Anda di halaman 1dari 5

Kasus Audit PT KAI

A.Latar Belakang Kasus

Suatu perusahaan berkewajiban menerapkan GCG (Good Corporate Governance) khususmya


BUMN. Penerapan GCG merupakan salah satu langkah penting untuk meningkatkan dan
memaksimalkan nilai perusahaan, mendorong perusahaan yang profesional, transparan, dan
efisien dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya,
bertanggungjawab dan adil sehingga dapat memunuhi kewajiban secara baik kepada
pemagang saham, dewan,komisaris, mitra bisnis, serta stakeholder lainnya.

Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin
dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih belum sepenuhnya
diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik.
Penyebab lainnya adalah pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum
memadai. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan
yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang sangat menarik. Salah satu
contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI).

Kasus PT KAI adalah kasus pelanggaran kode etik profesi akuntansi, diduga terjadi
manipulasi data keuangan pada tahun 2005, perusahaan BUMN tercatat meraih laba sebesar
Rp 6,9 Miliar, padahal apabila diteliti lebih rinci perusahaan BUMN ini mencatat kerugian
sebesar Rp 63 Miliar. Kasus ini bermula akibat adanya pembukuan yang tidak sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Pada tahun 2005 laporan keuangan PT KAI tahun 2005
disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak
terdapat kejanggalan dalam penyajian laporan keuangan seperti data yang disajikan tidak
sesuai dengan standar akuntansi. Ini menimbulkan permasalahan, karena auditor menyatakan
opini LaporanWajar Tanpa Pengecualian, tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi
yang telah ditetapkan. Laporan keuangan PT KAI diaudit oleh kantor akuntan publik sejak
tahun 2004, namun berbeda dengan tahun sebelumnya dimana pihak BPK terlibat dalam
sebagai auditor PT KAI.

B.Pembahasan Kasus

Kasus berawal dari perbedaan pendapata antara Manajemen dan komisaris, khususnya Ketua
Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan
yang telah diaudit oleh Auditor eksternal, dan komisaris meminta untuk dilakukan audit
ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang
ada. Perbedaan tersebut adalah :

1. Manajemen PT KAI tidak melakukan percadangan kerugian terhadap kemungkinan


tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah diberikan kepada pelanggan
pada saat jasa angkutannya diberikan pada tahun 1998-2005
2. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya sebesar RP 674,5 Milyar dan
Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 70 miliar oleh manajemen PT KAI
dalam neraca per 31 Desember 2005 merupakan bagian dari hutang. Akan tetapi
pendapat berbeda dikemukakan Komisaris PT KAI Hekinus Manao bahwa bantuan
penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
3. Terjadi penurunan niali persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24
Miliar yang diketahui pada saat melakukan investarisasi tahun 2002 diakui
manajemen PT KAI sebagai kerugan bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun
2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian
sebesar R p 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4. Masalah piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai RP 95,2 Miliar, menurut komite
audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan
kolektibilitasnya tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh
auditor.
5. Masalah uang muka gaji yang dibayar sebesar Rp 28 Milyar merupakan gaji bulan
Januari 2006 dan seharusnya yang dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar
per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji menurut Komite
Audit harus dibebankan pada tahun 2005
6. Masalah persediaan dalam perjalanan berkaitan dengan pengalihan persediaan suku
cadang sebesar Rp 1,4 Milyar. Kemudian dialihkan kepada ke unit kerja lainnya di
lingkungan PT KAI, akan tetapi belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember
2005, Komite Audit menyatakan hal ini telah bebas pada tahun 2005.

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena
rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan
depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga
yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian
hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses
akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI
cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen, namun
karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi
dengan baik.

Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan


masalah yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain
yang turut mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah
bahwa proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi,
unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas
menyulitkan bagi bagian akuntansi.
Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut
berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :
1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya
Auditor Eksternal.
2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat
dalam proses audit.
3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit
dan Komite Audit juga tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun,
sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.

Beberapa aktifitas bisnis PT. Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan
masalah di kemudian hari adalah :
· Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem
perhitungannya belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service
Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access
Charges)
· Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS,
perubahan status perusahaan)
· Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan)
· Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai
· RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas
perusahaan dan keikutsertaan swasta

C. Dampak Kasus
Manipulasi data dalam pelaporan keuangan PT KAI tahun 2005, dalam laporan
kinerja keuangan yang diterbitkan, perusahaan mengumumkan bahwa keuntungan
sebesar Rp 60,90 Milyar telah diraih. Padahal sebenarnya perusahaan menderita
kerugian sebesar RP 69,3 Milyar. Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api telah tiga
tahun tidak menagih pendapatan. Padahal berdasarkan standar akuntansi keuangan,
perusahaan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan
demikian, kekeliruan dalam pencatatan tansaksi atau perubahan keuangan telah terjadi
selama tahun 2005. Penurunan milai persediaan suku cadang dan perlengkapan
sebesar Rp 24 Milyar yang diketahui pada saat dilakukan investasinya tahun 2002
diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun.
Berdasarkan uraian diatas bahwa kasus PT KAI di atas berasal dari pembukuan
yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kesalahan tersebut
dikarenakan tidak menguasai prinsip akuntasi yang berlaku umum dan dapat
menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan bagi para pengguna laporan
keuangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa rendahnya kualitas laporan keuangan PT
KAI Tbk yang disebabkan karena pencatatan yang tidak sesuai dan kurang menguasai
prinsip-prinsip akuntansi, serta menunjukkan lemahnya Good Corporate Governance.

D.Solusi dan Rekomendasi


Dari kasus tersebut dapat dipetik pelajaran berharga, antara lain :
1. Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila
Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatsanamakan
seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan komisaris memiliki satu suara
Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan
pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir dengan
jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk
itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk
memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan
informasi yang merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan
prinsip GCG yaitu transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan
seluruh informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran
dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
2. Sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit
merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu
perusahaan. Kasus PT. Kereta Api merupakan cerminan bahwa komunikasi
yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat diperlukan.
Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api salah satunya
dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan
audit. Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan
beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat.
3. Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta
dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam
memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat
mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui
berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi
mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal,
sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum
pernah satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor
Internal untuk proses audit tahun buku 2006.

Anda mungkin juga menyukai