Anda di halaman 1dari 16

BANK DUTA DI UJUNG TANDUK

KELOMPOK 6
LEONALDO 201650288
NICHOLAS BAGUS 201650341
RICKI CAHYADI 201650344
DEORAMA AISTIA 201650345
DHYO ADHIBYO 201650363

1
SEJARAH SINGKAT BANK DUTA
■ Bank Duta pada awalnya bernama Bank Dharma Ekonomi. Bank ini didirikan pada tahun 1966 oleh Suhardiman, Thomas Suyatno,
dan Njo Han Siang. Pada usianya yang ke-2 pada tahun 1968, Bank ini mengalami kebangkrutan dan diselamatkan oleh PT PP
Berdikari (PT Perusahaan Pilot Project Berdikari) yang kemudian menjadi pemilik tunggal dari bank tersebut.

■ Pada tahun 1971, bank ini kembali mengalami krisis. Krisis ini berakibat hilangnya dana Bulog yang disimpan di bank tersebut dan
menimbulkan kesulitan bagi Bulog untuk melakukan pengadaan pangan. PT PP Berdikari meminta bantuan Abdulgani yang bekerja
di Bank EXIM Indonesia untuk melakukan evaluasi berkelanjutan dari bank ini agar tidak terjadi kebangkrutan untuk ketiga kalinya.
Abdulgani memulai membangun bank dengan nama baru bank: Bank Duta Ekonomi dan dibantu oleh Muhammad Nazif (alumnus
Citibank) dengan 14 orang karyawan serta manajemen yang kocar-kacir.

■ Perubahan nama dan pergantian pemimpin bank merupakan langkah pertama dari perubahan besar yang terjadi pada Bank Duta.
Langkah selanjutnya adalah keterlibatan Bustanil Arifin yang ditugaskan untuk memimpin PT PP Berdikari di mana kemudian
menjadi komisaris bank pada tahun 1973. 1 tahun kemudian, Bank Duta memperoleh tambahan modal dari 2 yayasan, yaitu:
Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais) dan Yayasan Supersemar. Tambahan dana ini untuk meningkatkan status bank menjadi
bank devisa pada tahun 1978. Setelah itu, perkembangan Bank Duta tidak tertahankan yang pada akhirnya menempatkan menjadi
peringkat kedua bank swasta nasional dibawah Bank Central Asia (BCA).

■ Setahun sebelumnya terungkapnya permasalahan ini, PT PP Berdikari melepas seluruh bagian sahamnya ke Yayasan Dana Abadi
Karya Bakti (Dakab) sehingga 3 yayasan mengusai 90% saham bank dan menyisakan 10% saham kepada Koperasi Karyawan
Bank Duta. Pada April 1990, Bank Duta menawarkan saham baru melalui pasar modal dan menyebabkan proporsi saham Yayasan
berkurang menjadi 72,39% 2
LATAR BELAKANG KASUS (1)
■ Pada 15 Agt 1990, Bustanil Arifin (Komisaris Pertama Bank Duta) tidak bisa tidur. Perasaannya bercampur aduk
antara marah, kecewa dan khawatir. Pada sore harinya, 2 orang Direktur Bank Duta menghadapnya secara
bergantian: diawali dengan Wakil Direktur Utama Dicky Iskandar Di Nata pada pukul 17.00, kemudian Direktur Utama
Abdugani pada pukul 19.00. keduanya menyampaikan berita buruk mengenai kondisi Bank Duta.

■ National Bank of Kuwait Singapore (NBKS) mengabarkan bahwa mereka melakukan eksekusi cut-loss atas dana di
Bank Duta yang ditempatkan di bank tersebut. Akibat eksekusi tersebut, Bank Duta kehilangan dana yang besarnya
belum diketahui namun diperkirakan berkisar antara USD 200 - 310 Juta. Bank Duta terancam bangkrut karena
kerugian yang diderita jauh melampaui modal dasarnya.

■ Bustanil harus segera melaporkan kepada Presiden Soeharto karena sebagian besar saham Bank Duta dimiliki 3
Yayasan yang diketuai oleh Presiden. Kebetulan pada keesokan paginya, Presiden memberikan pidato kenegaraan
di depan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dimana seluruh menteri dan pejabat tinggi Negara hadir. Pada
kesempatan itu Bustanil menitipkan berita buruk ini kepada seorang menteri. 2 hari kemudian setelah rangkaian
kegiatan peringatan Proklamasi Kemerdekaan usai, Abdulgani dipanggil oleh Presiden. Presiden Soeharto
dikabarkan sangat marah atas kejadian ini dan setelah itu, operasi penyelamatan Bank Duta secara diam-diam
segera dilaksanakan. Dana bantuan dikumpulkan untuk mengganti dana yang hilang.

3
LATAR BELAKANG KASUS (2)
■ Pada 4 Sept 1990, Gubernur Bank Indonesia (BI), Andrianus Mooy di Bina Graha mengumumkan pergantian
seluruh Direksi Bank Duta. Pergantian ini menimbulkan kegemparan tidak hanya di Bank Duta tetapi juga
dikalangan perbankan BI dan Departemen Keuangan. Krisis Bank Duta kemudian mencuat di permukaan.

■ Pada 10 Sep 1990, Kejaksaaan Agung (Kejagung) mengumumkan pembentukan tim khusus untuk
menyelidiki tindak pidana korupsi di Bank Duta dan 3 hari kemudian, Dicky Iskandar ditahan oleh Kejagung
serta penyitaan terhadap rumah dan mobilnya.

■ Pada 4 Okt 1990, Bank Duta mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB). Saat itu,
terungkap bahwa kerugian Bank Duta ternyata jauh lebih besar dari perkiraan semula, yaitu sebesar US$
419,6 juta atau sekitar Rp 780 miliar. RUPS selanjutnya memutuskan untuk menerima pengunduran diri
Bustanil Arifin sebagai komisaris utama, memberhentikan tidak hormat untuk Dicky Iskandar Di Nata dan
memberhentikan dengan hormat anggota direksi lainnya.

4
Dicky Iskandar Di Nata
■ Pada tahun 1971, Dicky Iskandar Di Nata mengawali kariernya sebagai juru ketik di Citibank pada usianya yang ke-20. 2 tahun

kemudian, ia sudah menduduki jabatan sebagai staf dan dalam tempo 2 tahun berikutnya ia sudah menjadi wakil manajer cabang

Citibank di Jeddah. Pada tahun 1978, ia sudah menjadi Vice President (Wakil President Direktur) dan mulai merasa jenuh kerja di

Citibank. Kebetulan ia bertemu dengan Abdulgani pada bulan Agustus 1979 dan mulai bergabung dengan Bank Duta dengan jabatan

sebagai divisi operasi. Selanjutnya pada tahun 1986, ia diangkat menjadi direktur dan pada awal 1989, ia dipromosikan menjadi wakil

direktur utama. Ia sebenarnya dijanjikan menjadi Direktur Utama Bank Duta menggantikan Abdulgani yang rencananya akan diangkat

menjadi Direktur Utama Bank Ekspor Impor Indonesia. Namun ternyata, Abdulgani kemudian hanya ditawari posisi direktur. Ia pun

menolak tawaran tersebut dan akibatnya rencana promosi Dicky pun batal.

■ Di sisi lain, Dicky mempunyai kebiasaan berjudi. Jangkauan taruhannya mulai dari tebak-tebakan nomor dibungkus rokok Gudang

Garam Filter hingga berangkat ke Australia (Burwood Casino Perth) bersama beberapa temannya (eksekutif muda Jakarta) dengan

mencarter pesawat jet milik Astra ke Perth.

■ Belakangan ini, Dicky menikah lagi dengan Arnie Arifin (putri satu-satunya dari Bustanil Arifin) yang tinggal di Los Angeles USA. Arnie

adalah pemimpin dari PT Citra Sari Makmur (holding company milik keluarga Bustanil Arifin). Akibat perkawinan ini pada Juli 1989,

Dicky diminta mundur dari Bank Duta dalam tempo 9 bulan.


5
Kekacauan di Dealing Room (1)
■ Pada tahun 1971, USA menghadapi kesulitan ekonomi akibat Perang Vietnam. Guna memulihkan kondisi perekonomiannya, mereka menyatakan
untuk melepaskan diri dari Bretton Woods Agreement, yang berarti melepaskan diri dari keterkaitan antara nilai mata uangnya dengan cadangan
emas yang dimilikinya. Akibatnya, transaksi valuta yang semula berdasarkan nilai tetap, dilepaskan menjadi fluktuasi mengikuti kehendak pasar.
Naik turunnya nilai mata uang dari satu Negara ke Negara lain menciptakan peluang perdagangan uang yang pada akhirnya menciptakan
lembaga pasar uang.

■ Pada awal 1980-an, kegiatan perdagangan mulai berkembang pesat akibat perubahan orientasi dari transaksi long term capital menjadi transaksi
short term capital. Kegiatan perdagangan valuta asing semakin menantang dengan dikembangkannya 2 cara dalam transaksi, yaitu spot dan
forward exchange. Perdagangan spot membutuhkan kecepatan untuk melihat perubahan nilai mata uang yang dapat terjadi setiap detik selama 24
jam. Sementara itu, perdagangan forward lebih menantang karena membutuhkan kemampuan untuk memprediksi nilai mata uang pada masa
mendatang dengan mempertimbangkan, seperti faktor sosial, politik, dan bencana alam.

■ Banyak Bank memasukan valuta asing ini dalam portofolio usahanya. Bank tidak harus sendiri melakukan investasi tetapi dapat pula bertindak
sebagai broker dari nasabahnya yang ingin melakukan investasi pada pasar uang ini. Pada saat ekonomi dunia mengalami resesi tahun 1982-
1983 dan pemberikan kredit tidak memikat, berspekulasi di pasar uang lebih menarik. Pada periode itu, rekening valuta asing pada sebuah bank
dapat lebih tinggi dari pada rekening kreditnya.

■ Setelah perekonomian dunia pulih, kegiatan pasar uang semakin meningkat karena para banker telah membuktikan dan menikmati keuntungan
yang lebih menarik dari kegiatan bank tradisional. Sejak pertengahan tahun 1980-an hingga sekarang, berkat ekonomi dunia yang semakin sehat
dan pertumbuhan dibanyak negara yang semakin baik, maka nilai transaksi valuta asing semakin tinggi terutama dengan diperkenalkannya
perdagangan atas margin-bukan atas uang, margin trading yang memudahkan orang untuk berpatisipasi dan memungkinkan perolehan
keuntungan yang lebih besar. Pada 1988, volume International Money Market (IMM) / hari sudah melewati US $300 miliar.
6
Kekacauan di Dealing Room (2)
■ Margin Trading mulai diperkenalkan di Bank Duta pada Sep 1988 dengan tujuan untuk meningkatkan laba karena Bank
Duta tidak mengandalkan kredit. Untuk memperkenalkan produk baru ini, Dicky mengajak Risanto Sismoyo yang
sebelumnya bekerja di Citibank untuk pindah ke Bank Duta. Awalnya, menurut Risanto, kegiatan ini memberi
keuntungan untuk Bank Duta, namun setelah itu yang terjadi adalah malapetaka. Pihak internal Treasury Bank Duta
dan pihak Bank Indonesia (BI) sepakat bahwa kerugian Bank Duta disebabkan oleh gabungan antara tidak berjalannya
fungsi administrasi dan pengawasan serta trader valuta yang kurang disiplin dan terkendali. Sebenarnya,
mengembangkan produk ini pada Bank Duta sudah menjadi aturan mengenai trading limit dan open position. Trading
limit diatur senilai USD 20 Juta dalam 1 masa. Jangka waktu ini dapat diperpanjang selama 2 hari kerja dan dapat
diperpajang lagi untuk waktu yang sama.

■ Permasalahannya adalah aturan tersebut dengan mudah dapat dilanggar karena dukungan administrasi yang sangat
lemah. Dokumentasi atas keputusan yang diambil sangat terbatas. Dicky menjelaskan bahwa seharusnya perintah
untuk melakukan dealing yang disampaikan melalui telepon harus direkam agar jelas apa yang diperintahkan dan siapa
yang memerintah. Lebih lanjut, dealer yang menjalankan perintah tersebut harus mencantumkan inisial dealer, inisial
nasabah, dan inisial yang memerintah. Perintah langsung dari nasabah hanya dapat dilakukan jika nasabah tersebut
datang ke dealing room.

7
Kekacauan di Dealing Room (3)
■ Winarto Soemarto (presdir Bank Duta yang baru) mengeluh karena sebagian besar dokumen sulit
ditelusuri. Baginya praktik margin trading di Bank Duta sama halnya dengan judi. Alasannya pemilik uang
hanya dapat pasrah kepada pedagang valuta asing (valas). Sementara itu, kontrak yang dibuat oleh
Bank Duta hanyalah merupakan perjanjian yang memberi wewenang penuh kepada koresponden di luar
negeri.

■ Tanpa adanya suatu dokumentasi maka sulit untuk dilakukan pengawasan guna mencegah pelanggaran.
Pengawasan tidak berdaya karena Dicky terlibat langsung dalam melakukan transaksi. Chief dealer yang
bertugas untuk mengawasi para dealer tidak berani mengawasi Dicky. Di lain pihak, Dicky juga
melakukan pelanggaran atas trading limit dan open position. Akibatnya, para dealer mencontohkan
tindakannya. Chief dealer Mustari Calam mengakui di pengadilan bahwa ia sendiri pernah melakukan
pelanggaran baik dalam trading limit dan mengambil atas nama kakaknya. Permasalahan lainnya adalah
selain sering melanggar trading limit, dealer Bank Duta dengan pengalamannya yang terbatas juga
sering melakukan kekalahan. Kerugian ini tidak terdeksi karena disembunyikan ke dalam asset rupa-
rupa.
8
Mengatasi Kerugian dengan Kerugian (1)
■ Permasalahan perdagangan valas mulai terungkap pada Jun 1989 pada saat Dicky menerima laporan dari Kepala Urusan Treasury, Mustari Calam, mengenai

open position Bank Duta di NBKS sebesar USD 250 Juta. Open position ini dibuka oleh dealer Risanto Sasmoyo yang memprediksi kenaikan dolar. Pada

kenyataannya, nilai dolar menurun sehingga Bank Duta mengalami potential loss sebesar USD 20 Juta. Risanto dimarahi dan diskors selama 1 bulan. Di

pengadilan, Risanto bercerita bahwa sebenarnya ada kerugian lain yang tidak terungkap yang dilakukan oleh Dicky dan para trader lainnya.

■ Dicky lalu mencoba untuk melakukan pemulihan (recovery) atas kerugian yang terjadi. Ia terjun langsung di dealing room, diikuti oleh Mustari Calam dan

beberapa dealer lainnya. Upaya untuk melakukan pemulihan ini sering melanggar trading limit.

■ Pada Okt 1989, potential loss mencapai jumlah yang lebih besar, yaitu sebesar USD 70 Juta. Berdasarkan pengakuan Dicky di pengadilan, ia tidak dapat

mengambil keputusan sendiri untuk mengatasi masalah itu. Ia melaporkannya kepada direktur operasi. Masalah ini dilaporkan kepada Direktur Operasi Bey

Yusuf. Kepada Bey Yusuf, Dicky menjelaskan terjadinya posisinya yang besar karena tidak berfungsinya audit sehingga ia mengusulkan agar sistem audit,

supervisi, dan kontrol diperbaiki. Selanjutnya, Dicky dipanggil Abdulgani untuk menjelaskan apa yang terjadi. Berdasarkan laporan yang diberikan, Abdulgani

memberikan 3 pengarahan yaitu keep silent agar orang lain tidak ada yang tahu; berkoordinasi dengan Bey Yusuf untuk menghadapi pemeriksaan BI dan

menyelesaikan persoalan. Lalu diputuskan bahwa open position diteruskan dengan menambah likuiditas yang diperoleh melalui pinjaman di pasar dan

membentuk tim untuk mengupayakan pemulihan. Berdasarkan pengakuan Dicky di pengadilan, tim ini dimaksudkan agar para dealer bersama-sama dapat

melakukan dealing. Ia sendiri tidak termasuk dalam tim. Namun menurut pengakuan Mustari, Dicky justru mengambil posisi yang cukup besar, yaitu antara USD

50 - 100 Juta dan bahkan lebih.

9
Mengatasi Kerugian dengan Kerugian (2)
■ Akibat kerugian yang berturut-turut, Bank Duta diminta oleh NBKS untuk menambahkan jumlah dana yang digunakan untuk margin
trading. Permintaan ini lalu dipenuhi hingga Agt 1989. Ketika itu, Bank Duta tampaknya mengalami kesulitan likuiditas sehigga stafnya
harus berkelit terhadap permintaan tersebut. Selain itu, Bank Duta mengupayakan untuk membayarnya dengan laba yang diperoleh
dari transaksi sebelumnya yang belum diserahkan oleh NBKS. Penundaan pembayaran tambahan dana ini menyebabkan dana tidak
dapat ditarik dan beresiko dilakukannya cut-loss oleh NBKS.

■ Situasi ini akhirnya ditemukan oleh Syamsi Potan, Direktur Kredit. Berdasarkan pengakuannya di pengadilan, pada 31 Mar 1990, ia
secara kebetulan mengunjungi bagian Treasury dan menemukan bahwa staf Treasury tidak dapat menunjukan dana yang
diinvestasikan pada margin trading karena dana tersebut tidak dapat ditarik. Ia lalu meminta data-data open position dan realized loss,
yang masing-masing baru diterima pada akhir April dan pertengahan Mei. Melihat data-data tersebut, ia panik dan langsung menemui
Abdulgani dan ia pun melakukan rapat direksi pada keesokan harinya, 16 Mei 1990.

■ Rapat pada 16 Mei 1990 dilakukan sebanyak 2 kali. Pada pagi harinya, direksi menghadapi kenyataan bahwa banyak dana yang
ditanamkan pada kegiatan margin trading dan saat ini bank memiliki potensi kerugian yang sangat besar. Abdulgani kemudian
menyatakan bahwa keadaan yang sangat sulit tetapi bank harus diselamatkan agar tidak menimbulkan dampak bagi perbankan
nasional. Untuk itu, ia meminta agar pengelolahan treasury tidak menambah kerugian lagi. Sore harinya, direksi kembali mengadakan
rapat tanpa Abdulgani dan diputuskan bahwa margin trading tetap dipertahankan dengan aturan yang lebih ketat untuk menjaga citra
Bank Duta diluar negeri. Selain itu, pinjaman jangka panjang akan dicari. Selanjutnya, bank tetap akan memberikan kredit dalam
jumlah yang terbatas untuk sekadar mempertahankan keberadaan Bank Duta.

10
Mengatasi Kerugian dengan Kerugian (3)
■ Langkah-langkah penyelamatan tampaknya tidak membuahkan hasil. Bank Duta tidak berhasil memperoleh
pinjaman yang diharapkan. Kebetulan, pemerintah saat itu sedang melaksanakan kebijakan Tight Money
Policy.

■ Pada 15 Agt 1990, hal yang dikhawatirkan terjadi. NBSK melakukan eksekusi cut-loss. Abdulgani memutuskan
untuk melapor kepada Komisaris Utama, Bustanil Arifin. Ia menelepon seluruh direksi kecuali Dicky guna
meminta persetujuan. Setelah memperoleh persetujuan, Abdulgani menyampaikan secara khusus kepada
Dicky rencananya untuk bertemu dengan Bustanil. Namun, Dicky mencegahnya dan merasa bersalah
sehingga ia yang harus menemui Bustanil. Di lain pihak, Abdulgani didorong oleh direksi lainnya untuk tetap
menemui Bustanil mengingat kedudukannya sebagai orang nomor 1 di Bank Duta. Akhirnya, direktur utama
dan wakilnya sama-sama menemui komisaris utama dengan jadwal yang berbeda. 1 minggu kemudian, pada
23 Agt 1990, Dicky menulis surat kepada direksi untuk melakukan klaim atau legal action kepada NBKS.
Rencana ini ditolak Abdulgani karena khawatir ini akan terbongkar keluar.

11
Menghindari Pemeriksaan Bank Indonesia
■ Bank Duta melakukan berbagai rekyasa transaksi dan manipulasi laporan agar dikategorikan sebagai bank yang sehat dan terhindar
dari pemeriksaan BI. Salah satu rekayasa dilakukan pada saat Bank Duta harus membayar Citibank Jakarta atas kerugian transaksi
valas sebesar USD 3.2 Juta. Dana dikirimkan kepada Duta International Finance Limited di Hong Kong. Dari Hongkong, pembayaran
baru dilakukan kepada Citibank Jakarta melalui Eastide Corp, Hongkong. Dalam pembukuan Bank Duta pembayaran kerugian ini
dicatat sebagai penempatan Bank Duta di DIFL.

■ Pada Okt 1989, terdengar kabar bahwa BI akan melakukan pemeriksaan pada bulan Desember. Sementara itu, pada saat yang
bersamaan terjadi open position yang besar di NBKS. Staff treasury lalu mempersiapkan diri untuk pemeriksaan dengan membuat
sebuah proposal kredit fiktif guna memanipulasi open position tersebut. Berdasarkan proposal tersebut dibuatkan memorandum
kredit yang ditandatangani oleh komite kredit termasuk didalamnya direktur kredit.

■ Selain itu, pemecahan posisi juga dilakukan dari seorang nasabah yang telah jatuh melewati limit akun beberapa nasabah yang
sudah tidak aktif. Dengan adanya memorandum kredit maka diharapkan Bank Duta terhindar dari pemeriksaan BI yang ketika itu
dikhawatirkan akan dilakukan pada Des 1989.

■ Bank Duta menurut pengakuan Dicky di pengadilan, biasa membuat 2 laporan yaitu laporan Fiktif untuk Bank Indonesia dan Laporan
Riil untuk Direksi Bank. Laporan untuk Bank Indonesia “dipoles” agar Bank Duta dikategorikan sebagai bank sehat.

12
Apakah Dicky Melakukan Korupsi?
■ Pada Feb 1991, Dicky mulai diadili dengan dakwaan telah melakukan tindak pidana korupsi. Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 1971,
Dicky terancam hukuman maksimum penjara seumur hidup, denda sebesar Rp 30 Juta, dan uang ganti rugi sebesar kerugian negara.
Ada 2 hal yang dipertanyakan oleh pembela dan masyarakat umum atas dakwaan korupsi ini. Pertama adalah Dicky bukan pegawai
negeri sebagaimana yang dimaksud dengan subjek korupsi dalam UU Anti Korupsi ini. Hal ini dibantah oleh jaksa karena ada pasal yang
menggunakan istilah “barang siapa” yang dapat berarti pegawai negeri atau pegawai swasta. Kebetulan, sudah ada beberapa pegawai
swasta yang dihukum dengan UU Anti Korupsi ini.

■ Kedua adalah unsur merugikan negara. Bank Duta adalah bank swasta yang dimiliki oleh Yayasan. Dengan demikian, kerugian yang
terjadi diderita oleh Bank Duta dan yayasan, bukan negara. Jaksa berargumentasi bahwa kejahatan korupsi dapat pula terhadap badan
hukum yang menggunakan modal / kelonggaran - kelonggaran dari negara dan masyarakat. Bank Duta jelas memperoleh fasilitas
negara, kredit likuiditas dari BI. Selain itu, sebagian besar saham Bank Duta adalah milik 3 yayasan yang berarti milik masyarakat
sedangkan sisanya juga dimilik oleh masyarakat melalui pasar modal.

■ Silang pendapat mengenai kerugian negara terjadi di antara pejabat tinggi negara. Awalnya adalah Wapres Sudharmono yang
mengungkapkan bahwa kerugian Negara tahun 1990/1991 sekitar Rp1 T dan sebagian besar kerugian berasal dari kasus Bank Duta.
Bustanil Arifin membantah pernyataan wakil presiden dengan mengatakan bahwa Bank Duta adalah bank swasta. Oleh karena itu,
kerugian yang dialami bank bukan merupakan kerugian negara. Pernyataan Bustanil ini dapat membatalkan dakwaan jaksa. Oleh karena
itu, kantor wapres kemudian meralat pernyataan Bustanil dengan menyatakan bahwa berdasarkan laporan Kejaksaan Agung kasus Bank
Duta termasuk korupsi

13
Apakah Akuntan Ikut Bersalah?
■ Pada Sep 1990, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menjatuhkan hukuman pada akuntan publik Hadi Pontan yang memeriksa Laporan Keuangan
Bank Duta tahun 1989. Bapepam memasukkan Hadi Pontan ke dalam daftar hitam karena dianggap telah memberikan pernyataan tanpa didukung oleh data
yang sah. Dalam laporan keuangan yang dinilai “wajar” oleh Pontan disebutkan pada akhir 1989 Bank Duta meraih laba bersih Rp14,5 M. Padahal belakangan
terungkap bahwa Bank Duta ketika itu sudah merugi akibat bisnis valas.

■ Menurut Sutoyo, Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Pontan telah melakukan 2 kesalahan: Pertama, tidak membuat dokumentasi
audit. Padahal, setiap langkah audit harus didokumetasikan.

Kedua, membuat opini pemeriksaan tanpa bukti-bukti yang dikonfirmasikan. Untuk 2 kesalahan ini, selalin mendapat sanksi dari Bapepam, Pontan juga harus
menanggung sanksi dari IAI berupa peringatan keras bersyarat dengan masa percobaan 6 bulan.

■ Di lain pihak, Ketua Bidang Standar Profesi IAI, Soemarso S.R, membela Pontan, “Tidak fair kalau Pontan disalahkan. Ia sudah bekerja sesuai dengan Prinsip
Akutansi Indonesia, yakni membuat laporan keuangan berdasarkan data-data yang diberikan oleh Bank Duta. Namun, jika akhirnya muncul interpretasi yang
merugikan investor” maka itu adalah kesalahan emiten.”

■ Pendapat Soemarso didukung oleh Kwik Kian Gie.Kalau data yang diberikan Bank Duta dijadikan dasar pertimbangan, maka auditor tidak bisa dipersalahkan.
Apalagi dunia akuntansi di Indonesia masih berpegang teguh pada aturan formal. Artinya: pemeriksaan dilakukan berdasarkan bukti - bukti transaksi, misal:
jika ada barang yang dibeli seharga Rp10, tetapi di kuitansi tertulis Rp15 maka akuntan Indonesia akan mempercayai yang tertera di kuitansi. Coba bila hasil
pemeriksaan secara formal diuji secara material, maka bisa 80% laporan akuntan di Indonesia akan terkena sanksi.

14
Putusan Pengadilan
■ Pada 26 Juni, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memutuskan Dicky Iskandar Di Nata bersalah melakukan tindak pidana korupsi
(tipikor) sehingga merugikan negara sebesar Rp 780 M dan menghukumnya dengan hukuman penjara selama 10 tahun, denda Rp 20
juta dan membayar uang pengganti sebesar Rp 811 M kepada negara yang diwakili Bank Duta.

■ Dicky diputuskan bersalah karena menyalahgunakan kewenangannya sebagai wakil direktur utama dan direktur eksekutif. Dicky terlibat
langsung menjadi dealer dalam perdagangan valas, baik untuk posisi bank maupun nasabah. Dalam melakukan dealing, Dicky
melanggar aturan yang ditetapkan. Keterlibatan langsung dan pelanggaran ini merusak organisasi dealing room karena chief daeler
yang seharusnya mengawasi daeler tidak dapat mengawasi Dicky yang tidak lain adalah atasannya. Akibatnya, pengawasan lumpuh
dan perdagangan tidak terkendali akibat para daeler melanggar trading limit. Upaya Dicky untuk menutupi kerugian yang dibuat
bawahannya dilakukan dengan mengambil transaksi-transaksi besar yang berakhir dengan kekalahan dan kerugian yang lebih besar
lagi bagi Bank Duta.

■ Dicky dianggap merugikan negara karena yayasan-yayasan pemilik Bank Duta harus menyetor dana yang berakibat pada
terhambatnya kegiatan sosial yang dilakukan oleh yayasan. Kerugian ini juga berakibat hilangnya devisa negara yang dibutuhkan untuk
pembangunan serta dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional. Oleh karena itu, meskipun Dicky
tidak merugikan keuangan negara, ia dianggap tetap merugikan negara.

■ Dalam peradilan tingkat banding, Dicky hanya memperoleh keringanan hukuman penjara menjadi 8 tahun dan tetap diwajibkan
membayar denda sebesar Rp20 juta, serta uang pengganti Rp 811 M. Putusan peradilan tingkat banding ini diperkuat oleh putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA).

15
Apakah Dicky Sendirian yang Bersalah?
■ Sejak awal, Dicky keberatan untuk menanggung sendiri permasalahan ini. Dalam surat pribadinya kepada Abdulgani
beberapa hari sebelum ditahan, ia mengingatkan bahwa ia sudah melaporkan kerugian ini. Direksi sempat
memutuskan untuk cut-loss pada Maret 1990. Di pengadilanpun, ia menyatakan bahwa ia melaporkan permasalahan
kerugian ini pada saat terjadi potential loss sebesar USD 70 Juta pada Okt 1989, namun di dalam persidangan, direksi
mengaku baru mengetahui permasalahan ini pada Mei 1990.

■ Dicky juga menyatakan bahwa kelemahan pengawasan dan tidak berfungsinya internal audit merupakan tanggung
jawab direktur operasi. Selain itu, ada juga tanggung jawab akuntan publikyang memeriksa laporan keuangan sehingga
Bank Duta dapat melakukan emisi saham. Lebih lanjut, akuntan publik ini mempertanggungjawabkan pekerjaannya
kepada direktur operasi.

■ Setelah Dicky divonis bersalah, Jaksa Agung Singgih memberikan keterangan bahwa dalam kasus Bank Duta, harus
dibedakan antara tanggung jawab pidana dan manajerial. Dalam masalah transaksi valas asing ini, terbukti bahwa
Dicky yang bertanggung jawab sehingga dia dikenakan tanggung jawab pidana.

■ Mengenai direksi lainnya yang akan diajukan ke pengadilan, Singgih mengatakan bahwa sampai sekarang belum ada
perkara lain, kecuali kasus Dicky yang telah divonis oleh pengadilan. Kasus permainan valas itu selesai dan tanggung
jawab pidana Dicky. Sedangkan untuk tanggung jawab lainnya itu bukan urusan kejaksaan dan semua direksi sudah
diberhentikan dan itu adalah tanggung jawab manajerial. 16

Anda mungkin juga menyukai