Anda di halaman 1dari 14

Gagal Bayar Rp 16 T, Ini Alasan Jiwasraya

Mesti Ditutup!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian BUMN merumuskan tiga skema


penyelamatan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang tahun ini punya beban gagal
bayar kepada nasabahnya mencapai Rp 16 triliun. Tiga skema tersebut yakni
dana internal (bail in), dana talangan pemerintah (bail out), dan likuidasi.

Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menegaskan opsi terbaik
bagi penanganan Jiwasraya ialah likuidasi.

"Menurut saya lebih baik dimatikan. Iya Jiwasraya dimatikan. Mau diapain lagi,"
kata Faisal di Jakarta, Jumat (6/3/2020).

"Matikan dijual asetnya kemudian asetnya, yang sisa [aset] dialihkan ke satu
semacam PPA [Perusahaan Pengelola Aset] supaya enggak menyebar ke mana
mana. Disehatkan dulu kemudian di waktu yang tepat dijual kembali,
keuntungannya ada, kerugiannya jadi yang paling minimum," jelasnya.

Ekonomi senior dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance
(Indef) ini bahkan heran kenapa ada skema penyelamatan Jiwasraya dari APBN
alias bail out kendati baru opsi terakhir. "Prinsip dasarnya, janganlah rakyat
dibebankan dalam proses penggarongan Jiwasraya."

Sebab itu, Faisal menegaskan perlu dibuat lembaga penjamin polis guna
mengantisipasi persoalan di industri asuransi.

"Harusnya dibikin dari sekarang dibikinlah lembaga penjamin polis. Makanya


kalau ada lagi nanti sudah jelas pembiayaannya dari situ. Sekarang RUU-nya
belum ada, belum disiapkan niat pun belum padahal UU penjamin polis harusnya
sudah ada sejak 2017, 3 tahun setelah UU Perasuransian Pak SBY [UU Nomor
40 tahun 2014 tentang Perasuransian]," katanya.

Selain itu, Faisal juga menegaskan perlu ada evaluasi peran dari Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) yang memberikan izin setiap produk asuransi.

"OJK yang buat aturan dia yang awasi dan dia yang sanksi. Nah OJK ini siapa
yang awasi pertanggungjawabannya ke mana. BI kan buku tahunan ke DPR,
nah OJK nih lapornya ke Tuhan. Kan ini setting kelembagaannya kayak apa.
Pola pikirnya kurang holistik."

"Nah ini juga harus diperhatikan dampak penyebarannya harus diperhatikan. Ini
sekarang Jiwasraya lalu ke asuransi jiwa lainnya ujungnya ke asuransi secara
umum. Nah asuransi ini keluarkan produk investasi yang jual reksa dana
ngefeknya ke bursa saham. Nah bursa saham ngefek lagi ke bursa saham
secara keseluruhan. Nah yang mesti dilakukan itu, seperti melokalisir virus
corona nggak tersebar."

Adapun terkait dengan nasib nasabah, Faisal mengatakan kepentingan nasabah


nomor satu. Dengan demikian, aset bisa digunakan untuk membayar kewajiban
kepada nasabah.

"Ya tentu saja nasabah nomor satu, dimatikan asetnya misalnya Citos [Mal
Cilandak Town Square] tuh dijual, apa urusannya Jiwasraya punya Citos, jual
Citos dapat berapa triliun langsung dibayarkan ke nasabah."
"Saya nggak tahu aset-aset yang lain seperti apa, yang masalah kan bukan aset
fisik, aset fisik kan bisa dibeli dan dijual, nah aset finansialnya dirawat
diserahkanlah ke lembaga perawat aset-aset sakit. Dulu PPA di AS dititipkan ke
Morgan Stanley ke macam-macam gitu mereka olah untuk dapat recovery yang
paling tinggi gitu."

Sebelumnya, diketahui pemerintah melalui Kementerian BUMN menyampaikan


tiga alternatif penyelesaian dana nasabah Jiwasraya sebagaimana tertuang
dalam dokumen yang disampaikan Kementerian BUMN di depan DPR, seperti
dikutip CNBC Indonesia.

Berikut rincian skema penyelamatan polis dan Jiwasraya yang sudah dirancang
oleh pemerintah.

 Opsi A: Bail In, dukungan dari pemilik saham Jiwasraya.


Pertimbangannya, dapat dilakukan pembayaran penuh maupun sebagian.
Namun ada risiko hukum (gugatan) jika dibayar sebagian.
 Opsi B: Bail Out, dukungan dana dari pemerintah. Pertimbangannya,
opsi bail out dapat dilakukan kepada Jiwasraya karena belum ada
peraturan terkait baik dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun KSSK
(Komite Stabilitas Sistem Keuangan).
 Opsi C: Likuidasi, pembubaran perusahaan. Pertimbangannya, harus
dilakukan melalui OJK. Namun opsi ini memiliki dampak sosial dan politik
yang signifikan.

Dari tiga opsi tersebut, Kementerian BUMN lebih memilih Opsi A dengan
mempertimbangkan aspek hukum, sosial dan politik.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebelumnya menegaskan, Kementerian


Keuangan sebagai ultimate shareholder (pemegang saham terakhir) masih
melakukan pendataan berapa nilai aset atau ekuitas Jiwasraya untuk melunasi
kewajiban kepada nasabah. Tidak hanya pihaknya, Kementerian BUMN juga
sedang melakukan stock taking.

"Karena adanya gap, maka mereka akan mulai melakukan apa yang disebut
langkah-langkah restrukturisasi terhadap korporasi tersebut," kata dia.

Hanya saja dia belum bisa memastikan apakah pendanaan akan dilakukan
pemerintah. Sebab, pihaknya masih akan melihat proposal final dari hasil
penghitungan Kementerian BUMN.

Menurutnya, walaupun penyelamatan Jiwasraya nantinya dilakukan oleh


Kementerian Keuangan maka tidak bisa tahun ini. Sebab, pada APBN 2020 tidak
ada anggaran untuk penyelamatan Jiwasraya.

Artinya, jika nantinya ada opsi penyelamatan dari Kementerian Keuangan maka
akan dilakukan tahun 2021. Sebab, harus membahas terlebih dahulu dengan
anggota dewan.

"Kalau nanti sampai akan ada intervensi ultimate shareholder yaitu dari


Kementerian Keuangan dalam bentuk apapun, maka dia pasti masuk ke UU
APBN."

Faisal melanjutkan, kerugian total yang ada di Jiwasraya tidak semuanya serta
merta dibebankan kepada negara. Para pemegang saham dalam hal ini diam.
Namun, akibat diamnya itu masyarakatlah yang harus menanggung dari
permasalahan Jiwasraya. Baginya hal ini adalah sesuatu yang dzalim.

Selain persoalan gagal bayar, Jiwasraya juga masih dalam penyidikan


Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi di tubuh BUMN asuransi jiwa ini.
Kejagung saat ini tengah menunggu perhitungan potensi kerugian negara dari
kasus Jiwasraya yang akan diumumkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
dengan estimasi awal Rp 17 triliun.

Ancaman Risiko Sistemik di Balik Skandal Jiwasraya


 Skandal Jiwasraya berpotensi berdampak sistemik dan menekan ekonomi. (CNN Indonesia/Safir Makki).

Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan defisit keuangan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) semakin


panas. Yang terbaru, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengklaim skandal di
perusahaan asuransi itu bersifat gigantik atau berskala besar.

Bahkan, apabila tak segera diselesaikan, dampaknya akan sistemik. Artinya, pengaruh dari
persoalan keuangan Jiwasraya akan meluas, bukan hanya di tubuh perusahaan saja.

"Kasus Jiwasraya ini cukup besar skalanya, bahkan saya katakan ini gigantik, sehingga memiliki
risiko sistemik," ucap Ketua BPK Agung Firman Sampurna, dikutip Kamis (9/1).

Namun, ia tak ingin masalah Jiwasraya kian membesar seperti kasus Bank Century. Makanya, BPK
bersama sejumlah kementerian/lembaga (K/L) seperti Kejaksaan Agung dan Kementerian Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) sedang bekerja sama membuka 'borok' Jiwasraya dan menyembuhkan
keuangan perusahaan.

"Kami ingin cegah jangan sampai masalah menjadi besar," katanya.

Pengamat Asuransi Hotbonar Sinaga mengaku sepakat dengan penilaian BPK. Ia beranggapan
persoalan keuangan Jiwasraya bisa membahayakan industri asuransi, jasa keuangan secara
keseluruhan, dan bahkan kepercayaan investor asing terhadap Indonesia.

Persoalan keuangan Jiwasraya kembali mencuat setelah manajemen memutuskan untuk menunda
pembayaran klaim nasabah jatuh tempo dari produk tabungan rencana (saving plan) sejak Oktober
2018. Kala itu, jumlah klaim jatuh tempo yang dilaporkan sebesar Rp802 miliar.

Setelah itu, kondisi keuangan Jiwasraya menjadi perhatian publik. Defisit keuangan yang diderita
Jiwasraya membuat perusahaan terbelit masalah likuiditas.

Per September 2019, manajemen Jiwasraya menyebut ekuitas perseroan negatif sebesar Rp23,92
triliun. Sebab, liabilitas perseroan mencapai Rp49,6 triliun, sedangkan asetnya hanya Rp25,68
triliun.

Penundaan pembayaran klaim jatuh tempo, kata Hotbonar, akan mengurangi tingkat kepercayaan
masyarakat dengan industri asuransi. Terlebih, jika pemegang polis hanya diberikan 'janji manis'
tanpa kepastian terkait pembayaran klaim tersebut.

"Ini kan mengikis kepercayaan masyarakat, makanya harus ada tindakan konkret," ujar Hotbonar.

Menurutnya, masyarakat bisa saja semakin was-was dengan produk asuransi. Jadi, mereka yang
sebelumnya sudah memiliki polis asuransi akan mengajukan klaim karena khawatir haknya tidak
terpenuhi.

Dengan demikian, persoalan Jiwasraya bisa memicu penarikan dana besar-besaran dari
perusahaan asuransi dengan pengajuan klaim para pemegang polis. Selain itu, pembelian polis
asuransi jiwa juga otomatis akan berkurang jika ada kekhawatiran di pasar.

"Pertumbuhan asuransi jiwa akan melambat, tidak bisa dua digit. Mungkin bisa turun ke 10 persen
karena pengaruh sistemik dari Jiwasraya," tutur Hotbonar.

Bila demikian, industri jasa keuangan di Indonesia pun akan terkena getahnya. Pertumbuhannya
akan merosot. Hal ini akan menjadi sentimen negatif bagi investor yang ingin menanamkan
modalnya di Indonesia.

"Ekonomi makro nasional juga terpengaruh karena tingkat kepercayaan investor luar negeri
terhadap Indonesia akan menurun," kata Hotbonar.

Penurunan kepercayaan investor asing jelas akan mempengaruhi jumlah aliran modal dan nilai
investasi ke dalam negeri. Dampaknya akan buruk bagi ekonomi Indonesia lantaran investasi
menjadi komponen kedua terbesar dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

"Harus ditangani cepat, paling lama tiga tahun harus selesai. Kalau tidak ini akan berdampak
sistemik," tegas dia.

Sebagai gambaran, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2019 sebesar 5,02 persen.
Penyumbang utama dari laju ekonomi dalam negeri berasal dari konsumsi rumah tangga sebesar
56,52 persen dan investasi sebesar 32,32 persen.

Sementara, komponen penyokong pertumbuhan lainnya, antara lain ekspor barang 18,75 persen,
impor barang 18,81 persen, pengeluaran konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga
1,25 persen, pengeluaran konsumsi pemerintah 8,36 persen, dan perubahan inventori 1,52 persen.

Penempatan investasi Jiwasraya pada 2017. (CNN Indonesia/Fajrian).

"Jadi kalau begini dampak sistemik pertama terkena ke industri asuransi, lalu jasa keuangan secara
menyeluruh, dan ekonomi nasional ikut terdampak nanti," jelas Hotbonar.

Senada, Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menyatakan permasalah Jiwasraya akan menular ke
perusahaan asuransi lain, sehingga industri berpotensi terkena imbasnya. Oleh karena itu, ia
menyarankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyetop terlebih dahulu izin penerbitan
produk saving plan.

"OJK harus melarang semua perusahaan asuransi menjual produk saving plan. Industri asuransi
bisa kacau," ucap Irvan.

Ia menyatakan produk saving plan biasanya memberikan imbal hasil (return) tetap kepada nasabah.
Kemudian, keuntungan yang ditawarkan juga lebih tinggi dari pada instrumen investasi lainnya.

"Saving plan ini berbahaya karena menjanjikan bunga tetap, sedangkan perusahaan


menginvestasikannya ke reksa dana saham dan saham secara langsung yang keuntungannya
sendiri tidak menentu. Jadi lebih baik disetop," jelas Irvan.

Berkaca pada produk saving plan yang diterbitkan Jiwasraya, perusahaan menawarkan imbal hasil
sebesar 9 persen hingga 13 persen dengan periode pencairan setiap tahun. Angka itu lebih besar
dari tingkat suku bunga deposito sepanjang 2018 yang sebesar 5,2 persen-7 persen dan
pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan 2018 yang minus 2,3 persen.

Namun, produk saving plan pula yang akhirnya membuat keuangan Jiwasraya 'buntung'. Direktur
Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko sebelumnya menyatakan keuangan perusahaan mengalami
masalah likuiditas lantaran perusahaan memiliki utang jatuh tempo kepada pemegang polis setiap
tahun dari penerbitan produk tersebut.

"Pada 2013 sampai September 2018 selalu dibayar klaim jatuh tempo, bunga dan pokok. Tapi
perusahaan akhirnya tidak sanggup bayar pada Oktober 2018," tutur Hexana.

BPK Terburu-Buru

Di sisi lain, Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi mengatakan pernyataan BPK soal Jiwasraya
berdampak sistemik seharusnya didukung dengan hasil pemeriksaan yang matang. Ia menilai BPK
terlalu terburu-buru mengungkapkan dampak tersebut.

"Ini pernyataan politis karena belum ada penilaian yang menyeluruh. Ini kan baru BPK saja," terang
Fithra.

Seharusnya, sambung Fithra, pernyataan mengenai dampak sistemik diungkapkan ketika


pemeriksaan sudah selesai. Selain itu, BPK juga perlu berkoordinasi dengan K/L lain, seperti
Kementerian Keuangan dan OJK.

"Seorang pejabat publik mengumumkan berita ini suatu hal yang disayangkan. Ini justru
menimbulkan kepanikan, yang sebelumnya tidak berisiko jadi membuat panik masyarakat," katanya.

Menurutnya, ini justru akan jadi bumerang tersendiri bagi industri asuransi. Bila sebelumnya industri
masih diperkirakan tumbuh positif di tengah persoalan Jiwasraya, tetapi setelah pernyataan BPK
bisa jadi sebaliknya atau negatif.

Sebab, masyarakat atau pemegang polis berpeluang menarik dananya dari perusahaan asuransi.
Ini akan menimbulkan persoalan baru.
"Perusahaan asuransi lain bisa mengalami masalah likuiditas juga kalau banyak pengajuan
klaim. Nah, jadi sebenarnya pernyataan sistemik itu yang membuat risiko sistemik semakin cepat
terjadi," jelas Fithra.

Hal ini juga akan berdampak pada sikap investor asing yang sebelumnya berminat untuk
menyuntikkan dana di anak usaha Jiwasraya, yakni Jiwasraya Putra. Diketahui, perusahaan kini
tengah melakukan uji tuntas (due dilligence) terhadap beberapa investor yang berminat menjadi
pemegang saham di anak usahanya.

Pencarian investor menjadi salah satu upaya memperbaiki keuangan perusahaan. Jiwasraya Putra
diharapkan bisa menyokong kinerja induk usahanya, sehingga ada perbaikan kinerja.

"Investor jadi berpikir ulang, ini jadi hambat proses penyelesaian masalah Jiwasraya," kata dia.

Untuk itu, Fithra menyarankan agar pemerintah menunjuk satu kementerian untuk menjadi
pemimpin dari penyelesaian kasus Jiwasraya. Dengan demikian, semua keputusan dan pernyataan
ke publik hanya dilakukan oleh satu institusi.

"Jangan banyak keluar pernyataan yang tidak perlu, jangan sampai menimbulkan ketidakpercayaan
di publik," ujar Fithra.

Saat ini, bukan hanya BPK yang sedang melakukan pemeriksaan terhadap persoalan di tubuh
Jiwasraya. Kejaksaan Agung (Kejagung) sebelumnya juga sudah memanggil sejumlah saksi yang
terkait dengan indikasi korupsi di Jiwasraya.

Beberapa yang telah dipanggil, antara lain mantan Direktur Utama Jiwasraya Asmawi Syam,
mantan Kepala Divisi Sekretariat Jiwasraya Sumarsono, mantan Kepala Divisi Hukum Jiwasraya
Ronang Andrianto.

Kemudian, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Riswinandi sebagai
petinggi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai saksi ahli.

Lalu, Direktur Utama Hanson International Benny Tjokrosaputro, mantan Agen Bancassurance
Jiwasraya Getta Leonardo Arisanto, Kadiv Pertanggungan Perorangan dan Kumpulan Jiwasraya
Budi Nugraha.

Kejagung juga sudah mencekal terhadap 10 orang terkait pengusutan kasus dugaan korupsi
Jiwasraya. Mereka adalah HR, DA, HP, NZ, DW, GL, ER, HD, BT, AS.

Kejagung menemukan indikasi korupsi di Jiwasraya dan memprediksi menimbulkan kerugian negara
sebesar Rp13,7 triliun per Agustus 2019. Pihak Kejagung menyatakan angka itu berpotensi terus
bertambah lantaran penyelidikan masih berlangsung.
Jiwasraya Sistemik Seperti Century? Ini
Penegasan Sri Mulyani
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri jasa keuangan dihantam dua persoalan
besar, gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) senilai Rp 12,4 triliun dan
dugaan skandal korupsi yang tengah disidik Kejaksaan Agung (Kejagung),
ditambah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dengan tagihan klaim
Rp 9,6 triliun.

Bahkan ramai disebut bahwa kasus Jiwasraya yang kini sudah ditetapkan ada
lima tersangka oleh Kejagung ialah kasus yang sistemik bagi jasa keuangan.

Menteri Keuangan dan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri


Mulyani mengatakan dalam melihat risiko sistemik dan memicu krisis di sistem
keuangan, perlu melandaskan pada UU Nomor 9 tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

Di dalam UU PPSKS Nomor 9 tahun 2016 ini didefinisikan [Pasal 1 UU itu]


bahwa krisis sistem keuangan adalah kondisi sistem keuangan yang gagal
jalankan fungsi dan perannya secara efektif dan efisien, dan itu ciri-cirinya
ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan,"
kata Sri Mulyani dalam pertemuan KSSK, di Jakarta, Rabu (22/1/202).

Dengan demikian, katanya, berdasarkan UU PPKSK, lembaga jasa keuangan


yang dapat memicu krisis keuangan ini spesifik ditunjukkan ke bank, karen
diklasifikasikan dengan ukuran aset, luas jaringan dan kompleksitas transaksi
dan keterkaitan dengan sektor keuangan lainnya.

"Yang tadi ukuran aset, modal, jaringan, apabila dia gagal, dapat


berakibat keseluruhan sistem perbankan dan jasa keuangan ikut terancam
gagal. Itu kita gunakan sebagai rambu-rambu menetapkan apakah suatu
persoalan di sektor keuangan atau jasa keuangan itu berdampak sistemik atau
tidak," tegas Sri Mulyani.

Dalam Pasal 1 itu, disebutkan bank sistemik adalah bank yang karena ukuran
aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa
perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan
gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan, baik
secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan
atau gagal.

Terkait dengan lembaga penjaminan polis, Menkeu menjelaskan pihaknya


tengah menyusun lembaga tersebut guna menciptakan kepercayaan terhadap
asuransi dan bisa mencegah moral hazard. Kemenkeu akan belajar dari
penjaminan yang dilakukan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) bagi
perbankan.

"Tim kami di Kemenkeu masih proses dan menggodok untuk bisa menjalankan
[amanat] UU Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasurasian."

Asuransi jiwa BUMN Jiwasraya macet


bayar polis, apa yang terjadi?
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan asuransi BUMN, PT Asuransi Jiwasraya tengah
menghadapi tekanan likuiditas. Penyedia asuransi jiwa ini alhasil menunda pembayaran
polis jatuh tempo yang dipasarkan bank (bancassurance) yang sedianya jatuh tempo
Oktober ini.
Kasus polis macet ini terungkap dari surat Jiwasraya pada bank agen pemasar
asuransinya, salah satunya PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN). Dalam surat yang
diterima Kontan.co.id, disebutkan, Jiwasraya bersama pemegang saham sedang
mengupayakan pendanaan untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis.

Salah satu polis jatuh tempo tersebut adalah asuransi jiwa berbalut investasi yang mereka
sebut "saving plan" hasil kerja sama dengan sejumlah bank sebagai agen penjual. Atas
keterlambatan pembayaran pada bank, Jiwasraya memutuskan untuk memberikan bunga
5,75% per tahun.

“Karena pemenuhan pendanaan tersebut masih dalam proses maka mengakibatkan


pembayaran klaim JS Proteksi Plan BTN mengalami penundaan, dan atas hal tersebut
kami menyampaikan permohonan. Atas keterlambatan pembayaran tersebut akan
diberikan bunga sebesar 5,75% per annum,” demikian bunyi isi surat Jiwasraya kepada
BTN.

Direktur Utama Jiwasraya Asmawi Syam mengatakan, saving plan yang jatuh tempo dan
tidak bisa dilunasi Jiwasraya saat ini berjumlah Rp 802 miliar. "Produk ini dijual lewat
sejumlah bank, yang bertindak sebagai mitra distributor," terang Asmawi bersama jajaran
direksi Jiwasraya lainnya saat ditemui Kontan.co.id di kantornya, Kamis (11/10).

Tujuh bank

Selain ke BTN, Jiwasraya juga melayangkan surat pemberitahuan penundaan pembayaran


polis asuransi yang jatuh tempo. Ada tujuh bank yang menjadi agen penjual dari produk
asuransi Jiwasraya. Mereka adalah PT Bank Tabungan Negara, Bank ANZ, Bank QNB, PT
Bank Rakyat Indonesia, Bank KEB Hana, Bank Victoria dan Standard Chartered Indonesia.

Berdasarkan dokumen penawaran produk tersebut, kebanyakan produk ini ditawarkan


kepada nasabah tajir atau biasa disebut prioritas.

“Sehubungan adanya keterlambatan pembayaran nilai tunai jatuh tempo polis Jiwasraya
jenis JS Proteksi plan BTN, dapat kami sampaikan bahwa saat ini kami sedang mengalami
tekanan likuiditas,” demikian bunyi paragraf pembuka surat yang ditujukan ke Bank
Tabungan Negara (BTN) yang ditandatangani Direktur Pemasaran Jiwasraya Indra Widjaja
dan dan Direktur Keuangan Jiwasraya Danang Suryono.
 

Salah investasi?

Hexana Tri Sasongko, Direktur Investasi & Teknologi Jiwasraya menambahkan, sampai 30
September 2018, Jiwasraya masih mampu membayar polis produk saving plan yang jatuh
tempo. "Tapi sejak 1 Oktober, kami sudah tidak bisa," kata Hexana.

Ia menambahkan, produk saving plan tersebut mulai beredar di masyarakat sejak tahun


2013. Produk ini memiliki durasi kontrak selama lima tahun, dengan opsi saban tahun sang
nasabah bisa menarik keluar dana investasinya.

Nilai premi awal dari produk saving plan tersebut mulai dari Rp 100 juta, bisa berbeda-beda
tergantung kebijakan bank yang bersangkutan sebagai mitra distributor. Semisal pada
proposal yang dimiliki Kontan.co.id, Standard Chartered Bank mengharuskan penempatan
investasi awal minimum Rp 1 miliar.

"Imbal hasil yang ditawarkan dulu sekitar 6,5% per tahun nett. Namun sudah diturunkan
menjadi 6% nett sejak Juni 2018," imbuh Hexana.

Dia bercerita, ihwal macetnya pembayaran dana nasabah yang sudah jatuh tempo. Salah
satu penyebabnya adalah penurunan nilai aset yang menjadi portofolio saving plan.

Hexana merinci, dari total dana kelolaan saving plan, sebanyak 75% berbentuk aset produk
finansial, seperti saham, reksadana, surat berharga negara (SBN), obligasi korporasi dan
obligasi BUMN.

"Dari portofolio dalam produk finansial itu, sebanyak 80% berada di pasar saham dan
reksadana," terang Hexana.

Yang menjadi persoalan, lanjut Hexana, Jiwasraya tidak bisa mencairkan asetnya di
saham, yang saat ini sedang mengalami penurunan nilai aset akibat kondisi pasar yang
tengah tertekan. "Sebagai BUMN, kami tidak bisa cut loss," terang Hexana.

Sementara dari total portofolio produk saving plan tersebut, sekitar 25% berupa tanah dan
properti. Ini yang juga menyulitkan manajemen Jiwasraya memperoleh dana tunai guna
memenuhi kewajibannya kepada nasabah. "Mengenai komposisi portofolio, ini sudah
warisan dari manajemen lama," tutur Hexana.

 
Masalah laporan keuangan

Hexana mengatakan, sejak awal tahun 2018, net dana investasi baru yang diperoleh
Jiwasraya dari produk saving plan ini sudah negatif. Artinya, praktis sejak Hexana beserta
jajaran direksi baru Jiwasraya resmi menduduki jabatan di perusahaan ini per 27 Agustus
2018, tidak ada dana baru yang bisa mereka investasikan.

Dirut Jiwasraya Asmawi menambahkan, jajaran manajemen Jiswasraya saat ini memang
muka-muka baru, setelah jajaran direksi lama berhenti. "Kami datang untuk melakukan
transformasi bisnis. Kami berupaya membenahi persoalan di Jiwasraya," tandas Asmawi.

Sedari awal dirinya beserta jajaran direksi yang baru terpilih dalam RUPS Jiwasraya 18 Mei
2018 dan resmi menjabat per 27 Agustus 2018, memang terdapat sejumlah
ketidakberesan. Sebut saja soal laporan keuangan.

Laporan keuangan unaudited Jiwasraya tahun 2017 awalnya mencatat laba besih sebesar
Rp 2,4 triliun. Namun setelah manajemen baru Jiwasraya meminta
PricewaterhouseCoopers (PwC) mengaudit, terdapat revisi dengan nilai yang sangat
signifikan.

Laba bersih Jiwasraya only, yang semula berjumlah Rp 2,4 triliun, berdasarkan laporan
audit PwC berubah menjadi Rp 360 miliar.

Laba bersih dalam laporan audit Jiwasraya oleh PwC itu pun masih adverse alias masih
memerlukan pembuktian pada sejumlah pos. PwC pada akhirnya belum bisa mengambil
opini karena status adverse itu. Secara sederhana, laporan audit Jiwasraya belum
berstatus wajar tanpa pengecualian.

Rianto Ahmadi, Direktur Teknik Jiwasraya menambahkan, audit PwC menemukan


ketidaksesuaian dana yang harus dicadangkan Jiwasraya. "Sebab, pencadangan harus
disesuaikan dengan kondisi janji Jiwasraya ke nasabah. Itu yang kemudian diperbaiki," kata
Rianto.

Nah, terhadap dana nasabah yang sudah jatuh tempo, Jiwasraya melalui bank mitra,
menawarkan skema roll over. Skema ini meminta kesediaan nasabah untuk
memperpanjang masa investasinya. Jiwasraya akan memberikan imbal hasil 6% nett, bagi
nasabah yang bersedia me-roll over investasinya.
Sedangkan bagi nasabah yang tidak bersedia di-roll over dan tetap ingin meminta
pelunasan, Jiwasraya akan memenuhinya sampai dana tersedia.

Namun selama nasabah menunggu, Jiwasraya akan memberikan imbal hasil atas dana
yang jatuh tempo itu sebesar 5,75% nett per tahun, hingga dana nasabah cair.

"Intinya kami tidak ingin merugikan nasabah, baik yang mau di-roll over maupun yang
sudah jatuh tempo dan ingin dananya kembali," terang Asmawi.

Mengenai pencairan aset di pasar modal, Hexana mengatakan semua bergantung kondisi
pasar. Dia pun tidak bisa memprediksi kapan pasar saham akan bergerak naik, setelah
terkoreksi sebesar 8,5% pada tahun ini.

Investigasi Menteri BUMN

Menteri BUMN Rini Soemarno juga sudah mengetahui perihal ini. Ia mengatakan pihaknya
sudah melakukan audit investigasi. “Kami telah melakukan audit investigasi terkait hal ini,”
kata Rini saat ditemui di acara IMF Annual Meeting 2018, Nusa Dua Bali, Kamis (11/10).

Rini tak menyebutkan penyebab Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas. Yang terang
dalam kasus Jiwasraya ini, Rini mengatakan, Kementerian BUMN telah bicara dengan
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta dengan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Selain itu Kementerian BUMN juga sudah melakukan audit
terhadap customer base.

Anda mungkin juga menyukai