Anda di halaman 1dari 4

Hukum Internasional (I) & (F) Araya Anggara Putra

8th Assignment 14/366602/HK/20078


araya.161@gmail.com

LATIHAN SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER


MATA KULIAH HUKUM INTERNASIONAL

1. Apa perbedaan antara force majeure dan necessity dalam hukum


pertanggunjawaban negara. Jelaskan dengan contoh!

Secara garis besar, force majeure (Art. 23 Draft Articles on Responsibility of States
for Internationally Wrongful Acts 2001/DA RSIWA) timbul akibat kondisi yang tidak
memungkinkan Negara untuk melaksanakan kewajiban internasional secara absolut. 1
Akibatnya Negara tidak memiliki opsi tindakan lain, secara terpaksa harus melakukan
tindakan tersebut. Berbeda dengan necessity (Art. 25 DA RSIWA) yang cenderung relatif.
Necessity masih memungkinkan adanya opsi bagi negara untuk mengambil tindakan lain
yang sejalan dengan kewajibannya. Tambahan lagi, necessity tidak melibatkan perilaku yang
tidak disengaja atau dipaksa.2
Menurut International Law Commission, doktrin force majeure hanya dapat
diberlakukan setelah terpenuhinya tiga unsur: (1) tindakan tersebut didasari adanya kekuatan
yang tak tertahankan (irresistible force) dari peristiwa yang tidak terduga (unforeseen event);
(2) yang mana diluar kendali Negara bersangkutan; dan (3) yang menyebabkan tidak
dimungkinkannya pelaksanaan kewajiban secara materil.3
Doktrin necessity (état de nécessité) diberlakukan dalam hal suatu Negara mampu
menunjukkan suatu kondisi dimana tindakan yang dilakukan Negara tersebut merupakan cara
satu-satunya untuk melindungi kepentingan esensialnya yang terancam. Dalam hal memenuhi
tujuan tersebut, maka Negara bersangkutan menyimpangi beberapa kewajiban lain yang
memiliki urgensi lebih rendah.4

1
Sarah Heathcote, "State of Necessity", http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-
9780199796953/obo-9780199796953-0025.xml, diakses 8 Mei 2018
2
International Law Commission, "Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts,
with commentaries", Yearbook of the International Law Commission, Vol. II, Part Two, 2001, hlm. 80.
3
Ibid, hlm. 76.
4
Ibid, hlm. 80.
Contoh dari penerapan doktrin force majeure ialah semisal Jepang yang secara
terpaksa mengirim misil nuklir ke wilayah perairan Korea Selatan akibat adanya invasi alien
yang memiliki kemampuan untuk membinasakan setengah populasi jagat raya. Atas situasi
tersebut–yang mana memenuhi unsur force majeure, Jepang dianggap tidak melanggar
kewajibannya. Selanjutnya contoh pelaksanaan necessity dapat dilihat dari tindakan Inggris
dalam kasus tumpahan minyak kapal tanker Torrey Canyon milik Liberia di wilayah perairan
Inggris. Dalam kasus tersebut, Inggris telah melakukan beberapa upaya penanggulangan
namun gagal. pada akhirnya Inggris meledakkan kapal untuk membakar minyak yang tumpah
sehingga dampak lingkungan akibat insiden tersebut mampu diminimalisir.

2. Aset dan hutang negara tidak diatur secara identik dalam hal suksesi negara.
Mengapa?

Karena tidak semua hutang yang dimiliki negara yang digantikan (predecessor State)
beralih ke negara pengganti (sucessor State). Kaitannya dengan aset, seluruhnya beralih
kepada sucessor state. Secara yuridis, hal ini telah diatur dalam Vienna Convention on
Succession of States in respect of State Property, Archives and Debts 1983 (Vienna
Convention 1983). Konvensi tersebut merumuskan pengaturan berbeda bagi pengalihan aset
(property) dan pengalihan hutang (debt) dalam hal terjadinya suksesi negara.

Menurut Konvensi tersebut jika sucessor state telah merdeka, maka seluruh aset baik
aset bergerak (movable State property) maupun aset tidak bergerak (immovable State
property) milik predecessor State beralih sepenuhnya ke sucessor State.5 Sedangkan bagi
pengalihan hutang tidak secara otomatis beralih ke sucessor State. Dibutuhkan sebuah
persetujuan antara predecessor State dengan sucessor State untuk menerangkan adanya
hubungan hutang predecessor State dengan aktivitias yang ada di walayah sucessor State,
aset, hak, dan kepentingan sucessor State yang telah merdeka.6

Berangkat dari rumusan diatas, bilamana hutang predecessor State tidak terbukti
memiliki hubungan dengan rumusan Article 38 Vienna Convention 1983, sucessor State tidak
bertanggung jawab atas hutang tersebut. Adapun terdapat prinsip hukum internasional yang
berkaitan kerangka pengaturan tersebut, yakni The Principle of Benefit and Burden. Menurut
Christine J. Davis, secara garis besar prinsip ini memastikan jika suatu pihak menerima
manfaat dari sebuah kesepakatan, maka pihak tersebut juga terikat dengan segala beban yang
5
Article 15 Vienna Convention on Succession of States in respect of State Property, Archives and Debts 1983.
6
Ibid., Article 38.
terikat di dalamnya walaupun pihak tersebut merupakan pihak baru yang menggantikan pihak
lama dalam kesepakatan terkait.7

3. Apa hubungan fungsi misi konsuler dan diplomatik, dan imunitas/keistimewaan


yang diberikan padanya?

Sebagai alat perlengkapan negara pengirim, keduanya sama-sama bertindak atas nama
negara pengirim di wilayah negara penerima (host country) namun memiliki porsi
fungsionalitas berbeda. Secara garis besar, utusan diplomatik mewakili secara keseluruhan
kepentingan negara pengirim di negara penerima, 8 sedangkan utusan konsuler mewakili
kepentingan perdagangan dan perlindungan warga negaranya dimana ia ditempatkan. 9 Oleh
sebab itu walupun memiliki fungsi yang berbeda, keduanya saling melengkapi satu sama lain
dalam hal keberlangsungan hubungan diplomatik antar negara.

Kaitannya dengan imunitas, hal ini diberikan untuk melancarakan pelaskanaan fungsi
konsuler maupun diplomat. Dalam hukum itnernasional, imunitas yang diberikan kepada
konsuler dan diplomat memiliki pengaturan yang berbeda. Konsuler memiliki imunitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan diplomat sebagaimana dinyatakan dalam Art. 41, Art. 43
(2), dan Art. 44 Vienna Convention on Consular Relations 1963.

Salah satu perbedaannya yakni dalam hal imunitas dari yurisdiksi negara penerima.
Berbeda dengan diplomat yang hampir memiliki imunitas absolut dalam yurisdiksi negara
penerima,10 konsuler menjadi subyek yurisdiksi negara penerima kecuali ketika bertindak
untuk melaksankaan fungsinya sebagai utusan negara.11

4. Nama/nomenklatur sebuah perjanjian internasional tidak merubah status


hukumnya. Apakah ini berarti nama/nomeklatur tidak memiliki konsekuensi?

Bentuk ataupun nama (nomen clatur) yang dipilih dalam pembuatan perjanjian
internasional tidak memiliki konsekuensi hukum apapun. Walaupun secara teoritis hukum
7
Christine J. Davis, "The Principle of Benefit and Burden", Cambridge Law Journal, Vol. 57, No. 3,
November, 1998, hlm. 522.
8
Article 3 Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961.
9
Article 5 Vienna Convention on Consular Relations 1963.
10
Article 31 (1) Vienna Convention on Diplomatic Relations 1961.
11
International Law Commission, "Draft Articles on Consular Relations, with commentaries", Yearbook of the
International Law Commission, Vol. II, 1961, hlm. 117.
internasional telah mendifinisikan beberapa nama perjanjian internasional antara lain seperti
"Konvensi" ("Convention"), pemilihan nama perjanjian tidak mengurangi hak dan kewajiban
para pihak yang terikat. Akibat hukum yang ditimbulkan suatu perjanjian internasional murni
berasal dari rumusan normatif yang tertulis di dalamnya.
Lebih lanjut, International Court of Justice dalam kasus Qatar vs. Bahrain turut
menyatakan bahwasanya penggunaan terminologi apapun dalam merumuskan nama
perjanjian antar negara tetap dianggap sebagai perjanjian internasional sepanjang memenuhi
unsur "Treaty" sebagaimana dimaksud pada Art. 2 (1) Vienna Convention on the Law of
Treaties 1969.12
Namun, dalam praktiknya penggunan nama bagi perjanjian internasional
menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para
pihak. Sebagai contoh, hal tersbut tercermin dari kecenderungan penggunana nama
"Konvensi" ("Convention") dalam perjanjian internasional yang secara umum memiliki
cakupan hubungan sampai tingkatan multilateral yang mana bersifat law-making treaty.
Sedangkan penggunaan nama "Persetujuan" ("Agreement") biasanya ditujukan untuk
perjanjian internasional yang memiliki kedudukan lebih rendah dari "Konvensi" dan lebih
sering digunakan dalam hubungan bilateral.

12
Paragraf 23 International Court of Justice Reports of Judgments, Advisory Opinions and Orders: Case
Concerning Maritime Delimitation and Territorial Questions between Qatar and Bahrain (Qatar v. Bahrain)
Jurisdiction and Admissibility Judgment of 1 July 1994, http://www.icj-cij.org/files/case-related/87/087-
19940701-JUD-01-00-EN.pdf, diakses 11 Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai