Anda di halaman 1dari 8

KASUS JIWASRAYA

MATA KULIAH
KOMUNIKASI ORGANISASI

OLEH
TITIS SINDU ARINI
NIM. 1710521021

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
KASUS JIWASRAYA
PT Asuransi Jiwasraya (Persero) kini tengah menjadi sorotan public. Masalah ini
bermula ketika perusahaan menunda pembayaran klaim produk asuransi JP Saving Plan
sebesar Rp 802 miliar pada Oktober 2018. Kala itu, Jiwasraya menyatakan pemenuhan
pendanaan untuk pembayaran masih diproses. Namun hingga kini, perseroan masih belum
sanggup memenuhi kewajiban, hingga total polis jatuh tempo atas produk tersebut pada
Oktober-Desembar 2019 mencapai sekitar Rp 12,4 triliun.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo mengatakan, kegagalan manajemen Jiwasraya
yang tak mampu memenuhi kewajiban polis jatuh tempo kepada nasabah ini berakar dari
ketidakmampuan korporasi dan pemerintah selaku regulator yang seolah membiarkan
masalah jadi berlarut. “ini soal Tata Kelola dan integritas, baik manajemen pelaku pasar dan
regulator. Ada pembiaran oleh regulator dan ketidak hatian dan moral hazard manajemen,”
jelas Irvan kepada Liputan6.com. Senin (23/12/2019).
Irvan lantas menceritakan duduk mula permasalahan, dimana Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) menemukan bahwa Jiwasraya memang teridikasi sebagai perusahaan yang
secara keuangan tak sehat, khususnya sejak periode 2016-2018. “BPK sudah melakukan
Audit Investigasi 2016 untuk thn buku 2014-2015 sudah dipublikasikan, hasilnya (MBM
Tempo 15 Feb 2019). Ada banyak temuan tapi tidak dilanjuti aparat hukum maupun OJK,”
tutur dia.
Dia kemudian menyentil Otoritas Jasa Keuangan atau OJK yang dianggap
mengabaikan aturan hukum mengenai pelarangan sebuah perusahaan tak sehat untuk menjual
produk asuransi jiwa berbalut investasi yang ditawarkan melalui bank (bancassurance). “Ada
POJK tentang Pemasaran Produk dan SE (Surat Edaran) OJK tentang Bancassurance yang
melarang perusahaan dengan kondisi tidak sehat menjual produk bancassurance. OJK tidak
menghentikan produk tersebut,” sindir Irvan.

PENYEBAB MUNCULNYA KASUS JIWASRAYA


Pengamat asuransi Herris Simanjuntak menilai penundaan pembayaran polis asuransi
senilai Rp 802 miliar oleh PT Asuransi Jiwasraya (Persero) disebabkan masalah tata kelola di
perusahaan asuransi plat merah tersebut.
Menurut Herris, hal tersebut tidak akan terjadi apabila tata kelola, manajemen risiko
dan kepatuhan atau Governance, Risk management, and Compliance (GRC) berjalan dengan
baik. “Jadi permasalahan pertama adalah corporate governance, penerapan tata kelola. Kedua,
penerapan risk management-nya dalam setiap proses kayaknya masih kurang pas. Ketiga,
compliance atau kepatuhan terhadap semua aturan-aturan itu. Jadi masalahnya di tiga itu,”
ujar Herris seperti dikutip dari Antara, Jumat (12/10/2018).
Secara lebih spesifik, Herris menyoroti soal kecukupan pencadangan yang dimiliki
oleh Jiwasraya. Terjadinya penundaan pembayaran polis menunjukkan bahwa ada masalah di
pencadangan perusahaan. “Mestinya misalnya saya ngeluarin produk, produk kemudian saya
jadikan sampai lima tahun lagi saya tahu dia sudah akan nebus. Tebusannya adalah uangnya
plus dia punya interest rate yang dijanjikan. Sekarang yang terjadi, pas ia jatuh tempo
ternyata cadangannya enggak ada, duitnya enggak siap, itu kan berarti ada salah kelola kan,”
kata Herris
Kendati demikian, lanjut Heris, ia menyakini Jiwasraya tidak akan mengalami gagal
bayar atau default. Jiwasraya memiliki kemampuan bayar namun likuiditasnya saat ini
memang tengah mengalami tekanan sehingga terjadi penundaan pembayaran (delay payment)
tersebut. Namun hal ini bisa saja mengganggu kepercayaan (trust) masyarakat terhadap
industry perasuransian, yang sebelumnya sempat merosot karena kasus AJB Bumiputera dan
Bumi Asih Jaya (BAJ). “Tidak akan gagal bayar, karena sebenarnya secara keuangan asetnya
juga masih cukup untuk itu semua. Cuma timing-nya, artinya aturannya kan Oktober musti
dibayar, ya Oktober dibayar, jangan minta misalnya jadi Desember atau kapan. Ini kan bisa
mengurangi kepercayaan juga, kemudian perusahaan ini kan juga milik Negara, milik
pemerintah,” ujar Herris.
Dan adapun pedapat dari Direktur Utama Jiwasraya sendiri, Hexana Tri Sasongko
menjelaskan karena salah strategi ini membuat perusahaan harus menanggung beban
keuangan yang menggulung dari tahun ke tahun.
Menurut Hexana, kajian yang dilakukannya berbuah tiga poin akar permasalahan.
Pertama, perseroan melncurkan produk yang membutuhkan likuiditas tinggi, tetapi
menjanjikan imbal hasil yang sangat tinggi. Imbal hasil yang tinggi tersebut menarik
minat sejumlah nasabah dan menjadi sumber cuan bagi Jiwasraya. Hal tersebut terlihat dari
terus bertambahnya nilai premi produk JS Plan, hingga puncaknya pada 2017 pedapatan
premi Saving Plan mencapai 75,3 persen dari total premi Jiwasraya.
Pada 2015, perolehan premi JS Plan mencapai Rp 5,15 triliun atau 50,3 persen dari
total premi kala itu, pada 2016 meningkat menjadi Rp 12,57 triliun (69,5 persen dari total
premi), dan 2017 menjadi Rp 16,54 triliun dengan total premi Rp 21,91 triliun. Pada 2018
perolehan premi JS Plan menyusut menjadi Rp 5,46 triliun atau 511 persen dari total premi.
“Kenyataannya (imbal hasil JS Plan) tidak pernah bisa di-cover oleh investasi. Imbal hasil
yang dijanjikan itu efektifnya 13 persen, turun jadi 7 persen, kondisi pasar jauh lebih rendah
dari itu (sehingga menyebabkan kerugian),” ujar Hexana dalam paparannya saat rapat dengan
Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin, 16 Desember 2019. Dia juga
menjelaskan bahwa saat pasar mulai bergejolak, para investor atau pemegang polis mulai
mempertanyakan underlying investasi keuangan dari Jiwasraya. Hal tersebut berpengaruh
terhadap menurunnya perolehan premi JS Plan pada 2018.
Akar permasalahan kedua, menurut Hexana adalah penempatan investasi yang
sangat jauh dari prinsip kehati-hatian. Hal tersebut menimbulkan masalah besar karen di
sisi liabilitas, produk JS Plan mencatatkan kewajiban berbiaya tinggi. Investasi perseroa
digeser ke instrument saham dan reksadana saham dengan volatilitas tinggi untuk mengejar
tuntutan imbal hasil jumbo. Jika mengacu pada ketentuan OJK terkait komposisi penempatan
investasi, imbal hasil JS Plan tidak akan terpenuhi. Nahas, langkah nekat menempatkan
resiko yang terkonsentrasi di saham dan reksadana saham tier 3 berujung boncos. Bahkan,
menurut Hexana, saham yang dipilih kala itu merupakan saham yang kinerjanya tidak baik,
sehingga semakin membuka gerbang menuju masalah saat ini. “ Kenapa pilihannya seperti
itu? Kalau diinvestasikan dalam bentuk government bond sesuai ketentuan 30 persen (dari
total portofolio), itu tidak akan pernah mengejar janji return kepada nasabah. Ketika resiko
terkonsentrasi pada portofolio tier 3, ketika market crash dia turunnya lebih banyak, ketika
market recover dia mungkin tidak ikut recover,” ujar Hexana.
Akar permasalahan ketiga adalah adanya penyajian balance sheet yang tidak
sesuai. Hal tersebut sebetulnya telah ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
melalui audit pada 2015. “Ditemukan penyajian balance sheet yang overstated asset tapi
understated di sisi liabilitas, sehingga angka-angka perusahaan sebenarnya semu. Yakni
saham divaluasi dengan angka tinggi, sedangkan di sisi liabilitas perhitungan cadangannya
kurang dari ketentuan,” ujar dia. Hal tersebut memberikan dampak signifikan saat kondisi
perekonomian makro mulai bergejolak pada penghujung 2017 dan awal 2018. Investasi-
investasi yang ada dalam balance sheet tersebut nilainya berjatuhan dan membuat masyarakat
mulai meragukan Jiwasraya. “Kalau meliat track record, kepercayaan masyarakat mulai
menurun pada akhir 2017. Kalau saya melihat data empirisnya, memang pencairan (klaim)
terus menerus (terjadi mulai 2018),” ujar Hexana. Gelombang pencairan klaim tersebut
berimbas pada kondisi keuangan Jiwasraya karena ketatnya kondisi likuiditas. Kewajiban
klaim tidak dapat ditutup dengan penjualan asset, sehingga alat-alat seperti giro dan deposito
mulai dicirkan dan kebutuhan klaim tetap tidak terpenuhi. Alhasil, pada 15 Oktober 2018
manajemen Jiwasraya kala itu mengumumkan gagal bayar klaim polis JS Plan senilai Rp 802
miliar.
TINDAKAN KEMENTRIAN TERKAIT MENGENAI KASUS JIWASRAYA
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membawa kasus gagal bayar PT
Asuransi Jiwasraya (Persero) ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Kementerian BUMN
mengindikasikan adanya dugaan korupsi atau fraud pada pengelolaan dana investasi
Jiwasraya . Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, pihaknya telah
meminta Kejagung untuk menindaklanjuti dugaan korupsi atau fraud yang terjadi pada masa
manajemen Jiwasraya terdahulu.
“Tentu kalau ada indikasi tindak pidana korupsi atau fraud di masa lalu, pastikan kami
akan laporkan. Kami sudah berbicara dengan Kejaksaan Agung untuk melakukan investigasi,
dan membuktikan apakah (manajemen) lama melakukan fraud atau penggelapan atau
korupsi,” kata Kartika di Jakarta, Kamis (14/11). Kartika tidak mau menyebutkan apakah
sudah ada manajemen lama Jiwasraya yang telah dipanggil oleh Kejagung. Ia menyerahkan
pemeriksaan tersebut ke Kejagung. “Kami lihat nanti. Itu Kejaksaan Agung yang sudah
periksa, saya belum statusnya seperti apa,” tambahnya.
Anggota Komisi XI DPR Rudi Hartono Bangun menyebut tindakan Kementerian
BUMN melaporkan manajemen lama Jiwasraya ke Kejagung sudah tepat. “Kan, indikasinya
uang nasabah Jiwarsya yang dibelikan saham dan nilainya jatuh itu oleh direksi lama. Jadi itu
ada dugaan unsur kerugian dana nasabah,” kata Rudi.
Dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan juga akan mengajak pihak
kepolisian, Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
untuk mengusut permasalahan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pasalnya, ia menengarai
terdapat tindakan kriminal dalam kasus Jiwasraya."Tentu dalam hal ini, seluruh data-data
yang diperoleh dan dilakukan untuk penegakan hukum akan kami sampaikan kepada
kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK," katanya, Senin (16/12).Dalam hal ini, Kementerian
Keuangan telah melakukan rapat bersama Komisi XI DPR.
Kesimpulannya, Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, Komisi XI DPR, dan
Komisi VI DPR akan mengkaji lebih dalam terkait Good Corporate Governance (GCG)
hingga penyebab tekanan likuiditas pada perusahaan asuransi jiwa itu. Ia menyatakan
pemerintah akan menindak tegas pihak yang terbukti bertanggung jawab atas permasalahan
Jiwasraya. "Ini memberikan sinyal yang jelas dan tegas bahwa pemerintah dan DPR akan
bersama-sama untuk tidak melindungi mereka yang melakukan kejahatan korporasi, dan juga
untuk memberi kepastian pada para investor kecil," ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi XI Dito Ganinduto mengatakan
pihaknya akan menginisiasi rapat gabungan Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN,
dan Komisi VI. Rapat dijadwalkan berlangsung usai masa reses DPR pada Januari 2020.
Secara terpisah, Komisi XI juga akan menjadwalkan rapat dengan penegak hukum.
"Menteri Keuangan akan minta penegak hukum untuk masuk ke sini. Kami akan jadwalkan
juga rapat dengan penegak hukum. BUMN sudah laporkan, Kemenkeu juga akan laporkan.
Kami akan rapat juga dengan kejaksaan, kepolisian, dan KPK setelah rapat gabungan,"
ucapnya.
Sebelumnya, Komisi VI DPR juga meminta penegak hukum dan pemerintah
mencekal jajaran Direksi Jiwasraya periode 2013-2019. Permintaan disampaikan karena
mereka dinilai ikut bertanggung jawab terhadap permasalahan tunggakan klaim nasabah
Jiwasraya. Selain mencekal direksi tersebut, mereka juga merekomendasikan penyelesaian
tunggakan tersebut lewat jalur hukum. "Komisi VI DPR merekomendasikan penyelesaian
permasalahan Jiwasraya lewat penegakan hukum tetap dijalankan dimulai dengan melakukan
pencekalan terhadap Direksi Jiwasraya periode 2013-2016," ujar Wakil Ketua Komisi VI
DPR Aria Bima.

PRO DAN KONTRA KASUS JIWASRAYA


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana membentuk panitia khusus (Pansus)
untuk membahas masalah PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Pengamat Asuransi Irvan
Rahardjo menilai pembentukan Pansus merupakan hal penting untuk meminta pertanggung
jawaban secara politik berbagai pihak yang terlibat. Irvan berharap menyebut Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) perlu dimintai tanggung jawab karena sudah meloloskan izin produk dari
Saving Plan yang bermasalah. "Sikap Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang
bersikukuh tidak ada dampak sistemik, serta pelaku-pelaku kejahatan korporasi dan pasar
modal yang sangat cerdik," kata Irvan kepada Katadata.co.id, Kamis (9/1).
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar
Pasaribu mengusulkan DPR tidak terburu-buru dalam membentuk Pansus Jiwasraya.
Apalagi, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menjamin akan
membayar klaim pemegang polis. Selain itu, untuk masalah hukum, dia menilai Kejaksaan
Agung serius dalam menangani perkara yang menyertai kasus Jiwasraya ini. "Usul saya
sebaiknya DPR wait and see dulu," katanya. Sebelumnya, Anggota Komisi VI Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Hanteru Sitorus
menyatakan wacana pembentukan Pansus Jiwasraya bakal digelar bulan ini. Pembentukan
pansus dinilai sebagai pertanggung jawaban politik, karena kasus gagal bayar Jiwasraya
menyangkut dana masyarakat. "Saya kira nanti sesudah masa reses itu akan dibicarakan
karena pada sidang terakhir kemarin sudah disepakati dan disurati oleh pimpinan DPR. Jadi
mungkin nanti pada pembukaan masa sidang kita akan proses pembentukan pansusnya," kata
Deddy di Jakarta, Minggu (29/12).
Kasus Jiwasraya saat ini tengah diusut Kejaksaan Agung. Jaksa Agung ST
Burhanuddin mengungkapkan ada dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi Asuransi
Jiwasraya dengan perhitungan kerugian negara sekitar Rp 13,7 triliun hingga Agustus lalu.
Sementara Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna menilai
masalah keuangan yang dialami Asuransi Jiwasraya memiliki risiko sistemik. Maka itu,
instansinya mengambil kebijakan untuk turut mengungkap masalah tersebut. Berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia tentang pengaturan dan pengawasan makroprudensial, risiko
sistemik adalah potensi instabilitas akibat gangguan yang menular pada sebagian atau seluruh
sistem keuangan. Penyebabnya, interaksi dari faktor ukuran, kompleksitas usaha dan
keterkaitan antarinstitusi dan/atau pasar keuangan, serta kecenderungan perilaku yang
berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan. "Kasus ini cukup besar, bahkan gigantik,
sehingga memiliki risiko sistemik," kata Agung dalam Konferensi Pers di kantornya, Jakarta,
Rabu (8/1).
Dan menurut pendapat saya dari pihak pro maupun kontra mempunyai pendapat yang
baik dan sama-sama mempunyai tujuan yang sama yaitu menyelamatkan PT Asuransi
Jiwasraya (Persero). Namun perbedaan disini DPR berupaya ingin mempercepat/segera
menyelesaikan kasus Jiwasraya ini, namun berbeda pada pihak Direktur Eksekutif Asosiasi
Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Togar Pasaribu yang tidak ingin terburu-buru mengambil
langkah karena Mentri BUMN Erick Thohir akan menjamin akan membayar klaim pemegang
polis dan Kejaksaan Agung juga masih proses menangani perkara Kasus Jiwasraya in.

PERAN MEDIA SOSIAL TERHADAP KASUS JIWASRAYA


Sebagai alat penyalur informasi-informasi mengenai perkembangan kasus jiwasraya kepada
masyarakat, khususnya para korban nasabah Jiwasraya.

PERAN KEBIJAKAN ORGANISASI DALAM PENYELESAIAN KASUS


JIWASRAYA

Anda mungkin juga menyukai