Anda di halaman 1dari 4

Kasus Auditor BPK Beberkan Bentuk Penyimpangan Investigasi Skandal SKL BLBI

Di ajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akuntansi Sektor Publik

Dosen Pengampu:

Anita Primastiwi, S.E.,M.Sc.

Oleh Kelompok 7:

1. Dion Pratama 2017017196


2. Faujiah Dwi Astuti 2017017201
3. Hildagar R.P.J 2017017177
4. Desi Puspita Rini 2017017199
5. Angela Y.S.W 2017017191

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2020
Kasus Auditor BPK Beberkan Bentuk Penyimpangan Investigasi Skandal SKL BLBI

Ahli dari auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara menyatakan, terdapat
empat penyimpangan dalam pelunasan utang Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik
Sjamsul Nursalim terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI).

“Yang pertama bahwa misrepresentasi piutang petani tambak senilai Rp 4,8 triliun yang tidak
diselesaikan Sjamsul Nursalim. Kemudian adanya penanganan aset kredit tanpa melibatkan tim
Aset Manajemen Investasi,” kata Wara saat bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala BPPN
Syafruddin Arsyad Temenggung di PN Tipikor, Jakarta Pusat. Ketiga, menurut Wara, proses
persetujuan penyelesaian kewajiban pemegang saham oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan
(KKSK) tanpa mempertimbangkan penyelesaian misrepresentasi oleh Sjamsul Nursalim.
Terakhir, diakui Wara, penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI belum menyelesaikan
misrepresentasi.

Sehingga tim auditor BPK menemukan BPPN tidak mempertimbangkan adanya


misrepresentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim. Misrepresentasi itu berupa pernyataan bahwa
piutang BDNI yang dimiliki dari petani tambak senilai Rp 4,8 triliun adalah aset lancar. Padahal,
kenyataannya merupakan kredit macet. Selain itu dalam audit investigatif, BPK menemukan eks
ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung memerintahkan pemindahan penanganan kredit
petambak dari litigasi untuk direstrukritasi oleh divisi Aset Manajemen Kredit, tanpa melibatkan
divisi Aset Manajemen Investasi untuk menangani Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Pemindahan penanganan tersebut menyebabkan adanya penghapusan piutang petani tambak


sebesar Rp1,1 triliun. “Hal itu tidak sesuai dengan keputusan Komite Kebijakan Sektor
Keuangan tanggal 13 mei 2002 di mana KKSK memerintahkan BPPN untuk melibatkan divisi
Aset Manajemen Investasi dalam penanganan aset bank yang terkait pemegang saham,”
ucapnya.

Penyimpangan selanjutnya, dia menjelaskan, eks Ketua BPPN Sjamsul Nursalim diduga
tidak memberikan informasi lengkap bahwa sesungguhnya piutang kepada petambak merupakan
aset bank yang diperhitungkan dalam penetapan jumlah Kewajiban Pemegang Saham BDNI.
Nyoman mengatakan, Sjamsul Nursalim masih memiliki kewajiban tambahan selain JKPS yang
telah dihitung dalam Master of Settlement and Acquisition Agreement.
Bentuk penyimpangan terakhir, Nyoman mengatakan eks Ketua BPPN Syafruddin Arsyad
Temenggung telah menandantangani akta perjanjian penyelesaian akhir nomor 16 tanggal 12
April 2004 dan Surat Keterangan Lunas tanggal 26 april 2004, meski diketahui Sjamsul
Nursalim belum menyelesaikan misrepresntasi nilai piutang BDNI terhadap petambak senilai Rp
4,8 triliun.“Kami berpendapat bahwa Sjamsul Nursalim tidak menyelesaikan kewajiban atau
cidera janji menyelesaikan kewajibannya atas mispresresentasi piutang petambak senilai Rp4,8
triliun,” kata dia.

Dengan penyimpangan-penyimpangan tersebut, Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai


mantan Kepala BPPN didakwa kasus SKL BLBI. Kasus berawal pada Mei 2002, Syafruddin
menyetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) atas proses litigasi terhadap kewajiban
obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh obligor kepada BPPN
sebesar Rp 4,8 triliun.

Namun pada April 2004 Syafruddin malah mengeluarkan surat pemenuhan kewajiban atau
yang disebut SKL (surat keterangan lunas) terhadap Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham
pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memiliki kewajiban kepada BPPN.
SKL itu dikeluarkan mengacu pada Inpres nomor 8 tahun 2002 yang dikeluarkan pada 30
Desember 2002 oleh Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Presiden.
Syafruddin diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 4,5 triliun.

Atas perbuatannya, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.

Solusi Dari Kasus Tersebut

 Memberikan hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku kepada para pihak yang
melakukan tindakan penyimpangan tersebut.
 Melakukan pengawasan serta pemeriksaan secara ketat agar tidak terjadi kasus
penyimpangan.
 Melakukan kebijakan jatuh tempo dan limit kredit sebagai dasar untuk mencegah piutang
tak tertagih.
 Memberikan denda keterlambatan agar tidak terjadi kasus penyimpangan.
 Melakukan follow up yang bertujuan untuk mengingatkan utang mereka.
 Membuat daftar hitam pelanggan yang telat bayar yang bertujuan untuk mengetahui
pelanggan mana saja yang sudah dimasukkan didaftar hitam, supaya tidak boleh
memberikan piutang kepada mereka.
Dampak Negatif yang timbul dari kasus tersebut yaitu:
 Akibat tindakan kecurangan yang dilakukan oleh Syafruddin negara mengalami kerugian
sebesar Rp 4,5 Triliun
 Kerugian yang besar dialami oleh negara mengakibatkan melambatnya pertumbuhan
ekonomi suatu negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan, serta
meningkatnya ketimpangan pendapatan.
 Korupsi yang terjadi memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi
politik.

Anda mungkin juga menyukai