Anda di halaman 1dari 16

PENGAUDITAN I

MATERIALITAS, RISIKO AUDIT


DAN STRATEGI AUDIT

Oleh Kelompok 6 :

Ni Komang Aprilia Dewi (1702622010226)

Ni Luh Putu Mastiniasih (1702622010232)

Putu Ernabella Ayu Lestari (1702622010250)

Putu Yunitha Eka Pratiwi (1702622010251)

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR


6.1. Materialitas

Ada beberapa definisi tentang materialitas. IAI, dalam SPAP-nya,

mendefinisikan materialitas sebagai:

“besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dilihat

dari keadaan yang melingkupinya, yang mungkin dapat mengakibatkan

perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan

kepercayaan atas informasi tersebut karena adanya penghilangan atau salah saji

tersebut”

Sedang FASB, melalui Statement of Financial Statements Concept no. 2,

mendefinisikan materialitas sebagai:

“besarnya kealfaan dan salah saji informasi akuntansi, yang di dalam

lingkungan tersebut membuat kepercayaan seseorang berubah atau terpengaruh

oleh adanya kealfaan dan salah saji tersebut.”

Jadi, materialitas adalah besarnya salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan

pemakai informasi. Standar auditing seksi 312 “Risiko Audit dan Materialitas

dalam Pelaksanaan Audit” mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan

materialitas dalam:

a. Perencanaan audit.
b. Pengevaluasian akhir apakah laporan keuangan secara keseluruhan

disajikan secara wajar sesuai prinsip akuntansi yang berterima umum.

Auditor harus mempertimbangkan materialitas untuk merencanakan audit

dan merancang prosedur audit. Dengan mempertimbangkan materialitas, auditor

dapat merancang prosedur audit secara efisien dan efektif. Dengan demikian,

prosedur audit tersebut dapat digunakan untuk menghimpun bukti audit kompeten
yang cukup. Bukti audit kompeten yang cukup dapat dijadikan dasar yang

memadai untuk melakukan evaluasi terhadap kewajaran laporan keuangan.

Auditor perlu mempertimbangkan materialitas pada saat akan

mengeluarkan pendapat. Material tidaklah suatu kondisi atau masalah akan

membedakan pendapat yang diberikan. Sebagai contoh adalah adanya pembatasan

lingkup audit oleh klien. Apabila pembatasan tersebut tidak material, maka auditor

dapat memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Tetapi apabila pembatasan

tersebut sangat material dan mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan,

maka auditor harus menolak untuk memberikan pendapat.

Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan

keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual atau

keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan

tidak disajikan secara wajar, dalam suatu hal yang material sesuai dengan prinsip

akuntansi yang berterima umum. Hal ini dapat terjadi akibat dari penerapan yang

keliru tehadap prinsip akuntansi yang berterima umum penyimpangan fakta, atau

dihilangkannya informasi yang diperlukan.

Berkaitan dengan pertimbangan mengenai materialitas, auditor harus

mempetimbangkan:

a. Ukuran dan karakteristik satuan usaha.


b. Kondisi yang berkaitan dengan perusahaan.
c. Informasi yang diperlukan pihak yang mengandalkan laporan keuangan.

Jumlah yang material untuk laporan keuangan perusahan kecil bisa jadi

sangat tidak material bagi perusahaan besar. Kesalahan pencatatan kas sejumlah

Rp.1.000.000,00 merupakan jumlah yang sangat material bagi perusahaan kecil

yang mempunyai aset bersih Rp.10.000.000,00. Sementara itu, kesalahan


sejumlah yang sama dapat merupakan kesalahan yang tidak material bagi

perusahaan yang mempunyai aset bersih sejumlah Rp.200.000.000.000,-.

Tingkat materialitas untuk laporan keuangan perusahaan yang terancam

bangkut adalah lebih rendah daripada tingkat materialitas perusahaan yang

mempunyai likuiditas dan solvabilitas yang baik. Semakin jelek kondisi

perusahaan, semakin baik ditolerir salah saji yang terjadi.

Pertimbangan Pendahuluan Tentang Materialitas

Karena sifatnya yang relatif maka tingkat materialitas dapat berubah.

Selama pelaksanaan audit, tingkat materialitas bisa berubah-ubah karena:

a. Kondisi sekelilingnya yang mempengaruhi perusahaan berubah.


b. Tambahan informasi tentang klien mungkin diperoleh selama pelaksanaan

audit.

Tingkat materialitas awal yang direncanakan (planning materiality) suatu

perusahaan dapat berubah karena kedua hal tersebut. Sebagai contoh, tingkat

materialitas yang direncanakan bagi perusahaan yang terancam bangkrut adalah

0,5% dari modal sendiri. Apabila perusahaan itu dapat melepaskan diri dari

masalah kebangkrutan tersebut, maka tingkat materialitas akan dinaikkan

misalnya menjadi 1% dari modal sendiri. Sebagaimana dikemukakan di atas

konsep materialitas ini diterapkan di dalam merencanakan pelaksanaan audit.

Dalam perencanaan audit, auditor menetukan materialitas pada dua tingkat:

a. Materialitas tingkat laporan keuangan.


Materialitas laporan keuangan (financial statement materiality) adalah

salah saji agregat minimum dalam suatu laporan keuangan yang cukup

penting untuk mencegah laporan disajikan secara wajar sesuai dengan

prinsip akuntansi yang berterima umum. Auditor menentukan materialitas


pada tingkat laporan keuangan karena pendapat auditor tentang kewajaran

adalah mengenai laporan keuangan secara keseluruhan dan tidak sepotong-

potong. Laporan keuangan mengandung salah saji yang material apabila

mengandung kekeliruan dan ketidakberesan yang secara individu maupun

kolektif sangat penting pengaruhnya terhadap kewajaran laporan

keuangan. Salah saji dapat disebabkan:


a. Salah saji penerapan prinsip akuntansi yang berterima umum.
b. Penyimpangan dari kenyataan seseungguhnya.
c. Penyembunyian informasi yang mestinya perlu diungkapkan.

Ada beberapa tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan

keuangan, yaitu:

- Laporan rugi laba yaitu materialitas yang berhubungan dengan total

pendapatan laba operasional, laba sebelum pajak, dan laba bersih.


- Neraca yaitu materialitas yang didasarkan atas total aktiva, total aktiva

lancar, modal kerja serta ekuitas pemegang saham.


b. Materialitas tingkat saldo akun.
Materialitas pada tingkat saldo akun sering disebut juga dengan

tolerable misstatement. Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah

saji maksimum yang boleh ada dalam saldo akun sehingga belum atau

tidak dipertimbangkan sebagai salah saji material. Ada hubungan erat

antara tolerable misstatement dengan materialitas pada tingkat laporan

keuangan. Akun-akun yang secara individual tidak material, bila

diakumulasikan dapat menjadi material secara kumulatif pada tingkat

laporan keuangan.

Pengalokasian Materialitas Laporan Keuangan pada Akun

Pengalokasian materialitas laporan keuangan pada akun-akun baik neraca

maupun laporan rugi laba lebih sering didasarkan atas neraca. Alasan yang
mendasari hal itu adalah bahwa setiap salah saji pada laporan rugi laba

pasti akan mempengaruhi neraca. Disamping itu, akun neraca relatif lebih

sedikit daripada akun laporan rugi laba.


Pertimbangan Materialitas Oleh Auditor
Berdasarkan penelitian empiris terhadap beberapa hal yang mempengaruhi

auditor dalam menentukan besarnya materialitas (materiality judgement).

Faktor-faktor tersebut adalah (Carpenter, 1992):


1. Faktor Individu Auditor
Karakteristik personal mempunyai pengaruh terhadap tingkat

keyakinan auditor mengenai keputusan materialitas. Penentuan

materialitas juga dipengaruhi oleh pengalaman auditor yang

bersangkutan.
2. Faktor Eksternal Perusahaan
Informasi non keuangan yang bersifat kontekstual dapat pula

digunakan oleh auditor praktisi dalam penentuan materialitas. Faktor

konsektual tersebut antara lain faktor jenis industri perusahaan auditor

dan kondisinya.
3. Tingkat Pengaruh Suatu Akun
Besarnya pengaruh yang diberikan suatu akun terhadap laba bersih

merupakan faktor penting dalam menentukan besarnya tingkat

materialitas audit.
4. Faktor Kondisi Kantor Akuntan Publik
Penentuan tingkat materialitas audit dipengaruhi oleh struktur dari

kantor akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit.


6.2. Resiko Audit

"Risiko" menurut arti katanya adalah kemungkinan adanya konsekuensi

jelek atau tidak menguntungkan. Menjadi seorang auditor, juga memiliki risiko.

Secara hukum dan etika profesi auditor dituntut untuk memberikan pendapat

kewajaran. Auditor mungkin saja salah dalam memberikan pendapatnya, dan

dapat dituntut oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. Hal tersebut dapat
dikatakan sebagai risiko. Tidak seperti di negara yang sudah maju, di Indonesia

masalah risiko ini belum begitu populer atau diperhatikan.

Risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa

disadarinya, tidak memodifikasi sebagaimana mestinya pendapatnya atas suatu

laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Audit Risk and

Materiality in Conducting an Audit (SAS Nos. 47 dan 82), AU 312.02,

mendefinisikan risiko audit (audit risk) adalah risiko bahwa auditor mungkin

tanpa sengaja telah gagal untuk memodifikasi pendapat secara tepat mengenai

laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Risiko audit yang mau

diterima auditor mempunyai hubungan terbalik dengan tingkat keinginannya

mengekspresikan pendapat yang tepat.

Tingkat risiko audit dapat juga dinyatakan dalam bentuk kualitatif seperti

rendah, sedang, atau tinggi. Tingkat risiko audit yang dianggap standar adalah 5%,

dan tingkat risiko audit tidak pernah akan tidak ada atau nol. Selain risiko audit,

auditor sebenarnya juga menghadapi risiko kerugian praktik profesionalnya akibat

dari tuntutan pengadilan, publikasi negatif, atau peristiwa lain yang timbul

berkaitan dengan laporan keuangan yang telah diaudit dan dilaporkannya. Risiko

ini dikenal sebagai risiko usaha. Risiko ini tetap dihadapi oleh auditor meskipun ia

telah melaksanakan audit berdasarkan standar auditing yang ditetapkan oleh

Ikatan Akuntan Indonesia dan telah melaporkan hasil audit atas laporan keuangan

dengan semestinya. Penelitian empiris terhadap risiko bisnis ini menyimpulkan

bahwa risiko bisnis yang tinggi meningkatkan jumlah jam audit tapi tidak fee per

jam sehingga akan meningkatkan total fee audit. Hal ini terjadi karena dengan
tingginya risiko audit mendorong auditor untuk meningkatkan upaya auditnya

(Bell, 2001).

Standar auditing seksi 312 "Risiko Audit dan Materialitas dalam

Pelaksanaan Audit" mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan risiko audit

dalam:

a) Perencanaan audit.
b) Pengevaluasian akhir apakah laporan keuangan secara keseluruhan

disajikan secara wajar sesuai prinsip akuntansi yang berterima

umum.
Auditor harus mempertimbangkan risiko audit untuk merencanakan audit

dan merancang prosedur audit. Dengan mempertimbangkan risiko audit, auditor

dapat merancang prosedur audit secara efisien dan efektif. Semakin kecil risiko

audit, semakin banyak bukti yang diperlukan. Oleh karena itu, semakin kecil

risiko audit, semakin banyak dan semakin intensif prosedur audit yang harus

diterapkan. Dengan demikian, prosedur audit tersebut dapat digunakan untuk

menghimpun bukti audit kompeten yang cukup. Bukti audit kompeten yang cukup

dapat dijadikan dasar yang memadai untuk mengevaluasi terhadap kewajaran

laporan keuangan.
Meningkatnya laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan dapat

meningkatkan kemungkinan terjadinya laporan keuangan yang mengandung

kecurangan (Maudulent financial reporting) sehingga akan meningkatkan upaya

audit. Keseluruhan risiko audit akan meningkat jika auditor semata-mata

menggunakan laporan keuangan dari auditan (New man, 2000).


Tipe-Tipe Risiko Audit
Menurut Taylor dan Glezer tipe risiko audit pada dasarnya ada dua, yaitu:
1. Risiko tipe I
Adanya risiko bahwa suatu saldo akun mengandung kesalahan yang jika

digabungkan dengan kesalahan-kesalahan pada saldo akun yang lain,


dapat mengakibatkan laporan keuangan salah saji secara material. Hal ini

diakibatkan oleh adanya kesalahan yang dilakukan oleh pegawai klien

dalam memproses suatu transaksi akuntansi. Risiko tipe ini terdiri atas

risiko bawaan dan risiko pengendalian, risiko ini tidak dapat dikendalikan

oleh auditor tapi dapat dinilai.


2. Risiko tipe II
Adanya risiko bahwa auditor tidak dapat mendeteksi adanya kesalahan

seperti dalam risiko tipe I di atas. Risiko ini merupakan risiko deteksi.

Risiko ini dapat dan harus dikendalikan auditor.

Komponen Risiko Audit

Komponen risiko audit terdiri dari, yaitu:

a) Risiko bawaan (inherent risk)


Risiko bawaan adalah kerentanan suatu asersi terhadap salah saji material

dengan asumsi tidak ada kebijakan dan prosedur struktur pengendalian

intern yang terkait. Risiko bawaan tidak dapat diubah oleh penerapan

prosedur audit yang paling baik sekalipun. Meskipun demikian, apabila

auditor berkesimpulan bahwa usaha untuk mengevaluasi risiko bawaan

tidak sebanding dengan pengurangan prosedur audit, maka auditor harus

menetapkan risiko bawaan pada tingkat maksimum pada saat merancang

prosedur audit. Risiko bawaan juga dibedakan atas risiko bawaan setiap

akun dan risiko bawaan keseluruhan untuk banyak akun. Berikut

merupakan beberapa faktor yang menentukan risiko bawaan pada banyak

akun:
- Profitabilitas perusahaan secara relatif dibandingkan dengan

perusahaan pada umumnya.


- Jenis usaha dan sensitivitas operasi.
- Masalah kelangsungan usaha.
- Sifat, penyebab, dan jumlah salah saji yang dideteksi dalam audit

tahun sebelumnya.
- Integritas, reputasi, dan pengetahuan akuntansi dari manajemen.

Berikut merupakan beberapa faktor yang menentukan risiko bawaan suatu

akun tertentu:

- Auditabilitas akun atau transaksi.


- Kerumitan masalah akuntansi yang terkait.
- Sifat, penyebab, dan jumlah salah saji vang dideteksi pada audit tahun

sebelumnya.
b) Risiko pengendalian (control risk).
Risiko pengendalian adalah risiko bahwa suatu salah saji material yang

dapat terjadi dalam suatu asersi, tidak dapat dideteksi ataupun dicegah

secara tepat pada waktunya oleh berbagai kebijakarn dan prosedur

pengendalian intern perusahaan. Risiko pengendalian merupakan fungsi

dari efektivitas struktur pengendalian intern. Semakin efektif struktur

pengendalian intern perusahaan klien, semakin kecil risiko

pengendaliannya. Penetapan risiko pengendalian didasarkan atas

kecukupan bukti audit yang menyatakan bahwa struktur pengendalian

intern klien adalah efektif. Ada dua macam risiko pengendalian yaitu:
a. Actual level of control risk yang ditentukan dengan melakukan

modifikasi prosedur untuk menghimpun pemahaman struktur

pengendalian intern terkait dengan asersi, dan prosedur untuk

melaksanakan test of control. Pada saat perencanaan audit, auditor

menentukan besarnya risiko pengendalian yang direncanakan (planned

assessed level of control risk) untuk setiap asersi yang signifikan.

Planned assessed level of control risk ini ditentukan berdasar asumsi

tentang efektivitas rancangan dan operasi struktur pengendalian intern


yang relevan dan juga dapat ditentukan berdasarkan informasi audit

tahun sebelumnya. Pada saat pengevaluasian hasil akhir atas temuan

audit, risiko bawaan aktual akan dapat diketahui. Actual assessed level

of control risk ditentukan berdasar bukti mengenai pemahaman

struktur pengendalian intern klien yang diperoleh selama tahap

pengujian audit.
b. Risiko deteksi (detection risk) merupakan risiko bahwa auditor tidak

dapat mendeteksi salah saji material yang terdapat dalam suatu asersi.

Risiko deteksi tergantung atas penetapan auditor terhadap risiko audit,

risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin besar risiko audit,

semakin besar pula risiko deteksi. Sebaliknya semakin besar risiko

bawaan ataupun risiko pengendalian, semakin kecil risiko deteksi.

Risiko deteksi merupakan risiko yang dapat dikendalikan oleh auditor.

Jadi, semakin efektif prosedur audit yang diterapkan auditor, semakin

kecil risiko deteksi aktualnya. Pada tahap perencanaan audit, planned

assessed level of detection risk untuk setiap asersi signifikan

ditentukan dengan cara menerapkan model risiko audit. Actual level of

detection risk dapat diubah auditor dengan cara memodifikasi sifat,

penentuan waktu, dan luas test substantif yang dilakukan atas suatu

asersi. Dalam menentukan risiko deteksi, auditor mempertimbangkan

kemungkinan dia melakukan kesalahan seperti kesalahan penerapan

prosedur auditing atau salah melakukan interpretasi terhadap bukti-

bukti audit yang telah dihimpun. Ada perbedaan yang mendasar antara

risiko bawaan dan risiko pengendalian dengan risiko deteksi. Kedua

risiko terdahulu ada terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas
laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan

prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor sendiri.

Selanjutnya, risiko deteksi dapat lagi dibagi ke dalam dua jenis risiko

yaitu:
- Risiko review analitis (Analytical Review Risk) adalah risiko yang

timbul karena prosedur-prosedur review analitis tidak dapat

mendeteksi kesalahan yang material.


- Risiko tes substantif (SubstantiveTests Risk) adalah risiko

kesalahan material tidak dapat dideteksi melalui penggunaan

prosedur tes substantif.

Selain risiko-risiko tersebut di atas, risiko di dalam audit dapat pula

dibagi atas risiko sampling (Sampling Risk), dan risiko non sampling

(Non Sampling Risk). Jenis risiko terjadi karena auditor bekerja atas

dasar pengujian suatu sampel bukti, bukan pengujian seluruh bukti.

Risiko sampling merupakan risiko bahwa kesimpulan yang diambil

oleh auditor dari hasil pengujian terhadap karakteristik tertentu dari

sampel atas item tertentu berbeda dengan kesimpulan yang dibuat dari

seluruh populasi yang diuji. Jadi tidak mencerminkan populasi.

Sedangkan risiko non sampling merupakan bagian dari risiko audit

yang tidak hanya berkaitan dengan data, tetapi lebih barnyak

dihasilkan dari faktor lain, seperti kesalahan faktor manusia, kesalahan

penerapan prosedur audit untuk tujuan audit tertentu, dan salah

menginterpretasikan hasil suatu sampel.

6.3. Strategi Audit Pendahuluan


Tujuan auditor dalam perencanaan dan pelaksanaan audit adalah untuk

menurunkan risiko audit pada tingkat serendah mungkin serta untuk mendukung
pendapat auditor mengenai laporan keuangan yang disajikan secara wajar dalam

segala aspek yang material dan sesuai dengan prinsip akuntansi umum. Auditor

dapat memilih dua alternatif strategi audit, yaitu:


1. Primarily substantive approach.
Pada strategi ini, auditor lebih mengutamakan pengujian substantif

daripada pengujian pengendalian. Strategi ini digunakan apabila

auditor, atas dasar pengalaman maupun tahap perencanaan

sebelumnya, menemukan kondisi sebagai berikut:


a. Pengendalian yang terkait dengan suatu asersi tidak efektif. Oleh

karena itu salah saji tidak akan dapat dicegah atau dideteksi oleh

struktur pengendalian intern klien. Auditor kemudian menguji

apakah salah saji yang tak terdeteksi oleh struktur pengendalian

intern klien tersebut, dapat dideteksi oleh prosedur audit. Dengan

demikian, auditor akan lebih banyak melakukan pengujian

substantif.
b. Biaya untuk melaksanakan:
 Prosedur tambahan untuk menghimpun pemahaman struktur

pengendalian intern
 test of control untuk mendukung lower assessed level of

control risk melebihi biaya untuk melaksanakan test substantif

yang lebih ekstensif.

Kedua kondisi ini biasanya terkait dengan asersi akun:

 yang dipengaruhi terutama oleh transaksi tidak rutin atau jarang

terjadi seperti aktiva tetap, utang obligasi dan modal saham,


 yang sangat memerlukan jurnal penyesuaian seperti akumulasi

depresiasi.
2. Lower assessed level of control risk approach.
Auditor lebih mengutamakan pengujian pengendalian daripada

pengujian substantif pada strategi ini. Auditor tetap melakukan


pengujian substantif meskipun tidak seekstensif pada primarily

substantive approach. Auditor lebih banyak melakukan prosedur untuk

memperoleh pemahaman mengenai struktur pengendalian intern klien.

Strategi ini lebih banyak dipakai dalam audit atas klien lama daripada

audit yang pertama kali atas klien baru.


Strategi ini digunakan apabila auditor, atas dasar pengalamarn

maupun tahap perencanaan sebelumnya, menemukan kondisi sebagai

berikut:
a. Pengendalian yang terkait dengan suatu asersi sangat efektif.

Struktur pengendalian intern klien yang sangat efektif tersebut

akan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya salah saji. Oleh

karena itu, dirancang dengan baik, dan auditor harus menguji

apakah struktur pengendalian intern klien benar-benar efektif

dalam mendeteksi salah saji. Auditor lebih banyak melakukan

pengujian pengendalian.
b. Biaya untuk melaksanakan:
- prosedur tambahan untuk menghimpun pemahaman struktur

pengendalian intern.
- test of control untuk mendukung lower assessed level of

control risk lebih rendah daripada biaya untuk melaksanakan

tes substantif yang lebih ekstensif.


- Akun yang diperiksa adalah akun yang dipengaruhi transaksi

rutin, dan volumenya tinggi.

Dalam memilih alternatif strategi audit tersebut, auditor

mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

 Planned assessed level of control risk.


Tingkat risiko pengendalian yang direncanakan (Planned

assessed level of control risk) yang tinggi berarti auditor


menganggap bahwa struktur pengendalian intern klien

sangat efektif dan dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya salah saji.


 Luas pemahaman auditor terhadap struktur pengendalian

intern yang dihimpun. Luas pemahaman auditor terhadap

pengendalian intern juga mempengaruhi pemilihan strategi

audit. Apabila auditor sangat memahami pengendalian

intern klien, maka auditor dapat memilih strategi audit

primarily substantive approach. Apabila auditor kurang

memahami struktur pengendalian intern klien, maka auditor

dapat memilih strategi audit lower assessed level of control

risk approach.
 Test of control yang dilaksanakan dalam menentukan risiko

pengendalian. Planned assessed level of substantif test yang

dilaksanakan auditor untuk mengurangi risiko audit pada

tingkat serendah mungkin.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim 2008. Auditing 1 : Dasar-dasar Audit Laporan Keuangan, Ed.4.

UPP-AMP YKPN:Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai