Anda di halaman 1dari 17

Kasus Laporan Audit PT.

Kereta Api Indonesia (KAI)


Jauza Purwanurhadi (17013010216)
Asmaul Tanziyah (17013010243)
Andhika Putra S. (17013010251)
Titahayu Ramadhanti (17013010263)
Alifiyandi Firdaus (17013010268)
Niken ntan S. (17013010275)
Erika Aulia S. (17013010276)

Kelompok 1
Suatu perusahaan berkewajiban menerapkan GCG
Latar (Good Corporate Governance) khususmya
BUMN. Penerapan GCG merupakan salah satu
Belakang langkah penting untuk meningkatkan dan
memaksimalkan nilai perusahaan, mendorong
Kasus perusahaan yang profesional, transparan, dan
efisien dengan cara meningkatkan prinsip
Laporan keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya,
Audit PT. bertanggungjawab dan adil sehingga dapat
memunuhi kewajiban secara baik kepada
KAI pemagang saham, dewan,komisaris, mitra bisnis,
serta stakeholder lainnya.
Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN
maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat disimpulkan
sementara bahwa penerapan proses GCG masih belum
sepenuhnya diterapkan seutuhnya, terutama oleh top
management sebagai pengambil keputusan strategik. Penyebab
lainnya adalah pemahaman pemegang saham atas GCG yang
masih belum memadai. Pembedahan kasus yang terjadi di
perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan
dapat menjadi suatu pembelajaran yang sangat menarik. Salah
satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh
PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI).
Kasus PT KAI adalah kasus pelanggaran kode etik profesi akuntansi, diduga terjadi
manipulasi data keuangan pada tahun 2005, perusahaan BUMN tercatat meraih laba sebesar
Rp 6,9 Miliar, padahal apabila diteliti lebih rinci perusahaan BUMN ini mencatat kerugian
sebesar Rp 63 Miliar. Kasus ini bermula akibat adanya pembukuan yang tidak sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan. Pada tahun 2005 laporan keuangan PT KAI tahun
2005 disinyalir telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak
terdapat kejanggalan dalam penyajian laporan keuangan seperti data yang disajikan tidak
sesuai dengan standar akuntansi. Ini menimbulkan permasalahan, karena auditor
menyatakan opini LaporanWajar Tanpa Pengecualian, tidak ada penyimpangan dari standar
akuntansi yang telah ditetapkan. Laporan keuangan PT KAI diaudit oleh kantor akuntan
publik sejak tahun 2004, namun berbeda dengan tahun sebelumnya dimana pihak BPK
terlibat dalam sebagai auditor PT KAI.
Kasus berawal dari perbedaan
pendapat antara Manajemen dan
komisaris, khususnya Ketua Komite
Audit dimana Komisaris menolak
Pembahasan menyetujui dan menandatangani laporan
Kasus Laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor
eksternal, dan komisaris meminta untuk
Audit PT. KAI dilakukan audit ulang agar laporan
keuangan dapat disajikan secara
transparan dan sesuai dengan fakta yang
ada
1. Manajemen PT KAI tidak melakukan percadangan
kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya
kewajiban pajak yang seharusnya telah diberikan
kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan
pada tahun 1998-2005.
2. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya
sebesar RP 674,5 Milyar dan Penyertaan Modal Negara
(PMN) sebesar Rp 70 miliar oleh manajemen PT KAI
dalam neraca per 31 Desember 2005 merupakan bagian
dari hutang. Akan tetapi pendapat berbeda
Perbedaan dikemukakan Komisaris PT KAI Hekinus Manao
bahwa bantuan penyertaan modal harus disajikan
tersebut adalah sebagai bagian dari modal perseroan.
3. Terjadi penurunan niali persediaan suku cadang dan
perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada
saat melakukan investarisasi tahun 2002 diakui
manajemen PT KAI sebagai kerugan bertahap selama
lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo
penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai
kerugian sebesar R p 6 Miliar, yang seharusnya
dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
4. Masalah piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai RP
95,2 Miliar, menurut komite audit harus dicadangkan
penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan
kolektibilitasnya tetapi tidak dilakukan oleh manajemen
dan tidak dikoreksi oleh auditor.
5. Masalah uang muka gaji yang dibayar sebesar Rp 28
Milyar merupakan gaji bulan Januari 2006 dan
seharusnya yang dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi
Perbedaan telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan
sebagai uang muka biaya gaji menurut Komite Audit
tersebut adalah harus dibebankan pada tahun 2005
6. Masalah persediaan dalam perjalanan berkaitan dengan
pengalihan persediaan suku cadang sebesar Rp 1,4
Milyar. Kemudian dialihkan kepada ke unit kerja lainnya
di lingkungan PT KAI, akan tetapi belum selesai proses
akuntansinya per 31 Desember 2005, Komite Audit
menyatakan hal ini telah bebas pada tahun 2005.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT.
KAI adalah karena rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Hal ini
karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang
seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang
berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di
kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru
sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer.
Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI cukup modern untuk
penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen, namun
karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut
tidak dapat berfungsi dengan baik.

Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi


juga merupakan masalah yang rumit karena sistem otorisasi
anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong
terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa
proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian
akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of
belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi.
Selain beberapa hal teknis tersebut, beberapa hal yang
diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan
keuangan PT. Kereta Api adalah :

• Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit,


yang berperan hanya Auditor Eksternal.
• Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor
sehingga tidak terlibat dalam proses audit.
• Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan
kepada Komite Audit dan Komite Audit juga tidak
menanyakannya.
• Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan
yang telah disusun, sehingga ketika Komite Audit
mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.
Beberapa aktifitas bisnis PT. Kereta Api Indonesia (KAI) yang
juga berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari adalah
Adanya transaksi antara PT. Kereta Api dan Negara yang kebijakan dan sistem perhitungannya belum dipahami dan
disepakati dengan baik (PSO : Public Service Obligation, IMO : Infrastructure Maintenance and Operation, TAC : Track Access
Charges)

Transaksi masa sebelumnya yang masih belum terselesaikan (BPYBDS, perubahan status perusahaan)

Perubahan peraturan pemerintah (termasuk peraturan perpajakan)

Penyelesaian Past Service Liability /PSL Pensiun Pegawai

RUU Perkeretaapian dengan kemungkinan “Unbundling” dari aktifitas perusahaan dan keikutsertaan swasta
Dampak Kasus
Manipulasi data dalam pelaporan keuangan PT KAI
tahun 2005, dalam laporan kinerja keuangan yang
diterbitkan, perusahaan mengumumkan bahwa keuntungan
sebesar Rp 60,90 Milyar telah diraih. Padahal sebenarnya
perusahaan menderita kerugian sebesar RP 69,3 Milyar.
Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api telah tiga tahun
tidak menagih pendapatan. Padahal berdasarkan Standar
Akuntansi Keuangan, perusahaan tidak dapat
dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
Dengan demikian, kekeliruan dalam pencatatan tansaksi
atau perubahan keuangan telah terjadi selama tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan
sebesar Rp 24 Milyar yang diketahui pada saat dilakukan
investasinya tahun 2002 diakui manajemen PT KAI
sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun.
Berdasarkan uraian tersebut bahwa
kasus PT KAI di atas berasal dari
pembukuan yang tidak sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
Kesalahan tersebut dikarenakan tidak
menguasai prinsip akuntasi yang
berlaku umum dan dapat menyebabkan
masalah yang sangat menyesatkan bagi
para pengguna laporan keuangan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa
rendahnya kualitas laporan keuangan
PT KAI Tbk yang disebabkan karena
pencatatan yang tidak sesuai dan
kurang menguasai prinsip-prinsip
akuntansi, serta menunjukkan
lemahnya Good Corporate
Governance.
Solusi dan Rekomendasi
Dari kasus tersebut dapat dipetik pelajaran berharga, antara
lain
1. Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan
sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu
orang juru bicara yang mengatsanamakan seluruh Dewan
Komisaris sehingga Dewan komisaris memiliki satu suara
Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya
perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan
pendapat diakomodir dengan jelas dalam dissenting
opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk
itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota
Dewan Komisaris untuk memilah-milah informasi apa saja
yang merupakan public domain dan informasi yang
merupakan private domain. Hal ini terkait dengan
pelaksanaan prinsip GCG yaitu transparansi, karena
transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi
perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran
dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite
Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit
suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api merupakan cerminan bahwa
komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit
Dari kasus sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT.
Kereta Api salah satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota
tersebut dapat Komite Audit pada saat pelaksanaan audit. Auditor eksternal
mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan
sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat.
dipetik
pelajaran Komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum
tercipta dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki
berharga, andil dalam memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama
bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam
menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi
antara lain dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya
komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak Komite
Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah
satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor
Internal untuk proses audit tahun buku 2006.

Anda mungkin juga menyukai