Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin
dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih belum sepenuhnya
diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan stratejik.
Penyebab lainnya adalah pemahaman pemegang saham atas GCG yang masih belum
memadai. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan
yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang sangat menarik. Salah satu
contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI).
Kasus PT KAI adalah kasus pelanggaran kode etik profesi akuntansi, diduga terjadi
manipulasi data keuangan pada tahun 2005, perusahaan BUMN tercatat meraih laba sebesar
Rp 6,9 Miliar, padahal apabila diteliti lebih rinci perusahaan BUMN ini mencatat kerugian
sebesar Rp 63 Miliar. Kasus ini bermula akibat adanya pembukuan yang tidak sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Pada tahun 2005 laporan keuangan PT KAI tahun 2005
disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak
terdapat kejanggalan dalam penyajian laporan keuangan seperti data yang disajikan tidak
sesuai dengan standar akuntansi. Ini menimbulkan permasalahan, karena auditor menyatakan
opini LaporanWajar Tanpa Pengecualian, tidak ada penyimpangan dari standar akuntansi
yang telah ditetapkan. Laporan keuangan PT KAI diaudit oleh kantor akuntan publik sejak
tahun 2004, namun berbeda dengan tahun sebelumnya dimana pihak BPK terlibat dalam
sebagai auditor PT KAI.
B.Pembahasan Kasus
Kasus berawal dari perbedaan pendapata antara Manajemen dan komisaris, khususnya Ketua
Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan
yang telah diaudit oleh Auditor eksternal, dan komisaris meminta untuk dilakukan audit
ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang
ada. Perbedaan tersebut adalah :
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena
rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan
depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga
yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian
hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses
akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI
cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen, namun
karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi
dengan baik.
Beberapa aktifitas bisnis PT. Kereta Api yang juga berpotensi menimbulkan
masalah di kemudian hari adalah :
· Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem
perhitungannya belum dipahami dan disepakati dengan baik (PSO : Public Service
Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access
Charges)
· Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS,
perubahan status perusahaan)
· Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan)
· Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai
· RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas
perusahaan dan keikutsertaan swasta
C. Dampak Kasus
Manipulasi data dalam pelaporan keuangan PT KAI tahun 2005, dalam laporan
kinerja keuangan yang diterbitkan, perusahaan mengumumkan bahwa keuntungan
sebesar Rp 60,90 Milyar telah diraih. Padahal sebenarnya perusahaan menderita
kerugian sebesar RP 69,3 Milyar. Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api telah tiga
tahun tidak menagih pendapatan. Padahal berdasarkan standar akuntansi keuangan,
perusahaan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan
demikian, kekeliruan dalam pencatatan tansaksi atau perubahan keuangan telah terjadi
selama tahun 2005. Penurunan milai persediaan suku cadang dan perlengkapan
sebesar Rp 24 Milyar yang diketahui pada saat dilakukan investasinya tahun 2002
diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun.
Berdasarkan uraian diatas bahwa kasus PT KAI di atas berasal dari pembukuan
yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kesalahan tersebut
dikarenakan tidak menguasai prinsip akuntasi yang berlaku umum dan dapat
menyebabkan masalah yang sangat menyesatkan bagi para pengguna laporan
keuangan. Hal tersebut menunjukkan bahwa rendahnya kualitas laporan keuangan PT
KAI Tbk yang disebabkan karena pencatatan yang tidak sesuai dan kurang menguasai
prinsip-prinsip akuntansi, serta menunjukkan lemahnya Good Corporate Governance.