B. Pembahasan Kasus
Kasus berawal dari perbedaan pendapata antara Manajemen dan komisaris, khususnya
Ketua Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan
keuangan yang telah diaudit oleh Auditor eksternal, dan komisaris meminta untuk dilakukan
audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan
fakta yang ada. Perbedaan tersebut adalah :
Manajemen PT KAI tidak melakukan percadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak
tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah diberikan kepada pelanggan pada saat
jasa angkutannya diberikan pada tahun 1998-2005
Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya sebesar RP 674,5 Milyar dan
Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 70 miliar oleh manajemen PT KAI dalam
neraca per 31 Desember 2005 merupakan bagian dari hutang. Akan tetapi pendapat
berbeda dikemukakan Komisaris PT KAI Hekinus Manao bahwa bantuan penyertaan modal
harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
Terjadi penurunan niali persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar
yang diketahui pada saat melakukan investarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI
sebagai kerugan bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo
penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar R p 6 Miliar, yang
seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
Masalah piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai RP 95,2 Miliar, menurut komite
audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan
kolektibilitasnya tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.
Masalah uang muka gaji yang dibayar sebesar Rp 28 Milyar merupakan gaji bulan
Januari 2006 dan seharusnya yang dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per
31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji menurut Komite Audit harus
dibebankan pada tahun 2005
Masalah persediaan dalam perjalanan berkaitan dengan pengalihan persediaan suku
cadang sebesar Rp 1,4 Milyar. Kemudian dialihkan kepada ke unit kerja lainnya di
lingkungan PT KAI, akan tetapi belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005,
Komite Audit menyatakan hal ini telah bebas pada tahun 2005.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya
laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan
gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang
berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini
ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan
dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan
laporan keuangan dan informasi manajemen, namun karena kedua hal tersebut diatas maka
sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.
Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah yang
rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut
mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa proses
akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang
terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian
akuntansi.
Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut
berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :
1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor
Eksternal.
2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam
proses audit.
3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan
Komite Audit juga tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga
ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.
Beberapa aktifitas bisnis PT. Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan masalah di
kemudian hari adalah :
1. Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem
perhitungannya belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service
Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access
Charges)
2. Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS, perubahan status
perusahaan)
3. Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan)
4. Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai
5. RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas perusahaan dan
keikutsertaan swasta
C. Dampak Kasus
Manipulasi data dalam pelaporan keuangan PT KAI tahun 2005, dalam laporan kinerja
keuangan yang diterbitkan, perusahaan mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp
60,90 Milyar telah diraih. Padahal sebenarnya perusahaan menderita kerugian sebesar RP
69,3 Milyar. Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api telah tiga tahun tidak menagih
pendapatan. Padahal berdasarkan standar akuntansi keuangan, perusahaan tidak dapat
dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan dalam
pencatatan tansaksi atau perubahan keuangan telah terjadi selama tahun 2005. Penurunan
milai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Milyar yang diketahui pada
saat dilakukan investasinya tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara
bertahap selama lima tahun.
Berdasarkan uraian diatas bahwa kasus PT KAI di atas berasal dari pembukuan yang
tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kesalahan tersebut dikarenakan tidak
menguasai prinsip akuntasi yang berlaku umum dan dapat menyebabkan masalah yang
sangat menyesatkan bagi para pengguna laporan keuangan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa rendahnya kualitas laporan keuangan PT KAI Tbk yang disebabkan karena
pencatatan yang tidak sesuai dan kurang menguasai prinsip-prinsip akuntansi, serta
menunjukkan lemahnya Good Corporate Governance.