Anda di halaman 1dari 35

RANCANGAN PENELITIAN GUNA

PENULISAN STUDI KASUS

A. JUDUL : STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH


AGUNG NOMOR:1929 K/PDT/2015 TENTANG PERBUATAN
MELAWAN HUKUM

B. IDENTITAS MAHASISWA

Nama : Sri Wahyuni

NIM : 1703101010239

Angkatan : 2017

Fakultas/Jurusan : Hukum/Ilmu Hukum

SKS Yang Telah Dicapai : 142 SKS

Mata Kuliah Wajib : Sudah

Alamat : Jalan Mangga, Komplek Villa Buana

Gardenia No. 80 Kecamatan Darul Imarah

Aceh Besar

C. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Pemilihan Kasus
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku
orang-orang sebagai anggota suatu masyaraka yang bertujuan untuk
mengadakan keselamatan, bahagia, dan tata tertib dalam masyarakat. 1 Hukum
perdata yang mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat
disebut “hukum perdata material” sedangkan hukum perdata yang mengatur

1
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung : Sumur Bandung, 1992),
hlm. 9
cara melaksakan dan mempertahankan hak dan kewajiban disebut “hukum
perdata formal” disebut hukum acara perdata.2
Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya
orang mengajukan perkara ke pengadilan, bagaimana caranya pihak yang
terserang kepentingannya untuk mempertahankan diri, bagaimana hakim
bertindak terhadap pihak-pihak yang berpekara sekaligus mengurus perkara
tersebut dengan adil, bagaimana cara melaksanakan putusan hakim,bertujuan
agar hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum perdata materiil itu
dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dengan hukum acara perdata
diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat.
Sehingga orang yang merasa hak perdatanya dilanggar tidak boleh
diselesaikan dengan menghakimi sendiri (eiginrichting), akan tetapi dapat
menyampaikan perkara tersebut ke pengadilan, yaitu dengan mengajukan
tuntutan hak (gugatan) terhadap pihak yang dianggap merugikannya agar
memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya.3
Dalam perkara perdata, gugatan yang diajukan pada umumnya
menyangkut bidang wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Perbuatan
melawan hukum Perbuatan melawan hukum atau disebut juga dengan
onrechtmatige daad ditafsirkan secara luas sehingga meliputi suatu hubungan
yang bertentangan dengan kesusilaan atau kebiasaan yang ada di masyarakat.
Perbuatan melawan hukum juga dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip
hukum yang bertujuan untuk mengatur perilaku berbahaya untuk memberikan
tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial dan untuk
menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan gugatan yang tepat. 4
Sebelum tahun 1919 perbuatan melawan hukum diartikan secara sempit

2
Abdulkadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2000), hlm. 3-4
3
Prayoga Heriyanto, Tinjauan Yuridis Pembatalan Perjanjian Sebagai Perbuatan
Melawan Hukum (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1051 K/PDT/2014), Bandar Lampung;
Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2020, hlm. 1-2

4
sebagai perbuatan yang melanggar aturan yang tertulis (undang-undang) saja,
Setelah adanya Arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari
1919 perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas, yakni mencakup
perbuatan yang melanggar undang-undang, perbuatan yang bertentangan
dengan hak orang lain, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban
hukumnya sendiri, perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaaan, dan
perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam
pergaulan masyarakat yang baik.5
Gugatan perbuatan melawan hukum memenuhi syarat sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang hukum Perdata yang
berbunyi: “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya
menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”. Timbulnya
adanya perbuatan melawan hukum dikarenakan adanya perikatan atau
perjanjian antara para pihak. Hukum perikatan ialah ketentuan-ketentuan
yang mengatur hak dan kewajiban subjek hukum dalam tindakan hukum
kekayaan, hukum perdata Eropa mengenal adanya perikatan yang
ditimbulkan karena undang-undang dan perikatan yang ditimbulkan karena
perjanjian. Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada satu orang atau lebih untuk saling berjanji untuk melakukan suatu
hal,6 Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian yang
dibuat secara sah yaitu berdasarkan syarat sahnya perjanjian dan berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Semua perjanjian
mengikat bagi mereka yang membuatnya dan memiliki hak serta kewajiban
untuk melakukan hal-hal yang ditentukan dalam perjanjian, sehingga setiap
orang dapat mengadakan perjanjian asalkan memenuhi syarat yang ditetapkan
dalam Pasal 1320 KUHPerdata.7
5
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2010, hlm.6
6
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1994), hlm. 25
7
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta :Radja Garfindo Persada,
2005) hlm.147
Dalam suatu perjanjian harus termuat beberapa unsur, yaitu ada para
pihak, ada persetujuan antara para pihak, ada satu atau ada beberapa tujuan
tertentu yang ingin dicapai, ada prestasi yang harus dilakukan, ada bentuk
tertentu dan ada syarat-syarat tertentu. 8 Dalam menjalankan perjanjian yang
sesuai dengan unsur unsur tersebut terkadang timbul kesalahan atau
pelanggaran yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. 9 Pelanggaran
terhadap perikatan yang timbul karena undang-undang ini dapat digugat
dengan gugatan perbuatan melawan hukum menurut pasal 1365 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana Alam, pemerintah dan pemerintah daerah menjadi
penangung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana maka
Gubernur Aceh selaku pemerintah bertanggung jawab atas pembangunan
pasca bencana alam dengan mengeluarkan Surat Perintah Mulai Kerja
(SPMK) tentang pelaksanaan pekerjaan perkuatan tanggul laut gampong
genteng barat di kecamatan batee (bencana alam) kepada PT. Kumala Raya.
Dalam hal ini PT. Kumala Raya telah melaksanakan pekerjaan kontruksi atas
dasar diterimanya Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) Nomor KU.602/A-
IRP/5353/2010 tanggal 20 Desember 2010 tentang Pelaksanaan Pekerjaan
Perkuatan Tanggul Laut Gampong Geunteng Barat di Kecamatan Bate
Kabupaten Pidie (bencana alam), SPMK tersebut menindak lanjuti surat yang
diterbitkan oleh Gubernur Aceh Nomor 360/71118 tanggal 23 Desember
2010 tentang Persetujuan Penerbitan SPMK untuk pekerjaan penanggulangan
bencana alam. Berdasarkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) tersebut PT.
Kumala Raya telah menyelesaikan pekerjaan tersebut 100% dengan nilai total
harga pekerjaan tersebut sebesar Rp.3.166.429.000,00 (tiga miliar seratus
enam puluh enam juta empat ratus dua puluh sembilan ribu rupiah) dan
terhadap pekerjaan tersebut PT. Kumala Raya tersebut baru sekali dilakukan

8
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008, hlm.
78
9
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta :2003,hlm.64
pembayaran yaitu sebesar Rp. 932.329.000,00 (sembilan ratus tiga puluh dua
juta tiga ratus dua puluh sembilan ribu rupiah) sesuai diatur dalam perjanjian
(kontrak) pembayaran konstruksi nomor KU.602-A/KPA-IRP/3533/2013
tanggal 28 November 2013 dan sisa nilai volume perkerjaan konstruksi
sebesar Rp.2.234.100.000,00 (dua miliar dua ratus tiga puluh empat juta
serratus ribu rupiah) belum dilakukan penuntasan pembayaran sisa nilai
pekerjaan tersebut, atas dasar perbuatan para Tergugat yang tidak ada
kejelasan mengenai pembayaran dan juga tidak mengajukan anggaran dana
untuk penuntasan pembayaran sisa nilai volune hasil pekerjaan PT. Kumala
Raya tersebut dalam APBA murni tahun 2013 dan APBA murni tahun 2014
yang terbukti tidak serupiahpun dialokasikan anggaran dalam DPA-SKPA
Dinas Pengairan Aceh sehingga atas sikap dan Tindakan Kepala Dinas
Pengairan Aceh, Gubernur Aceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA
telah melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (a
buse of power) yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sebagaimana
yang dimaksudkan dalam pasal 1365 KUHPerdata dan telah menimbulkan
kerugian bagi PT.Kumala Raya.
Ditingkat Pengadilan Negeri Aceh Nomor 31/Pdt.G/2014/PN.Bna.,
tanggal 25 Agustus 2014 dan Pengadilan Tinggi Aceh Nomor
06/PDT/2015/PT.BNA., tanggal 31 Maret 2015 manyatakan bahwa Tindakan
para Tergugat tidak membayar, mengusulkan dan mengalokasikan anggaran
Rp.2.234.100.000,00 (dua milyar dua ratus tiga puluh empat juta serratus ribu
rupiah) sudah termasuk PPn 10% dalam (APBA-P) tahun 2013 dan APBA
tahun 2014 untuk dibahas, ditetapkan dan disahkan oleh Tergugat III (DPRA)
adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa dan telah
menimbulkan kerugian materiil bagi PT.Kumala Raya (Penggugat).
Berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,
Mahkamah Agung ditingkat kasasi Nomor 1929 K/Pdt/2015 memutuskan
bahwa telah terjadi Judex Facti ditingkat Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh yang telah salah
menerapkan hukum. Dan ikatan perjanjian antara PT. Kumala Raya
(Penggugat) dengan Tergugat bukan selaku pribadi akan tetapi selaku badan
hukum perusahaan dengan para Tergugat selaku hukum publik sehingga
Penggugat selaku pribadi tidak mempunyai kapasitas atau hak sebagai
Penggugat dan berdasarkan hal tersebut gugatan tidak dapat diterima dan
cacat formil kemudian Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
membatalkan putusan pengadilan tinggi banda aceh nomor
06/PDT/2015/PT.BNA.,tanggal 31 Maret 2015 yang menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 31/Pdt.G/2014/PN.Bna., tanggal 25
Agustus 2014 serta Mahkamah Agung yang mengadili sendiri. Sehingga
menarik untuk dikaji lebih lanjut secara mendalam, oleh karena itu penulisan
studi kasus ini mencoba untuk meneliti dan menganalisis putusan Mahkamah
Agung tersebut pada bab selanjutnya.

2. Kasus Posisi
Adapun duduk perkara dalam kasus yang diputuskan oleh
Mahkamah Agung Nomor 1929 K/Pdt/2015 adalah sebagai berikut:
a. Bahwa gugatan perbuatan melawan hukum ini diajukan oleh
Penggugat yakni H. Shalihin Mahmud selaku Direktur PT. Kumala
Raya berkedudukan di Jalan Sentosa Nomor 1 Perumnas Rawa Sigli,
Kabupaten Pidie, memberikan kuasanya kepada Basrun Yusuf, S.H,
dan kawan-kawan melalui Surat Kuasa Khusus Pada Tanggal 15 Mei
2015. Pengggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum
terhadap para Tergugat yakni Kepala Dinas Pengairan Aceh disebut
sebagai Tergugat I, Gubernur Aceh disebut sebagai Tergugat II dan
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
b. Bahwa terjadinya hubungan hukum antara Penggugat dan Para
Tergugat berawal dari Tergugat I menerbitkan Surat perintah Mulai
kerja (SPMK) kepada perusahaan Penggugat (PT. Kumala Raya)
Nomor : KU.602/A-IRP/5353/2010 pada tanggal 29 Desember 2010
tentang Pelaksanaan Pekerjaan Perkuatan Tanggul Laut Gampong
Geunteng Barat di Kecamatan Bate, Kabupaten Pidie (Bencana Alam),
Surat Perintah Mulai Kerja tersebut adalah menindak lanjuti surat
Tergugat II Nomor : 360/71118 tanggal 23 desember 2010 tentang
Persetujuan Penerbitan SPMK untuk Pekerjaan Penanggulangan
Bencana Alam yang ditujukan kepada Tergugat I dan tembusannya
ditujukan juga kepada Tergugat III. Dictum ketiga dan keempat SPMK
(Surat Perintah Mulai Kerja) telah menyebutkan alokasi anggaran
untuk pekerjaan tersebut akan dialokasikan melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun Anggaran 2011 dan
APBA Tahun 2012.
c. Berdasarkan surat perintah mulai kerja (SPMK) tersebut PT. Kumala
Raya telah menyelesaikan pekerjaan tersebut 100% sesuai dengan foto
Visualisasi Pelaksanaan di lapangan dan Laporan hasil pemeriksaan
khusus inspektorat aceh yang ditanda tangani oleh pejabat pelaksana
teknis kegiatan (PPTK) Tergugat I dan Tim Pemeriksa Inspektorat
Aceh, dan sebagaimana disebut dalam perhitungan Nilai Fisik
Perkuatan Tanggul Laut Gampong Genteng Barat Kecamatan Batee
Kabupaten Pidie bahwa total nilai harga pekerjaan tersebut seluruhnya
berjumlah Rp. 3.166.429.000,00 (tiga milyar seratus enam puluh enam
puluh juta empat ratus dua puluh sembilan ribu rupiah). terhadap
pembayaran pekerjaan tersebut baru sekali dilakukan pembayaran oleh
Tergugat I dan Tergugat II atas Sebagian nilai volume hasil pekerjaan
Penggugat yaitu dengan Anggaran APBA tahun 2013 yaitu Rp.
932.329.000,00 (Sembilan ratus tiga puluh juta tiga ratus dua puluh
Sembilan ribu rupiah) sebagaimana telah diatur dalam Perjanjian
(Kontrak) Pembayaran Konstruksi Nomor :
KU.602-A/KPA-IRP/3533/2013 tanggal 28 November 2013 dan Berita
Acara Penyerahan Pertama Pekerjaan (Provisional Hand Over)
Nomor : 009/PHO/BA-IRP/XII/2013 tanggal 05 Desember 2013.
d. Bahwa terkait pembayaran dengan sisa volume pekerjaan tersebut
sebesar Rp. 2.234.100.000,00 ( dua milyar dua ratus tiga puluh empat
juta seratus ribu rupiah) masih belum dibayar oleh Tergugat I,
Tergugat II atau masih belum diusul, dialokasikan dan disahkan oleh
Tergugat III dalam APBA. Dalam penuntasan pembayaran sisa nilai
pekerjaan Penggugat telah beberapa kali dibahas dalam agenda Rapat
Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA) dengan hasil
rapat bahwa “FORKOPIMDA” mendukung sepenuhnya agar
dilakukan pembayaran sesuai dengan nilai riil pekerjaan di lapangan.
Selanjutnya dalam Resume Rapat Pembahasan Penyelesaian
Penanganan Darurat (Bencana Alam) Infrastruktur Pada Dinas
Pengairan Aceh yang diselenggarakan pada hari selasa tanggal 16 juli
2013 yang menyimpulkan bahwa :
1. Unsur BPK sepakat dilakukan pembayaran dengan terlebih dahulu
dilakukan penilaian administrasi, penilaian harga satuan, opname
fisik dan manfaat proyel dan seluruh kegiatan harus tertuang dalam
APBA, namun dikarenkana masalah pengangggaran sudah lewat,
maka harus menunggu dianggarakan Kembali pada APBA-
Perubahan atau APBA tahun 2014 hal tersebut terlebih dahulu akan
dibicarakan dan dipertimbangkan dengan DPRA.
2. Unsur BPKP setuju untuk disegerakan penuntasan pembayaran
sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Unsur Staf Ahli Gubernur Aceh bidang ekonomi dan keuangan
pemerintah Aceh bekerja keras mengupayakan penuntasan
pembayaran dan proses anggaran bukan di Dinas akan tetapi di
DPRA yang akan dianggarkan dalam APBA murni tahun 2013 dan
APBA-P
4. Meskipun dalam resume hasil rapat menyimpulkan untuk segera
dilakukan penuntasan pembayaran sisa nilai volume pekerjaan
penggugat dengan menganggarkan dananya dalam APBA dan atau
APBA-P, akan tetapi dalam APBA-P tahun 2013 maupun APBA
murni tahun 2014 terbukti bahwa tidak ada serupiahpun
dialokasikan anggaran untuk penuntasan pembayaran sisa nilai
volume Pekerjaan penggugat, Sehingga Sikap dan tindakan
tergugat I, tergugat II dan tergugat III tersebut termasuk perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa atau (a buse of
power) yang bertentangan dengan kewajiban hukum tergugat I,
tergugat II dan tergugat III.
5. Bahwa akibat sikap dan tindakan tergugat I,II, dan II yang tidak
membayar lunas sisa nilai volume pekerjaan penggugat sejak tahun
2011 penggugat mengalami kerugian secara material yang
berkepanjangan disebabkan penggugat terlilit hutang dalam
membayar harga upah bahan yang belum lunas bayar kepada pihak
ketiga yang sudah menggugat gunakan dalam menyelesaikan
pekerjaan tersebut.
6. Bahwa penggugat melalui koordinator rekanan yang melaksanakan
pekerjaan darurat bencana alam dengan SPMK Dinas Pengairan
Aceh telah berusaha menjumpai tergugat I dan tergugat II untuk
mempertanyakan mengapa tidak diusulkan, dialokasikan anggaran
dalam APBA- P tahun 2013 dan dalam APBD murni tahun 2014
namun jawaban dari tergugat I dan tergugat II saling melempar
tanggung jawab antara satu sama lain, maka karena sikap dan
tindakan tergugat 1 tergugat 2 saling melempar tanggung jawab
maka penggugat bersama rekan lainnya menyurati tergugat II
dengan surat nomor istimewa tanggal 10 Febuari 2014 perihal
pemberitahuan dan mohon pembayaran sisa harga volume
pekerjaan darurat tembusannya dikirimkan kepada Tergugat III.
7. Bahwa seluruh rangkaian tindakan Tergugat I, Tergugat II dan
Tergugat II sebagaimana yang didalilkan tersebut di atas
merupakan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh para
Tergugat karena telah bertentangan dengan kewajiban hukum
tergugat sehingga menimbulkan kerugian materiil bagi penggugat.

3. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang dan kasus posisi yang telah diuraikan di
atas, yang menjadi permasalahan dalam penulisan studi kasus terhadap
putusan Mahkamah Agung No. 1929 K/Pdt/2015 adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar pertimbangan Majelis Hakim Agung untuk mengadili
sendiri putusan mahkamah agung No. 1929 K/Pdt/2015 tentang
Perbuatan Melawan Hukum tersebut?
2. Apakah putusan hakim Majelis Hakim Agung telah sesuai dengan tujuan
hukum yaitu keadilan dan kepastian hukum dan kemanfaatan bagi pihak
yang berpekara?

4. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian


Penelitian ini dilakukan terhadap sebuah putusan Mahkamah Agung
dengan menggunakan metode studi kasus. Ruang lingkup penelitian ini
membahas tentang putusan Mahkamah Agung Nomor 1929 K/Pdt/2015 yang
mengadili sendiri perkara tersebut dengan alasan telah terjadi Judex facti pada
putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Banda Aceh. Sehubung dengan permasalahan yang telah diuraikan di
atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk menganalisis dan mencari
jawaban atas permasalahan tersebut dengan upaya sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan dasar pertimbangan yang digunakan majelis hakim
dalam putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi Nomor 1929
K/Pdt/2015 tentang Perbuatan melawan hukum sehingga mengadili
sendiri perkara tersebut.
2. Untuk mengetahui majelis hakim mahkamah agung dalam putusan
Nomor 1929 K/Pdt/2015 apakah telah sesuai dengan tujuan hukum yaitu
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi pihak yang berpekara.

5. Keaslian Penelitian
Berdasarkan dari hasil kepustakaan terdapat beberapa literatur dan
penelitian yang berhubungan dengan judul “Studi Kasus Putusan Mahkamah
Agung Nomor:1929K/Pdt/2015 tentang Perbuatan Melawan Hukum”.
Adapun studi kasus yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Diana Putri Trisna Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
dalam Skripsi Sttudi kasusnya yang berjudul “Studi Kasus Putusan
Tinggi DKI Jakarta Nomor: 366/PDT.G/2012/PT.DKI tentang Perbuatan
Melawan Hukum”. Studi kasus ini menjelaskan tentang bagaimana
pertimbangan hakim dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh penyidik KPK yang melakukan Tindakan penyitaan
terhadap barang barang milik Penggugat yang tidak mempunyai relevansi
dengan tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya.
2. Heni Septia Adinda Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh dalam Skripsi dalam studi kasusnya yang berjudul “Studi Kasus
Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor:
183/PDT/2013/PT.DKI tentang Perbuatan Melawan Hukum yang
dilakukan notaris dalam pembuatan akta autentik”. Studi kasus ini
menjelaskan tentang pertimbangan hukum dari hakim dalam putusan
pengadilan tinggi DKI Jakarta Nomor 183/PDT/2013/PT.DKI yang
menyatakan tergugat tidak seksama dalam menjaga kepentingan para
pihak sehingga ada pihak yang dirugikan . tidak terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum, dan untuk menjelaskan apakah pertimbangan
hakim tersebut telah sesuai dengan tujuan hukum yang memberikan
keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum bagi pihak yang berperkara.
3. Penelitian oleh Arga Fredy Rakasiwi dalam skripsinya yang berjudul
“Proses Penyelesaian Perkara Perbuatan Melawan Hukum atas
Pelaksanaan Pembangunan Gedung antara PT. Mumpuni dan Pemborong
yang Diambil Alih Secara Sepihak (Studi Kasus di Pengadilan Negeri
Sukoharjo)”. Tujuan penulis ini membahas pertimbangan hakim dalam
menentukan pembuktian, menentukan putusan, dan akibat hukum dalam
perkara perbuatan melawan hukum atas pelaksanaan pembangunan
gedung antara PT. Mumpuni dan pemborong yang diambil alih secara
sepihak.
4. Jurnal oleh Syukron Salam dalam Jurnalnya yang berjudul
“Perkembangan Doktrin Perbuatan Melawan Hukum Penguasa”. Tujuan
penulis ini mengkaji tentang kompetensi Pengadilan dalam memutuskan
perkara Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Penguasa.
Berdasarkan keempat penelitian yang diteliti oleh peneliti lain diatas,
bahwa keempat penelitian dan studi kasus tersebut memiliki perbedaan
dengan studi kasus yang akan dikaji. Studi kasus yang pertama lebih
difokuskan Perbuatan melawan hukum yan dilakukan penyidik KPK
(penguasa) dengan melakukan penyitaan barang milik penggugat yang tidak
punya relevansi dengan dakwaan yang jatuhkan kepada Penggugat. Studi
kasus yang kedua difokuskan pada Perbuatan notaris tersebut tidak seksama
dalam menjaga kepentingan para pihak sehingga ada pihak yang dirugikan
dalam pembuatan akta autentik tersebut. Penelitian ketiga difokuskan pada
pelaksanaan pembangunan gedung dengan diambil secara sepihak. Penelitian
keempat difokuskan pada kompetensi hakim perdata dalam memeriksa
perkara perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Penguasa.
Sedangkan tujuan dari studi kasus yang akan diteliti ini berbeda dengan
keempat penelitian yang tersebut diatas, perbedaannya ialah Makalah Agung
berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi Banda Aceh telah melakukan Judex
facti dalam menguatkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh telah salah
menerapkan hukum yang memutuskan bahwa tergugat telah melakukan
Perbuatan melawan hukum dan mencakup semua proses peradilan.
Berdasarkan penelitian dan studi kasus yang telah diteliti oleh peneliti
lain tersebut, dalam hal ini saya menyatakan bahwa Tugas akhir dalam bentuk
studi kasus dengan judul “Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Agung
Nomor:1929 K/Pdt/2015 Tentang Perbuatan Melawan Hukum” belum pernah
ditulis oleh orang lain.

6. TINJAUAN TEORITIK
A. Teori Pejanjian Kontrak Kerja Konstruksi dan Perbuatan Melawan
Hukum
1. Pengertian Perjanjian
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan
orang yang lain.7 Perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan
hukum itu timbul karena adanya peristiwa hukum yang dapat berupa
perbuatan, kejadian, dan keadaan. Perikatan lahir karena suatu
persetujuan atau karena undang-undang. Menurut Soebekti, Perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Perikatan meimbulkan “kewajiban” kepada orang perorangan atau
pihak tertentu yang berwujud salah satu dari tiga bentuk berikut, yakni:
a. Untuk memberikan sesuatu
b. Untuk melakukan sesuatu
c. Untuk tidak melakukan sesuatu
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang memiliki akibat
hukum untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban.10 Definisi
perjanjian sebenarnya telah diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih” merujuk definisi tersebut dinilai memiliki kelemahan yang perlu
dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah yaitu:
a. Hanya menyangkut sepihak saja.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
d. Tanpa menyebut tujuan11
Berdasarkan alasan tersebur maka perjanjian dapat dirumuskan
bahwa “Perjanjian merupakan suatu perjanjian dimana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai
harta kekayaan”. Maka perjanjian itu mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:

10
http://www.legalakses.com/perjanjian/ diakses pada 29 Januari 2020
11
Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hlm.224
a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang (subjek)
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu (consensus)
c. Ada objek yang berupa benda
d. Ada tujuan bersifat kebendaan (mengenai harta kekayaan)
e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Subjek hukum dalam pekerjaan konstruksi dapat berbentuk firma
(Fa), Persatuan komanditer (CV), Perseroan terbatas (PT), dan Badan
Usaha Koperasi. Badan hukum disini sebagai subjek hukum dapat
bertindak sebagai manusia. Dalam pembuatan perjanjian, jika badan
hukum bertindak sebagai subjek hukum, maka harus diwakili oleh
orang atau manusia. Dan manusia sebagai wakil itu harus bisa bertindak
melakukan perbuatan hukum sesuai Pasal 1330 KUH Perdata.
Objek perjanjian segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum,
objek dalam sebuah perjanjian adalah prestasi. Prestasi merupakan hal
yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak, dalam perjanjian
pekerjaan konstruksi penyedia jasa memiliki kewajiban untuk
melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perjanjian
dan pengguna jasa berkewajiban untuk membayar biaya pekerjaan
sesuai yang sudah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam melakukan
perbuatannya, penyedia jasa harus mematuhi semua ketentuan dalam
perjanjian, penyedia jasa juga bertanggungjawab atas perbuatannya
yang tidak sesuai dengan ketentuan perjanjaan.
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila telah memenuhi syarat-
syarat yang ditetapkan oleh undang-undang, hal ini telah diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata :
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecapakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu pokok persoalan tertentu;
d. Suatu sebab yang tidak terlarang
Syarat pertama dan kedua dinamakan syarat subjektif, dikarenakan
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian dan subjek yang
mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir dinamakan
syarat objektif, dikarenakan mengenai perjanjian itu sendiri atau objek
dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
a. Syarat yang pertama yaitu sepakat, bahwa kedua pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiya-
sekata mengenai hal-hal perjanjikan atau yang diadakan. Apa
yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh
pihak yang lainnya.
b. Syarat yang kedua yaitu cakap, bahwa orang yang membuat
suatu perjanjian haruslah cakap menurut hukum, setiap orang
yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut
hukum. Dalam Pasal 1330 KUH Perdata yang disebut sebagai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah sebagai berikut :
1. Anak yang belum dewasa;
2. Orang yang berada di bawah pengampuan;
3. Perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan
undang-undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh
undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan
tertentu.
c. Syarat yang ketiga yaitu suatu hal tertentu, artinya ialah apa
yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak,
yaitu prestasi. Jika terjadi perselisihan atau prestasi tersebut
tidak jelas atau bahkan tidak mungkin dilaksanakan, maka
perjanjian itu batal.
d. Syarat yang terakhir yaitu adanya sebab yang halal, sebab
dalam hal ini dimaksudkan bahwa tidak ada lain dari pada isi
dari perjanjian tersebut, sebab itu adalah sesuatu yang
menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang perjanjikan
dan menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak
Menurut ketentuan pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa adanya persetujuan
kedua belah pihak, maka akibat dari suatu perjanjian yakni sebagai
berikut:
a. Perjanjian Berlaku Sebagai Undang-Undang,
Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan
memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang
membuatnya. Setiap pihak diharuskan untuk menaati perjanjian
tersebut sama dengan menaati undang-undang. Apabila ada
pihak yang melanggar suatu perjanjian yang sudah diperjanjikan
maka ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang dan
dapat diberikan sanksi hukum.
b. Perjanjian Tidak Dapat Ditarik Kembali Secara Sepihak
Perjanjian dibuat dengan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Oleh karena itu, perjanjian tidak bisa dibatalkan secara sepihak
tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini wajar agar
kepentingan pihak lain terlindungi. Jika terjadi pembatalan
terhadap perjanjian tersebut, harus ada kesepakatan pula antara
kedua belah pihak. Pembatalan secara sepihak hanya
dimungkinkan jika ada alasan yang cukup oleh undang-undang.
c. Perjanjian Dilaksanakan dengan Iktikad Baik
Setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan penuh kejujuran.
Yang dimaksud dengan iktikad baik dalam Pasal 1338 KUH
Perdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan
perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jika terjadi perselisihan
tentang pelaksanaan dengan iktikad baik, hakim diberikan
wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai
pelaksanaan, apakah ada pelanggaran terhadap norma tersebut.12

2. Hukum Jasa Konstruksi


Perkembangan jasa konstruksi di Indonesia sangat bergantung pada
tingkat pembangunan direncanakan pemerintah, terutama yang
berkaitan dengan proyek-proyek infrastuktur yang dilaksanakan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat atas fasilitas kepentingan umum.
Perkembangan konstruksi juga adanya faktor darurat seperti terjadi
bencana alam di suatu daerah yang mengakibatkan untuk segera
dilakukan pembangunan pasca bencana alam tersebut.
Pembangunan pasca bencana alam menjadi tanggung jawab dan
wewenang pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang No.24 Tahun2007 Tentang Penanggulangan
Bencana Alam maka siklus penanggulangan bencana terdiri dari pra
bencana (mitigasi), tanggap darurat dan pasca bencana (rehabilitasi dan
rekonstruksi).13 Pembangunan rekonstruksi pasca bencana alam
tindakan memulihkan kondisi fisik melalui pembangunan prasarana dan
sarana pemukiman, pemerintahan dan pelayanan masyarakat. 14 Dalam
melaksanakan rekontruksi tersebut maka diperlukan adanya perjanjian
atas kontrak kerja rekonstruksi tersebut.

12
Muhammad Arief Albi, 2018, “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pekerjaan Jasa Konstruksi
Pemeliharaan Jalan Antara Pemerintah Kota Metro Dan Cv Trisatu Jaya.” Program studi ilmu
hukum Universitas Lampung
13
Teddy Rifaldy,Nurul Malahayati,Nurisra, “Pengaruh Peran Pemerintah dan
Masyarakat Terhadap Kinerja Prakonstruksi Perumahan Pasca Bencana di Kabupaten Pidie
Jaya” : Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, Journal of The Cipil Engineering student Vol.1.
No.3, Desember 2019, ISSN 2685-0605 hlm.135
14
Sri Wahyuni, “Peran Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Aceh Dalam Rehabilitasi
Dan Rekonstruksi Pembangunan Perpustakaan Pasca Tsunami Aceh,” Program Studi Ilmu
Perpustakaan dan Informasi Islam Institut Agama Islam Negeri Batusangkar Padang, ADABIYA,
Vol.22 No.1 Febuari 2020, hlm. 84
Perjanjian didefinisikan sebagai suatu peristiwa dimana seorang
berjanji kepada orang lain atau dua orang untuk saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini menimbulkan suatu
hubungan antara dua orang tersebut yang disebut sebagai
perikatan. sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian menerbitkan
sesuatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. 15 Sedangkan
definisi perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo, adalah suatu
perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat dalam menimbulkan akibat hukum.16 Dalam layanan jasa
konstruksi terdapat dua pihak yang mengadakan hubungan kerja
berdasarkan hukum, yakni pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna
jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau
pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan
usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Dalam pelaksanaan
pekerjaan konstruksi, pihak penyedia jasa dapat berfungsi sebagai sub-
penyedia jasa dari penyedia jasa lainnya yang berfungsi sebagai
penyedia jasa utama.17
Hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa
konstruksi diikat dengan perjanjian yang dikenal dengan perjanjian
pekerjaan konstruksi atau kontrak konstruksi. Pekerjaan Konstruksi
adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan,
pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan
kembali suatu bangunan. Perjanjian pekerjaan konstruksi memberikan
hak dan kewajiban yang sama antara kedua belah pihak. Pengguna jasa
mendapatkan hak atas hasil jasa konstruksi dan kewajibannya untuk
15
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, hlm. 22)
16
Zainal Asikin, Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah dan Swasta dalam Penyediaan
Infrastruktur Publik”, Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Mataram MIMBAR
HUKUM Vol.25 No.1 Febuari 2013, hlm 55-67
17
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, cet.4, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2010), hlm. 585
memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak penyedia jasa untuk
memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya
melaksanakan layanan jasa konstruksi. Kewajiban tersebut menurut
Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat
18
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Maka dari itu setiap
perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat
hukum, penyedia jasa berkewajiba untuk menyelesaikan pekerjaan
konstruksi sesuai apa yang telah diperjanjikan dan pengguna jasa
berkewajiban untuk membayar atas pekerjaan konstruksi dan berhak
atas suatu pekerjaan konstruksi yang telah dikerjakan oleh penyedia
jasa. Adanya kontrak kerja konstruksi antara pengguna jasa dan
penyedia jasa ini berguna untuk memberikan kepastian hukum lebih
rendah menjadi nilai ekonomi yang lebih tinggi, sehingga apabila
pelaksanaan perjanjian pekerjaan konstruksi tersebut tidak sesuai
pemenuhan hak dan kewajiban antara para pihak dengan isi dalam
kontrak, serta ketentuan dalam peraturan perundang-undangan maka
nantinya akan menimbulkan akibat hukum tersendiri.
Dasar hukum kontrak kerja konstruksi diantaranya adalah Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, peraturan
presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang telah diubah dalam Peraturan Presiden Nomor 70
Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan juga
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Kontrak kerja konstruksi juga diatur
dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
yang menganut asas kebebasan dalam membuat perjanjian (beginsel
der

18
Gunawan Widjaja, Hapusnya Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.1
Contractsvrijheid).dan berlaku bagi kontrak kerja konstruksi pada
proyek swasta maupun kontrak kerja konstruksi proyek pemerintah,19
Pemilihan penyedia jasa konstruksi, pelaksana konstruksi, dan
pengawas konstruksi oleh pengguna jasa dapat dilakukan dengan
beberapa cara antara lain;
a. Pelelangan umum, dilakukan secara terbuka dengan pengumuman
secara luas melalui media massa, media cetak dan papan
pengumuman resmi untuk umum sehingga masyarakat luas dunia
usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat
mengikutinya.20
b. Pelelangan terbatas, diperuntukan untuk pekerjaan tertentu yang
diikuti oleh penyedia jasa yang telah dinyatakan lulus prakualifikasi
dan jumlahnya diyakini terbatas dengan pengumuman secara luas
melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk umum
sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat dan memenuhi
kualifikasi dapat mengikutinya. Pemilihan penyedia jasa dengan
cara pelelangan terbatas, dilakukan untuk pekerjaan yang
mempunyai risiko tinggi dan atau mempunyai teknologi tinggi.21
c. Pelelangan Langsung, untuk paket pengadaan pekerjaan yang tidak
kompleks dan bernilai paling tinggi Rp.5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah) dapat dilakukan dengan:
a. Pelelangan Sederhana untuk pengadaan barang/jasa lainnya;
atau
b. Pemilihan langsung untuk pengadaan pekerjaan konstruksi
Seperti dijelaskan di atas, pada prinsipnya metode pemilihan
19
Rizki Wahyu Sinatria Pianandita,“Bab 2: Kajian teori mengenai hukum kontrak
konstruksi, sengketa publik dan privat dari pemerintah,serta arbitrase sebagai sarana
penyelesaian sengketa”, www.lontar.ui.ac.id, diakses tanggal 25 Januari 2020, pukul 14.36 WIB
20
Pasal 1 ayat (1) PP No.29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi
21
Ahmad Nopriansyah,2018 Perjanjian Kerja Konstruksi Pembangunan Jalan Raya
(Studi Pada PT. Rindang Tiga Satu Pratama), Program studi ilmu hukum Fakultas hukum
Universitas Lampung
barang dan jasa menggunakan pelelangan umum, namun
demikian menjadi tidak efisien apabila paket yang kategorinya
sederhana (tidak kompleks) dan nilainya kecil menggunakan
metode pelelangan umum mengingat proses pelelangan umum
membutuhkan waktu yang relatif panjang. Oleh karena itu pada
paket yang nilai pengadaannya kecil dan kategorinya
barang/jasa sederhana dapat menggunakan metode pelelangan
sederhana. ditetapkan Perpres No. 70 Tahun 2012 sebesar paling
tinggi Rp 5.000.000.000 Khusus untuk pekerjaan konstruksi
terminologi yang digunakan bukan pelelangan sederhana
melainkan pemilihan langsung dengan maksud yang sama. Hal
ini disebabkan untuk pekerjaan konstruksi terminologi metode
pemilihan telah juga dibahas pada peraturan perundangan yang
lebih tinggi dan tidak mengenal pelelangan sederhana. Maka
istilah pelelangan sederhana di pekerjaan konstruksi
menggunakan pemilihan langsung.
c. Pelelangan cepat
Pelelangan ini penyedia barang/konstruksi/jasa lainnya
dengan memanfaatkan informasi penyedia barang dan jasa yang
tidak memerlukan penilaian kualifikasi, administrasi dan teknis.
Proses ini membuat lelang menjadi sangat sederhana karena
waktunya singkat hanya 3 hari dan tidak diperlukan sanggahan
pertama dan sanggahan banding. Metode lelang cepat ini
kompetisi hanya terkait dengan harga penawaran. Pelelangan ini
hanya digunakan untuk pengadaan barang dan jasa yang secara
teknis sederhana dan standar sehingga semua penawaran
dianggap memenuhi syarat administrasi dan teknis.

d. Penunjukan Langsung
Pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1
(satu) penyedia barang/jasa. Berbeda dengan prinsip pengadaan
menggunakan sistem pelelangan umum, maka dengan syarat
tertentu (exception from normal condition and special goods)
metode pemilihan dapat dengan penunjukan langsung. Prinsip
terbuka dan bersaing memang tidak menjadi alasan metode
penunjukan langsung, namun demikian prinsip efisiensi dan
efektivitas dapat dijadikan justifikasi metode ini. Oleh karena itu
ditekankan bahwa di luar syarat yang di atur maka perlakuan khusus
dengan melakukan penunjukan langsung tidak diperkenankan.
Metode penunjukan langsung terhadap penyedia barang/ pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya dapat dilakukan dalam hal:
1. Keadaan tertentu; dan/atau
2. Pengadaan barang khusus/pekerjaan konstruksi khusus/jasa
lainnya yang bersifat khusus.
Kriteria keadaan tertentu meliputi:
1. Penanganan darurat yang tidak bisa direncanakan sebelumnya
dan waktu penyelesaian pekerjaannya harus segera/tidak dapat
ditunda untuk:
a. Pertahanan negara;
b. Keamanan dan ketertiban masyarakat;
c. Keselamatan/perlindungan masyarakat yang pelaksanaan
pekerjaannya tidak dapat ditunda/ harus dilakukan segera,
termasuk:
1) Akibat bencana alam dan/atau bencana non alam
dan/atau bencana sosial;
2) Dalam rangka pencegahan bencana; dan/atau
3) Akibat kerusakan sarana/prasarana yang dapat
menghentikan kegiatan pelayanan publik.
Termasuk dalam penanganan darurat adalah tindakan darurat untuk
pencegahan bencana dan/atau kerusakan infrastruktur yang apabila tidak
segera dilaksanakan dipastikan dapat membahayakan keselamatan
masyarakat. Penanggulangan bencana alam dengan penunjukan langsung
dapat dilakukan terhadap penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa
lainnya yang sedang melaksanakan kontrak pekerjaan sejenis terdekat
dan/atau yang dinilai mempunyai kemampuan peralatan, dan tenaga yang
cukup serta berkinerja baik. yang dimaksud dengan bencana alam antara
lain: berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor; bencana non alam antara lain berupa gagal
teknologi, Kejadian Luar Biasa (KLB) akibat epidemi, dan wabah
penyakit; dan bencana sosial seperti konflik sosial antar kelompok atau
antar komunitas masyarakat dan teror. Penanganan keadaan darurat
urgensinya sangat tinggi, kebutuhan atas barang/jasa dalam keadaan
darurat tidak dapat ditunda maka dilakukan dengan penunjukan langsung.
2. Pekerjaan penyelenggaraan penyiapan konferensi yang
mendadak untuk menindaklanjuti komitmen Internasional dan
dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden. Pekerjaan ini juga
termasuk yang urgensinya sangat tinggi, 29 kebutuhan atas
barang/jasa dalam keadaan ini tidak dapat ditunda karena dapat
berakibat pada citra negara di mata Internasional maka
dilakukan dengan penunjukan langsung.
3. Kegiatan menyangkut pertahanan negara yang ditetapkan oleh
Menteri Pertahanan serta kegiatan yang menyangkut keamanan
dan ketertiban masyarakat yang ditetapkan oleh Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Kegiatan bersifat rahasia untuk kepentingan intelijen dan/atau
perlindungan saksi sesuai dengan tugas yang ditetapkan dalam
peraturan perundangundangan; pekerjaan rahasia dimaksud
antara lain merupakan kegiatan memberikan perlindungan
kepada saksi dan korban di lembaga perlindungan saksi dan
korban atau kegiatan rahasia lain yang dilakukan oleh Badan
Intelijen Negara, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan
Lembaga Sandi Negara.
Berdasarkan Pasal 1 Angka (8) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa kontrak kerja
konstruksi ialah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan
hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan
jasa konstruksi. Pada dasarnya, kontrak kerja konstruksi dibuat secara
terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari
kontrak kerja konstsruksi untuk pekerjaan perencanaan, pekerjaan
pelaksanaan dan pekerjaan pengawasan. Menurut ketentuan Pasal 39
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi para pihak
yang ikut serta dalam perjanjian konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan
penyedia jasa. Pengguna jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang
menggunakan layanan jasa konstruksi, sedangkan penyedia jasa adalah
pemberi layanan jasa konstruksi.22
Kontrak kerja konstruksi mengikuti hukum yang berlaku di
Indonesia dan mengikuti perkembangan kebutuhan dan pelaksaanaanya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
Tentang Jasa Konstruksi kontrak kerja konstruksi paling sedikit harus
mencakup uraian mengenai:
1. Para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
2. Rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang
lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan
batasan waktu pelaksanaan;
3. Masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu
pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab
Penyedia Jasa;
4. Hak dan kewajiban yang setara, memuat hak pengguna jasa
untuk memperoleh hasil jasa konstruksi dan kewajibannya

22
Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak
penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa
serta kewajibannya melaksanakan layanan jasa konstruksi;
5. Penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban
memperkerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat;
6. Cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban
pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan
konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;
7. Wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam
hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana diperjanjikan;
8. Penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara
penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
9. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang
pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak
dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
10. Keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang
timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
11. Kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban
penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan
dan jangka waktu pertanggungjawaban kegagalan bangunan;
12. Perlindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban
para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja
serta jaminan sosial;
13. Perlindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan
pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu
peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan
kecelakaan dan/atau kematian;
14. Aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam
pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
15. Jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum
kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau
akibat dari kegagalan bangunan; dan
16. Pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.

3. Perbuatan Melawan Hukum


Perbuatan melawan hukum dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga)
kategori dari perbuatan melawan hukum yaitu:
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur
kesengajaan maupun kelalaian)
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Untuk dapat dikatakan seseorang telah melakukan perbuatan
melawan hukum maka haruslah dipenuhi syarat-syata perbuatan
melawan hukum. Menurut Purwahid Patrik bahwa suatu perbuatan
dikatakan melawan hukum apabila telah memenuhi unsur yaitu:23
a. Harus ada perbuatan
b. Perbuatan tersebut harus melawan hukum
c. Harus ada kesalahan
d. Harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan dan
kerugian
e. Harus ada kerugian.
Sedangkan menurut Munir Fuady sesuai dengan ketentuan Pasal
1365 KUH Perdata, suatu perbuatan melawan hukum haruslah
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya suatu perbuatan
b. Perbuatan tersebut melawan hukum
c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku
d. Adanya kerugian bagi korban

23
Purwahid Patrik, Dasar Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari
Perjanjian Dan Undang-Undang), CV. Mandar Maju, 1994, hlm. 78
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan
kerugian.24
Suatu perbuatan melawan hukum dianggap sebagai kelalaian,
haruslah memenuhi unsur pokok sebagai berikut:
a. Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang
semestinya dilakukan
b. Adanya suatu kewajiban keahati-hatian
c. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut
d. Adanya kerugian bagi orang lain
e. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak
melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul.25
Penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa perbuatan melawan
hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari
perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang-
undang, bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan
kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan
ketertiban umum atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat
baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu
perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap
harus dapat dipertanggungjawabkan termasuk mengandung unsur
kesalahan atau tidak.26
Menurut R. Setiawan, kerugian akibat perbuatan melawan hukum
yang dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum harus
memenuhi keempat unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana

24
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2013, hlm.10
25
Ibid, hlm. 73
26
Rivo Krisna Winastri, Ery Agus Priyono, Dewi Hendrawati, Tinjauan Normatif
Terhadap Ganti Rugi Dalam Perkara Perbuatan Melaan Hukum yang Menimbulkan Kerugian
Immaterial (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 568/1968.G)
Diponegoro Law Journal Vol.6 No.2 Tahun 2017
dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata jo.Arret Hoge perkara Cohen
versus Lindenbaum yakni sebagai berikut:27
a. Adanya suatu perbuatan yang melanggar suatu hak hukum
orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pembuat, atau bertentangan dengan kesusilaan atau kepatutan
dalam pergaulan hidup dalam masyarakat perihal
memperhatikan kepentingan orang lain.
b. Adanya kesalahan pada diri si pembuat, yang dilakukan
dengan sengaja atau tidak sengaja.
c. Adanya kerugian pada diri penggugat, dan
d. Adanya hubungan kausal (sebab akibat) antara kesalahan si
pembuat dengan kerugian yang ditimbul.
Maka untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum,
selain dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum harus dibuktikan
adanya unsur kerugian, kesalahan dan hubungan kausalitas antara
kerugian dan kesalahan.

4. Pertimbangan Judex Facti Pada Gugatan Perbuatan Melawan


Hukum
Dalam putusan Mahkamah Agung tingkat Kasasi Nomor 1929
K/Pdt/2015 berpendapat bahwa telah terjadi Judex Facti ditingkat
Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang putusannya menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Banda Aceh yang telah salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa ikatan perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat
dilakukan bukan antara Penggugat selaku pribadi tetapi perjajian
tersebut dilakukan antara Penggugat selaku badan hukum publik,
sehingga Penggugat selaku pribadi tidak mempunyai kapasitas atau
hak sebagai Penggugat dalam perkara tersebut, oleh karena itu

27
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kedua, Binacipta, Bandung,
2004, Hlm.75
gugatan Penggugat cacat formil sehingga gugatan tidak dapat
diterima”
Dalam putusan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Agung
menyatakan gugatan tersebut tidak diterima, hal ini yang mendasari
Tergugat II mengajukan alasan permohonan kasasi bahwa telah terjadi
kelalaian, kekeliruan, telah tidak menerapkan hukum yang berlaku.
Alasan-alasan dalam mengajukan permohonan kasasi telah ditentukan
dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:
1. Tidak berwenang (baik itu kewenangan absolut mauapun
relatif) untuk melampaui batas wewenang.
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.
3. Lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturang perundang-undangan yang mengancam kelalaian
dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Bahwa majelis hakim Mahkamh Agung dalam memeriksa dan
mengadili gugatan perkara Penggugat tidak sesuai dengan Pasal 92 ayat
(1), Pasal 97 ayat (1), Pasal 98 ayat (1) (2) Undang Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi,
Pasal 92 Ayat (1) ;
“Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”.
Pasal 97 Ayat (1)
“Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana
dalam Pasal 92 Ayat (1)”.
Pasal 98
Ayat (1) “Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar
pengadilan (2) dalam hal anggota Direksi terdiri dari 1 (satu) orang,
yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi,
kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar”.
Ayat (2) “Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak
bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini,
anggaran dasar,atau keputusan RUPS”.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Majelis Hakim
Mahkamah Agung dalam membuat putusan Kasasi tersebut telah nyata
dalam membuat pertimbangan putusan perkara tersebut tidak
mencermati kedudukan legal standing dan kapasitas Penggugat baik
yang tertera dalam identitas Pengugat dalam surat gugatan dan yang
tertera dalam Surat Kuasa Khusus tanggal 11 Maret 2014 dan tidak
mencermati tugas wewenang dan tanggung jawab direksi sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (3) Akta Pendirian dan Anggaran Dasar
Perseroan Terbatas PT. Kumala Raya Nomor 23 tanggal 6 Febuari 2003
dan tidak menyandarkan pertimbangan hukum Judex Juris Mahkamah
Agung pada tugas, wewenang dan tanggung jawab direksi sebagaimana
diatur dalam Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga
memperlihatkan adanya kekhilafan dan kekeliuran yang nyata yang
menyebabkan putusan Judex Juris Mahkamah Agung tersebut
diperbaiki dan diadili sendiri oleh Hakim Majelis Mahkamh Agung.
tidak menerapkan peraturan hukum yang semestinya yakni
Majelis Hakim tidak menerapkan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi;
“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili”
Sehingga berdasarkan pasal tersebut Majelis Hakim dalam
memutuskan suatu perkara harus mencermati nilai-nilai keadilan
masyarakat. Terkait dengan upaya kasasi yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi (Tergugat II/Pembanding) terhadap putusan
7. Metode Penelitian
Dalam penelitian pada tulisan studi kasus ini, digunakan metode
penelitian normative empiris, yakni menggunakan data lapangan seperti data
yang diperoleh dari hasil wawancara responden, dan menggunakan data
sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori
hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Yang artinya pada tulisan ini
akan mengambil sumber-sumber dari berbagai aturan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan untuk keputusan pengadilan sendiri tetap akan
mengacu pada lembaran putusan yang telah dipublikasikan oleh Direktori
Mahkamah Agung.
Responden:
1. Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh
Informan :
1. Ahli Hukum Perdata

8. Jadwal Penelitian
Untuk melaksanakan penelitian ini, penulis memperkirakan waktu yang
akan diperlukan adalah sebagai berikut.
1. Pengumpulan data : 20 hari
2. Analisis data : 20 hari
3. Penyusunan Penelitian : 20 hari

Jumlah 60 hari
9. Kerangka Penulisan

ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pemilihan Kasus
B. Kasus Posisi
C. Identifikasi Masalah
D. Masalah Hukum
1. Ruang Lingkup Dan Tujuan Penulisan
2. Keaslian Penelitian
3. Metode Penelitian
4. Sistematika Pembahasan
BAB II RINGKASAN PUTUSAN
A. Duduk Perkara
B. Pertimbangan Hakim
C. Amar Putusan
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM DAN ANALISIS PENELITIAN
A.
B. Hakim kurang cermat dalam mempetimbangkan fakta fakta
dipersidangan.
c. Putusan yang diberikan Hakim
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
10. Daftar Pustaka
A. Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum perdata Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, cetakan ke 4, P.T.


Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, P.T. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2008
Gunawan Widjaja, Hapusnya Perikatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), P.T.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013
Muhammad Arief Albi, “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pekerjaan Jasa
Konstruksi Pemeliharaan Jalan Antara Pemerintah Kota Metro Dan
Cv Trisatu Jaya”, Program studi ilmu hukum Universitas Lampung,
2018
Purwahid Patrik, Dasar Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari
Perjanjian Dan Undang-Undang), CV. Mandar Maju, 1994, hlm. 78
Prayoga Heriyanto, Tinjauan Yuridis Pembatalan Perjanjian Sebagai
Perbuatan Melawan Hukum (Studi Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1051 K/PDT/2014), Bandar Lampung; Fakultas Hukum
Universitas Lampung, 2020
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Radja Garfindo Persada,
Jakarta 2005
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2003
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kedua, Binacipta,
Bandung, 2004
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melawan Hukum, Sumur Bandung,
Bandung, 1992
B. Jurnal
Ahmad Nopriansyah, “Perjanjian Kerja Konstruksi Pembangunan Jalan
Raya” (Studi Pada PT. Rindang Tiga Satu Pratama), Program studi
ilmu hukum Fakultas hukum Universitas Lampung, 2018
Zainal Asikin, “Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah dan Swasta dalam
Penyediaan Infrastruktur Publik,”
Rivo Krisna Winastri, Ery Agus Priyono, Dewi Hendrawati, “Tinjauan
Normatif Terhadap Ganti Rugi Dalam Perkara Perbuatan Melaan
Hukum yang Menimbulkan Kerugian Immaterial (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 568/1968.G)
Diponegoro Law Journal Vol.6 No.2 Tahun 2017
Sri Wahyuni, “Peran Dinas Perpustakaan Dan Kearsipan Aceh Dalam
Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pembangunan Perpustakaan Pasca
Tsunami Aceh”, Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Islam Institut Agama Islam Negeri Batusangkar Padang, ADABIYA,
Vol.22 No.1 Febuari 2020, hlm. 84
Teddy Rifaldy,Nurul Malahayati,Nurisra, Pengaruh Peran Pemerintah dan
Masyarakat Terhadap Kinerja Prakonstruksi Perumahan Pasca
Bencana di Kabupaten Pidie Jaya: Fakultas Teknik Universitas Syiah
Kuala, Journal of The Cipil Engineering student Vol.1. No.3,
Desember 2019, ISSN 2685-0605

C. Undang-Undang
Kitab Undang Hukukm Perdata (KUH Perdata)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi
PP No.29 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi
Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Alam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

D. Website
Rizki Wahyu Sinatria Pianandita,“Bab 2: Kajian teori mengenai hukum kontrak konstruksi,
sengketa publik dan privat dari pemerintah,serta arbitrase sebagai sarana
penyelesaian sengketa”, www.lontar.ui.ac.id, diakses tanggal 25 Januari 2020, pukul
14.36 WIB
http://www.legalakses.com/perjanjian/ diakses pada 29 Januari 2020

Anda mungkin juga menyukai