1. Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan
keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005.
2. Kewajiban PT KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak
pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai
piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung
beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang
tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT KAI ada
kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
3. Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar
yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT
KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005
masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian
sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai
komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70
Miliar oleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005
sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan
penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
5. Manajemen PT KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan
tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada
pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 20asi
data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat
meraih keutungan sebesar Rp, 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih
rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar RpPerbedaan pendapat
terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi
karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata
kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI baru bisa
dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik. Akuntan
publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera diperiksa
oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan publik
itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan
publik terjadi karena PT KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik.
Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT KAI
baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik.
Akuntan publik yang telah mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 segera
diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik. Jika terbukti bersalah, akuntan
publik itu diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek
PT Katarina Utama diduga telah mempercantik laporan keuangan tahun 2008. Dalam
dokumen laporan keuangan 2008 nilai asset perseroan terlihat naik hampir 10 kali lipat dari
Rp 7,9 miliar pada 2007 menjadi Rp 76 miliar pada 2008. Adapun ekuitas perseroan
tercatat naik 16 kali lipat menjadi Rp 64,3 dari Rp 4,49 miliar.
Seperti tahun 2008, laporan keuangan tahun 2009 juga diduga penuh angka-angka
fiktif. Dalam laporan keuangan audit 2009, Katarina mencantumkan ada piutang usaha dari
MIG sebesar Rp 8,606 miliar dan pendapatan dari MIG sebesar Rp 6,773 miliar, selain itu
PT Katarina Utama Tbk melakukan penggelembungan asset dengan memasukan sejumlah
proyek fiktif senilai Rp 29,6 miliar. Rinciannya adalah piutang proyek dari PT Bahtiar
Mastura Omar Rp 10,1 miliar, PT Ejey Indonesia Rp 10 miliar dan PT Inti Bahana Mandiri
Rp 9,5 miliar.
Fenomena adanya praktik manajemen laba pernah terjadi di pasar modal Indonesia,
khususnya pada emiten manufaktur di Bursa Efek Jakarta. Contoh kasus terjadi pada PT
Kimia Farma Tbk. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal,
2002), diperoleh bukti bahwa terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT
Kimia Farma Tbk., berupakesalahan dalam penilaian persediaan barang jadi dan kesalahan
pencatatan penjualan, dimana dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba
pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp32,7 miliar.
Kasus yang sama juga pernah terjadi pada PT Indofarma Tbk. Berdasarkan hasil
pemeriksaan Bapepam terhadap PT Indofarma Tbk. (Badan Pengawas Pasar Modal, 2004),
ditemukan bukti bahwa nilai barang dalam proses diniliai lebih tinggi dari nilai yang
seharusnya dalam penyajian nilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2001
sebesar Rp28,87 miliar. Akibatnya penyajian terlalu tinggi (overstated) persediaan sebesar
Rp28,87 miliar, harga pokok penjualan disajikan terlalu rendah (understated) sebesar
Rp28,8 miliar dan laba bersih disajikan terlalu tinggioverstated dengan nilai yang sama.