DISUSUN OLEH:
JAKARTA
2021
BAB I
A. Latar Belakang
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum yang sudah sangat
awam dikemukakan dalam tulisan-tulisan hukum yang ada di Indonesia, kita
semua mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Indonesia
sebagai negara hukum diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Oleh
karenanya, seluruh aktivitas kehidupan bermasyrakat di Indonesia harus diatur
oleh suatu ketentuan hukum. Konsepsi negara hukum akan sangat berkaitan
mengikuti perkembangan zaman yang turut mempengaruhi pula kebutuhan
manusia dalam berbagai aspek kehidupan, maka konsepai negara hukum ini
pun akan beperan penting dalam memfasilitasi kehidupan yang terus
berkembang dan dinamis ini.1 Indonesia sebagai negara hukum memiliki
landasan konstitusional yang salah satu di dalamnya mnegatur mengenai hak
asasi manusia.
Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan salah satu pasal
dalam konstitusi yang mengatur mengenai hak asasi manusia warga negara.
Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut berbunyi:2 “Setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.” Berkaitan dengan pasal tersebut, manusia
pastinya memiliki kebutuhan yang perlu dipenuhi dengan cara-cara tertentu,
salah satunya dengan melakukan perjanjian. Namun, sebelum berbicara lebih
lanjut mengenai perjanjian, perlu ditekankan lebih dahulu mengenai hak asasi
manusia secara umum. Perlu diperjelas bahwa suatu hak asasi manusia yang
diatur dalam satu norma hukum berkemungkinan memiliki norma hukum lain
yang bertentangan dengannya, konflik antar norma hukum ini disebut dengan
antinomi hukum.3 Namun di balik konflik tersebut, kedua norma hukum
1 Hotma P. Sibuea dan Dwi Seno Wijanarko, Dinamika Negara Hukum (Depok: Rajawali
Pers, 2021), hlm. 11.
2 Pasal 28C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3 Endrik Safudin, “Harmonisasi Hukum dalam Antinomi Hukum (Analisis Terhadap
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang sebagaimana telah dijelaskan tersebut di
atas, maka penulis menarik suatu benang merah permasalahan berupa
rumusan masalah, yakni:
1. Bagaimana parameter suatu kondisi atau keadaan dianggap sebagai
suatu keadaan memaksa atau force majeure dan apa akibat hukumnya
dikaitkan dengan kasus antara Rudy Suardana dan Perusahaan
Pelayaran Lokal PT Gloria Kaltim?
A. Dasar Hukum
B. Literature Review
Dalam penelitian yang berjudul “Kajian Hukum Keadaan Memaksa
(Force Majeure) Menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata”, Daryl John Rasuh menemukan bahwa suatu keadaan dapat
dikatakan sebagai suatu force majeure apabila memenuhi tiga unsur. Unsur-
unsur yang harus terpenuhi tersebut adalah:9 a) Tidak memenuhi prestasi; b)
Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur; dan c) Faktor penyebab
tersebut tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Dalam penelitian yang berjudul “Tinjauan Mengenai Force Majeure
(Overmacht) Pada Formulir Jaminan Pelaksanaan Surety Bond Serta Batas
Kewenangan Suatu Perusahaan Surety untuk Memeriksa Security Principal di
PT.Asuransi Jasa Raharja Putera Cabang Yogyakarta”, Yulia Ika Putranti
menemukan beberapa syarat-syarat dari suatu kondisi yang dikatakan sebagai
force majeure. Syarat-syarat tersebut ialah:10 a) Peristiwa yang menyebabkan
terjadinya Force Majeure tersebut haruslah tidak terduga oleh para pihak; b)
Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap pihak debitur;
c) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure berada di luar
kesalahan pihak debitur; d) Peristiwa yang menyebabkan ; e) Pihak debitur
tidak dalam keadaan itikad buruk; f) Apabila terjadi suatu force majeure, maka
perjanjian tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak
dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan; g) Apabila terjadi
9 Daryl John Rasuh, “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal
1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jurnal Lex Privatum, Vol. 4
No. 2, 2016, Hlm. 179.
10 Yulia Ika Putranti, “Tinjauan Mengenai Force Majeure (Overmacht) Pada Formulir
Jaminan Pelaksanaan Surety Bond Serta Batas Kewenangan Suatu Perusahaan Surety
untuk Memeriksa Security Principal di PT. Asuransi Jasa Raharja Putera Cabang
Yogyakarta.”, e-journal uajy, Vol. 1 No. 9, 2014, Hlm. 9-11.
force majeure, maka para pihak (terutama yang dirugikan) tidak diiznikan
menuntut ganti rugi; dan h) Resiko sebagai akibat dari force majeure beralih
dari piahk kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut
diserahkan.
BAB III
dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ruang Usaha”, JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan
Humaniora, Vol. 8 No. 3, 2021, Hlm. 246.
13 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai
14 Niru Anita Sinaga, “Perspektif Force Majeure dan Rebus Sic Stantibus dalam Sistem
Hukum Indonesia”, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas Hukum Universitas
Dirgantara Marsekal Suryadarma, Vol. 11 No. 1, 2019, Hlm. 5.
15 Ibid.
16 Muhammad Irfan Hilmy dan Muhammad Fadhali Yusuf, “Praktik dan Disparitas Putusan
Hakim Dalam Menetapkan Force Majeure di Indonesia”, Zaaken: Journal of Civil and
Bussiness Law, Vol. 1 No. 2, 2020, Hlm. 195.
Kaltim selaku Tergugat. Dikarenakan terbatasnya draft putusan terkait, maka
di sini penulis hanya memberikan analisa kemungkinan yang dapat terjadi.
Putusan kasasi kemungkinan berbeda sendiri dengan dua putusan
sebelumnya dikarenakan mungkin PT Glori Kaltim baru menyampaikan dalil
bahwa ia telah beritikad baik dalam bentuk mengatakan bahwa kapal
pengangkut yang diageni tersebut telah mendapatkan izin berlayar dari
syahbandar dan dinyatakan pula tidak ada kelebihan di dalamnya.
Kemungkinan kedua adalah sebenarnya ternyata dalil terkait itikad baik
tersebut telah disampaikan di dua tingkatan sidang sebelumnya, namun
memang Majelis Hakim belum meyakininya. Maka dalam hal ini adalah
terdapat masalah pembuktian dalam hukum perdata. Dikenal asas Actori
Incumbit Probatio di dalam hukum acara perdata, asas ini diatur dalam Pasal
163 HIR/Pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUHPerdata. Asas ini membagi beban
pembuktian kepada para pihak, pihak Penggugat wajib membuktikan peristiwa
yang didalilkannya dalam gugatan, sedangkan pihak Tergugat membuktikan
bantahannya terhadap dalil Penggugat.17 Oleh karenanya, maka PT Glori
Kaltim telah berhasil membuktikan bahwa telah terjadi force majeure, ditambah
lagi dengan itikad baik yang mengikutinya sebagai persyaratan digunakannya
dalil force majeure.18
Mengenai parameter daripada force majeure ini sendiri, telah
dijelaskan juga terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi. Suatu force
majeure apabila memenuhi tiga unsur. Unsur-unsur yang harus terpenuhi
tersebut adalah:19 a) Tidak memenuhi prestasi; b) Ada sebab yang terletak di
luar kesalahan debitur; dan c) Faktor penyebab tersebut tidak dapat diduga
sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur. Lalu juga
terdapat pendapat yang menyatakan bahwa force majeure harus memenuhi
syarat, yakni:20 a) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya Force Majeure
tersebut haruslah tidak terduga oleh para pihak; b) Peristiwa tersebut tidak
dapat dipertanggungjawabkan terhadap pihak debitur; c) Peristiwa yang
menyebabkan terjadinya force majeure berada di luar kesalahan pihak debitur;
d) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut di luar
BAB IV
A. Kesimpulan
Force majeure dalam suatu perjanjian diakibatkan karena adanya
suatu kondisi yang tidak berada dalam kuasa dan kehendak para pihak. Suatu
kondisi dapat dikatakan sebagai suatu force majeure apabila telah memenuhi
beberapa syarat, yakni: a) Tidak memenuhi prestasi; b) Ada sebab yang
terletak di luar kesalahan debitur; dan c) Faktor penyebab tersebut tidak dapat
diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Lalu juga terdapat pendapat yang menyatakan bahwa force majeure harus
memenuhi syarat, yakni:22 a) Tidak memenuhi prestasi; b) Peristiwa yang
menyebabkan terjadinya Force Majeure tersebut haruslah tidak terduga oleh
para pihak; c) Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap
pihak debitur; d) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure berada
di luar kesalahan pihak debitur; e) Peristiwa yang menyebabkan terjadinya
force majeure tersebut di luar kesalahan para pihak ; f) Pihak debitur tidak
21
Daryl John Rasuh, Op. Cit., Hlm. 177.
22 Yulia Ika Putranti, Loc. Cit.
dalam keadaan itikad buruk; g) Apabila terjadi suatu force majeure, maka
perjanjian tersebut menjadi gugur, dan sedapat mungkin para pihak
dikembalikan seperti seolah-olah tidak pernah dilakukan; h) Apabila terjadi
force majeure, maka para pihak (terutama yang dirugikan) tidak diiznikan
menuntut ganti rugi; dan i) Resiko sebagai akibat dari force majeure beralih
dari piahk kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang tersebut
diserahkan. Akibat hukum dari force majeure dalam suatu perjanjian adalah
dapat menjadi titik berakhirnya suatu perjanjian.
B. Saran
Apabila anda melakukan perjanjian dengan orang lain, di mana di
dalamnya anda berperan sebagai debitur, perlu diperhatikan beberapa poin
terkait wanprestasi ini. Bahwa apabila nantinya anda tidak dapat memenuhi
prestasi dikarenakan adanya kondisi force majeure, maka anda harus dapat
membuktikan bahwa force majeure tersebut memang nyata-nyatanya terjadi
sedemikian rupa. Selain daripada membuktikan adanya force majeure
tersebut, anda harus dapat membuktikan bahwa anda telah melakukan suatu
perbuatan yang nantinya dapat dinilai sebagai bentuk itikad baik anda dalam
melakukan perjanjian. Kalaupun anda sebagai kreditur ingin agar tidak
mengalami kerugian apabila nantinya debitur tidak memenuhi prestasi
dikarenakan force majeure, anda (tentunya dengan persetujuan pihak debitur
juga) dapat mencamtumkan klausul yang menyatakan bahwa dalam hal
perjanjian berupa menyerahkan suatu barang, maka barang yang diperjanjikan
tersebut harus terlebih dahulu diasuransikan, agar nantinya dapat menutup
kerugian akibat force majeure.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Buku-Buku
Sibuea, Hotma P. dan Dwi Seno Wijanarko. 2021. Dinamika Negara Hukum.
Depok: Rajawali Pers
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. 2019. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal
1233 Sampai 1456 BW. Depok: Rajawali Pers.
Artikel Ilmiah
Gayo, Muhammad Farhan dan Heru Sugiyono. “Penerapan Asas Pacta Sunt
Servanda dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ruang Usaha”. JUSTITIA:
Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora. Vol. 8 No. 3. 2021.
Hilmy, Muhammad Irfan dan Muhammad Fadhali Yusuf. “Praktik dan Disparitas
Putusan Hakim Dalam Menetapkan Force Majeure di Indonesia”. Zaaken:
Journal of Civil and Bussiness Law. Vol. 1 No. 2. 2020.
Putranti, Yulia Ika. “Tinjauan Mengenai Force Majeure (Overmacht) Pada Formulir
Jaminan Pelaksanaan Surety Bond Serta Batas Kewenangan Suatu
Perusahaan Surety untuk Memeriksa Security Principal di PT. Asuransi
Jasa Raharja Putera Cabang Yogyakarta.”. e-journal uajy. Vol. 1 No. 9.
2014
Ramadhani, Dwi Aryanti, “Wanprestasi dan Akibat Hukumnya”. Jurnal Yuridis. Vol.
15 No. 17. 2012.
Rasuh, Daryl John. “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut
Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”. Jurnal
Lex Privatum. Vol. 4 No. 2. 2016.
Sinaga, Niru Anita. “Perspektif Force Majeure dan Rebus Sic Stantibus dalam
Sistem Hukum Indonesia”. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara–Fakultas
Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma. Vol. 11 No. 1. 2019.
Sumber Lainnya