221011200133
03SAKP001
Kasus Pelanggaran Kode Etik Profesi Minggu, 3 Desember 2023
1
BPK dan akuntan publik. Namun setelah diteliti secara seksama oleh komisaris PT KAI ternyata ditemukan
beberapa pelanggaran diantaranya:
- Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak ditagih, tetapi dicatat sebagai penghasilan PT KAI dalam
laporan keuangan tahun 2005. PT KAI wajib membayar Surat Ketetapan Pajak (SKP) Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp92,5 miliar kepada pelanggan wajib pajak tertentu sebagai
piutang atau catatan dalam laporan keuangan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003
. Namun, itu tidak dapat dicantumkan sebagai aset berdasarkan aturan akuntansi dan pajak pihak
ketiga yang tidak pernah ditagih. Direksi PT KAI melakukan kesalahan saat mencatat kuitansi
perusahaan tahun 2005.
- Menurut manajemen PT KAI, nilai persediaan suku cadang dan peralatan yang ditemukan selama
periode persediaan tahun 2002 turun sebesar Rp 24 miliyar yang merupakan kerugian bertahap
selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 juga terdapat kerugian sebesar Rp 6 miliyar yang tidak
termasuk kerugian penurunan nilai yang seharusnya telah dibebankan seluruhnya pada tahun 2005.
- Bantuan pemerintah belum ditetapkan statusnya sebagai modal total nilai kumulatif dengan jumlah
Rp 674,5 miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70 miliyar oleh manajemen PT KAI yang
disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang.
- Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2003, ketika PT KAI memberikan jasa pengangkutan,
manajemen PT KAI tidak melakukan penyisihan kerugian atas kemungkinan pelanggan tidak
memungut kewajiban pajak yang terutang.
Berdasarkan temuan pelanggaran tersebut maka KAP S. Manan dan rekannya telah melanggar Standar
Profesi Akuntansi Publik (SPAP). Tindakan manajemen PT KAI telah merugikan masyarakat dan
pemerintah diantaranya Publik (Investor) dirugikan karena menerima informasi yang menyesatkan
sehingga pengambilan keputusan berdasarkan informasi keuangan PT KAI tidak akurat. Sedangkan
pemerintah rugi karena dengan adanya rekayasa ini pemerintah menerima pajak yang lebih sedikit.
Latar Belakang
PT Kereta Api Indonesia (KAI), sebuah perusahaan yang memiliki peran vital dalam industri
transportasi kereta api, mendapati dirinya terperangkap dalam kontroversi serius terkait laporan keuangan.
Kasus ini memunculkan pertanyaan serius terkait integritas dan keandalan informasi keuangan yang
disajikan oleh perusahaan.
Identifikasi Pelanggaran
Pada awalnya, laporan keuangan PT KAI mencerminkan kinerja finansial yang positif, memicu
kepercayaan investor dan stakeholder. Namun, selama pemeriksaan mendalam oleh auditor eksternal,
terungkap bahwa ada pelanggaran etika profesi akuntansi yang signifikan.
Beberapa praktik kecurangan mencakup:
1. Penggelembungan Pendapatan: PT KAI terlibat dalam praktik menaikkan pendapatan secara
artifisial, memberikan gambaran yang lebih baik tentang kinerja finansial perusahaan daripada
yang sebenarnya.
2. Menyembunyikan Beban Operasional: Beban operasional yang seharusnya tercantum dengan
jelas dalam laporan keuangan disamarkan atau disembunyikan, menciptakan citra perusahaan yang
lebih menguntungkan.
3. Manipulasi Neraca Keuangan: Neraca keuangan dimanipulasi untuk menutupi ketidaksesuaian
antara aset dan kewajiban, menimbulkan kesan stabilitas finansial yang tidak akurat.
2
Dampak Pelanggaran:
Kasus ini tidak hanya merugikan keuangan perusahaan, tetapi juga memberikan dampak yang signifikan
pada berbagai pihak:
1. Investor: Investor mengalami kerugian finansial yang signifikan karena dipandu oleh informasi
yang salah dalam pengambilan keputusan investasi mereka.
2. Karyawan: Karyawan dihadapkan pada ketidakpastian dan risiko terkait pekerjaan mereka karena
dampak negatif pada stabilitas perusahaan.
3. Pemerintah dan Otoritas Pengawas: Pemerintah dan lembaga pengawas keuangan kecewa
Tindakan Perbaikan: Untuk menanggapi pelanggaran ini, PT KAI mengambil langkah-langkah
tegas, termasuk:
4. Pemecatan dan Pertanggungjawaban: Anggota tim keuangan yang terlibat langsung dalam
kecurangan dipecat dan, jika perlu, diambil tindakan hukum.
5. Audit Independen: Perusahaan menunjuk auditor independen untuk melakukan pemeriksaan
menyeluruh guna memastikan keandalan laporan keuangan yang baru.
6. Peningkatan Pengendalian Internal: PT KAI meningkatkan sistem pengendalian internal untuk
mencegah terulangnya praktik kecurangan, dengan menegaskan komitmen pada etika profesi
akuntansi.
Dampak Jangka Panjang:
Kasus ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya integritas dan transparansi dalam
pelaporan keuangan. PT KAI harus bekerja keras untuk memulihkan reputasinya, membangun kembali
kepercayaan stakeholder, dan mendemonstrasikan komitmen pada etika profesi akuntansi untuk
memastikan keberlanjutan bisnisnya dalam jangka panjang.
Kasus yang terjadi pada PT Kereta Api Indonesia (KAI) tahun 2006 memberikan gambaran yang cukup
mencolok tentang adanya keterlibatan auditor dalam melakukan rekayasa keuangan pada sebuah Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Komisaris PT KAI pada saat itu menyatakan adanya manipulasi laporan
keuangan, yang seharusnya mencerminkan kerugian perusahaan namun dilaporkan sebagai keuntungan.
Pernyataan tersebut menyoroti kegagalan sistem pengawasan dan peran auditor dalam menjalankan
kewajibannya.
Kejadian ini menjadi sorotan karena pos-pos yang seharusnya diakui sebagai beban untuk perusahaan
malah dianggap sebagai aset, menciptakan gambaran yang sangat tidak akurat tentang kesehatan keuangan
perusahaan. Lebih mencemaskan lagi, laporan keuangan tersebut telah diperiksa oleh akuntan publik, yang
seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendeteksi ketidakbenaran dalam laporan keuangan.
Pentingnya standar profesional akuntan publik (SPAP) menjadi sangat jelas dalam konteks ini. Auditor
memiliki tanggung jawab moral dan etika untuk mengikuti standar tertinggi agar informasi keuangan yang
disajikan oleh perusahaan benar, andal, dan dapat dipercaya. Kasus PT KAI menunjukkan bahwa terdapat
kegagalan dalam memegang teguh SPAP, yang seharusnya mencegah praktik-praktik rekayasa keuangan.