaim tersebut berimbas pada kondisi keuangan Jiwasraya karena ketatnya kondisi likuiditas. Kewajiban klaim tidak dapat ditutup dengan penjualan asset, sehingga alat-alat seperti giro dan deposito mulai dicirkan dan kebutuhan klaim tetap tidak terpenuhi. Alhasil, pada 15 Oktober 2018 manajemen Jiwasraya kala itu mengumumkan gagal bayar klaim polis JS Plan senilai Rp 802 miliar. TINDAKAN KEMENTRIAN TERKAIT MENGENAI KASUS JIWASRAYA Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membawa kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Kementerian BUMN mengindikasikan adanya dugaan korupsi atau fraud pada pengelolaan dana investasi Jiwasraya . Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, pihaknya telah meminta Kejagung untuk menindaklanjuti dugaan korupsi atau fraud yang terjadi pada masa manajemen Jiwasraya terdahulu. “Tentu kalau ada indikasi tindak pidana korupsi atau fraud di masa lalu, pastikan kami akan laporkan. Kami sudah berbicara dengan Kejaksaan Agung untuk melakukan investigasi, dan membuktikan apakah (manajemen) lama melakukan fraud atau penggelapan atau korupsi,” kata Kartika di Jakarta, Kamis (14/11). Kartika tidak mau menyebutkan apakah sudah ada manajemen lama Jiwasraya yang telah dipanggil oleh Kejagung. Ia menyerahkan pemeriksaan tersebut ke Kejagung. “Kami lihat nanti. Itu Kejaksaan Agung yang sudah periksa, saya belum statusnya seperti apa,” tambahnya. Anggota Komisi XI DPR Rudi Hartono Bangun menyebut tindakan Kementerian BUMN melaporkan manajemen lama Jiwasraya ke Kejagung sudah tepat. “Kan, indikasinya uang nasabah Jiwarsya yang dibelikan saham dan nilainya jatuh itu oleh direksi lama. Jadi itu ada dugaan unsur kerugian dana nasabah,” kata Rudi. Dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan juga akan mengajak pihak kepolisian, Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pasalnya, ia menengarai terdapat tindakan kriminal dalam kasus Jiwasraya."Tentu dalam hal ini, seluruh data-data yang diperoleh dan dilakukan untuk penegakan hukum akan kami sampaikan kepada kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK," katanya, Senin (16/12).Dalam hal ini, Kementerian Keuangan telah melakukan rapat bersama Komisi XI DPR. Kesimpulannya, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Komisi XI DPR, dan Komisi VI DPR akan mengkaji lebih dalam terkait Good Corporate Governance (GCG) hingga penyebab tekanan likuiditas pada perusahaan asuransi jiwa itu. Ia menyatakan pemerintah akan menindak tegas pihak yang terbukti bertanggung jawab atas permasalahan Jiwasraya. "Ini memberikan sinyal yang jelas dan tegas bahwa pemerintah dan DPR akan bersama-sama untuk tidak melindungi mereka yang melakukan kejahatan korporasi, dan juga untuk memberi kepastian pada para investor kecil," ucapnya. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi XI Dito Ganinduto mengatakan pihaknya akan menginisiasi rapat gabungan Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Komisi VI. Rapat dijadwalkan berlangsung usai masa reses DPR pada Januari 2020. Secara terpisah, Komisi XI juga akan menjadwalkan rapat dengan penegak hukum. "Menteri Keuangan akan minta penegak hukum untuk masuk ke sini. Kami akan jadwalkan juga rapat dengan penegak hukum. BUMN sudah laporkan, Kemenkeu juga akan laporkan. Kami akan rapat juga dengan kejaksaan, kepolisian, dan KPK setelah rapat gabungan," ucapnya. Sebelumnya, Komisi VI DPR juga meminta penegak hukum dan pemerintah mencekal jajaran Direksi Jiwasraya periode 2013-2019. Permintaan disampaikan karena mereka dinilai ikut bertanggung jawab terhadap permasalahan tunggakan klaim nasabah Jiwasraya. Selain mencekal direksi tersebut, mereka juga merekomendasikan penyelesaian tunggakan tersebut lewat jalur hukum. "Komisi VI DPR merekomendasikan penyelesaian permasalahan Jiwasraya lewat penegakan hukum tetap dijalankan dimulai dengan melakukan pencekalan terhadap Direksi Jiwasraya periode 2013-2016," ujar Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima.
PRO DAN KONTRA KASUS JIWASRAYA
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana membentuk panitia khusus (Pansus) untuk membahas masalah PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menilai pembentukan Pansus merupakan hal penting untuk meminta pertanggung jawaban secara politik berbagai pihak yang terlibat. Irvan berharap menyebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu dimintai tanggung jawab karena sudah meloloskan izin produk dari Saving Plan yang bermasalah. "Sikap Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang bersikukuh tidak ada dampak sistemik, serta pelaku-pelaku kejahatan korporasi dan pasar modal yang sangat cerdik," kata Irvan kepada Katadata.co.id, Kamis (9/1). Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu mengusulkan DPR tidak terburu-buru dalam membentuk Pansus Jiwasraya. Apalagi, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menjamin akan membayar klaim pemegang polis. Selain itu, untuk masalah hukum, dia menilai Kejaksaan Agung serius dalam menangani perkara yang menyertai kasus Jiwasraya ini. "Usul saya sebaiknya DPR wait and see dulu," katanya. Sebelumnya, Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus menyatakan wacana pembentukan Pansus Jiwasraya bakal digelar bulan ini. Pembentukan pansus dinilai sebagai pertanggung jawaban politik, karena kasus gagal bayar Jiwasraya menyangkut dana masyarakat. "Saya kira nanti sesudah masa reses itu akan dibicarakan karena pada sidang terakhir kemarin sudah disepakati dan disurati oleh pimpinan DPR. Jadi mungkin nanti pada pembukaan masa sidang kita akan proses pembentukan pansusnya," kata Deddy di Jakarta, Minggu (29/12). Kasus Jiwasraya saat ini tengah diusut Kejaksaan Agung. Jaksa Agung ST Burhanuddin mengungkapkan ada dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi Asuransi Jiwasraya dengan perhitungan kerugian negara sekitar Rp 13,7 triliun hingga Agustus lalu. Sementara Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menilai masalah keuangan yang dialami Asuransi Jiwasraya memiliki risiko sistemik. Maka itu, instansinya mengambil kebijakan untuk turut mengungkap masalah tersebut. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tentang pengaturan dan pengawasan makroprudensial, risiko sistemik adalah potensi instabilitas akibat gangguan yang menular pada sebagian atau seluruh sistem keuangan. Penyebabnya, interaksi dari faktor ukuran, kompleksitas usaha dan keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan, serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan. "Kasus ini cukup besar, bahkan gigantik, sehingga memiliki risiko sistemik," kata Agung dalam Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Rabu (8/1). Dan menurut pendapat saya dari pihak pro maupun kontra mempunyai pendapat yang baik dan sama-sama mempunyai tujuan yang sama yaitu menyelamatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Namun perbedaan disini DPR berupaya ingin mempercepat/segera menyelesaikan kasus Jiwasraya ini, namun berbeda pada pihak Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu yang tidak ingin terburu-buru mengambil langkah karena Mentri BUMN Erick Thohir akan menjamin akan membayar klaim pemegang polis dan Kejaksaan Agung juga masih proses menangani perkara Kasus Jiwasraya in.
PERAN MEDIA SOSIAL TERHADAP KASUS JIWASRAYA
Sebagai alat penyalur informasi-informasi mengenai perkembangan kasus jiwasraya kepada masyarakat, khususnya para korban nasabah Jiwasraya.
PERAN KEBIJAKAN ORGANISASI DALAM PENYELESAIAN KASUS