Anda di halaman 1dari 1

Kasus Kecurangan Jiwasraya dalam Penyelenggaraan Saving Plan dan Investasi

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tengah menjadi sorotan masyarakat. Asuransi jiwa tertua di
Indonesia itu mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas perseroan tercatat negatif Rp 23,92
triliun pada September 2019. Selain itu, Jiwasraya membutuhkan uang sebesar Rp 32,89 triliun
untuk kembali sehat. November 2019, Kementerian BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir
mengaku melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal itu
dilakukan setelah pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai tidak
transparan. Desember 2019, Penyidikan Kejagung terhadap kasus dugaan korupsi Jiwasraya
menyebut ada pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jaksa Agung ST Burhanuddin
bahkan mengatakan Jiwasraya banyak menempatkan 95 dana investasi pada aset-aset berisiko.
Imbasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut memantau perkembangan penanganan
perkara kasus dugaan korupsi di balik defisit anggaran Jiwasraya.

Dr. Yohanis Hans Kwee menjelaskan, “Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko,
mengumumkan Jiwasraya tidak mampu membayar klaim polis nasabah yang mencapai Rp 12,4
triliun pada Desember 2019. Data tahun 2019, terdapat sekitar 17.000 nasabah yang mengikuti JS
Saving Plan dari total 7 juta nasabah Jiwasraya. Kerugian keuangan negara pada PT Asuransi
Jiwasraya (Persero) sebesar Rp16,8 triliun. Manajer Investasi juga dirugikan karena kasus hukum
yang terjadi. Dan juga industri asuransi lainnya mendapat masalah kehilangan kepercayaan dari
konsumen”.

“Penyebab gagalnya Jiwasraya membayar polis nasabah karena adanya kesalahan pembentukan
harga produk saving plan yang ditawarkan dengan jaminan return sebesar 9% hingga 13% sejak 2013
hingga 2018 dengan periode pencairan setiap tahun. Selain itu lemahnya prinsip kehati-hatian dalam
berinvestasi juga menekankan likuiditas Jiwasraya.Tekanan likuiditas dari produk Saving Plan yang
berakibat pada penurunan kepercayaan nasabah. Dan yang terakhir karena adanya rekayasa harga
saham,” lanjut Dr. Yohanis Hans Kwee.

Dr. Yohanis Hans Kwee juga menegaskan bahwa, “Etika merupakan hal yang sangat penting dalam
dunia bisnis dan ekonomi karena jika pelaku bisnis tidak memperhatikan etika maka akan sangat
rawan terjadi tindakan-tindakan kejahatan. Hukum pun kurang mampu mengatasi permasalahan ini.
Sering kita lihat kejadian di Indonesia, hukum atau aturan itu baru dibuat setelah adanya kejadian.
Dan kebanyakan para penjahat sangat pintar mencari celah untuk dapat lolos dari jeratan hukum
yang ada.”

Dari kasus asuransi Jiwasraya ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan perlu menjunjung tinggi kode
etik dan etika dalam berperilaku. Etika perlu dijadikan sebagai acuan bertindak, tidak hanya dalam
lingkup internal pekerjaan, namun juga pada saat bertransaksi dengan nasabah. Hal-hal seperti ini
yang masih kurang mendapat perhatian, baik dalam tingkat individu maupun organisasi atau
perusahaan. Di zaman sekarang yang serba cepat dan kompetitif ini, tidak jarang manusia melakukan
segala cara agar tuntutan dan tujuannya tercapai, termasuk tindakan yang tidak etis seperti pada
kasus Jiwasraya yang merugikan banyak pihak. Maka penting bagi kita semua untuk sadar agar dapat
dengan baik menerapkan tindakan-tindakan etis supaya kasus yang merugikan banyak pihak dapat
dihindari. Sebab, jelas tidak ada pihak yang ingin dirugikan.

Anda mungkin juga menyukai