Anda di halaman 1dari 14

AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGASI

Oleh: Kelompok 2

Ni Kadek Risma Novita Dewi (1733121007)


Ni Kadek Bella Cintya Pratiwi (1733121011)
Putu Gita Berliana (1733121143)
Luh Putu Widyasari Dewi (1733121273)
Ida Ayu Kade Nadia Waghmi Dwiyanti (1733121396)

Fakultas Ekonomi dan Bisnis


Universitas Warmadewa
2020
1. Fenomena di Indonesia, ASEAN, Asia Pasific, dan Kancah Internasional & Hikmah
dari Fenomena Tersebut
Kesuksesan akuntansi forensik di Indonesia mulai terlihat saat munculnya kasus
Bank Bali, dimana Pricewaterhouse Coopers selaku akuntan yang melakukan
pemeriksaan pada Bank Bali berhasil menunjukkan sejumlah aliran dana dari orang-orang
tertentu. Kesuksesan akuntansi forensik tersebut tidak diikuti dengan kesuksesan
penyelesaian hukum di pengadilan. Sistem pengadilan di Indonesia pada saat itu tidak
berhasil menghukum para banker yang telah menikmati dana BLBI, beberapa banker
tersebut dengan mudah melarikan diri ke luar negeri.
Namun seiring berjalannya waktu pada tahun 2005 merupakan tahun kesuksesan
bagi akuntansi forensik dan sistem pengadilan. Kasus Komisi Pemilihan Umum dan kasus
Bank Negara Indonesia dapat diselesaikan dari segi akuntansi forensik dan sistem
pengadilan. Kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum berhasil dibongkar oleh BPK
(Badan Pemeriksaan Keuangan) yang bertindak selaku akuntan forensik dan berhasil
diselesaikan di pengadilan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Sedikit berbeda
dalam kasus Bank Negara Indonesia, pemeriksaan (akuntansi forensik) bukan dilakukan
oleh lembaga pemeriksa atau kantor akuntan, tetapi oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan).
Peran audit forensik kembali ditunjukkan dalam penanganan kasus Bank Century,
BPK telah menemukan adanya temuan penting dalam hasil audit forensik tersebut.
Temuan dan kesimpulan BPK bahwa telah terjadi penggelapan hasil penjualan US
Treasure Strips (UTS) yang menjadi hak Bank Century sebesar 29,77 juta dollar AS oleh
pemilik FGAH, pengalihan dana hasil penjualan surat-surat berharga oleh Kepala Divisi
Treasury Bank Century menjadi deposito PT AI di Bank Century sebesar 7 juta dollar AS
tidak wajar karena diduga tidak ada transaksi yang mendasarinya, dan merugikan Bank
Century sehingga akhirnya membebani penyertaan modal sementara, diduga pula terjadi
penggelapan atas uang hasil penjualan 44 kavling aset eks jaminan PT BMJA senilai Rp
62,06 miliar oleh Direktur Utama PT TNS dengan cara tidak menyetorkan hasil penjualan
kavling tersebut ke Bank Century.
Berdasarkan fenomena di atas prospek profesi akuntan forensik untuk ikut serta
dalam penyelesaian kasus-kasus hukum di Indonesia sangat besar dan penting. Kasus-
kasus hukum di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan kecurangan perlu
melibatkan akuntan forensik dalam penyelesaiannya, karena akuntan forensik dapat
membantu para ahli dan para penegak hukum dalam mengumpulkan bukti dan barang
bukti untuk menentukan potensi kerugian yang timbul akibat adanya kecurangan. Selain
itu prospek akuntan forensik lebih besar karena pada prinsipnya orang yang bekerja di
lembaga keuangan, perlu memahami tentang akuntansi forensik ini, untuk memahami apa
yang ada di balik laporan keuangan debitur, apa yang dibalik laporan hasil analisis yang
disajikan. Sehingga dapat dilakukan pendeteksian sejak dini, agar masalah tidak terlanjur
melebar dan sulit diatasi.

2. Review dan Hikmah (Lesson Learn) Artikel “Skandal Korporasi dan Akuntan”
(SAK)
Ada beberapa sebab yang memicu timbulnya skandal korporasi, meliputi
pembukuan penggelapan pajak, penipuan sekuritas dan insider trading dan sebagaian
besar pemicu timbulnya berbagai kasus tersebut dalah adanya manipulasi pembukuan.
Dalam memberikan respon terhadap berbagai kasus tersebut, ada yang berpandangan
bahwa manipulasi bukan sesungguhnya merupakan mega kolusi dari berbagai pihak
sehingga kesalahan tidak bisa dibebankan kepada akuntan manajemen atau auditor
independen. Temuan lebih jauh menunjukkan bahwa 20-30% middle manager menulis
fraudulent report. Praktek-praktek bisnis seperti penggelembungan budget, bribery,
overbilling customers telah menjadi kelaziman yang juga ditemukan dalam temuan
tersebut. Beberapa kasus serupa juga terjadi pada instansi pemerintah. Organisasi profesi
akuntan memiliki peran untuk menetapkan rambu-rambu bagi perencanaan dan
melaksanakan tugas professional akuntan. Meskipun profesi telah mengatur rambu-rambu
yang cukup ketat bagi akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya, baik itu untuk
auditor independen maupun untuk akuntan manajemen, penyimpangan bisa saja terjadi di
lapangan. Praktek bisnis yang baik ternyata tidak cukup hanya dengan akuntan yang baik
saja. Akuntan yang baik dan terpercaya hanyala salah satu pilar dari tiga pilar utama
dalam praktek bisnis yang baik, dua pilar lainnya adalah pelaku bisnis dan tata kelola
manajemen yang baik.
a. Expectation Gap
Adanya perbedaan ekspektasi antara auditor dengan public dan atau pemakai
laporan keuangan dalam memandang tanggung jawab auditor dalam mendeteksi dan
melaporkan terjadinya kecurangan oleh manajemen. Public memiliki ekspektasi
bahwa semua bentuk kecurangan manajemen dapat dideteksi dan dilaporkan oleh
auditor, sementara auditor menjalankan tugas profesionalnya berdasarkan kepada
standar profesi yang tidak selalu sepenuhnya sesuai dengan ekspektasi publik.
b. Lesson learn
Organisasi akuntan harus memiliki penegakan integritas akuntan dan harus
taat serta patuh terhadap rambu-rambu etika dan standar yang secara umum mengatur
pelaksanaan tugas-tugas profesionalnya. Dengan tidak berpalingnya seorang dari
integritas dirinya maka para akuntan dapat menunjukkan bagaimana kapabilitas
mereka secara professional di mata public. Saat seluruh akuntan telah mampu
menjaga integritasnya tentunya akan mampu menekan segitiga fraud yang telah ada
dan menciptakan citra profesi yang baik. Hal ini untuk mencegah penyimpangan yang
bisa saja terjadi di lapangan. Pada tataran pendidikan akuntansi, tantangan yang
dihadapi bukan saja peningkatan kompetensi teknis yang secara terus-menerus di up
date dengan perubahan lingkungan bisnis, namun juga peningkatak kompetensi moral
para calon akuntan. Kecurangan dapat dilakukan oleh karyawan ataupun pihak
manajemen, jika struktur internal control sudah ditetapkan dan berjalan dengan baik,
peluang adanya kecurangan yang tak terdeteksi akan banyak berkurang. Pemeriksaan
kecurangan harus mengenal dan memahami dengan baik setiap elemen dalam struktur
pengendalian intern agar dapat melakukan evaluasi dan menarik kelemahannya.

3. Knowledge, Skills, Atribut, Kode Etik Akuntan Forensik, dan Standar Audit
Investigatif
a. Knowledge Akuntansi Forensik
Akuntansi forensik menjadi perbincangan hangat di Indonesia beberapa tahun
belakang ini. Awal mulanya adalah pada bulan Oktober 1997, Indonesia telah
menjajagi kemungkinan untuk meminjam dana dari IMF dan World Bank untuk
menangani krisis keuangan yang semakin parah. Sebagai prasayarat pemberian
bantuan, IMF dan World Bank mengharuskan adanya proses Agreed Upon Due
Dilligence (ADDP) yang dikerjakan oleh akuntan asing dibantu beberapa akuntan
Indonesia.
Temuan ADDP ini sangat mengejutkan karena dari sampel Bank Besar di
Indonesia menunjukkan perbankan kita melakuan overstatement asset sebesar 28%-
75% dan understatement kewajiban sebesar 3%-33%. Temuan ini segera membuat
panik pasar dan pemerintah yang berujung pada likuidasi 16 bank swasta. Likuidasi
tersebut kemudian diingat menjadi langkah yang buruk karena menyebabkan adanya
penarikan besar-besaran dana (Rush) tabungan dan deposito di bank-bank swasta
karena hancurnya kepercayaan publik pada pembukuan perbankan. ADPP tersebut
tidak lain dari penerapan akuntansi forensik atau audit investigatif.
Istilah akuntansi forensic kembali mencuat setelah keberhasilan
Pricewaterhouse Coopers (PwC) sebuah kantor Akuntan Besar dunia (The Big Four)
dalam membongkar kasus Bank Bali pada tahun 1999. PwC dengan software
khususnya mampu menunjukkan arus dana yang rumit berbentuk seperi diagram
cahaya yang mencuat dari matahari (sunburst). Kemudian PwC meringkasnya
menjadi arus dana dari orang-orang tertentu.. 5 Metode yang digunakan dalam audit
tersebut adalah follow the money atau mengikuti aliran uang hasil korupsi Bank Bali
dan in depth interview yang kemudian mengarahkan kepada para pejabat dan
pengusaha yang terlibat dalam kasus ini. Pada tahun 2009, kasus PT Bank Century,
Tbk menemukan kejelasan dari Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi Bank Century
oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic
Accounting (JFA), mengatakan secara sederhana, akuntansi forensik adalah akuntansi
yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan
dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan
judicial atau administratif”.
Menurut Merriam Webster’s Collegiate Dictionary (edisi ke 10) dapat
diartikan “berkenaan dengan pengadialan” atau “berkenaan dengan penerapan
pengetahuan ilmiah pada masalah hukum”. Oleh karena itu akuntasi forensik dapat
diartikan penggunaaan ilmu akuntansi untuk kepentingan hukum.
Jadi jelas bahwa akuntansi forensik adalah penggunaan keahlian di bidang
audit dan akuntansi yang dipadu dengan kemampuan investigatif untuk memecahkan
suatu masalah/sengketa keuangan atau dugaan fraud yang pada akhirnya akan
diputuskan oleh pengadilan/ arbitrase/ tempat penyelesaian perkara lainnya. Kasus
korupsi, sebagai contoh, pada dasarnya adalah sengketa keuangan antara Negara
melawan warganya yang secara resmi telah ditunjuk untuk mengelola pemerintahan.
Persengketaan itu harus diselidiki kebenarannya oleh Lembaga Negara (misalnya oleh
KPK) dan diputuskan oleh hakim di pengadilan. Jadi investigasi yang dilakukan oleh
para Akuntan di BPKP, BPK, KPK dan instansi penegak hukum lainnya pada
hakikatnya adalah sebagian tugas-tugas akuntan forensik.
b. Skill Audit Forensik
Secara umum akuntan forensik berbeda dengan akuntan conventional. Dalam
akuntan forensik, skill yang dipakai untuk memeriksa laporan keuangan perusahaan
sangat beragam. Skill tersebut meliputi keterampilan akuntansi, investigasi dan audit.
Bukan hanya angka yang dihitung tetapi juga analisa akuntansi yang berbasis
keadilan.
Dalam akuntansi forensik dan audit investigatif seorang akuntan harus mampu
melakukan analisa, menafsirkan untuk selanjutnya menafsirkan masalah yang
kompleks. Seorang akuntan forensik biasanya dipekerjakan oleh perusahaan akuntan,
pemerintah, kepolisian, bank, perusahaan asuransi dan lain sebagainya.
c. Atribut
Howard R. Davia dalam Tuanakotta memberi lima nasehat kepada seorang auditor
pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud yaitu :
- Hindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur.
- Fraud auditor harus mampu membuktikan niat pelaku melakukan kecurangan
(perpetrators’ intent to commit fraud).
- Kreatiflah, berpikir seperti pelaku kejahatan, jangan mudah ditebak dalam hal
arah pemeriksaan, penyelidikan, atau investigasi kita (be creative, think like a
perpetrator, do not be predictable).
- Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan
persekongkolan.
- Dalam memilih proactive fraud detection strategy (strategi untuk menemukan
kecurangan dalam investigasi proaktif), si auditor harus mempertimbangkan
apakah kecurangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.
d. Kode Etik Akuntan Forensik
Para akuntan dan praktisi hokum mengenal kode etik. Kode etik merupakan
bagian dari kehidupan berprofesi. Kode etik mengatur hubungan antara anggota
profesi dengan sesamanya, dengan pemakai jasanya dan stakeholder lainnya, dan
dengan masyarakat luas. Kode etik berisi nilai-nilai luhur yang amat penting bagi
eksistensi profesi-profesi bisa eksis karena ada integritas (sikap jujur, walaupun tidak
diketahui orang lain), rasa hormat dan kehormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya yang
menciptakan rasa percaya (trust) dari pengguna dan stakeholders lainnya.
Seorang ahli hukum berkebangsaan Inggris, Lord (John Fletcher) Moulton
membedakan tiga wilayah tingkah manusia “Pertama, wilayah hukum positif di mana
orang patuh karena ada hukum dan adanya hukuman untuk tidak patuh. Kedua, di sisi
ekstrim lainnya ada wilayah kebebasan memilih (free choice), di mana orang
mempunyai kebebasan penuh untuk menentukan sikapnya, misalnya kebebasan
beragama atau tidak beragama. Wilayah ketiga berada di tengah-tengah kedua
wilayah tadi. Hal yang ketiga ini, Lord Moulton menyebutnya kesopan-santunan
(manners).
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang
secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak
baik bagi profesional. Di Amerika Serikat, (ACFE) telah menetapkan kode etik bagi
para fraud auditor yang bersertifikat, yang terdiri atas delapan butir yaitu :
1) Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam segala keadaan, harus
menunjukkan komitmen terhadap profesionalisme dan ketekunan dalam
pelaksanaan tugasnya.
2) Seorang fraud auditoryang bersertifikat tidak diperkenankan untuk
melakukan tindakan yang bersifat ilegal atau melanggar etika, atau segenap
tindakan yang dapat menimbulkan adanya konflik kepentingan.
3) Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam semua keadaan, harus
menunjukkan integritas setinggi-tingginya dalam semua penugasan
profesionalnya, dan hanya akan menerima penugasan yang memiliki
kepastian yang rasional bahwa penugasan tersebut akan dapat diselesaikan
dengan sebaik-baiknya.
4) Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mematuhi peraturan/perintah
dari pengadilan, dan akan bersumpah/bersaksi terhadap suatu perkara secara
benar dan tanpa praduga.
5) Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam melaksanakan tugas
pemeriksaan, harus memperoleh bukti atau dokumentasi lain yang dapat
mendukung pendapat yang diberikan. Tidak boleh menyatakan pendapat
bahwa seseorang atau pihak-pihak tertentu “bersalah” atau “tidak bersalah”.
6) Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak boleh mengungkapkan
informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh dari hasil audit tanpa melalui
otorisasi dari pihak-pihak yang berwenang.
7) Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mengungkapkan seluruh hal
yang material yang diperoleh dari hasil audit yakni, apabila informasi
tersebut tidak diungkapkan akan menimbulkan distorsi terhadap fakta yang
ada.
8) Seorang fraud auditor yang bersertifikat secara sungguh-sungguh harus
senantiasa meningkatkan kompetensi dan efektivitas hasil kerjanya yang
dilakukan secara profesional.
e. Standar Audit Investigatif
Akuntan pulik memiliki Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP). SPAP
memuat standar-standar audit, atestasi, pengendalian mutu, dan lain-lain. Naun, SPAP
tidak secara khusus mengatur audit investigatif atau fraud audit. Situasi ini
sesungguhnya rawan, karena para praktisi melakukan audit investigatif atau fraud
audit tanpa standar.
Secara sederhana, standar adalah ukuran mutu. Oleh karena itu, dalam
pekerjaan audit, para auditor ingin menegaskan adanya standar tersebut. Dengan
standar ini pihak yang diaudit (auditee), pihak yang memakai laporan audit, dan
pihak-pihak lain dapat mengukur mutu kerja si auditor. Hal yang sama juga ingin
dicapai para investigator dan forensic accountant.
K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett merumuskan bebrapa standar untuk
melakukan investigasi terhadap fraud. Konteks yang mereka rujuk adalah investigasi
atas fraud yang dilakukan oleh pegawai di perusahaan. Standar tersebut adalah :
1) Seluruh investigasi harus dilandasi praktik terbaik yang diakui (accepted best
practices).
2) Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga
bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan.
3) Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalm keadaan aman, terlindungi dan
diindeks, dan jejak audit tersedia.
4) Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan
senantiasa menghormatinya.
5) Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegwainya melakukan
kecurangan dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut, baik
dalam kasus hokum administratif maupun hokum pidana.
6) Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh targer yang sangat
kritis ditinjau dari segi waktu.
7) Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak
ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara
atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, melibatkan dan/atau
melaporkan ke polisi, kewajiban hukum, danpersyaratan mengenai pelaporan.
Standar-standar ini akan dijelaskan dibawah dengan konteks Indonesia
- Standar 1
Seluruh investigasi harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui
(accepted best practices). Istilah best practices sering dipakai dalam penetapan
standar. Dalam istilah ini tersirat dua hal. Pertama, adanya upaya
membandingkan antara praktik-praktik yang ada dengan merujuk kepada yang
terbaik saat itu. Upaya ini disebut benchmarking. Kedua upaya benchmarking
dilakukan terus menerus untuk mencari solusi terbaik.
Asosiasi profesi lazimnya memberikan wadah untuk diskusi, pertukaran
pengalaman, publikasi dan hal-hal semacam ini sehingga para investigator
mengenal praktik-praktik terbaik. Di samping itu, akuntan forensic dapat
memanfaatkan seminar, publikasi, dan bahan-bahan penelitian dari profesi lain
seperti ahli hokum, ahli kriminologi, ahli viktimologi, dan lain lain.
- Standar 2
Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga
bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan. Bandingkan standar ini dengan
nasihat kedua dari Davia di atas.
- Standar 3
Pastikan bahwa seluruh dokymentaso dalam keadaan aman, terlindungi,
dan diindeks dan jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai
referensi apabila ada penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan bahwa
investigas sudah dilakukan dengan benar. Referensi ini juga membantu
perusahaan dalam upaya perbaikan cara-cara investigasi sehingga accepted best
practices yang dijelaskan di atas dapat di laksanakan.
- Standar 4
Pastikan bahwa investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan
senantiasa menghormatinya. Kalua investigasi dilakukan dengan cara yang
melanggar hak asasi pegawai, yang bersangkutan dapat menuntut perusahaan
dan investigatornya. Bukti-bukti yang sudah dikumpulkan dengan waktu dan
biaya yang banyak, menjadi sia-sia. Lihat contoh-contoh mengenai fishing
expedition dalam Bab 20 mengenal covert operations.
- Standar 5
Beban pembuktian ada pada perusahaan yang “menduga” pegawainya
melakukan kecurangan, dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai
tersebut, baik dalam kasus hukum administrative maupun kasus pidana. Dalam
kasus pidana di Amerika Serikat, beban pembuktian ini harus beyond
reasonable doubt atau “melampaui keraguan yang layak”.
Di Indonesia ada tindak pidana di mana beban pembuktian terbalik
dimungkinkan. Untuk tindak pidana, jaksa penuntut umum harus mengajukan
sedikitnya dua alat bukti yang memberikan keyakinan kepada hakim. Beban
pembuktian terbalik dan alat bukti dibahas dalam bab lain.
- Standar 6
Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang
sangat kritis ditinjau dari segi waktu. Dalam melakukan investigasi, kita
menghadapi keterbatasan waktu. Dalam menghormati asas praduga tidak
bersalah, hak dan kebebasan seorang harus dihormati.
Hal ini membuka peluang baginya untuk menghancurkan atau
menghilangkan bukti; menghancurkan, menghilangkan atau menyembunyikan
barang bukti; menghapus jejak kejahatan (termasuk membunuh saksi pelapor
atau orang yang mempunyai potensi menjadi saksi yang memberatkannya).
Oleh karena itu, sejak memulai investigasinya, investigator harus menentukan
cakupan investigasinya.
- Standar 7
Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk
perencanaan, pengumpulan bukti dari barang bukti, wawancara, kontak dengan
pihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata
cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan
polisi, kewajiban hukum, dan pensyaratan mengenai hal-hal yang bersifat
rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaran catatan,
keterlibatan polisi kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
Di Indonesia kita lihat pentingnya keterlibatan polisi, jaksa, pengadilan
(dalam mendapatkan izin), imigrasi (untuk mencegah pelarian ke luar negeri),
Menteri Keuangan (misalnya untuk izin pemeriksaan tindak pidana perpajakan)
dan instansi lainnya.
4. Kelembagaan dan Peraturan Perundang-undangan terkait Korupsi
Lembaga-lembaga terkait korupsi diantaranya:

a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

KPK dibentuk berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 pada tanggal 29 Desember


2003. KPK di bentuk karena lembaga pemerintah yang selama ini menangani perkara
tindak pidana korupsi belum berfungsi secaa efektif dan efisien dalam memberntas
tindak pidana korupsi. KPK hadir sebagai solusi atas permasalahan korupsi selama
ini. KPK adalah lembaga negara yang independen yang dalam melaksanakan
tugasnya bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga manapun (pasal 3 UU No 30
Tahun 2002). KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pembernatasan tindak pidana korupsi. KPK berasaskan pada prinsip-
prinsip kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum dan
proporsionalitas.

b. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau yang sering kita kenal
dengan nama (YLBHI) merupakan lembaga non pemerintah yang secara spesifik
melakukan advokasi dan pembelaan hukum kepada golongan lemah dan tertindas.
YLBHI juga merupakan satu-satunya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terbesar
di Indonesia yang memfokuskan diri pada perjuangan penegakan hukum, demokrasi,
HAM, keadilan sosial dan pembelaan terhadap kaum buruh, miskin dan marjinal.
Pada awalnya, gagasan pendirian lembaga ini adalah untuk memberikan bantuan
hukum bagi orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama
rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di PHK, dan keseharian pelanggaran tas
hak-hak asasi mereka.

c. Indonesian Corruption Watch (ICW)

Indonesia Corruption Watch (ICW) merupakan salah satu Lembaga


Swadaya Masyarakat (LSM) anti korupsi yang lahir pada masa bergulirnya reformasi
pada Mei 1998. Kelahiran ICW tidak terlepas dari konteks perubahan sosial dan
politik. ICW sebagai salah satu aktor gerakan sosial yang menghendaki adanya
perubahan sosial. Yaitu ingin menghilangkan praktek- praktek dan sistem
pemerintahan yang penuh dengan nuansa koruptif.
d. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)

MTI beralamatkan di Jalan Polombangkreng Nomor 11 Kebayoran Beru


Jakarta Selatan. Fokus MTI adalah penegakan transparansi di semua lini masyarakat,
mulai dari persoalan sosial, politik, ekonomi, hingga pertahanan keamanan. Dalam
pandangan MTI, transparansi merupakan kunci masuk terciptanya pemerintahan
yang baik dan bersih.

e. Transparency International Indonesia (TII)

TII beralamatkan di jalan Senayan Bawah Nomor 17 Jakarta. TII merupakan


lembaga cabang nasional dari Transparency Internasional (TI) yang merupakan
gerakan global menentang korupsi yang berkantor di Berlin Jerman. TII bertujuan
mempromosikan transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan dan sektor
usaha.

Peraturan Perundang-undangan terkait korupsi yaitu:


1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun Tindak Pidana Suap
1980

2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Perubahan UU 6-1983 Tentang Ketentuan


Umum Dan Tata Cara Perpajakan

4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan


1999 Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

5 Undang-Undang 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

6 Undang-Undang Nomor 16 Tahun Perubahan Kedua UU 6-1983 Tentang


2000 Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan

7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun Perubahan Atas Undang-undang No. 31


2001 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia

9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


2002 Korupsi

10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun Mahkamah Konstitusi


2003

11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun Kejaksaan Republik Indonesia


2004

12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah


Pidana

13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Pengesahan United Nations Convention


Against Corruption, 2003 (Konvensi PBB
Menentang Korupsi, 2003)

14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun Badan Pemeriksa Keuangan


2006

15 Undang-Undang Nomor 28 Tahun Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang


2007 Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum dan Tata cara Perpajakan

16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun Keterbukaan Informasi Publik


2008

17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 Pengesahan United Nations Convention


Against Transnational Organized Crime
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional
Yang Terorganisasi)

18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun Pelayanan Publik


2009

19 Undang-Undang Nomor 46 Tahun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi


2009

20 Undang-Undang Nomor 48 Tahun Kekuasaan Kehakiman


2009
21 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2010 Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi

22 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak


Pidana Pencucian Uang

23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24


Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Anda mungkin juga menyukai