Industri Keuangan Nasional akhir-akhir ini dihebohkan dengan kasus gagal bayar perusahaan
asuransi plat merah PT. Asuransi Jiwasraya ( Jiwasraya ) yang merupakan perusahaan
asuransi BUMN bidang asuransi terbesar. Kejaksaan Agung mengungkapkan potensi
kerugian negara dari kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bisa mencapai
Rp 17 triliun dan besaran nilai yang sesungguhnya sedang dihitung oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Nilai tersebut berasal dari penelaahan berkas selama 10 tahun dari 2008
hingga 2018.
Gagal bayar Asuransi Jiwasraya sebenarnya terjadi pada salah satu produk unggulannya yang
bernama JS Saving plan. JS Saving plan merupakan produk asuransi jiwa sekaligus investasi
yang ditawarkan melalui perbankan atau bancassurance. Berbeda dengan produk asuransi
unit link yang risiko investasinya ditanggung pemegang polis, JS Saving plan merupakan
investasi non unit link yang risikonya sepenuhnya ditanggung perusahaan asuransi. JS Saving
Plan menawarkan jaminan return yang sangat tinggi dengan periode pencairan setiap tahun.
Nilai return ini jauh lebih tinggi atau hampir dua kali lipat daripada bunga yang ditawarkan
deposito bank yang saat itu besarannya di kisaran 5 - 7 persen. . Tercatat ada 17.000
pemegang polis JS Saving Plan. Adapun total pemegang polis Jiwasraya secara keseluruhan
termasuk pemegang polis produk lainnya mencapai 7 juta pemegang polis.
Jiwasraya dibangun dari sejarah teramat panjang. Usianya sudah lebih dari 160 tahun,
bermula dari NILLMIJ, Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente
Maatschappij van 1859, yang berdiri pada 31 Desember 1859. NILLMIJ adalah asuransi jiwa
yang pertama kali ada di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu) didirikan dengan Akte Notaris
William Hendry Herklots Nomor 185. Tanggal 17 Desember 1960 NILLMIJ van 1859
dinasionalisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1958 dengan mengubah
namanya menjadi PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera. Setelah itu, beberapa kali
PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera berganti nama menjadi Perusahaan Negara
Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera, Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera.
Hingga pada 21 Agustus 1984 berubah menjadi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Sangat disayangkan dengan perjalanan sejarah korporasi yang panjang ini dan sudah menjadi
asset negara, Jiwasraya harus ambruk tak berdaya hanya karena tata kelola perusahaan tidak
dijalankan dengan benar. Dampak dari gagal bayar Jiwasraya bisa mempengaruhi industri
keuangan yang sangat besar khususnya di industri perasuransian. Kasus ini menjadi warning
kepada pelaku bisnis perasuransian agar konsisten menjalankan regulasi jasa keuangan. Saat
ini regulator bidang keuangan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ).
Tata Kelola Perusahaan Asuransi
Dalam POJK Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang baik bagi
Perusahaan Perasuransian disebutkan bahwa tata kelola perusahaan yang baik merupakan
salah satu pilar dalam membangun kondisi perekonomian yang sehat. Penerapan tata kelola
perusahaan yang baik berkaitan erat dengan kredibilitas perusahaan yang menjalankan serta
iklim perekonomian di suatu negara. Pesatnya perkembangan industri perasuransian harus
didukung dengan iklim yang kondusif. Dalam rangka menunjang pencapaian iklim usaha
yang kondusif serta persaingan usaha yang sehat, maka penting bagi industri perasuransian
untuk menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Penerapan tata kelola perusahaan yang
baik oleh industi perasuransian tersebut menjadi salah satu bagian penting dalam menangani
risiko. Apabila penerapapan tata kelola Perusahaan Perasuransian dapat berjalan dengan baik,
maka manajemen risiko juga akan berjalan dengan efektif.
Jika dirunut, permasalahan Jiwasraya sudah terjadi sejak tahun 2000-an. Berikut kronologi
kasus Jiwasraya:
2006: Kementerian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan ekuitas Jiwasraya
tercatat negatif Rp3,29 triliun.
2008: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan
pendapat) untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak
dapat diyakini kebenarannya. Defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp5,7 triliun pada 2008
dan Rp6,3 triliun pada 2009.
2010 - 2012: Jiwasraya melanjutkan skema reasuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp1,3
triliun pada akhir 2011. Namun, Kepala Biro Perasuransian Isa Rachmatawarta menyatakan
metode reasuransi merupakan penyelesaian sementara terhadap seluruh masalah. Sebab,
keuntungan operasi dari reasuransi cuma mencerminkan keuntungan semu dan tidak memiliki
keuntungan ekonomis.
Karenanya, pada Mei 2012, Isa menolak permohonan perpanjangan reasuransi. Laporan
keuangan Jiwasraya 2011 disebut tidak mencerminkan angka yang wajar
Pada 2012, Bapepam-LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan pada 18 Desember 2012.
JS Proteksi Plan dipasarkan melalui kerja sama dengan bank (bancassurance).
Produk ini ikut menambah sakit perseroan lantaran menawarkan bunga tinggi, yakni 9 persen
hingga 13 persen.
2017: Kondisi keuangan Jiwasraya tampak membaik. Laporan keuangan Jiwasraya pada
2017 positif dengan raihan pendapatan premi dari produk JS Saving Plan mencapai Rp21
triliun. Selain itu, perseroan meraup laba Rp2,4 triliun naik 37,64 persen dari tahun 2016.
Perlu diketahui, sepanjang 2013 - 2017, pendapatan premi Jiwasraya meningkat karena
penjualan produk JS Saving Plan dengan periode pencairan setiap tahun.
2018: Direktur Pengawasan Asuransi OJK, Ahmad Nasrullah menerbitkan surat pengesahan
cadangan premi 2016 sebesar Rp10,9 triliun.
Pada bulan yang sama, Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim dan Direktur Keuangan
Jiwasraya Hary Prasetyo dicopot. Nasabah mulai mencairkan JS Saving Plan karena
mencium kebobrokan direksi lama Mei 2018, pemegang saham menunjuk Asmawi Syam
sebagai direktur utama Jiwasraya.
Agustus 2018, Menteri BUMN Rini Soemarno mengumpulkan direksi untuk mendalami
potensi gagal bayar perseroan. Ia juga meminta BPK dan BPKP untuk melakukan audit
investigasi terhadap Jiwasraya.
Oktober-November 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai tercium publik.
Perseroan mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving
Plan sebesar Rp802 miliar.
Pada November, pemegang saham menunjuk Hexana Tri Sasongko sebagai Direktur Utama
menggantikan Asmawi Syam.
Hexana mengungkap Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi
rasio solvabilitas (RBC) 120 persen. Tak hanya itu, aset perusahaan tercatat hanya sebesar
Rp23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp50,5 triliun.
Akibatnya, ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp27,24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari
produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp15,75 triliun.
November 2019, Kementerian BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir mengaku
melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal itu
dilakukan setelah pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai
tidak transparan. Kementerian BUMN juga mensinyalir investasi Jiwasraya banyak ditaruh di
saham-saham gorengan. Hal ini yang menjadi satu dari sekian masalah gagal bayar klaim
Asuransi Jiwasraya. Selain Kejagung, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta juga menaikkan
status pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan pada kasus dugaan korupsi.
Desember 2019: Penyidikan Kejagung terhadap kasus dugaan korupsi Jiwasraya menyebut
ada pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jaksa Agung ST Burhanuddin
bahkan mengatakan Jiwasraya banyak menempatkan 95 dana investasi pada aset-aset berisiko
Imbasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut memantau perkembangan
penanganan perkara kasus dugaan korupsi di balik defisit anggaran Jiwasraya
Selain itu, Kejagung meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan
HAM mencekal 10 nama yang diduga bertanggung jawab atas kasus Jiwasraya, yaitu: HH,
BT, AS, GLA, ERN, MZ, DW, HR, HP, dan DYA.
Pada Rabu (8/1), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan pernyataan resmi terkait
skandal Jiwasraya. Salah satunya, laba perseroan sejak 2006 disebut semu karena melakukan
rekayasa akuntansi (window dressing). Hasil pemeriksaan BPK akan menjadi dasar bagi
Kejagung mengambil putusan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kondisi
Jiwasraya.
Haircut atas manfaat polis asuransi memang tidak baik untuk referensi ke depan. Itu karena
seakan-akan semua perusahaan asuransi menjadi berhak untuk mengajukan haircut atau
discount. Ini memang tidak sehat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan asuransi.
Namun, OJK dan IFG Life harus dapat meyakinkan nasabah bahwa kondisi ini pun sangat
tidak diharapkan terjadi, baik oleh OJK maupun Jiwasraya. Dengan kondisi keuangan yang
terbatas dan pemerintah ingin menunjukkan tanggung jawabnya, maka OJK dan IFG Life
setidaknya mampu menawarkan jalan tengah yang terbaik dan terukur serta dapat dieksekusi.
Keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus gagal bayar Jiwasraya ini, diharapkan
menjadi referensi bagi perusahaan asuransi lainnya yang mengalami masalah gagal bayar
bahwa berdasarkan hukum perjanjian satu perusahaan asuransi tidak dapat mengelakkan
tanggung jawabnya kepada nasabah. OJK pun dapat melakukan law enforcement dengan
tegas kepada perusahaan swasta yang mengalami masalah gagal bayar karena telah
memberikan contoh sebagaimana dilakukan kepada IFG Life.
Selanjutnya IFG Life dalam menjalankan operasionalnya, jangan mengulangi kesalahan yang
sama dengan apa yang terjadi di Jiwasraya, terlalu mahal harga yang sudah dibayar. Untuk
tahap awal IFG Life cukup fokus menjual produk tradisional saja seperti asuransi jiwa
(protection), dana pensiun BUMN. Produk seperti saving plan supaya dihindarkan setidaknya
untuk jangka waktu 5 tahun ke depan, kecuali produk existing. IFG Life harus berani
bersaing dengan tagline “asuransi jiwa terpercaya dan aman“ , bukan asuransi jiwa
memberikan return tertinggi.