Anda di halaman 1dari 9

Pada tanggal 10 juni 2019 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan

Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi
penerbitan Surat Keteragan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan
kerugian negara mencapai Rp. 4.58 triliun. KPK menetapkan status tersangka tersebut setelah
melakukan gelar perkara terkait hasil pengembangan perkara terpidana mantan Kepala Badan
Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temanggung yang terlebih
dulu diganjar hukuman 15 tahun pidana penjara dan denda Rp. 1 miliar subsidair tiga bulan
kurungan oleh Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan banding.
Atas penyidikan yang dilakukan oleh KPK sejak Agustus 2018, telah ditemukan
cukup bukti, keduanya melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun
secara singkat konstruksi perkara awalnya diduga pada 21 September 1998 telah terjadi
penandatanganan antara BPPN dan Sjamsul atas penyelesaian pengambilalihan pengelolaan
Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) melalui Master Settlement Acquisition Agreement
(MSAA).
Disebutkan dalam MSAA jika BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul
sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan
kewajiban baik secara tunai atau berupa penyerahan aset. Jumlah kewajiban Sjamsul
Nursalim selaku pemegang saham pengendali (PSP) BDNI adalah sebesar lebih dari Rp 47
triliun. Kemudian kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp18 triliun termasuk
di antaranya pinjaman kepada petani atau petambak sebesar Rp 4,8 triliun, aset senilai Rp 4,8
triliun ini dipresentasikan Sjamsul Nursalim seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak
bermasalah. Namun, BPPN melakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due
Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang
terjadi misrepresentasi. Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan
surat yang intinya mengatakan Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dan
meminta Sjamsul Nursalim menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN
tersebut, namun Sjamsul Nursalim menolaknya.
Selanjutnya pada Oktober 2003, agar rencana penghapusan piutang petambak
Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul Nursalim yang
diwakilkan isterinya, Itjih Nursalim serta pihak lain. Pada rapat tersebut, Itjih Nursalim
menyampaikan Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi. Kemudian pada Februari
2004, dilakukan rapat kabinet terbatas yang intinya BPPN melaporkan dan meminta pada
Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off atau dihapusbukukan
namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul Nursalim. Ratas tersebut tidak
memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.
Setelah melalui beberapa proses, meskipun ratas tidak memberikan persetujuan namun pada
12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung dan Itjih Nursalim menandatangani akta
perjanjian penyelesaian akhir yang pada pokoknya berisikan pemegang saham telah
menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur pada Master of Settlement and
Acquisition Agreement/MSAA.
Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat perihal
pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Sjamsul Nursalim. Hal ini mengakibatkan
hak tagih atas utang petambah Dipesena menjadi hilang atau hapus. Selanjutnya pada 30
April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset kepada kementerian Keuangan
yang berisikan hak tagih hutang petambak PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD)
dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu
diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
Pada 24 Mei 2007, PT PPA melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma
senilai Rp 220 miliar padahal nilai kewajiban Sjamsul Nursalim yang seharusnya diterima
negara adalah Rp 4,8 triliun. Sehingga atas kejadian ini, diduga kerugian keuangan negara
adalah Rp 4,58 triliun.
Dengan kronoligis diatas majelis hakim menyatakan Syafruddin terbukti bersalah
karena telah melakukan penghapusbukuan terhadap utang pemilik saham Bank Dagang
Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, tahun 2004, dengan menerbitkan Surat
Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) tanpa persetujuan rapat
terbatas kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada pertimbangan Putusan Pengadilan
Tipikor No. 39/Pid.Sus/Tpk/2018/PN.Jkt.Pst disebutkan secara tegas bahwa tindakan
terdakwa Syafruddin Arsyad Temanggung telah memperkaya Sjamsul Nursalim sebesar
Rp4,58 triliun.
Perkembangan kasus ini tetap berjalan sampai kondisi terbaru adalah Putusan MA RI
atas Kasasi Syafruddin Arsyad Temanggung Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 09 Juli
2019 menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana dan
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Dengan di keluarnya putusan MA tersebut,
Syafruddin Arsyad Temanggung dinyatakan bebas. Sejalan dengan putusan MA tersebut
baru-baru ini KPK mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara (SP3) penerbitan
surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap obligor
Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim dan istrinya, Ijtih Nursalim.
sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2020 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan
dalam Pasal 40 ayat (1) bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan
penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan
penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Teori Kewenangan, Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang
diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.
Kewenanangan adalah kekuasaan formal, kekuasaan yang diberikan oleh UndangUndang
atau dari kekuasaan eksekutif administrasi. Menurut Ateng Syafrudin 1 ada perbedaan antara
pengertian kewenangan dengan wewenang, kewenangan (autority gezag) adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh
Undang_Undang, sedangkan wewenang (competence bevoegheid) hanya mengenai suatu
”onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan.Didalam kewenangan terdapat
wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden)2.Wewenang merupakan lingkup tindakan
hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusa pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas,
dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan. Secara yuridis pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum3 .
Sedangkan pengertian wewenang menurut H.D.Stoud adalah “bevoegheid wet kan worden
omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke bevoegheden door publiekrechtelijke
rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer” bahwa wewenang dapat dijelaskan
sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik4.
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum sering ditemukan
istilah kekuasaan, kewenangan, dan wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja
dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah kewenangan,
demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering disamakan juga dengan wewenang.
Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah
dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled)5 .

1. Ateng Syafrudin, “Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggungjawab”, Jurnal
Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, 2000,hlm.22
2. Ibid
3. Indrohato, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-
Asas Umum Pemerintahan yang baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 65
4. Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap
Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004, hlm.4.
5. 1Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 35-36.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan
dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven
disebut sebagai “blote match”6 , sedangkan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh
Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang
berdasarkan suatu sistem hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui
serta dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara7 . Dalam hukum
publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama
dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam
proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu: 1. hukum; 2.
kewenangan (wewenang); 3. keadilan; 4. kejujuran; 5. kebijakbestarian; dan 6. kebajikan 8 .
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara dalam keadaan bergerak
(de staat in beweging)sehingga negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi,
dan berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan.
Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang
manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara 9 . Agar
kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu
dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-
jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu
berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban10.
Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu aspek politik dan aspek
hukum, sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat
bersumber dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi (inkonstitusional),
misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas, penulis berkesimpulan
bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang
(competence).

6. Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi
Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Universitas Airlangga, Jakarta, 1990, hlm. 30
7. A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius,
Jogjakarta, 1990, hlm. 52
8. Rusadi Kantaprawira, “Hukum dan Kekuasaan”, Makalah, Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta, 1998, hlm. 37-
38.
9. 5Miriam Budiardjo, Op Cit, hlm. 35
10. Rusadi Kantaprawira, Op Cit, hlm. 39
Sumber Kewenangan, Didalam hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar
utamanya dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-
negara hukum dan kontinental11 . Menurut Indroharto bahwa wewenang diperoleh secara
atribusi, delegasi, dan mandat, kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian
kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, kewenangan delegasi dan mandat adalah
kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan
suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi
pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat
bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat
menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

Menurut Indroharto bahwa wewenang diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat,
kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-
Undang Dasar, kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari
pelimpahan. Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang
kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam
arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi
mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk
bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).

Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, ataupun mandat, J.G. Brouwer dan
A.E. Schilder, mengatakan:

a. with atribution, power is granted to an administrative authority by an


independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say
that is not derived from a previously existing power. The legislative body
creates independent and previously non existent powers and assigns them to
an authority.
b. delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that the
acquired the power) can exercise power in its own name.
c. with mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns
power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name11 .

11. J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri, Nijmegen, 1998, hlm. 16-17.
J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang diberikan
kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga negara oleh suatu badan legislatif
yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada
sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan perluasan
kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang berkompeten. Delegasi adalah
kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi)
pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi
kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya, sedangkan pada Mandat,
tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan
kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu
tindakan atas namanya. Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi.
Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada delegasi.
Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran,
tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan menganai
kemungkinan delegasi tersebut.

Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut 12:

a. delegasi harus definitif, artinya delegasn tidak dapat lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi hanya
dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam peraturan
perundang-undangan;
c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi;

Sifat Kewenangan Sifat kewenangan secara umum dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu
yang bersifat terikat, yang bersifat fakultatif (pilihan) dan yang bersifat bebas. Hal tersebut
sangat berkaitan dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusankeputusan
(besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikingen) oleh organ pemerintahan sehingga dikenal
adanya keputusan yang bersifat terikat dan bebas.
Menurut Indroharto, kewenangan yang bersifat terikat terjadi apabila peraturan
dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana kewenangan tersebut dapat
digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan
yang harus diambil.
12. Philipus M. Hadjon, Op Cit, hlm. 5
Pada kewenangan fakultatif apabila dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara
yang bersangkutan tidak wajib menerapkan kewenangannya atau sedikit banyak masih ada
pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu atau keadaan
tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan dasarnya.Dan yang ketiga yaitu kewenangan
bebas yakni terjadi apabila peraturan dasarnya memberikan kebebasan kepada badan atau
pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri isi dari keputusan yang akan
dikeluarkannya. Philipus M Hadjon membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu
kebebasan kebijakanaan dan kebebasan penilaian yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada
dua jenis kekuasaan bebas yaitu kewenangan untuk memutuskan mandiri dan kewenangan
interpretasi terhadap norma-norma tersamar (verge norm).

2.1.1.4. Batasan Kewenangan Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang
menjadi pilar utama dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi
negara-negara hukumdan sistem kontinental13 . Philipus M Hadjon mengemukakan bahwa
kewenangan diperoleh melalui tiga sumber yaitu atribus, delegasi, mandate. Kewenangan
atribus lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang
Dasar, kewenangan delegasi dan mandate adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.
Setiap kewenangan dibatasi oleh organ pemerintahan sehingga dikenal adanya keputusan
yang bersifat terikat dan bebas. Menurut Indroharto, kewenangan yang bersifat terikat terjadi
apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana
kewenangan tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan
tentang isi dan keputusan yang harus diambil. Pada kewenangan fakultatif apabila dalam hal
badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan
kewenangannya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat
dilakukan dalam hal-hal tertentu atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan oleh peraturan
dasarnya.Dan yang ketiga yaitu kewenangan bebas yakni terjadi apabila peraturan dasarnya
memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan
sendiri isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya. Philipus M Hadjon membagi
kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu kebebasan kebijakanaan dan kebebasan
penilaian yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua jenis kekuasaan bebas yaitu
kewenangan untuk memutuskan mandiri dan kewenangan interpretasi terhadap norma-norma
tersamar (verge norm).

13 Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, Op. Cit, hlm.65


Batasan Kewenangan Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar
utama dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukumdan
sistem kontinental30 . Philipus M Hadjon mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga
sumber yaitu atribus, delegasi, mandate. Kewenangan atribus lazimnya digariskan melalui
pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, kewenangan delegasi dan mandate
adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Setiap kewenangan dibatasi oleh

Anda mungkin juga menyukai