Anda di halaman 1dari 8

Laporan Keuangan Ganda Bank Lippo, Informasi Yang Menyesatkan

A. Profil Singkat Bank Lippo


Bank Lippo merupakan Bank yang lahir atas merger dari Bank Perniagaan Indonesia
dan Bank Umum Asia. Bank ini secara resmi beroperasi atas nama Bank Lippo pada tahun
1948 yang dipimpin oleh Mochtar Riady. Cikal bakalnya lahirnya Bank ini diawali ketika
Mochtar Riady membeli sebagian saham di Bank Perniagaan Indonesia. Lahirnya Bank ini
juga merupakan cikal bakal terbentuknya Grup Lippo. Akan tetapi pada tahun 2008, nama
Bank Lippo secara resmi akan hilang dari perbankan nasional, dikarenakan Bank ini telah
merger dengan Bank Niaga. Akibatnya nama Bank Lippo akan dihilangkan dan menjadi
Bank CIMB Niaga (Detik, 2008; Kompas, 2008). Adanya merger ini diawali ketika
Khazanah sebagai pemiliki mayoritas CIMB Groups Holdings mengakuisisi kepemilikan
mayoritas Bank Lippo pada tanggal 30 September 2005, yang kemudian seluruh kepemilikan
saham ini beralih tangan menjadi milik CIMB Group. Sebagai bentuk patuhnya CIMB Group
pada Single Presence Policy (SSP) akhirnya secara resmi Bank Lippo di merger dengan Bank
Niaga (CIMB Niaga, 2017).
B. Ringkasan Kasus Laporan Keuangan Ganda Bank Lippo
Pada tanggal 28 November 2002 Bank Lippo mempublikasikan laporan keuangannya
untuk periode per 30 September 2002. Pada publikasi tersebut, tercatat bahwa total aktiva
yang dimiliki oleh Bank Lippo per 30 September 2002 sebanyak Rp 24 triliun dengan laba
bersih sebanyak Rp 98 miliar. Selain itu pada publikasi tersebut, pihak manajemen Bank
Lippo juga menyatakan bahwa laporan keuangan tersebut telah di audit dengan opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP). Namun, permasalahan dan keanehan muncul ketika adanya
perbedaan isi laporan keuangan Bank Lippo untuk periode per 30 September 2002 yang
dilaporkan Bank Lippo kepada Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 27 Desember 2002
dengan laporan keuangan yang sebelumnya telah dipublikasikan sendiri oleh pihak Bank
Lippo. Berdasarkan laporan yang terdapat di BEJ, total aktiva yang dimiliki oleh Bank Lippo
berubah menjadi Rp 22,8 triliun (turun Rp 1,2 triliyun). Selain itu, ternyata Bank Lippo
harusnya mencatat kerugian sebesar Rp 1,3 triliun, yang awalnya berdasarkan publikasi dari
pihak Bank Lippo, perusahaan tersebut tercatat memperoleh laba (Tempo, 2003). Munculnya
laporan keuangan ganda ini langsung ditanggapi oleh pihak KAP yang mengaudit LK Bank
Lippo yaitu Ernst and Young, Sarwoko dan Sanjaya. Menurut KAP tersebut, laporan
keuangan yang dipublikasikan oleh Bank Lippo tanggal 27 November 2002 tersebut
merupakan LK yang belum selesai diaudit oleh KAP tersebut, hanya LK yang dilaporkan ke
BEJ yang telah diaudit (Tempo, 2003).
Berdasarkan kejadian tersebut, pihak Bank Lippo berdalih, penyebab adanya
perbedaan tersebut dikarenakan terjadinya penurunan nilai agunan yang diambil alih (AYDA)
yang awalnya Rp 2,393 triliun turun menjadi Rp 1,42 triliun. Penurunan aset ini juga
berdampak pada nilai capital Adequacy Ratio (CAR) yang turun menjadi 4,23% (awalnya
24,77%). Akan tetapi, alasan yang diberikan oleh pihak Bank Lippo tersebut dibantah oleh
beberapa pihak. Beberapa pihak menduga bahwa Bank Lippo telah melakukan manipulasi
laporan keuangan secara sengaja. Hal ini dibuktikan dengan melihat aset agunan yang
dimiliki Bank Lippo. Agunan yang dijadikan aset oleh Bank Lippo tersebut ternyata
merupakan aset yang berasal dari Grup Lippo, yaitu PT Bukit Sentul Tbk; PT Lippo
Karawaci Tbk; PT Lippo Securities Tbk; PT Panin Insurance Tbk; PT Lippo Cikarang Tbk;
dan PT Hotel Prapatan (Sumantyo, 2003). Atas kasus ini BEJ, meminta Bank Lippo untuk
mengadakan paparan publik (paling lambat 15 Januari 2003). Paparan tersebut berisikan
pernyataan/penjelasan pihak Bank Lippo terkait adanya laporan keuangan ganda Bank Lippo
Per 30 September 2002 dan menjelaskan kinerja keuangan perusahaan hingga periode 31
Desember 2002 (Tempo, 2003).
C. Penyelesaian Kasus Oleh Pihak Berwenang
Bank Lippo telah terbukti melakukan kecurangan dengan mempublikasikan laporan
keuangan yan menyesatkan bagi publik. Atas perbuatan tersebut, Badan Pengawas Pasar
Modal (Bappepam) memutuskan untuk memberikan peringatan yang keras untuk pihak Bank
Lippo dan memberikan sanksi administratif bagi Bank Lippo tersebut (Tempo, 2003a).
Sanksi Administratifnya yaitu pihak Bank Lippo harus membayarkan denda ke kas Negara
sebesar Rp 2.500.000.000 saja (Tempo, 2003c). Selain itu Bappepam juga mewajibkan pihak
manajemen Bank Lippo untuk  menyerahkan laporan kemajuan (progress report) pada BEJ
seminggu sekali di mulai tanggal 24 Febuari sampai dengan keluarnya laporan keuangan
tahunan auditan tahun 2002.
Bappepam tidak hanya memberikan sanksi kepada pihak Bank Lippo saja, akan tetapi
Bappepam juga memberikan sanksi berupa denda kepada KAP Ernst and Young, Sarwoko
dan Sanjaya selaku KAP yang bertanggung jawab atas audit Laporan Keuangan Bank Lippo
pada periode tersebut. Pihak KAP tersebut diwajibkan untuk membayar denda ke kas Negara
hanya sebesar Rp 3.500.000 saja (Tempo, 2003c). Pemberian sanksi kepada KAP ini
dikarenakan KAP ini dianggap lalai menjalankan tugasnya sebagai pihak yang memeriksa
laporan keuangan Bank Lippo pada periode tersebut, sehingga menyebabkan adanya laporan
keuangan ganda tersebut yang berdampak pada penyesatan informasi pada publik.
D. Analisa Kasus
1) Analisis Penyebab
Berdasarkan data yang telah dijelaskan pada ringkasan kasus di atas, dapat dilihat
bahwa pihak Bank Lippo sudah tampak sekali melakukan tindakan manipulasi laporan
keuangan, dapat terlihat adanya perbedaan isi laporan keuangan yang awalnya mereka
publikasikan secara mandiri dengan laporan keuangan yang di laporkan di BEJ. Manipulasi
yang paling terlihat adalah pihak Bank Lippo dengan sengaja memanipulasi data aktiva dan
labanya, yang mana di keduanya mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding dengan
data yang sebenarnya.
Pada dasarnya perusahaan yang melakukan tindakan manipulasi laporan keuangan,
terutama memanipulasi untuk meningkatkan nilai pos tertentu ditujukan agar perusahaan
tersebut “terlihat memiliki kinerja yang baik di hadapan pihak eksternal” padahal tidak.
Dampaknya biasanya pada peningkatan harga saham ataupun untuk memikat hati pihak
eksternal seperti investor untuk menginvestasikan dananya melalui pembelian saham. Contoh
lainnya adalah agar dimudahkan untuk memperoleh suntikan dana dari pihak kreditur. Tidak
menutupi bahwa tujuan awal atau penyebab pihak manajemen tersebut melakukan manipulasi
tersebut guna untuk memperoleh keuntungan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
terutama untuk memikat para calon investor untuk segera menanamkan saham pada Bank
Lippo, terlebih lagi pada publikasi laporan keuangan yang dilakukan secara mandiri oleh
Bank Lippo tersebut, menyatakan bahwa laporan keuangan tersebut telah di audit dan
mendapatkan opini WTP (padahal belum di audit). Dengan diperolehnya opini WTP pada
perusahaan tersebut berarti telah menunjukan bahwa laporan keuangan tersebut telah disusun
secara wajar dan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku, yang
artinya laporan keuangan Bank Lippo bebas dari berbagai praktik ilegal terlebih lagi fraud.
Tentunya dengan diperoleh opini WTP tersebut, turut berperan penting untuk memikat hari
para investor untuk investasi pada Bank Lippo.
Praktik manipulasi yang dilakukan oleh pihak Manajemen Bank Lippo tersebut, juga
telah menunjukan bahwa pihak manajemen juga turut melakukan tindakan/praktik
manajemen laba. Menurut Herawaty (2008) manajemen laba merupakan tindakan judgement
dalam laporan keuangan yang dapat merubah laporan keuangan yang akhirnya dapat
menyesatkan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Contohnya pada kasus ini
terlihat pada laba pe 30 September 2002 yang seharusnya mengalami kerugian sebesar Rp 1,3
triliun, kemudian diganti oleh pihak manajemen dengan memperoleh laba bersih sebanyak Rp
98 miliar. Padahal manajemen laba yang dilakukan tersebut bertujuan negatif yang dapat
merugikan banyak pihak. Praktik manajemen laba ini tentunya terkesan negatif, karena pihak
manajemen Bank Lippo melakukannya untuk menarik banyak investor agar menanamkan
dananya pada Bank Lippo.
Secara keseluruhan, menurut penulis penyebab utama munculnya kasus ini
dikarenakan lemahnya implementasi Good Corporate Governance (GCG) pada manajemen
Bank Lippo. Jika implementasi GCG Bank Lippo terlaksana dengan baik, maka kasus
manipulasi laporan keuangan yang terjadi pada Bank Lippo ini tidak akan terjadi/dapat
dihindari. Hal ini dikarenakan menurut Guna dan Herawaty (2010) pada dasarnya tujuan
dengan dilaksanaknnya GCG ini bertujuan untuk membuat berbagai/serangkaian mekanisme
yang dapat mencegah dan membatasi asimetri informasi, termasuk contohnya adalah
manajemen laba.
Dalam pelaksanaannya, GCG dilaksanakan dengan 5 prinsip utama, antara lain
akuntanbilitas, transparansi, responbility, indepedensi, dan keadilan. Berkaitan dengan kasus
yang melanda Bank Lippo ini, terlihat bahwa perusahaan ini telah melanggar 2 prinsip dari
GCG tersebut, yaitu transparansi dan responsibility. Prinsip transparansi menjelaskan bahwa
dalam pelaksanaannya perusahaan harus menyampaikan setiap informasi dengan jelas,
akurat, dapat dipertanggungjawabkan, dan tentunya tidak menyesatkan. Informasi yang
dimaksud termasuk informasi yang terdapat pada laporan keuangan di sebuah perusahaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip responsibility ialah suatu organisasi dalam
pelaksanaan setiap kegiatan/operasional harus sesuai dengan aturan yang berlaku.
Berkaitan dengan kasus ini, apabila pihak manajemen Bank Lippo sepakat dan
berkomitmen untuk melaksanakan GCG dengan baik, maka kasus manipulasi laporan
keuangan ini dapat terhindarkan. Hal ini dikarenakan, dalam pelaksanaanya jika pihak
manajemen menjalankan dengan baik GCG-nya, maka tentunya pihak manajemen akan
senantiasa mengawasi/mengontrol pembuatan Laporan Keuangan agar sesuai dengan
aturan/standarnya (pelaksanaan prinsip transparansi dan responbility). Sehingga dapat
dipastikan salah satu penyebab utama adanya kasus manipulasi laporan keuangan ini terjadi
dikarenakan lemahnya dalam pelaksanaan GCG pada manajemen Bank Lippo.
2) Analisis Dari Perspektif Hukum
Akhir dari perjalanan kasus yang menimpa Bank Lippo ini yaitu Bank Lippo terbukti
bersalah dikarenakan adanya kasus laporan keuangan ganda ini. Atas kasus ini, Bappepam
selaku lembaga yang berwenang memutuskan bahwa Bank Lippo hanya akan mendapatkan
sanksi administratif berupa denda sebesar Rp 2.500.000.000.
Menurut penulis, sanksi yang diterima oleh Bank Lippo tidak tepat. Melihat fakta dari
kasus ini, secara jelas bahwa pihak manajemen Bank Lippo telah terbukti melakukan
manipulasi laporan keuangan dan membuat pernyataan bahwa laporan keungan tersebut telah
di audit (padahal belum), yang berdampak pada penyesatan informasi terhadap pihak-pihak
yang berkepentingan. Atas fakta tersebut, sudah dapat dilihat bahwa kasus ini telah
melanggar Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang
Pasar Modal, yang berarti kasus ini tergolong sebagai kasus pidana bukan hanya tergolong
pelanggaran administrasi saja. Pasal 93 tersebut berbunyi: Setiap Pihak dilarang, dengan
cara apa pun, membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak
benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga Efek di Bursa Efek apabila pada
saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan :
a) Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan
atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan; atau
b) Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material
dari pernyataan atau keterangan tersebut.
Dampak dengan pelanggaran Pasal 93 tersebut ialah pihak yang melakukan tindakan
penyesatan informasi tersebut (dalam hal ini Bank Lippo) seharusnya mendapatkan sanksi
pidana berupa kurungan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp
15.000.000.000.
E. Dampak Kasus
Adapun dampak dari kasus ini antara lain:
1) Menambah deret panjang kasus skandal manipulasi laporan keuangan yang berakibat
turunnya kepercayaan publik atas Perusahaan Publik, terutama atas kinerja akuntan dan
auditor yang terlibat. 
2) Merugikan investor yang mendapatkan informasi menyesatkan atas Laporan Keuangan
Bank Lippo tersebut (yang dipublikasikan oleh pihak Bank Lippo di Media Massa),
terlebih lagi investor yang telah membeli saham tersebut. Hal ini dikarenakan setelah
mencuatnya kasus laporan keuangan ganda tersebut, harga saham Bank Lippo mengalami
penurunan yang drastis, dan hal ini tentunya menyebabkan kerugian bagi investor-investor
tersebut.
3) Sanksi yang diberikan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, menunjukan masih
lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Tentunya ini berdampak pada kepercayaan
publik atas kinerja para penegak hukum di Negara ini yang masih takut dengan beberapa
pihak yang berkuasa di Negara ini. Diketahui bahwa terdapat pihak yang dianggap “orang
kuat” yang menjadi komisaris di Bank Lippo, sehingga membuat takutnya para penegak
hukum tersebut dalam menegakan keadilan.
F. Kesimpulan
Kasus manipulasi laporan keuangan yang terjadi pada Bank Lippo ini pada dasarnya
dapat dihindarkan untuk tidak terjadi, ketika pihak manajemen Bank Lippo tersebut telah
berkomitmen untuk menjalankan konsep GCG dengan baik. Selain itu Peran akuntan sebagai
pihak yang menyusun laporan keuangan tersebut tentunya juga akan sangat membantu dalam
pencegahan kasus fraud seperti ini. Peran yang dimaksud adalah para akuntan tersebut
seharusnya dalam pelaksanaan profesinya harus sesuai dengan kode etik profesinya, sehinga
ketika menemukan adanya pihak tertentu yang ingin melakukan melakukan praktik fraud
seperti pada kasus ini, akuntan yang bertanggung jawab harusnya dapat menolak untuk tidak
melakukan hal tersebut (karena melanggar kode etik). Dan jika pun akuntan tersebut
mendapatkan tekanan oleh dari pihak tertentu, para akuntan tersebut dapat melakukan
tindakan whistle-blowing dengan melaporkannya kepada pihak direksi ataupun komisaris
perusahaan, bahkan dapat di laporkan kepada pihak eksternal yang berwenang. Tujuannya
adalah untuk mencegah terjadinya berabagi praktik fraud di sebuah organiasasi. Whistle-
blowing sendiri jika didefinisikan ialah tindakan pegawai (atau mantan) untuk
mengungkapkan berbagai tindakan ilegal atau tidak etis kepada pihak manajemen puncak
atau kepada pihak eksternal yang berwenang maupun kepada publik (Bouville, 2007).
Melalui kasus ini, kita juga dapat dilihat betapa pentingnya makna dari “laporan
auditor” yang dijadikan sebagai lisensi bahwa sebuah laporan keuangan telah diaudit oleh
pihak yang berwenang. Dampak jika suatu organisasi mengabaikannya adalah dapat dilihat
dari kasus ini, apabila suatu organisasi mengakui telah di audit, akan tetapi pada
kenyataannya tidak, maka hal ini dapat dianggap sebagai kesalahan serius karena berpotensi
untuk menyesatkan publik. Selain itu, kasus ini juga menunjukan bahwa masih lemahnya
penegakan hukum pada Negara Indonesia. Sekuat apapun bukti yang dikumpulkan, tidak
akan berpengaruh jika pihak yang dijadikan pelaku tersebut memiliki kuasa untuk membuat
hukum berpihak padanya. Maka harapan kedepannya, Negara ini perlu berbenah diri, terlebih
lagi berkaitan dengan penegakan hukum, guna untuk menegakan keadilan. Dan hal ini akan
berdampak pada kembalinya kepercayaan publik pada penegakan hukum di Indonesia.
REFERENSI
Bouville, M. (2007). Whistle-blowing and Morality. Journal of Business Ethics,
81(3), 579–585.
CIMB Niaga. (2017). Sejarah Perusahaan CIMB Niaga. Diambil 10 Agustus
2017, dari https://www.cimbniaga.com/in/about-us/index.html
Detik. (2008). Bank Lippo Lenyap, CIMB Niaga Dikibarkan. Diambil 11
Agustus 2017, dari https://finance.detik.com/moneter/1030154/bank-lippo-lenyap-cimb-
niaga-dikibarkan-Guna
W. I., & Herawaty, A. (2010). Pengaruh Mekanisme Good Corporate
Governance, Independensi Auditor, Kualitas Audit dan Faktor Lainnya Terhadap
Manajemen Laba. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, 12(1), 53–68.
Herawaty, V. (2008). Peran Praktek Corporate Governance Sebagai Moderating
Variable dari Pengaruh Earnings Management Terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal
Akuntansi dan Keuangan, 10(2), 97–108.
Kompas. (2008). Lippo Niaga Jadi CIMB Niaga. Diambil 10 Agustus 2017, dari
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/03/10152216/lippo.niaga.jadi.cimb.niaga.
Sumantyo, R. (2003). Kasus Bank Lippo dan Degradasi Kepercayaan Publik.
Diambil 8 Agustus 2017, dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0302/24/eko1.htm
Tempo. (2003). Bapepam: Skandal Lippo Adalah Kasus Pidana. Diambil 7
Agustus 2017, dari https://m.tempo.co/read/news/2003/03/11/0565210/bapepam-
skandal-lippo-adalah-kasus-pidana.
Tempo.(2003). Bapepam Periksa Kantor Akuntan Publik Bank Lippo. Diambil 7
Agustus 2017, dari https://m.tempo.co/read/news/2003/02/03/0562286/bapepam-periksa-
kantor-akuntan-publik-bank-lippo.
Tempo. (2003c). BEJ Anggap Kasus Laporan Keuangan Bank Lippo Selesai.
Diambil 7 Agustus 2017, dari https://bisnis.tempo.co/read/news/2003/03/18/0566701/bej-
anggap-kasus-laporan-keuangan-bank-lippo-selesai.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar
Modal. Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai