Di Susun Oleh :
Christian
Samsudin Latuconsina
2022
Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,Kami panjatk
an puja dan puji syukur atas kehadirat- Nya, yang telah melimpahkan rahmat,hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
“Idealisme Politik Hukum Kewarganegaraan Guna Mewujudkan Perlindungan Dan
Kepastian Hukum” .Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantua n dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pe mbuatan makalah ini.Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ad
a kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu denga n
tanganterbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat mem
perbaikimakalah ilmiah ini.Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah
dan manfaatnyauntuk masyarakan ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap
pembaca.
Tim Penyusun
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
A. Latar Belakang ……………………………………………………. 2
B. Rumusan Masalah ……………………………………… …………2
C. Tujuan Penulisan …………………………………………………. 3
D. Manfaat Penulisan ………………………………………………... 3
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………. …………..4
A Idelisme Politik Hukum Kewarganegaraan….…………………….4
BAB III PENUTUP …………………………………………………………10
A. Simpulan …………………………………………………………10
B. Saran ………………………………………………………… …..10
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Kewarganegaraan merupakan bentuk status hukum yang wajib dimiliki oleh setiap
manusia Indonesia. Dalam Pasal 28 D ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan perlunya hak-hak dan status kewarganegaraan setiap orang.
Mengingat pentingnya status kewarganegaraan bagi setiap orang, saat ini masih banyak
dijumpai anak hasil perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing
yang tidak didaftarkan berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sehingga melewati batas waktu yang ditentukan
atau sudah didaftarkan tetapi tidak memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Oleh karena itu, negara memberikan landasan hukum agar anak yang belum mendaftar
atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Maka diaturlah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan,
Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, karena peraturan
pemerintah yang lama dianggap kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga perlu
dilakukan penyesuaian untuk meningkatkan pelayanan kewarganegaraan kepada masyarakat
serta demi kepastian hukum status kewarganegaraan seseorang, dengan masa berlaku selama
jangka waktu 2 (dua) tahun.
Dalam melangsungkan perkawinan, banyak masyarakat yang menikah dengan
pasangannya yang berbeda kewarganegaraan misalnya seorang pria warga negara Indonesia yang
menikah dengan wanita warga negara asing ataupun sebaliknya. Itu disebabkan karena pengaruh
globalisasi saat ini. Tentu saja perkawinan tersebut akan menimbulkan masalah dalam penentuan
status kewarganegaraan apabila pasangan tersebut memiliki anak, terutama apabila pasangan
tersebut menetap di Indonesia. Di Indonesia sendiri dalam kasus perkawinan campuran memang
tidak memberikan status kewarganegaaan Indonesia secara otomatis bagi warga negara asing
yang menikah dengan warga negara Indonesia. Namun apabila mereka ingin mendapatkan
kewarganegaraan Indonesia, maka mereka harus mengajukan permohonan resmi kepada instansi
yang berwenang sesuai peraturan yang berlaku. Pengaturan status kewarganegaraan anak hasil
perkawinan campuran perlu diketahui terlebih dahulu apakah anak itu lahir sebelum berlakunya
undang-undang kewarganegaraan yang baru atau setelah undang-undang tersebut berlaku.
Apabila ia lahir sebelum undang-undang tersebut berlaku dan tetap tinggal di Indonesia sampai
undang-undang ini berlaku, maka anak tersebut harus didaftarkan oleh orang tuanya paling lama
4 tahun setelah berlakunya UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 agar mendapat pengakuan
serta perlindungan hukum sebagai warga negara Indonesia.
Masih banyak terdapat anak berkewarganegaraan ganda yang tidak terdaftar, terlambat
memilih, atau tidak memilih status kewarganegaraan untuk menjadi warga negara Indonesia
Dalam catatan Direktorat Jenderal AHU, saat ini anak yang tidak terdaftar, terlambat memilih,
atau tidak memilih status kewarganegaraan berjumlah lebih kurang 5.390 orang. Sedangkan yang
telah memilih kewarganegaraan Republik Indonesia berjumlah 500 orang.
Maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Bagaimana bila orang tua
tidak mendaftarkan anaknya untuk memiliki kewarganegaraan Indonesia baik karena tidak
mendaftar, tidak tahu, atau lupa, sehingga, habis tenggat waktu yang diberikan ? karena
berdasarkan Pasal 67A Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, anak yang belum
mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3A harus mengajukan permohonan Pewarganegaraan kepada Presiden melalui
Menteri paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada prinsipnya politik hukum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menganut asas
kewarganegaraan tunggal, akan tetapi Undang-Undang ini tidak mengenyampingkan
penggunaan asas kewarganegaraan ganda yang bersifat terbatas. Maksudnya disini adalah
kewarganegaraan ganda ini diberikan ntuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam
perkawinan campuran maupun setelah putusnya perkawinan campuran yang terdapat perbedaan
kewarganegaraan antara orangtua dan anak-anak hasil perkawinan itu. Seiring dengan
melekatnya kewarganegaraan ganda terbatas pada anak hasil perkawinan campuran, maka anak
tersebut tunduk pada dua yurisdiksi dari dua negara (kewarganegaraan orang tuanya).
Hampir setengah abad pengaturan mengenai kewarganegaraan dalam hal perkawinan
campuran antara warga negara asing dengan warga negara Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958. Yang mana dalam undang-undang tersebut sangat membatasi
hubungan antara ibu dengan anaknya terlebih lagi jika perkawinan tersebut putus karena
perceraian sehingga banyak masyarakat serta golongan yang berpendapat bahwa undang-undang
itu sudah tidak sanggup untuk mendasari serta menampung kepentingan para pihak dalam
perkawinan campuran terutama dalam hal pengaturan masalah kewarganegaraan bagi anak-anak
hasil perkawinan campuran tersebut. Untuk itu akhirnya pada tahun 2006 akhirnya undang-
undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang mana dengan
lahirnya undang-undang yang baru ini dapat mengurangi permasalahan yang timbul dari
perkawinan campuran salah satunya yaitu dalam pengaturan status kewarganegaraan anak hasil
perkawinan campuran. Setelah berlakunya undang-undang tersebut di Indonesia maka secara
otomatis Indonesia menganut sistem kewarganegaraan ganda terbatas. Artinya anak-anak yang
lahir dari perkawinan campuran pasca berlakunya undang -undang ini dapat memiliki atau
memperoleh kewarganegaraan ganda, baik kewarganegaran ibunya atau pun kewarganegaraan
ayahnya sampai ia berumur 18 tahun atau paling lambat saat ia berumur 21 tahun harus sudah
memiliki satu kewarganegaraan tetap. Itu artinya anak dapat memiliki kewarganegaran ganda
namun sifatnya terbatas sampai umur 18 tahun.
Dengan pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas terhadap anak-anak hasil
perkawinan campuran merupakan satu hal yang positif bagi anak, terlebih lagi bahwa yang
berhak mendapatkan kewarganegaraan ganda terbatas ini tidak hanya anak hasil perkawinan
campuran yang sah tetapi juga berlaku bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran luar
kawin yang diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing.
Adapun persoalan-persoalan yang muncul terkait anak berkewarganegaraan ganda
sebagian besarnya adalah terkait dengan pengaturan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tersebut. antara lain:
1. Anak berkewarganegaraan ganda yang tidak didaftarkan untuk memperoleh Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI terkait Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dalam hal ini, anak berkewarganegaraan ganda dimaksud sama sekali tidak
mendaftarkan diri berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sehingga ia tidak memiliki Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI. Dampaknya, tanpa surat keputusan dimaksud
anak tersebut tidak dapat menyatakan memilih Kewarganegaraan Indonesia saat telah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah kawin sebagaimana diatur di dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 atau dengan kata lain, anak tersebut secara serta-
merta berstatus sebagai orang asing.
2. Anak berkewarganegaraan ganda yang telah memiliki Surat Keputusan Menteri Hukum
dan HAM RI, tetapi ia melewati batas waktu untuk menyatakan memilih
Kewarganegaraan Indonesia yang diamanahkan oleh Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Anak tersebut telah
mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, tetapi ia
tidak menyatakan memilih KewarganegaraanIndonesia setelah berusia 18 (delapan belas)
tahun atau telah menikah sampai batas waktu yang ditetapkan oleh Pasal 6 dimaksud
berakhir. Artinya, anak berkewarganegaraan ganda yang termasuk dalam kategori ini
telah melalui setengah dari mekanisme birokrasi yang ditentukan oleh Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006, yaitu mekanisme Pasal 41, tetapi tidak melaksanakan mekanisme
lanjutan di Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Alhasil, anak tersebut
dianggap sebagai orang asing karena tidak menyatakan memilih Kewarganegaraan
Indonesia sampai jangka waktu berakhir.
3. Anak-anak hasil perkawianan campur merupakan Warga Negara Indonesia tetapi
dilahirkan di negara-negara yang menganut asas kewarganegaraan berdasarkan tempat
kelahiran (place of birth) atau disebut asas ius soli. Dikarenakan anak-anak tersebut lahir
di negara-negara dimaksud, maka anak-anak itu dianggap sebagai warga negara mereka.
Ironisnya, padahal sebagian besar dari mereka justru hanya tinggal di negara tersebut
pasca kelahirannya. Sementara setelah itu, mereka malah dibawa oleh orangtuanya
kembali ke Indonesia. Persoalannya justru ketika anak anak tersebut telah tinggal di
Indonesia dan ingin pergi ke negara tempat kelahirannya itu dan mengajukan
permohonan visa untuk suatu keperluan (hampir semua keperluannya adalah melanjutkan
studi), anak tersebut justru disuguhi paspor oleh negara yang bersangkutan. Hal itu
disebabkan dalam database kewarganegaraan negara yang bersangkutan, anak tersebut
adalah warga negara setempat. Sementara apabila anak dimaksud menerima paspor dari
negara yang bersangkutan, ia akan kehilangan Kewarganegaraan Indonesianya karena
mekanisme praktis dari Pasal 23 huruf h Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Penyebab yang melatarbelakangi timbulnya persoalan-persoalan sebagaimana dimaksud
di atas, seperti adanya ketidaktahuan masyarakat tentang adanya ketentuan Pasal 41 tersebut di
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Hal itu sangat logis, mengingat bahwa undang-
undang tersebut baru diundangkan pada tahun 2006. Sementara itu, untuk pendaftaran anak
berkewarganegaraan ganda sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
diberikan batas waktu hanya 4 (empat) tahun terhitung sejak diundangkannya undang-undang
tersebut. Dalam rentang waktu sesingkat itu, tentu banyak masyarakat yang tidak mengetahui
adanya ketentuan khusus yang bersifat temporer seperti halnya ketentuan Pasal 41 tersebut.
Bahkan, ada masyarakat yang tidak mengetahui telah adanya undang-undang baru yang
mengatur perihal kewarganegaraan, meskipun fakta-fakta logis tersebut tetap dinafikan oleh
adagium hukum, “ignorantia juris non excusat” atau ‘ketidaktahuan hukum tidak akan
dimaafkan’.
Untuk menjamin pelindungan hak status kewarganegaraan bagi setiap orang berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan untuk memberikan kepastian
hukum dan keadilan dalam pemberian kewarganegaraan Indonesia sebagai bentuk kehadiran
negara kepada anak yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Undang Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, serta untuk menyempurnakan tata cara
pelaporan kehilangan dan memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia bagi Warga Negara
Indonesia, dan memperkuat basis data Pewarganegaraan, maka diterbitkan PP. 21 Tahun 2022
tentang perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh,
Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Sesuai dengan Pasal 67A PP. 21 Tahun 2022, maka Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku, anak yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih
kewarganegaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A PP. 21 Tahun 2022 yaitu Bagi anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 Undang-Undang yang: a. belum mendaftar; atau b. sudah
mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-
Undang, harus mengajukan permohonan Pewarganegaraan kepada Presiden melalui Menteri
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan yaitu 31 Mei 2025.
BAB III
KESIMPULAN
1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan PP Nomor 2 tahun
2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia yang baru dikeluarkan, merupakan sebuah solusi
atas permasalahan kewarganegaraan yang dihadapi masyarakat.
2. Penetapan PP No. 21 Tahun 2022 pada tanggal 31 Mei 2022, merupakan bentuk
kehadiran negara dalam memberikan perlindungan dan kepastian hokum bagi anak anak
hasil perkawinan campuran dan anak anak yang lahir di negara Ius Soli
(Kewarganegaraan anak jika anak tersebut lahir dinegara yang menganut ius soli),
dimana anak anak yang lahir sebelum berlakunya UU No. 12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan RI yang tidak mendaftar sebagai anak berkewarganegaraan ganda dan
anak anak yang lahir sebelum berlakunya UU No.12 tahun 2016 yang sudah mendaftar
tetapi tidak atau terlambat memilih kewarganegaraan republik ndonesia hingga batas
waktu yang ditentukan berakhir.
3. Memberikan kemudahan bagi anak berkewarganegaraan ganda untuk mendaftar sebagai
WNI. Pertama, dalam hal anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia dan tidak
memiliki persyaratan surat keterangan keimigrasian (ITAP/ITAS), dapat melampirkan
Biodata Penduduk yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Kedua, bagi anak-anak yang belum mempunyai pekerjaan dan/atau penghasilan
sebagaimana dipersyaratkan, maka dapat diwakilkan oleh orang tuanya sebagai penjamin.
Ketiga, dikenakan pembedaan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
berlaku bagi Pewarganegaraan anak-anak tersebut yaitu hanya sebesar 5 juta rupiah.
Daftar Pustaka
Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta,
2001.
Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta,
2001.
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta,
1990.
Darji Dannodiharjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta,
1995. Harun Al-Rasid dalam Abdul Latif dan Habsin Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
http://www.kosmaext2010.com/makalah-landasan-kebijakan-pendidikan-indonesia2-.php,
diakses pada tanggal 17 Juni 2015 jam 19:17.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar Dasar Politik Hukum, PT Raja Gafrindo Persada,
Jakarta, 2004.
Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit: C.V. Mandar Maju,
Bandung, 2003, hlm 182 lihat juga Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Penerbit Armico, Bandung,
1987.
Mahfud MD, Hukum tak Kunjung Tegak, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007) yang berisi
betapa mandulnya hukum di Indonesia jika berhadapan dengan politik.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun. Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1995.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Kosnep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis),
Penerbit Alumni, Bandung, 2002.