Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM PERIKATAN

ANALISIS PUTUSAN MA NO.409K/SIP/1983 DIKAITKAN DENGAN


BERAKHIRNYA PERJANJIAN DISEBABKAN FORCE MAJEURE

Disusun Dalam Rangka

PENUGASAN UAS SEMESTER GANJIL

DISUSUN OLEH:

JONATHAN ANDREAS SITORUS (2010611175)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

JAKARTA

2021
BAB I

A. Latar Belakang
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum yang sudah sangat
awam dikemukakan dalam tulisan-tulisan hukum yang ada di Indonesia, kita
semua mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Indonesia
sebagai negara hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Oleh
karenanya, seluruh aktivitas kehidupan bermasyrakat di Indonesia harus diatur
oleh suatu ketentuan hukum. Konsepsi negara hukum akan sangat berkaitan
mengikuti perkembangan zaman yang turut mempengaruhi pula kebutuhan
manusia dalam berbagai aspek kehidupan, maka konsepai negara hukum ini
pun akan beperan penting dalam memfasilitasi kehidupan yang terus
berkembang dan dinamis ini.1 Indonesia sebagai negara hukum memiliki
landasan konstitusional yang salah satu di dalamnya mnegatur mengenai hak
asasi manusia.
Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan salah satu pasal
dalam konstitusi yang mengatur mengenai hak asasi manusia warga negara.
Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut berbunyi:2 “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.” Berkaitan dengan pasal tersebut, manusia
pastinya memiliki kebutuhan yang perlu dipenuhi dengan cara-cara tertentu,
salah satunya dengan melakukan perjanjian. Namun, sebelum berbicara lebih
lanjut mengenai perjanjian, perlu ditekankan lebih dahulu mengenai hak asasi
manusia secara umum. Perlu diperjelas bahwa suatu hak asasi manusia yang
diatur dalam satu norma hukum berkemungkinan memiliki norma hukum lain
yang bertentangan dengannya, konflik antar norma hukum ini disebut dengan
antinomi hukum.3 Namun di balik konflik tersebut, kedua norma hukum

1 Hotma P. Sibuea dan Dwi Seno Wijanarko, Dinamika Negara Hukum (Depok: Rajawali
Pers, 2021), hlm. 11.
2 Pasal 28C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3 Endrik Safudin, “Harmonisasi Hukum dalam Antinomi Hukum (Analisis Terhadap

Penerapan Pasal 20 Ayat 2 Huruf B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun


2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.”, Al-Syakhsiyyah Journal of Law & Family Studies,
Vol. 2, No. 2, 2020, Hlm. 207
tersebut memanglah membutuhkan satu sama lain, sehingga antinomi hukum
dikatakan sebagai dua hal yang saling bertentangan namun pula saling
menyempurnakan satu sama lain.4 Dalam hal hak asasi manusia dalam
konstitusi, maka keseluruhan pasal yang mengatur mengenainya memiliki
antinomi hukum dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang
berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Maka di sini perlu diketahui bahwa konsep hak asasi manusia yang
dianut Indonesia bukanlah merupakan suatu hal yang mutlak, melainkan selalu
ada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam perturan perundang-
undangan. Hal ini sudah jelas berhubungan dengan konsep Indonesia sebagai
negara hukum sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Pembatasan-
pembatasan tersebut hadir sebagai bentuk negara yang mengatur
masyarakatnya dalam menjalankan segala kehidupannya.
Berlanjut kepada perjanjian sebagai salah satu sarana dalam
pemenuhan kebutuhan masyarakat, maka perjanjian diatur pula dalam
peraturan perundang-undangan. Perjanjian diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata yang berbunyi:5 “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya satu orang atau lebih
lainnya.” Tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam proses berjalannya
perjanjian muncul adanya suatu permasalahan, baik yang disebabkan oleh
pihak yang melakukan perjanjian itu sendiri, maupun yang disebabkan oleh
adanya faktpr di luar para pihak. Pada umumnya, permasalahan yang terjadi
disebabkan oleh salah satu pihak dalam proses berjalannya suatu perjanjian
disebut dengan wanprestasi. Wanprestasi dapat diartikan sebagai suatu
kondisi di mana pihak debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah
diatur sedemikian rupa dalam perjanjian.6 Sedangkan, permasalahan dalam

4 Ibid., Hlm. 207-208.


5 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
6 Dwi Aryanti Ramadhani, “Wanprestasi dan Akibat Hukumnya”, Jurnal Yuridis, Vol. 15 No.

17, 2012, Hlm. 35.


berjalannya proses perjanjian yang disebabkan dari faktor di luar para pihak
salah satunya adalah adanya suatu keadaan kahar (force majeure).
Salah satu putusan yang cukup berpengaruh terhadap parameter
adanya suatu force majeure, sehingga menjadi penghalang terpenuhinya
suatu kewajiban debitur dalam suatu perjanjian adalah Putusan Mahkamah
Agung (MA) No. 409K/Sip/1983 tertanggal 25 Oktober 1984. Kasus ini
melibatkan para pihak, yakni Rudy Suardana sebagai pihak Penggugat, dan
Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim sebagai pihak Tergugat.
Putusan ini dikatakan berpengaruh dikarenakan adanya bias terkait alasan
Tergugat tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian. Hal tersebut
dikarenakan putusan tingkat pertama menyatakan bahwa Tergugat telah
melakukan wanprestasi, lalu putusan banding pun mengeluarkan putusan
penguat yang senada dengan putusan pertama, namun akhirnya Mahkamah
Agung dengan putusan kasasinya menyatakan untuk membatalkan putusan
tingkat pertama dan banding, dan menyatakan bahwa ketidakmampuan
Tergugat memenuhi kewajibannya ialah karena adanya force majeure.
Kasus ini diawali dengan Penggugat, Rudy Suardana, yang
mengadakan perjanjian pengangkutan barang dengan Tergugat, yakni
Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim. Isi perjanjian ini ialah di mana
Rudy Suardana menggunakan jasa pengangkutan barang milik PT Gloria
Kaltim, untuk mengangkut barang milik Rudy dan menyerahkannya kembali di
alamat Rudy, yakni di Samarinda sesuai dengan tanggal yang disepakati para
pihak dalam perjanjian tersebut. Namun, sampai tanggal yang telah disepakati
tersebut, barang milik Rudy tidak kunjung datang ke kediamannya di
Samarinda, sehingga akhirnya dari pihak Rudy menuntut ganti kerugian
terhadap PT Gloria Kaltim. PT Gloria Kaltim sendiri mendalilkan bahwa barang
milik Rudy telah diangkut menggunakan kapal milik pihak ketiga yang telah
diageni oleh PT Gloria Kaltim, namun kapal tersebut tenggelam dalam
perjalanannya menuju destinasi ke Samarinda.
Atas gugatan dengan tuntutan ganti rugi tersebut dilayangkan kepada
PT Gloria Kaltim oleh Rudy, maka putusan Pengadilan Negeri atas kasus
tersebut sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu menyatakan bahwa PT
Gloria Kaltim melakukan wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi
kepada Rudy Suardana. Lalu pada tingkat banding pun tetap menguatkan
putusan tingkat pertama. Barulah akhirnya pada pengadilan tingkat kasasi,
hasil putusannya bertolak belakang dengan putusan Pengadilan Negeri dan
putusan Pengadilan Tinggi. Putusan kasasi menyatakan bahwa PT Gloria
Kaltim tidak memiliki tanggung jawab atas ketidakmampuannya dalam
memenuhi kewajibannya. Hal ini dikarenakan adanya suatu force majeure atau
keadaan memaksa yang mengakibatkan kewajiban PT Gloria Kaltim
sebagaimana telah diperjanjikan tidak dapat terpenuhi. Force majeure dalam
hal ini adalah tenggelamnya kapal yang digunakan untuk pengangkutan
barang milik Rudy. Kecelakaan tenggelamnya kapal pengangkut tersebut
dikarenakan adanya ombak besar yang merusak lambung kapal, padahal
awalnya kapal yang diageni pihak PT Glori Kaltim telah terlebih dahulu
mendapatkan izin berlayar dari syahbandar dan telah dinyatakan laik laut, pun
tidak ditemukan adanya kelebihan muatan pada kapal tersebut. Tenggelamnya
kapal pengangkut barang milik Rudy yang menyebabkan tidak terpenuhinya
prestasi oleh PT Glori Kaltim tersebut murni merupakan akibat daripada suatu
kondisi yang tidak dapat dicegah siapapun.7 Pada intinya, Putusan MA No.
409K/Sip/1983 menyebutkan bahwa harus terdapat tiga unsur agar suatu
kondisi dapat dikatakan sebagai keadaan memaksa atau force majeure, tiga
unsur tersebut ialah:8 a) Kejadian tersebut tidak terduga; b) Tidak dapat
dicegah oleh pihak yang harus memenuhi kewajiban atau melaksanakan
kewajiban; dan c) Di luar kesalahan dari pihak tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang sebagaimana telah dijelaskan tersebut di
atas, maka penulis menarik suatu benang merah permasalahan berupa
rumusan masalah, yakni:
1. Bagaimana parameter suatu kondisi atau keadaan dianggap sebagai
suatu keadaan memaksa atau force majeure dan apa akibat hukumnya
dikaitkan dengan kasus antara Rudy Suardana dan Perusahaan
Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim?

7 Rachmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa (Jakarta:


PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), Hlm.
8 Achiel Suyanto S, “Bencana dan Perilaku Bisnis”, krjogja.com,
https://www.krjogja.com/angkringan/opini/bencana-dan-perilaku-bisnis/, diakses pada
tanggal 5 Desember 2021.
BAB II

A. Dasar Hukum

Pada dasarnya, keadaan memaksa atau force majeure ataupun juga


overmacht, merupakan beberapa istilah yang pada esensinya adalah sama,
selanjutnya penulis akan menggunakan istilah force majeure dalam tulisan ini.
Force majeure diatur dalam beberapa ketentuan pasal Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, di antaranya adalah Pasal 1244 KUHPerdata, Pasal 1245
KUHPerdata, Pasal 1444 KUHPerdata dan Pasal 1445 KUHPerdata. Berikut
bunyi masing-masing pasal terkait force majeure tersebut:

a) Pasal 1244 KUHPerdata


“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya,
rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan
karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungawabkan
padanya, kesemua itu pun jika iktikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”
b) Pasal 1245 KUHPerdata
“Tidaklah biaya, rugi, dan bunga, harus digantikan, apabila lantaran
keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau
lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
c) Pasal 1444 KUHPerdata
Ayat (1): “Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak
dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui
apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang
itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.”
Ayat (2): “Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang,
sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang
tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga
dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah
diserahkan kepadanya.”
Ayat (3): “Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak
terduga, yang dimajukannya itu.”
d) Pasal 1445 KUHPerdata
“Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak
dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia
mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang
tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut
kepada orang yang mengutangkan kepadanya.”

B. Literature Review
Dalam penelitian yang berjudul “Kajian Hukum Keadaan Memaksa
(Force Majeure) Menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata”, Daryl John Rasuh menemukan bahwa suatu keadaan dapat
dikatakan sebagai suatu force majeure apabila memenuhi tiga unsur. Unsur-
unsur yang harus terpenuhi tersebut adalah:9 a) Tidak memenuhi prestasi; b)
Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur; dan c) Faktor penyebab
tersebut tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Dalam penelitian yang berjudul “Tinjauan Mengenai Force Majeure
(Overmacht) Pada Formulir Jaminan Pelaksanaan Surety Bond Serta Batas
Kewenangan Suatu Perusahaan Surety untuk Memeriksa Security Principal di
PT.Asuransi Jasa Raharja Putera Cabang Yogyakarta”, Yulia Ika Putranti
menemukan beberapa syarat-syarat dari suatu kondisi yang dikatakan sebagai
force majeure. Syarat-syarat tersebut ialah:10 a) Peristiwa yang menyebabkan
terjadinya Force Majeure tersebut haruslah tidak terduga oleh para pihak; b)
Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap pihak debitur;
c) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure berada di luar
kesalahan pihak debitur; d) Peristiwa yang menyebabkan ; e) Pihak debitur
tidak dalam keadaan itikad buruk; f) Apabila terjadi suatu force majeure, maka
perjanjian tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak
dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan; g) Apabila terjadi

9 Daryl John Rasuh, “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal
1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jurnal Lex Privatum, Vol. 4
No. 2, 2016, Hlm. 179.
10 Yulia Ika Putranti, “Tinjauan Mengenai Force Majeure (Overmacht) Pada Formulir

Jaminan Pelaksanaan Surety Bond Serta Batas Kewenangan Suatu Perusahaan Surety
untuk Memeriksa Security Principal di PT. Asuransi Jasa Raharja Putera Cabang
Yogyakarta.”, e-journal uajy, Vol. 1 No. 9, 2014, Hlm. 9-11.
force majeure, maka para pihak (terutama yang dirugikan) tidak diiznikan
menuntut ganti rugi; dan h) Resiko sebagai akibat dari force majeure beralih
dari piahk kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut
diserahkan.

BAB III

A. Parameter Suatu Kondisi Dianggap Sebagai Suatu Keadaan Memaksa


atau Force Majeure dan Akibat Hukumnya Dikaitkan dengan Kasus antara
Rudy Suardana dan Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim
Perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu keadaan di mana satu orang
atau lebih berjanji terhadap satu orang atau lebih lainnya, untuk melakukan
suatu prestasi, sehingga atas adanya perjanjian tersebut, menimbulkan para
pihak yang bersangkutan terikat dalam suatu perikatan.11 Pastinya apabila
sudah terbentuk suatu perikatan karena perjanjian oleh para pihak, seharusnya
perjanjian yang mengawalinya sudah terlebih dahulu dianggap sah menurut
Pasal 1320 KUHPerdata. Dikenal salah satu asas dalam perjanjian, yakni asas
pacta sunt servanda. Asas pacta sunt servanda ini diatur dalam ketentuan
Pasal 1338 KUHPerdata yang pada intinya menyatakan bahwa setiap
perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak, mengatur sebagai
undang-undang bagi mereka yang telah menyepakatinya.12 Oleh karenanya,
berdasarkan asas ini, mewajibkan para pihak tunduk terhadap perjanjian yang
telah disepakati, karena perjanjian tersebut dianggap berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka.13 Maka dalam kasus Putusan MA No. 409K/Sip/1983,
antara Rudy Suardana dan Perusahaan Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim
sudah sepatutnya memenuhi syarat sahnya perjanjian, sehingga setelah
perjanjian tersebut disepakati, maka perjanjian tersebun mengikat keduanya
sebagai undang-undang
Namun, di samping suatu asas pacta sunt servanda sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata tersebut, telah pula dijelaskan

11 Muhammad Noor, “Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan dalam Pembuatan


Kontrak”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol 14 No. 1, 2015, Hlm. 90.
12 Muhammad Farhan Gayo dan Heru Sugiyono, “Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda

dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ruang Usaha”, JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan
Humaniora, Vol. 8 No. 3, 2021, Hlm. 246.
13 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai

1456 BW (Depok: Rajawali Pers, 2019), Hlm. 78.


sebelumnya bahwa sangat dimungkinkan terdapat adanya antinomi hukum
yang akan menjadikan munculnya pertentangan dengan suatu asas tersebut.
Walaupun sistem hukum perjanjian di Indonesia sangat menghormati asas
pacta sunt servanda tersebut, namun nyatanya terdapat kondisi yang dapat
dijadikan pengecualian terhadap asas tersebut, yakni kondisi force majeure.14
Walaupun demikian, perlu juga ditekankan mengenai persyaratan dalam hal
force majeure dapat mengecualikan asas pacta sunt servanda, bahwa di
samping adanya kondisi force majeure tersebut, harus pula terdapat itikad baik
dari pihak debitur, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1338
KUHPerdata itu sendiri, tepatnya pada ayat (3).15 Apabila dikaitkan dengan
kasus antara Rudy dengan PT Glori Kaltim, maka untuk dapat digunakan dalil
adanya force majeure dalam proses pemenuhan prestasi oleh PT Glori Kaltim,
maka harus pula dibarengi dengan dalil bahwa PT Glori Kaltim telah
melaksanakan itikad baik.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, dapat
dianggap bahwa sangatlah wajar apabila Rudy Suardana selaku Penggugat
mendalilkan bahwa PT Glori Kaltim telah melakukan wanprestasi. Dianggap
wajar karena memanglah nyata-nyatanya PT Glori Kaltim tidak menyerahkan
barang milik Rudy sesuai dengan tempat dan tanggal yang telah diperjanjikan.
Bahkan PN dan PT pun mengeluarkan putusan yang mengabulkan gugatan
Rudy, di mana keduanya pun memutus bahwa PT Glori Kaltim telah melakukan
wanprestasi. Namun pada kenyataannya setelah diajukan kasasi kepada
Mahkamah Agung, putusan kasasi menyatakan bahwa PT Glori Kaltim tidak
dapat dimintakan pertanggungjawaban ganti kerugian, disebabkan memang
force majeure secara nyata terjadi dalam bentuk keadaan pada saat
pengangkutan barang milik Rudy tersebut.16
Dalam hal ini, artinya bahwa Mahkamah Agung telah nemukan kaidah
hukum atau penafsiran terhadap syarat yang harus mengikuti force majeure
sebagai pengecualian terhadap asas pacta sunt servanda sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, yakni harus adanya itikad baik dari pihak PT Glori

14 Niru Anita Sinaga, “Perspektif Force Majeure dan Rebus Sic Stantibus dalam Sistem
Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas
Dirgantara Marsekal Suryadarma, Vol. 11 No. 1, 2019, Hlm. 5.
15 Ibid.
16 Muhammad Irfan Hilmy dan Muhammad Fadhali Yusuf, “Praktik dan Disparitas Putusan

Hakim Dalam Menetapkan Force Majeure di Indonesia”, Zaaken: Journal of Civil and
Bussiness Law, Vol. 1 No. 2, 2020, Hlm. 195.
Kaltim selaku Tergugat. Dikarenakan terbatasnya draft putusan terkait, maka
di sini penulis hanya memberikan analisa kemungkinan yang dapat terjadi.
Putusan kasasi kemungkinan berbeda sendiri dengan dua putusan
sebelumnya dikarenakan mungkin PT Glori Kaltim baru menyampaikan dalil
bahwa ia telah beritikad baik dalam bentuk mengatakan bahwa kapal
pengangkut yang diageni tersebut telah mendapatkan izin berlayar dari
syahbandar dan dinyatakan pula tidak ada kelebihan di dalamnya.
Kemungkinan kedua adalah sebenarnya ternyata dalil terkait itikad baik
tersebut telah disampaikan di dua tingkatan sidang sebelumnya, namun
memang Majelis Hakim belum meyakininya. Maka dalam hal ini adalah
terdapat masalah pembuktian dalam hukum perdata. Dikenal asas Actori
Incumbit Probatio di dalam hukum acara perdata, asas ini diatur dalam Pasal
163 HIR/Pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUHPerdata. Asas ini membagi beban
pembuktian kepada para pihak, pihak Penggugat wajib membuktikan peristiwa
yang didalilkannya dalam gugatan, sedangkan pihak Tergugat membuktikan
bantahannya terhadap dalil Penggugat.17 Oleh karenanya, maka PT Glori
Kaltim telah berhasil membuktikan bahwa telah terjadi force majeure, ditambah
lagi dengan itikad baik yang mengikutinya sebagai persyaratan digunakannya
dalil force majeure.18
Mengenai parameter daripada force majeure ini sendiri, telah
dijelaskan juga terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi. Suatu force
majeure apabila memenuhi tiga unsur. Unsur-unsur yang harus terpenuhi
tersebut adalah:19 a) Tidak memenuhi prestasi; b) Ada sebab yang terletak di
luar kesalahan debitur; dan c) Faktor penyebab tersebut tidak dapat diduga
sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Lalu juga
terdapat pendapat yang menyatakan bahwa force majeure harus memenuhi
syarat, yakni:20 a) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya Force Majeure
tersebut haruslah tidak terduga oleh para pihak; b) Peristiwa tersebut tidak
dapat dipertanggungjawabkan terhadap pihak debitur; c) Peristiwa yang
menyebabkan terjadinya force majeure berada di luar kesalahan pihak debitur;
d) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut di luar

17 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, “Arti Pentingnya Pembuktian dalam Proses Penemuan


Hukum di Peradilan Perdata”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22 No. 2, 2010, Hlm. 351.
18 Muhammad Irfan Hilmy dan Muhammad Fadhali Yusuf, Op. Cit., Hlm. 194.
19 Daryl John Rasuh, Loc. Cit.
20 Yulia Ika Putranti, Loc. Cit.
kesalahan para pihak ; e) Pihak debitur tidak dalam keadaan itikad buruk; f)
Apabila terjadi suatu force majeure, maka perjanjian tersebut menjadi gugur,
dan sedapat mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah-olah tidak
pernah dilakukan; g) Apabila terjadi force majeure, maka para pihak (terutama
yang dirugikan) tidak diiznikan menuntut ganti rugi; dan h) Resiko sebagai
akibat dari force majeure beralih dari piahk kreditur kepada pihak debitur sejak
saat seharusnya barang tersebut diserahkan.
Terkait dengan akibat hukumnya, force majeure dalam suatu perjanjian
dapat berimplikasi kepada gugurnya perjanjian.21 Dalam hal ini perlu
diperhatikan bahwa implikasi dari force majeure ini adalah berakhirnya
perjanjian, bukan perjanjian dibatalkan, karena jelas-jelas bahwa perjanjian
dibatalkan hanya dapat dilakukan sebelum perjanjian tersebut masih dalam
tahap proses perancangannya perjanjian tersebut. Sedangkan force majeure
baru dapat dianggap sebagai suatu kondisi yang menghalangi pemenuhan
prestasi pada saat telah memasuki tahap proses pelaksanaan perjanjian itu
sendiri.

BAB IV
A. Kesimpulan
Force majeure dalam suatu perjanjian diakibatkan karena adanya
suatu kondisi yang tidak berada dalam kuasa dan kehendak para pihak. Suatu
kondisi dapat dikatakan sebagai suatu force majeure apabila telah memenuhi
beberapa syarat, yakni: a) Tidak memenuhi prestasi; b) Ada sebab yang
terletak di luar kesalahan debitur; dan c) Faktor penyebab tersebut tidak dapat
diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Lalu juga terdapat pendapat yang menyatakan bahwa force majeure harus
memenuhi syarat, yakni:22 a) Tidak memenuhi prestasi; b) Peristiwa yang
menyebabkan terjadinya Force Majeure tersebut haruslah tidak terduga oleh
para pihak; c) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap
pihak debitur; d) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure berada
di luar kesalahan pihak debitur; e) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya
force majeure tersebut di luar kesalahan para pihak ; f) Pihak debitur tidak

21
Daryl John Rasuh, Op. Cit., Hlm. 177.
22 Yulia Ika Putranti, Loc. Cit.
dalam keadaan itikad buruk; g) Apabila terjadi suatu force majeure, maka
perjanjian tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak
dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan; h) Apabila terjadi
force majeure, maka para pihak (terutama yang dirugikan) tidak diiznikan
menuntut ganti rugi; dan i) Resiko sebagai akibat dari force majeure beralih
dari piahk kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut
diserahkan. Akibat hukum dari force majeure dalam suatu perjanjian adalah
dapat menjadi titik berakhirnya suatu perjanjian.

B. Saran
Apabila anda melakukan perjanjian dengan orang lain, di mana di
dalamnya anda berperan sebagai debitur, perlu diperhatikan beberapa poin
terkait wanprestasi ini. Bahwa apabila nantinya anda tidak dapat memenuhi
prestasi dikarenakan adanya kondisi force majeure, maka anda harus dapat
membuktikan bahwa force majeure tersebut memang nyata-nyatanya terjadi
sedemikian rupa. Selain daripada membuktikan adanya force majeure
tersebut, anda harus dapat membuktikan bahwa anda telah melakukan suatu
perbuatan yang nantinya dapat dinilai sebagai bentuk itikad baik anda dalam
melakukan perjanjian. Kalaupun anda sebagai kreditur ingin agar tidak
mengalami kerugian apabila nantinya debitur tidak memenuhi prestasi
dikarenakan force majeure, anda (tentunya dengan persetujuan pihak debitur
juga) dapat mencamtumkan klausul yang menyatakan bahwa dalam hal
perjanjian berupa menyerahkan suatu barang, maka barang yang diperjanjikan
tersebut harus terlebih dahulu diasuransikan, agar nantinya dapat menutup
kerugian akibat force majeure.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Buku-Buku

Sibuea, Hotma P. dan Dwi Seno Wijanarko. 2021. Dinamika Negara Hukum.
Depok: Rajawali Pers

Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. 2019. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal
1233 Sampai 1456 BW. Depok: Rajawali Pers.

Soemadipradja, Rachmat S.S. 2010. Penjelasan Hukum tentang Keadaan


Memaksa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Artikel Ilmiah

Butarbutar, Elisabeth Nurhaini. “Arti Pentingnya Pembuktian dalam Proses


Penemuan Hukum di Peradilan Perdata”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 22
No. 2. 2010.

Gayo, Muhammad Farhan dan Heru Sugiyono. “Penerapan Asas Pacta Sunt
Servanda dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ruang Usaha”. JUSTITIA:
Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora. Vol. 8 No. 3. 2021.

Hilmy, Muhammad Irfan dan Muhammad Fadhali Yusuf. “Praktik dan Disparitas
Putusan Hakim Dalam Menetapkan Force Majeure di Indonesia”. Zaaken:
Journal of Civil and Bussiness Law. Vol. 1 No. 2. 2020.

Noor, Muhammad. “Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan dalam


Pembuatan Kontrak”. Jurnal Pemikiran Hukum Islam. Vol. 14 No. 1. 2015.

Putranti, Yulia Ika. “Tinjauan Mengenai Force Majeure (Overmacht) Pada Formulir
Jaminan Pelaksanaan Surety Bond Serta Batas Kewenangan Suatu
Perusahaan Surety untuk Memeriksa Security Principal di PT. Asuransi
Jasa Raharja Putera Cabang Yogyakarta.”. e-journal uajy. Vol. 1 No. 9.
2014

Ramadhani, Dwi Aryanti, “Wanprestasi dan Akibat Hukumnya”. Jurnal Yuridis. Vol.
15 No. 17. 2012.

Rasuh, Daryl John. “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut
Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Jurnal
Lex Privatum. Vol. 4 No. 2. 2016.

Safudin, Endrik. “Harmonisasi Hukum dalam Antinomi Hukum (Analisis Terhadap


Penerapan Pasal 20 Ayat 2 Huruf B Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman”. Al-Syakhsiyyah
Journal of Law & Family Studie. Vol. 2, No. 2. 2020.

Sinaga, Niru Anita. “Perspektif Force Majeure dan Rebus Sic Stantibus dalam
Sistem Hukum Indonesia”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas
Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma. Vol. 11 No. 1. 2019.

Sumber Lainnya

S, Achiel Suyanto. “Bencana dan Perilaku Bisnis”, krjogja.com.


https://www.krjogja.com/angkringan/opini/bencana-dan-perilaku-bisnis/.
diakses pada tanggal 5 Desember 2021.

Anda mungkin juga menyukai