14/366602/HK/20078
7th Assignment
araya.161@gmail.com
1
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Convention on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik), hlm. 8.
2
Canadian Civil Liberties Association, "SUMMARY: INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL
AND POLITICAL RIGHTS (ICCPR)", https://ccla.org/summary-international-covenant-on-civil-and-
political-rights-iccpr/, diakses 6 Mei 2018.
3
Rhona K.M. Smith, et.al., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, hlm. 110.
4
UN Human Rights Committee (HRC), "General Comment no. 18 [80], Non-discrimination, 10
November 1989, HRI/GEN/1/Rev.9 (Vol. I)",
http://ccprcentre.org/page/view/general_comments/27792, diakses 6 Mei 2018.
5
UN Human Rights Committee (HRC), "General Comment no. 31 [80], The nature of the general legal
obligation imposed on States Parties to the Covenant, 26 May 2004, CCPR/C/21/Rev.1/Add.13",
http://www.refworld.org/docid/478b26ae2.html, diakses 6 Mei 2018.
dalam hal penghormatan hak-hak yang dijamin Kovenan, sebagaimana yang diatur
oleh Pasal 2.6
Tambahan pula, Pasal 3 mewajibkan Negara Pihak untuk menjamin
persamaan hak yang sederajat bagi laki-laki maupun perempuan untuk menikmati
semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan. Sejalan dengan tujuan ICCPR
yakni pengakuan martabat yang melekat pada masing-masing individu, ketentuan ini
memastikan tidak adanya pembedaan berdasarkan jenis kelamin dalam pelaksanaan
jaminan hak oleh Negara Pihak.
Sementara itu Pasal 4 ayat (1) menyatakan "[...] Negara-negara Pihak
Kovenan ini dapat mengambil langkah-langkah yang mengurangi kewajiban mereka
berdasarkan Kovenan ini, sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat
tersebut [...]". Adapun langkah-langkah tersebut tidak boleh bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan mengandung
diskriminasi. Pengecualian atas hal ini terdapat pada Pasal 4 ayat (2) mengatur Negara
Pihak tidak boleh mengecualikan Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2) 11, 15, 16 dan 18.
Disamping itu untuk melakukan pengurangan hak tersebut, Negara Pihak harus segera
memberitahu kepada Negara-negara Pihak lainnya sebagaimana diatur pada Pasal 4
ayat (3).
Selanjutnya terkait hak yang dijaminkan dalam konteks kasus diatas tercermin
pada Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan "Setiap orang yang secara sah berada dalam
wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk
memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut" dan Pasal 12 ayat (2) yakni
"Setiap orang bebas untuk meninggalkan negara mana pun [...]". Sehubungan dengan
itu, Pasal 12 ayat (3) memperbolehkan adanya pembatasan hak tersebut, namun
pembatasan tersebut harus ditentukan oleh hukum antara lain untuk melindungi
keamanan nasional dan ketertiban umum.
Terlebih, Pasal 12 ayat (4) turut mengatur jaminan hak bagi setiap warga
negara untuk memasuki negaranya sendiri. Walaupun kata-kata "negaranya sendiri"
secara verbatim tertulis pada Pasal 12 ayat (4), ketentuan ini tidak membedakan
Warga Negara Negara Pihak dan Warga Negara Asing. Lingkup "negaranya sendiri"
memiliki konsep yang lebih luas dari "negara dari kewarganegaraannya". Secara
6
UN Human Rights Committee (HRC), "CCPR General Comment No. 15: The Position of Aliens
Under the Covenant, 11 April 1986", http://www.refworld.org/docid/45139acfc.html, diakses 7 Mei
2018.
redaksional Pasal 12 ayat (4) memungkinkan adanya perluasan interpretasi yang
mencakup seseorang yang menetap dalam jangka waktu yang panjang di wilayah
suatu negara, termasuk tidak terbatas pada seseorang yang tidak memiliki
kewarganegaraan karena hak untuk mendapatkan kewarganegaraannya dirampas
sewenang-wenang oleh negara tempat menetapnya.7
Berkaitan dengan perkembangan implementasi Pasal 12 ICCPR, Human
Rights Committee (HRC) menyatakan bahwa setiap Warga Negara Asing yang masuk
ke dalam suatu wilayah Negara Pihak secara ilegal namun status keberadaanya sudah
diatur hukum, harus mendapatkan jaminan hak dalam Pasal 12 di wilayah Negara
Pihak tersebut.8 HRC juga mempertimbangkan apakah tindakan Negara Pihak yang
melanggar hak kebebasan bergerak seseorang dapat dibenarkan secara absolut, jika
tindakan orang yang haknya dilanggar masih dimungkinkan untuk keluar di wilayah
Negara Pihak maka tindakan Negara Pihak tidak dianggap sebagai pelanggaran Pasal
12.9
Berangkat dari ketentuan yang dijabarkan diatas, pertama-pertama perlu
diketahui terlebih dahulu bahwasanya Pemerintah RI telah melakukan ratifikasi
terhadap ICCPR melalui diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) pada 28 Oktober 2005. Atas hal ini
maka Pemerintah RI telah menjadi Negara Pihak dalam Kovenan terkait dan wajib
untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diatur di dalam Kovenan.
Dalam kasus ini masyarakat Yajuj yang merupakan Warga Negara Asing yang
berada di wilayah Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai subjek dari Pasal 2
ICCPR. Sebagaimana yang dinyatakan diatas tidak ada pembedaan terhadap Warga
Negara Asing sepanjang masyarakat Yajuj berada di wilayah Negara Indonesia. Oleh
sebabnya Pemerintah RI harus menjamin hak-hak substantif yang diberikan ICCPR
bagi setiap orang Yajuj tanpa terkecuali–dalam konteks kasus diatas hak-hak yang
berkaitan diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 12.
7
UN Human Rights Committee (HRC), "CCPR General Comment No. 27: Article 12 (Freedom of
Movement), 2 November 1999, CCPR/C/21/Rev.1/Add.9",
http://www.refworld.org/docid/45139c394.html, diakses 7 Mei 2018
8
UN Human Rights Committee (HRC), Celepli v. Sweden, Communication No. 456/1991, U.N. Doc.
CCPR/C/51/D/456/1991 (1994), par. 9.2.
9
CCPR Centre, "A.M.H El Hojouj Jum'a et al. v. Libya, CCPR/C/111/D/1958/2010 Communication
No. 1958/2010", http://ccprcentre.org/doc/2014/09/1958_2010-A.M.H.-El-Hojouj-Jum%E2%80%99a-
et-al.-v.-Lybia_LS_web.pdf, diakses 5 Mei 2018.
Terkait tindakan Pemerintah RI yang melarang masyarakat Yajuj untuk keluar
dari wilayah Indonesia tanpa adanya Exit Permit dari Jakarta hal ini berkaitan dengan
Pasal 12 ICCPR yang mengatur mengenai kebebasan untuk bergerak berikut
pengecualiannya. Akan tetapi, penentuan apakah tindakan Pemerintah RI melanggar
kewajibannya dalam Pasal 2 melalui tidak diindahkannya hak kebebasan untuk
bergerak suku Yajuj sebagaimana diatur dalam Pasal 12, memiliki dua pertimbangan:
1. Pertama, tindakan Pemerintah RI tersebut dibenarkan oleh ketentuan pada
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2). Berkaca pada tindakan konfrontasi suku Yajuj
terhadap Pemerintah RI pada tahun 2017, jika tindakan Pemerintah RI
memang sangat diperlukan untuk melindungai keamanan nasional dan
ketertiban umum maka secara sah dapat dilaksankan tanpa adanya
pelanggaran Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2). Di sisi lain pengecualian kewajiban
dalam Pasal 4 dan pembatasan pada Pasal 12 ayat (3) juga dapat
dimungkinkan untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah RI mengambil
langkah-langkah untuk mengurangi kewajibannya. Namun yang perlu
diperhatikan ialah keadaan darurat tersebut harus telah diumumkan secara
resmi terlebih dahulu dan keadaan darurat tersebut memang benar-benar
mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya. Adapun pertimbangan
diatas juga sangat ditentukan oleh penilaian apakah tindakan Pemerintah RI
memang necessary untuk memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Lebih lanjut, jika
pihak suku Yajuj masih dimungkinkan untuk keluar dari wilayah Indonesia
oleh Pemerintah RI, maka tindakan Pemerintah RI tersebut juga tidak
termasuk pelanggaran. Atas hal ini maka Pemerintah RI tidak melanggar
Pasal 2 ICCPR;
2. Kedua, tindakan Pemerintah RI tidak dibenarkan oleh ketentuan pada Pasal
12 ayat (1) dan ayat (2) yang mana hal tersebut juga dinilai melalui tidak
adanya pemulihan (remedy) yang diberikan Pemerintah RI kepada suku Yajuj.
Sebabnya, tindakan Pemerintah RI yang melarang suku Yajuj keluar wilayah
Indonesia telah merampas hak suku Yajuj yang secara sah berada dalam
wilayah Indonesia untuk meninggalkan Indonesia. Atas hal ini maka
Pemerintah RI melanggar Pasal 2 ICCPR.
Selanjutnya berkaitan dengan larangan bagi semua perempuan suku Yajuj
untuk kembali ke Indonesia berhubungan dengan Pasal 3 dan Pasal 12 ayat (4). Cukup
jelas bahwsanya pelanggaran kewajiban Pasal 3 terlihat dari adanya diskriminasi
gender dalam pemberian hak bagi masyarkaat suku Yajuj yang hanya melarang
perempuan suku Yajuj untuk kembali ke wilayah Indonesia. Di samping itu,
walaupun status seorang Yajuj bukan merupakan Warga Negara Indonesia, suku
Yajuj berasal dan tingggal di daerah perairan Sulawesi. Sehingga seluruh masyarkat
suku Yajuj, tidak memandang kewarganegaraannya baik Warga Negara Indonesia,
Warga Negara Asing ataupun tidak memiliki kewarganegaraan, memiliki hak-hak
yang dijamin pada Pasal 12 ayat (4), yakni hak untuk memasuki negaranya sendiri.
Atas hal tersebut, maka tindakan Pemerintah RI telah melanggar Pasal 2 ICCPR.
Jadi, kaitannya dengan kebijakan larangan bagi suku Yajuj untuk keluar dari
wilayah Indonesia, adanya pelanggaran Pasal 2 ICCPR harus terlebih dahulu melihat
pertimbangan Pemerintah RI dalam melakukan tindakan tersebut. Sedangkan
kaitannya dengna kebijakan larangan bagi semua suku Yajuj untuk kembali ke
wilayah Indonesia, hal tersebut merupakan pelanggaran Pasal 2 ICCPR.