Anda di halaman 1dari 7

JUDUL: KREDIT MACET RP 52 MILIAR, AKUNTAN PUBLIK DIDUGA TERLIBAT

NAMA: RINI UTAMI


NIM: C4C013010
KASUS:
JAMBI, KOMPAS.com Seorang akuntan publik yang membuat laporan keuangan perusahaan Raden Motor
untuk mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52 miliar dari BRI Cabang Jambi pada 2009, diduga terlibat
kasus korupsi dalam kredit macet.
Hal ini terungkap setelah pihak Kejati Jambi mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut pada kredit macet
untuk pengembangan usaha di bidang otomotif tersebut.
Fitri Susanti, kuasa hukum tersangka Effendi Syam, pegawai BRI yang terlibat kasus itu, Selasa (18/5/2010)
mengatakan, setelah kliennya diperiksa dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi, terungkap ada
dugaan kuat keterlibatan dari Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus ini. Hasil pemeriksaan dan
konfrontir keterangan tersangka dengan saksi Biasa Sitepu terungkap ada kesalahan dalam laporan
keuangan perusahaan Raden Motor dalam mengajukan pinjaman ke BRI.
Ada empat kegiatan data laporan keuangan yang tidak dibuat dalam laporan tersebut oleh akuntan publik,
sehingga terjadilah kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan dugaan korupsinya. Ada empat kegiatan
laporan keuangan milik Raden Motor yang tidak masuk dalam laporan keuangan yang diajukan ke BRI,
sehingga menjadi temuan dan kejanggalan pihak kejaksaan dalam mengungkap kasus kredit macet
tersebut, tegas Fitri.
Keterangan dan fakta tersebut terungkap setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan dikonfrontir
keterangannya dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik dalam kasus tersebut di Kejati Jambi.
Semestinya data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap, namun dalam
laporan keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor ada data yang
diduga tidak dibuat semestinya dan tidak lengkap oleh akuntan publik.
Tersangka Effendi Syam melalui kuasa hukumnya berharap pihak penyidik Kejati Jambi dapat menjalankan
pemeriksaan dan mengungkap kasus dengan adil dan menetapkan siapa saja yang juga terlibat dalam kasus
kredit macet senilai Rp 52 miliar, sehingga terungkap kasus korupsinya.
Sementara itu pihak penyidik Kejaksaan yang memeriksa kasus ini belum maumemberikan komentar
banyak atas temuan keterangan hasil konfrontir tersangka Effendi Syam dengan saksi Biasa Sitepu sebagai
akuntan publik tersebut.
Kasus kredit macet yang menjadi perkara tindak pidana korupsi itu terungkap setelah kejaksaan
mendapatkan laporan adanya penyalahgunaan kredit yang diajukan tersangka Zein Muhamad sebagai
pimpinan Raden Motor. Dalam kasus ini pihak Kejati Jambi baru menetapkan dua orang tersangka, pertama
Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor yang mengajukan pinjaman dan tersangka Effedi Syam dari
BRI yang saat itu menjabat sebagai pejabat penilai pengajuan kredit.
komentar:
Dalam kasus ini, seorang akuntan publik (Biasa Sitepu) sudah melanggar prinsip kode etik yang ditetapkan
oleh KAP ( Kantor Akuntan Publik ). Biasa Sitepu telah melanggar beberapa prinsip kode etik diantaranya
yaitu :
1. Prinsip tanggung jawab : Dalam melaksanakan tugasnya dia (Biasa Sitepu) tidak mempertimbangkan
moral dan profesionalismenya sebagai seorang akuntan sehingga dapat menimbulkan berbagai kecurangan
dan membuat ketidakpercayaan terhadap masyarakat.
2. Prinsip integritas : Awalnya dia tidak mengakui kecurangan yang dia lakukan hingga akhirnya diperiksa
dan dikonfrontir keterangannya dengan para saksi.
3. Prinsip obyektivitas : Dia telah bersikap tidak jujur, mudah dipengaruhi oleh pihak lain.
4. Prinsip perilaku profesional : Dia tidak konsisten dalam menjalankan tugasnya sebagai akuntan publik
telah melanggar etika profesi.
5. Prinsip standar teknis : Dia tidak mengikuti undang-undang yang berlaku sehingga tidak menunjukkan
sikap profesionalnya sesuai standar teknis dan standar profesional yang relevan.
SUMBER:
http://ambar-kusnandi.blogspot.com/2013/01/contoh-kasus-pelanggaran-etika-profesi.html

Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT Kimia Farma


Nama : Karina Odia Julialevi
Nim : C4C013006
Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT Kimia Farma
Kronologis
Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp
132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Akan tetapi,
Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur
rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001
disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan
keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar
Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan
Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa
overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated
persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam diperoleh bukti sebagai berikut :
Terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT.Kimia Farma, adapun dampak kesalahan tersebut
mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar
Rp.32,7 milyar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih PT.Kimia Farma Tbk.Selain
itu kesalahan juga terdapat pada
Unit industri bahan baku, kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp.2,7 milyar. Unit logistik
sentral, kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp.23,9 miliar.
Unit pedagang besar farmasi (PBF), kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp.8,1
milyar. Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp.10,7 milyar. Kesalahan-kesalahan penyajian
tersebut dilakukan oleh direksi periode 1998 juni 2002 dengan cara :
Membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda masing-masing diterbitkan pada tanggal 1 Februari
2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh pihak yang
berwenang yaitu Direktur Produksi PT.Kimia Farma. Master price per 3 Februari 2002 merupakan master
price yang telah disesuaikan nilainya (mark up) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan
pada unit distribusi PT.Kimia Farma per 31 Desember 2001.
Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit bahan baku. Pencatatan ganda
dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan.
Berdasarkan uraian tersebut tindakan yang dilakukan oleh PT.Kimia Farma terbukti melanggar peraturan
Bapepam no. VIII.G.7 tentang pedoman penyajian laporan keuangan. poin 2, Perubahan Akuntansi dan
Kesalahan Mendasar poin 3 Kesalahan Mendasar, sebagai berikut:
Kesalahan mendasar mungkin timbul dari kesalahan perhitungan matematis, kesalahan dalam penerapan
kebijakan akuntansi, kesalahan interpretasi fakta dan kecurangan atau kelalaian.
Sumber :
http://www.bumn.go.id/22289/publikasi/berita/manajemen-lama-kimia-farma-dipastikan-terlibat-kasus/
http://davidparsaoran.wordpress.com/2009/11/04/skandal-manipulasi-laporan-keuangan-pt-kimia-farmatbk/
http://liaaaajach.wordpress.com/2013/01/19/contoh-contoh-kasus-pelanggaran-etika-profesi-akuntansi/

Judul : KASUS Laporan Keuangan ganda Bank Lippo tahun 2002


Nama Mahasiswa : KARNISUAYTI
NIM : C4C013001
Kasus ini merupakan kasus dimana Bank Lippo melakukan pelaporan laporan keuangan ganda pada tahun
2002.Kasus Lippo bermula dari adanya tiga versi laporan keuangan yang ditemukan oleh Bapepam untuk
periode 30 September 2002, yang masing-masing berbeda. Laporan yang berbeda itu, pertama, yang
diberikan kepada publik atau diiklankan melalui media massa pada 28 November 2002. Kedua, laporan ke
BEJ pada 27 Desember 2002, dan ketiga, laporan yang disampaikan akuntan publik, dalam hal ini kantor
akuntan publik Prasetio, Sarwoko dan Sandjaja dengan auditor Ruchjat Kosasih dan disampaikan kepada
manajemen Bank Lippo pada 6 Januari 2003. Dari ketiga versi laporan keuangan tersebut yang benar-benar
telah diaudit dan mencantumkan opini wajar tanpa pengecualian adalah laporan yang disampaikan pada 6
Januari 2003. Dimana dalam laporan itu disampaikan adanya penurunan AYDA (agunan yang diambil alih)
sebesar Rp 1,42 triliun, total aktiva Rp 22,8 triliun, rugi bersih sebesar Rp 1,273 triliun dan CAR sebesar
4,23 %. Untuk laporan keuangan yang diiklankan pada 28 November 2002 ternyata terdapat kelalaian
manajemen dengan mencantumkan kata audit. Padahal laporan tersebut belum diaudit, dimana angka yang
tercatat pada saat diiklankan adalah AYDA sebesar Rp 2,933 triliun, aktiva sebesar Rp 24,185 triliun, laba
bersih tercatat Rp 98,77 miliar, dan CAR 24,77 %. Karena itu BAPEPAM menjatuhkan sanksi denda kepada
jajaran direksi PT Bank Lippo Tbk. sebesar Rp 2,5 miliar, karena pencantuman kata diaudit dan opini
wajar tanpa pengecualian di laporan keuangan 30 September 2002 yang dipublikasikan pada 28 Nopember
2002, dan juga menjatuhkan sanksi denda sebesar Rp 3,5 juta kepada Ruchjat Kosasih selaku partner
kantor akuntan publik (KAP) Prasetio, Sarwoko & Sandjaja karena keterlambatan penyampaian informasi
penting mengenai penurunan AYDA Bank Lippo selama 35 hari. Kasus-kasus skandal diatas menyebabkan
profesi akuntan beberapa tahun terakhir telah mengalami
krisis kepercayaan. Hal itu mempertegas perlunya kepekaan profesi akuntan terhadap etika.
KOMENTAR :
1. Tindakan mencantumkan laporan yang belum diaudit dengan mengiklankan di media masa untuk publik
dengan kata sudah di audit yang dilakukan akuntan diatas adalah tindakan yang melanggar INTEGRITAS ;
dimana seorang akuntan harus sangat jelas dan jujur dalam segala pekerjaan profesionalnya maupun dalam
hubungan bisnisnya.
2. Pelanggaran terhadap pelayanan kepentingan publik dalam hal ini memberikan laporan ganda yang
berbeda beda untuk publik, BEJ, dan laporan akuntan publik. Sehingga menyesatkan para pengguna
Laporan Keuangan
3. Pelanggaran terhadap Perilaku Profesional karena berani memberikan pendapat Wajar Tanpa
Pengecualian tanpa melakukan standar teknis secara profesional
4. Tidak melakukan obyektifitas dalam menjalankan tugas profesioanl-nya.Karena lebih berpihak kepada
klien daripada berpihak kepada para pengguna eksternal laporan keuangan (Laporan palsu ke BEJ , dan
masyarakat )
Sumber : http://rizkiadiputra08.blogspot.com/2012/10/contoh-kasus-pelanggaran-kode-etik.html

Judul: Kredit fiktif Rp102 M, BSM pastikan ada pelanggaran internal


Nama: Gianni Farah Paluci
NIM: C4C013063
Kasus:
Sindonews.com - PT Bank Syariah Mandiri (BSM) mengumumkan adanya temuan penyimpangan berupa
penyaluran kredit fiktif pada kantor BSM cabang Bogor senilai Rp102 miliar dan menjadi kredit macet sekira
Rp59 miliar.
Corporate Secreatary BSM Taufik Machrus menerangkan, kepastian adanya temuan tersebut diperoleh
setelah dilakukannya audit internal oleh Direktorat Kepatuhan BSM.
"Ada beberapa hasil yang bisa diungkap terkait dengan kredit fiktif di BSM cabang Bogor ini. Pertama, BSM
menemukan adanya pelanggaran ketentuan internal, yang berindikasi adanya dugaan tindak pidana
perbankan di BSM cabang Bogor pada 2012," ujar Taufik di Wisama Mandiri, Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Lebih lanjut dirinya mengatakan, atas temuan tersebut, manajemen langsung menindaklanjutinya dengan
melakukan laporan secara hukum ke Bareskrim Mabes Polri tertanggal 12 September 2013.
"Atas temuan tersebut, dalam rangka menegakkan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate
Govenance/GCG), BSM menurunkan tim audit internal. Hasil pemeriksaan tim audit internal memperkuat
adanya dugaan tindak pidana perbankan dimaksud. Kemudian kita laporkan ke Bareskrim tanggal 12
September 2013 kemarin," sambung dia.
Ditambahkannya, BSM sendiri saat ini menyerahkan sepenuhnya penangan kasus tersebut kepada pihak
berwenang. "Dengan pelaporan ini berarti BSM menyerahkan penanganan kasus tersebut pada proses
Hukum. BSM mendukung penegakan Hukum oleh pihak kepolisian, sebagai bagian dari menegakan
integritas dan dalam rangka melindungi para pemangku kepentingan perusahaan (stakeholder)," tutup dia.
Diberitakan sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri
menetapkan empat orang tersangka dalam kasus pembobolan dana kredit Bank Syariah Mandiri (BSM)
Cabang Bogor ini.
Empat tersangka tersebut di antaranya Kepala Cabang Utama Bank Syariah Mandiri Bogor M Agustinus
Masrie, Kepala Cabang Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor Chaerulli Hermawan, Accaounting Officer Bank
Syariah Mandiri Bogor John Lopulisa, dan Debitur Iyan Permana.
"Satu orang pengusaha yang terlibat dalam sindikat dengan manajemen BSM KCP Bogor sudah ditetapkan
sebagai tersangka, sudah dilakukan penahanan terhadap empat tersangka tersebut," kata Kepala Divisi
Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie di Mabes Polri, Jakarta Selatan
Sumber: http://daerah.sindonews.com/read/2013/10/24/34/797832/bsm-pastikan-ada-pelanggaraninternal

JUDUL : Kasus Suap Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai


NAMA :NAWANG KALBUANA
NIM: C4C013060
KASUS:
TEMPO.CO, Jakarta--Tersangka suap bea cukai, bekas Kepala Subdirektorat Ekspor Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai Heru Sulastyono dan pengusaha Yusran Arif dilimpahkan ke Kejaksaan Agung pada Selasa, 24
Februari 2014. Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Pencucian Uang Badan Reserse Kriminal Mabes Polri
Komisaris Besar Agung Setya Effendi aliran dana dari Yusran untuk Heru adalah komisi karena membantu
perusahaan Yusran.
"Prinsipnya Yusran membagi hasil karena usahanya dibantu Heru. Pembagiannya berkisar 8-9 persen dari
keuntungan Yusran," kata Agung ketika dihubungi Tempo, Selasa, 25 Februari 2014.
Agung mengatakan Heru membantu Yusran mengakali kewajiban pembayaran kepada negara, salah satunya
dengan mengatur valuation ruling alias penetapan nilai pabean. Agung mengatakan keberadaan Heru
sebagai konsultan juga membantu pengeluaran bijih plastik yang diimpor PT Tanjung Jati Utama milik
Yusran."Kalau mereka tahu bahwa ini yang ngurus Yusran, semua jadi lancar karena semua tahu dia dibantu
siapa. Kalau enggak punya orang dalam susah," kata Agung.
Penyidik kepolisian menyita 7 unit tanah dan bangunan, sebuah mobil dan uang sebagai barang bukti dalam
dugaan tindak pidana pencucian uang dan suap ini. Penyidik juga menyita uang Rp 425 juta dari rekening
Heru dan uang Rp 442 juta yang digunakan untuk membayar uang muka satu unit kondotel di Seminyak,
Bali. (dikutip http://www.tempo.co/read/news/2014/02/26/063557608/Heru-Sulastyono-Terima-Komisi-9Persen-dari-Yusran tanggal 26 Februari 2014)
Selain itu, Bareskrim juga telah bekerja sama dengan Inspektorat Bidang Investigasi Kementerian Keuangan
untuk menyelidiki kasus ini. Menurut Arief, Polri tidak dapat langsung mengakses dokumen ekspor impor
yang ditangani Heru lantaran ada keterbatasan yuridis yang dimiliki. Polri harus mengantongi izin dari
Menteri Keuangan sebelum dapat mengakses dokumen tersebut.
"Kerja sama itu untuk memperoleh dokumen yang berkaitan dengan kegiatan ekspor impor yang dilakukan
saudara YA (Yusran Arif) untuk bisa mengetahui pihak-pihak lain yang terafiliasi dengan kedua tersangka,"
katanya.
(dikutip
http://nasional.kompas.com/read/2013/11/01/1748533/Tangani.Kasus.Pejabat.Bea.Cukai.Polri.Gandeng.PPA
TK tanggal 1 November 2013)
SUMBER:
1. http://www.tempo.co/read/news/2014/02/26/063557608/Heru-Sulastyono-Terima-Komisi-9-Persen-dariYusran (utama)
2.
http://nasional.kompas.com/read/2013/11/01/1748533/Tangani.Kasus.Pejabat.Bea.Cukai.Polri.Gandeng.PPA
TK (tambahan)
3. http://www.liputan6.com/tag/suap-bea-cukai (berita online)
Analisis Pelanggaran Kode Etik:
1. Pada kasus ini petugas Bea Cukai juga telah melanggar International Ethics Standards Board for
Accountants Section 310 tentang Potential Conflicts
2. Pada kasus ini petugas Bea Cukai juga telah melanggar International Ethics Standards Board for
Accountants Section 320 tentang Preparation and Reporting of Information
3. Pada kasus ini petugas Bea Cukai juga telah melanggar International Ethics Standards Board for
Accountants Section 320 tentang Acting with Sufficient Expertise
4. Pada kasus tersebut ini baik petugas Bea Cukai maupun sang Penyuap telah Pelanggaran Pasal 5 ayat 2,
Pasal 12 huruf b dan Pasal 11 Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi
5. Pada kasus tersebut ini baik petugas Bea Cukai maupun sang Penyuap telah melanggar Pasal 3 dan pasal
6 Undang-Undang No 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Anda mungkin juga menyukai