Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH POLITIK HUKUM

Dosen : DR. DWI ANDAYANI, S.H, M.H

Di Susun Oleh :

Abdul Musyfiq Al-aytami

Christian

Samsudin Latuconsina

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

2022
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,Kami panjatk
an puja dan puji syukur atas kehadirat- Nya, yang telah melimpahkan rahmat,hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“Idealisme Politik Hukum Kewarganegaraan Guna Mewujudkan Perlindungan Dan
Kepastian Hukum” .Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantua n dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pe mbuatan makalah ini.Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ad
a kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu denga n
tanganterbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat mem
perbaikimakalah ilmiah ini.Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah
dan manfaatnyauntuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.

Jakarta, 17 Desember 2022

Tim Penyusun
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………. i


KATA PENGANTAR ……………………………………………… ………..ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………. ……...iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
 A. Latar Belakang ……………………………………………………. 2
 B. Rumusan Masalah ……………………………………… …………2
 C. Tujuan Penulisan …………………………………………………. 3
 D. Manfaat Penulisan ………………………………………………... 3
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………. …………..4
 A Idelisme Politik Hukum Kewarganegaraan….…………………….4
BAB III PENUTUP …………………………………………………………10
 A. Simpulan …………………………………………………………10
 B. Saran ………………………………………………………… …..10
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN

IDEALISME POLITIK HUKUM KEWARGANEGARAAN GUNA MEWUJUDKAN


PERLINDUNGAN DAN KEPASTIAN HUKUM
( Urgensi PP. 21 Tahun 2022 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007
tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia )

Kewarganegaraan merupakan bentuk status hukum yang wajib dimiliki oleh setiap
manusia Indonesia. Dalam Pasal 28 D ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan perlunya hak-hak dan status kewarganegaraan setiap orang.
Mengingat pentingnya status kewarganegaraan bagi setiap orang, saat ini masih banyak
dijumpai anak hasil perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing
yang tidak didaftarkan berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sehingga melewati batas waktu yang ditentukan
atau sudah didaftarkan tetapi tidak memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, negara memberikan landasan hukum agar anak yang belum mendaftar
atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Maka diaturlah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan,
Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, karena peraturan
pemerintah yang lama dianggap kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga perlu
dilakukan penyesuaian untuk meningkatkan pelayanan kewarganegaraan kepada masyarakat
serta demi kepastian hukum status kewarganegaraan seseorang, dengan masa berlaku selama
jangka waktu 2 (dua) tahun.
Dalam melangsungkan perkawinan, banyak masyarakat yang menikah dengan
pasangannya yang berbeda kewarganegaraan misalnya seorang pria warga negara Indonesia yang
menikah dengan wanita warga negara asing ataupun sebaliknya. Itu disebabkan karena pengaruh
globalisasi saat ini. Tentu saja perkawinan tersebut akan menimbulkan masalah dalam penentuan
status kewarganegaraan apabila pasangan tersebut memiliki anak, terutama apabila pasangan
tersebut menetap di Indonesia. Di Indonesia sendiri dalam kasus perkawinan campuran memang
tidak memberikan status kewarganegaaan Indonesia secara otomatis bagi warga negara asing
yang menikah dengan warga negara Indonesia. Namun apabila mereka ingin mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia, maka mereka harus mengajukan permohonan resmi kepada instansi
yang berwenang sesuai peraturan yang berlaku. Pengaturan status kewarganegaraan anak hasil
perkawinan campuran perlu diketahui terlebih dahulu apakah anak itu lahir sebelum berlakunya
undang-undang kewarganegaraan yang baru atau setelah undang-undang tersebut berlaku.
Apabila ia lahir sebelum undang-undang tersebut berlaku dan tetap tinggal di Indonesia sampai
undang-undang ini berlaku, maka anak tersebut harus didaftarkan oleh orang tuanya paling lama
4 tahun setelah berlakunya UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 agar mendapat pengakuan
serta perlindungan hukum sebagai warga negara Indonesia.
Masih banyak terdapat anak berkewarganegaraan ganda yang tidak terdaftar, terlambat
memilih, atau tidak memilih status kewarganegaraan untuk menjadi warga negara Indonesia
Dalam catatan Direktorat Jenderal AHU, saat ini anak yang tidak terdaftar, terlambat memilih,
atau tidak memilih status kewarganegaraan berjumlah lebih kurang 5.390 orang. Sedangkan yang
telah memilih kewarganegaraan Republik Indonesia berjumlah 500 orang. 
Maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Bagaimana bila orang tua
tidak mendaftarkan anaknya untuk memiliki kewarganegaraan Indonesia baik karena tidak
mendaftar, tidak tahu, atau lupa, sehingga, habis tenggat waktu yang diberikan ? karena
berdasarkan Pasal 67A Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, anak yang belum
mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3A harus mengajukan permohonan Pewarganegaraan kepada Presiden melalui
Menteri paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
BAB II
PEMBAHASAN

Politik hukum kewarganegaraan adalah kebijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah


dalam bidang kewarganegaraan yang meliputi struktur, substansi dan budaya hukum. Pada saat
ini, politik hukum kewarganegaraan Indonesia menganut prinsip berkewarganegaraan tunggal
(single nasionality). Prinsip ini telah dianut sejak Kemerdekaan Indonesia silam tanggal 17
Agustus 1945 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor
62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan terakhir di perbaharui dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Penentuan Kewarganegaraan dpt dibedakan menurut Asas :
 Ius Soli, penentuan asas kewarganegaraan berdasarkan negara tempat di mana ia
dilahirkan. Contoh: Seseorang yang dilahirkan di negara A maka ia akan menjadi warga
negara A, walaupun orang tuanya adalah warga negara B. (Inggris, Mesir, Amerika, dll).
 Ius Sanguinis, penentuan asas kewarganegaraan ber-dasarkan pertalian darah/keturunan
dari orang ybs. Contoh: Seseorang yang dilahirkan di negara A, tetapi orang tuanya
warga negara B, maka orang tersebut tetap menjadi warga negara B.
Siapakah yang dapat menjadi warganegara dari suatu negara? Hal itu merupakan hak
eksklusif masing-masing negara untuk menentukannya, karena sepenuhnya merupakan
yurisdiksi hukum nasional masing-masing negara namun tidak boleh bertentangan dengan
perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang
berkenaan dengan kewarganegaraan. Di Indonesia telah diatur didalam Pasal 26 UUD 1945
berbunyi :
1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
2) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
3) Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang- undang.
Sesuai dengan amanat UUD 1945 tersebut maka terkait kewarganegaraan tersebut telah
diatur di dalam UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pasal 1
angka 1 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menentukan
pengertian warga negara adalah: “warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.” Dengan demikian, tidak setiap orang dapat menjadi warga negara suatu
negara, melainkan hanya bagi mereka yang menenuhi persyaratan sebagai warga negara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan negara yang bersangkutan. Karena itu, tidak
setiap penduduk dan rakyat Indonesia berkedudukan sebagai warga negara Indonesia.
Berdasarkan UUD 1945 tersebut bangsa Indonesia asli yang menjadi warga negara
Indonesia, namun bagi mereka keturunan asing dapat pula menjadi warga negara dengan akan
diatur oleh UU. Bagi mereka yang berkewarganegaraan asing tetap dibuka kemungkinan untuk
menjadi WNI, selama ia mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setiap kepada
NKRI
Pengertian politik hukum menurut Prof. Dr. Moh. Mahfud MD adalah “legal policy atau
(garis kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik
hukum kewarganegaraan Indonesia menganut prinsip berkewarganegaraan tunggal (single
nasionality). Prinsip ini telah dianut sejak Kemerdekaan Indonesia silam tanggal 17 Agustus
1945 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan terakhir di perbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus
1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengesahkan UUD 1945. Mengenai
kewarganegaraan dalam pasal 26 ayat (1) menentukan bahwa “Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-
Undang sebagai warga negara,” sedangkan ayat (2) nya menyebutkan bahwa “Syarat-syarat yang
mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-Undang.” Perumusan yang demikian
didasarkan pada pertimbangan bahwa memang seharusnyalah bangsa Indonesia asli yang
menjadi warga negara Indonesia, namun bagi mereka keturunan asing dapat pula menjadi warga
negara dengan akan diatur oleh UU. Sebab tidak lazim jika masalah warga negara asing diatur di
dalam UUD. Bagi mereka yang berkewarganegaraan asing tetap dibuka kemungkinan untuk
menjadi WNI, selama ia mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setiap kepada
NKRI. Sebagai pelaksanaan dari pasal 26 tersebut, maka pada tanggal 10 April 1946
diundangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk,
dimana UU ini telah beberapa kali mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 6 dan
Nomor 8 Tahun 1947. Jika diperhatikan, undangundang tersebut menganut asas
kewarganegaraan yaitu ius soli. Dapat dilihat pada rumusan pasal 1 huruf a, warga egara
Indonesia ialah orang yang aseli dalam daerah negara Indonesia. Begitu pula pada huruf b,
bahwa orang peranakan yang lahir dan bertempat tinggal di Indonesia paling sedikit untuk lima
tahun terakhir dan berturutturut serta berumur 21 tahun adalah warga negara Indonesia. Latar
belakang dari pemakaian asas ius soli ini karena dulu sudah banyak peranakan bangsa lain sudah
bertempat tinggal di Indonesia. Jadi selama mereka setia kepada Indonesia mereka dapat menjadi
warga negara (hak repudiasi). Mereka juga dapat menolak warga negara Indonesia, namun harus
sudah disampaikan kepada menteri kehakiman paling lambat dalam waktu satu tahun sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946.
Kemudian setelah terbentuk RIS, pada Pasal 194 UUD 1949 yang menjadi warga negara
RIS adalah orang-orang yang menurut Persetujuan Prihal Pembagian Warga Negara antara
Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda, mempunyai kewarganegaraan Indonesia. Untuk
menentukan siapa yang menjadi WNI menurut Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara
menganut asas ius soli, karena baik orang Indonesia asli, Arab, Cina, dan keturunan Belanda
yanag menjadi WNI bahwa mereka lahir dan bertempat tinggal dalm waktu tertentu di Indonesia.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 diubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang diundangkan pada 1
Agustus 1958. Undang-Undang ini menitikberatkan pada asas ius sanguinis, walaupun dalam hal
tertentu memakai asas ius soli. Ius soli dipakai hanya khusus untuk mereka atau anak-anak yang
lahir di wilayah Indonesia yang baik kedua orang tuanya tidak diketahui, atau orang tuanya tidak
mempunyai kewarganegaraan, atau mungkin belum mendapat kewarganegaraan dari negara
orang tuanya. Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tersebut secara filosofis, yuridis dan
sosiologis telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan
Indonesia. Secara fisolofis, Undang-Undang tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan
yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila misalnya masih bersifat diskriminatif, kurang
menjamin perubahan hak asasi dan persamaan antar warga negara, serta kurang memberikan
perlindungan terhadap perempuan dan anak. Secara yuridis, landasan konstitusional
pembentukan Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada
Undang-Undang Dasar 1945. Secara sosiologis, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan
kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.
Pada tanggal 11 Juli 2006, DPR berhasil mengesahkan Undang-Undang
kewarganegaraan baru yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menggantikan Undang-
Undang kewarganegaraan lama, yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 yang didasarkan
pada UUDS 1950. Kehadiran Undang-Undang baru merupakan respon atas permasalahan
kewarganegaraan yang sering terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Karena dalam kenyataan dan praktek peraturan perundangan-undangan yang lama tidak
mencerminkan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak persamaan perlakuan dan
kedudukan warga negara dihadapan hukum serta kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini
terutama disebabkan karena politik hukum negara khususnya yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan dan kebijakan kebijakan yang
mengikutinya sangat diksriminatif tidak saja atas dasar etnis dan kelas sosial, tetapi juga atas
dasar jenis kelamin dan gender.
Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang tersebut memperhatikan asas-asas
kewarganegaraan umum atau universal, yaitu asas ius sanguinis, ius soli, dan campuran. Adapun
asas-asas yang dianut dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan
terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi
setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)
ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan
kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.

Pada prinsipnya politik hukum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menganut asas
kewarganegaraan tunggal, akan tetapi Undang-Undang ini tidak mengenyampingkan
penggunaan asas kewarganegaraan ganda yang bersifat terbatas. Maksudnya disini adalah
kewarganegaraan ganda ini diberikan ntuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam
perkawinan campuran maupun setelah putusnya perkawinan campuran yang terdapat perbedaan
kewarganegaraan antara orangtua dan anak-anak hasil perkawinan itu. Seiring dengan
melekatnya kewarganegaraan ganda terbatas pada anak hasil perkawinan campuran, maka anak
tersebut tunduk pada dua yurisdiksi dari dua negara (kewarganegaraan orang tuanya).
Hampir setengah abad pengaturan mengenai kewarganegaraan dalam hal perkawinan
campuran antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958. Yang mana dalam undang-undang tersebut sangat membatasi
hubungan antara ibu dengan anaknya terlebih lagi jika perkawinan tersebut putus karena
perceraian sehingga banyak masyarakat serta golongan yang berpendapat bahwa undang-undang
itu sudah tidak sanggup untuk mendasari serta menampung kepentingan para pihak dalam
perkawinan campuran terutama dalam hal pengaturan masalah kewarganegaraan bagi anak-anak
hasil perkawinan campuran tersebut. Untuk itu akhirnya pada tahun 2006 akhirnya undang-
undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang mana dengan
lahirnya undang-undang yang baru ini dapat mengurangi permasalahan yang timbul dari
perkawinan campuran salah satunya yaitu dalam pengaturan status kewarganegaraan anak hasil
perkawinan campuran. Setelah berlakunya undang-undang tersebut di Indonesia maka secara
otomatis Indonesia menganut sistem kewarganegaraan ganda terbatas. Artinya anak-anak yang
lahir dari perkawinan campuran pasca berlakunya undang -undang ini dapat memiliki atau
memperoleh kewarganegaraan ganda, baik kewarganegaran ibunya atau pun kewarganegaraan
ayahnya sampai ia berumur 18 tahun atau paling lambat saat ia berumur 21 tahun harus sudah
memiliki satu kewarganegaraan tetap. Itu artinya anak dapat memiliki kewarganegaran ganda
namun sifatnya terbatas sampai umur 18 tahun.
Dengan pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas terhadap anak-anak hasil
perkawinan campuran merupakan satu hal yang positif bagi anak, terlebih lagi bahwa yang
berhak mendapatkan kewarganegaraan ganda terbatas ini tidak hanya anak hasil perkawinan
campuran yang sah tetapi juga berlaku bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran luar
kawin yang diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing.
Adapun persoalan-persoalan yang muncul terkait anak berkewarganegaraan ganda
sebagian besarnya adalah terkait dengan pengaturan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tersebut. antara lain:
1. Anak berkewarganegaraan ganda yang tidak didaftarkan untuk memperoleh Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI terkait Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dalam hal ini, anak berkewarganegaraan ganda dimaksud sama sekali tidak
mendaftarkan diri berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sehingga ia tidak memiliki Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI. Dampaknya, tanpa surat keputusan dimaksud
anak tersebut tidak dapat menyatakan memilih Kewarganegaraan Indonesia saat telah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah kawin sebagaimana diatur di dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 atau dengan kata lain, anak tersebut secara serta-
merta berstatus sebagai orang asing.
2. Anak berkewarganegaraan ganda yang telah memiliki Surat Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI, tetapi ia melewati batas waktu untuk menyatakan memilih
Kewarganegaraan Indonesia yang diamanahkan oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Anak tersebut telah
mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, tetapi ia
tidak menyatakan memilih KewarganegaraanIndonesia setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau telah menikah sampai batas waktu yang ditetapkan oleh Pasal 6 dimaksud
berakhir. Artinya, anak berkewarganegaraan ganda yang termasuk dalam kategori ini
telah melalui setengah dari mekanisme birokrasi yang ditentukan oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006, yaitu mekanisme Pasal 41, tetapi tidak melaksanakan mekanisme
lanjutan di Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Alhasil, anak tersebut
dianggap sebagai orang asing karena tidak menyatakan memilih Kewarganegaraan
Indonesia sampai jangka waktu berakhir.
3. Anak-anak hasil perkawianan campur merupakan Warga Negara Indonesia tetapi
dilahirkan di negara-negara yang menganut asas kewarganegaraan berdasarkan tempat
kelahiran (place of birth) atau disebut asas ius soli. Dikarenakan anak-anak tersebut lahir
di negara-negara dimaksud, maka anak-anak itu dianggap sebagai warga negara mereka.
Ironisnya, padahal sebagian besar dari mereka justru hanya tinggal di negara tersebut
pasca kelahirannya. Sementara setelah itu, mereka malah dibawa oleh orangtuanya
kembali ke Indonesia. Persoalannya justru ketika anak anak tersebut telah tinggal di
Indonesia dan ingin pergi ke negara tempat kelahirannya itu dan mengajukan
permohonan visa untuk suatu keperluan (hampir semua keperluannya adalah melanjutkan
studi), anak tersebut justru disuguhi paspor oleh negara yang bersangkutan. Hal itu
disebabkan dalam database kewarganegaraan negara yang bersangkutan, anak tersebut
adalah warga negara setempat. Sementara apabila anak dimaksud menerima paspor dari
negara yang bersangkutan, ia akan kehilangan Kewarganegaraan Indonesianya karena
mekanisme praktis dari Pasal 23 huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Penyebab yang melatarbelakangi timbulnya persoalan-persoalan sebagaimana dimaksud
di atas, seperti adanya ketidaktahuan masyarakat tentang adanya ketentuan Pasal 41 tersebut di
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Hal itu sangat logis, mengingat bahwa undang-
undang tersebut baru diundangkan pada tahun 2006. Sementara itu, untuk pendaftaran anak
berkewarganegaraan ganda sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
diberikan batas waktu hanya 4 (empat) tahun terhitung sejak diundangkannya undang-undang
tersebut. Dalam rentang waktu sesingkat itu, tentu banyak masyarakat yang tidak mengetahui
adanya ketentuan khusus yang bersifat temporer seperti halnya ketentuan Pasal 41 tersebut.
Bahkan, ada masyarakat yang tidak mengetahui telah adanya undang-undang baru yang
mengatur perihal kewarganegaraan, meskipun fakta-fakta logis tersebut tetap dinafikan oleh
adagium hukum, “ignorantia juris non excusat” atau ‘ketidaktahuan hukum tidak akan
dimaafkan’.
Untuk menjamin pelindungan hak status kewarganegaraan bagi setiap orang berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan untuk memberikan kepastian
hukum dan keadilan dalam pemberian kewarganegaraan Indonesia sebagai bentuk kehadiran
negara kepada anak yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Undang Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, serta untuk menyempurnakan tata cara
pelaporan kehilangan dan memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia bagi Warga Negara
Indonesia, dan memperkuat basis data Pewarganegaraan, maka diterbitkan PP. 21 Tahun 2022
tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh,
Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Sesuai dengan Pasal 67A PP. 21 Tahun 2022, maka Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, anak yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A PP. 21 Tahun 2022 yaitu Bagi anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Undang-Undang yang: a. belum mendaftar; atau b. sudah
mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-
Undang, harus mengajukan permohonan Pewarganegaraan kepada Presiden melalui Menteri
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan yaitu 31 Mei 2025.
BAB III
KESIMPULAN

1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan PP Nomor 2 tahun
2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang baru dikeluarkan, merupakan sebuah solusi
atas permasalahan kewarganegaraan yang dihadapi masyarakat.
2. Penetapan PP No. 21 Tahun 2022 pada tanggal 31 Mei 2022, merupakan bentuk
kehadiran negara dalam memberikan perlindungan dan kepastian hokum bagi anak anak
hasil perkawinan campuran dan anak anak yang lahir di negara Ius Soli
(Kewarganegaraan anak jika anak tersebut lahir dinegara yang menganut ius soli),
dimana anak anak yang lahir sebelum berlakunya UU No. 12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan RI yang tidak mendaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda dan
anak anak yang lahir sebelum berlakunya UU No.12 tahun 2016 yang sudah mendaftar
tetapi tidak atau terlambat memilih kewarganegaraan republik ndonesia hingga batas
waktu yang ditentukan berakhir.
3. Memberikan kemudahan bagi anak berkewarganegaraan ganda untuk mendaftar sebagai
WNI. Pertama, dalam hal anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia dan tidak
memiliki persyaratan surat keterangan keimigrasian (ITAP/ITAS), dapat melampirkan
Biodata Penduduk yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Kedua, bagi anak-anak yang belum mempunyai pekerjaan dan/atau penghasilan
sebagaimana dipersyaratkan, maka dapat diwakilkan oleh orang tuanya sebagai penjamin.
Ketiga, dikenakan pembedaan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
berlaku bagi Pewarganegaraan anak-anak tersebut yaitu hanya sebesar 5 juta rupiah.
Daftar Pustaka

Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta,
2001.
Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta,
2001.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta,
1990.
Darji Dannodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta,
1995. Harun Al-Rasid dalam Abdul Latif dan Habsin Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
http://www.kosmaext2010.com/makalah-landasan-kebijakan-pendidikan-indonesia2-.php,
diakses pada tanggal 17 Juni 2015 jam 19:17.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar Dasar Politik Hukum, PT Raja Gafrindo Persada,
Jakarta, 2004.
Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit: C.V. Mandar Maju,
Bandung, 2003, hlm 182 lihat juga Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Penerbit Armico, Bandung,
1987.
Mahfud MD, Hukum tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007) yang berisi
betapa mandulnya hukum di Indonesia jika berhadapan dengan politik.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1995.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Kosnep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis),
Penerbit Alumni, Bandung, 2002.

Anda mungkin juga menyukai