Anda di halaman 1dari 5

LARANGAN MUDIK 2021, HARUSKAH DITAATTI ?

Wabah COVID-19 yang telah membuat kekacuan di seluruh dunia ini terus memakan
korban. Indonesia akan kembali melarang tradisi eksodus mudik tahunan yang dikenal
secara lokal sebagai mudik tahun ini, demikian diumumkan menteri Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan negara itu hari ini. Masih akan ada satu hari
cuti bersama untuk Hari Raya Idul Fitri, namun setiap kegiatan mudik dilarang.
Bantuan sosial akan disalurkan kembali untuk itu. Pengumuman hari ini secara efektif
membalikkan apa yang dikatakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 16
Maret, yang mengatakan bahwa mudik tidak akan dilarang tahun ini meskipun
pandemi sedang berlangsung.

Penanggulangan ini sebagai pencegahan penyebaran virus serta program vaksinisasi


massal menjadikan pemerintah resmi melarang mudik lebaran 2021. Sesuai arahan
dan persetujuan presiden, aparat kepolisian telah menyiapkan sanksi bagi warga yang
tetap nekat melakukan mudik lebaran tahun ini. SE Nomor 13 Tahun 2021 mengatur
Tentang Penghapusan Mudik Idul Fitri tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian
Penyebaran COVID-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Surat tersebut
ditandatangani oleh Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Doni Monardo pada
7 April 2021 dan berlaku mulai 6 hingga 17 Mei 2021.

Mekanisme mobilitas orang dan barang akan diatur oleh kementerian dan lembaga
terkait. Untuk kegiatan keagamaan menyambut Ramadhan, akan diatur oleh
Kementerian Agama dalam konsultasi dengan organisasi keagamaan. Menteri
mengatakan bahwa larangan itu menjadi sangat disarankan agar warga tidak
bepergian keluar daerah masing-masing sebelum dan sesudah masa larangan mudik.
Pemerintah telah berulang kali mengurangi jumlah hari libur nasional untuk
mencegah orang bepergian sepanjang pandemi. Meskipun demikian, Indonesia secara
teratur mencatat lonjakan kasus besar setelah liburan besar, dengan lonjakan tertinggi
khususnya lebih dari 10.000 kasus per hari datang setelah liburan Natal dan Tahun
Baru.

Protokol larangan mudik 2021 tetap digelar apapun kondisinya dinyatakan absolut.
Keputusan itu memberikan saksi berupa denda, stigma sosial, sampai kurungan.
Penukilan lain ada yang memperbolehkan beberapa pihak melakukan perjalanan
dalam situasi larangan mudik 2021. Syaratnya harus memiliki izin keluar masuk
(SIKM).Perjalanan masyarakat selama Ramadan dan Idul Fitri dikecualikan untuk
kendaraan jasa distribusi logistik dan pemudik dengan kebutuhan mendesak untuk
kepentingan non-musli. Alasan yang dikecualikan adalah untuk perjalanan
kerja/bisnis, kunjungan keluarga yang sakit, kunjungan pemakaman anggota keluarga
almarhum, ibu hamil didampingi satu anggota keluarga, dan kepentingan persalinan
didampingi maksimal dua orang.

Kemudian masyarakat yang melakukan perjalanan lintas


kota/kabupaten/provinsi/negara selama Ramadhan dan Idul Fitri harus memiliki
hardfile surat izin perjalanan tertulis atau SIKM sebagai syarat untuk bepergian.Syarat
untuk membuat SIKM bagi pegawai instansi pemerintah, BUMN/BUMD, prajurit
TNI, dan anggota Polri adalah melampirkan hasil cetak surat izin tertulis dari pejabat
setingkat eselon II yang dilengkapi dengan tanda tangan pejabat dan identitas calon
pemudik.Untuk karyawan swasta melampirkan surat izin tertulis cetak dari pimpinan
perusahaan yang dilengkapi dengan tanda tangan pimpinan perusahaan serta identitas
calon pemudik.Kemudian, pekerja sektor informal melampirkan surat izin tertulis
cetak dari kepala desa yang dilengkapi dengan tanda tangan basah/elektronik kepala
desa serta identitas calon pemudik.Sementara itu, untuk masyarakat umum bukan
pekerja melampirkan surat izin tertulis cetak dari kepala desa yang dilengkapi dengan
tanda tangan basah/tanda tangan elektronik kepala desa serta identitas calon pemudik.

SIKM berlaku secara individu, berlaku untuk satu kali pulang pergi, dan wajib bagi
pemudik dewasa berusia 17 tahun ke atas.Selain SIKM, semua pemudik yang
diperbolehkan bepergian juga harus melampirkan hasil negatif tes COVID-19 baik
menggunakan PCR, rapid test antigen, atau GeNose C19.Screening ini dilakukan di
pintu kedatangan atau pos kontrol yang berada di rest area, perbatasan kota besar, pos
pemeriksaan, dan titik penyekatan area aglomerasi oleh anggota TNI/Polri dan
pemerintah daerah. Masyarakat dalam kutipan yang mendapatkan izin untuk
bepergian diwajibkan melakukan karantina mandiri selama 5x24 jam setibanya di
tempat tujuan kegiatan sebelumnya. Karantina dilakukan di fasilitas yang meliputi
fasilitas pemerintah daerah dan hotel yang dapat menjadi protokol kesehatan yang
ketat dengan menggunakan biaya mandiri, atau dari keluarga.
Sanksi yang akan dilakukan seperti tahun sebelumnya, bagi masyarakat yang
menggunakan kendaraan dan tidak memenuhi persyaratan tersebut akan dibalik. Perlu
diketahui, kendaraan yang dilarang bepergian selama larangan mudik berlaku, yaitu
kendaraan bermotor umum dengan jenis mobil bus dan mobil penumpang. Kemudian
kendaraan bermotor perorangan dengan mobil penumpang, mobil bus, dan sepeda
motor, serta kapal pengangkut sungai, danau, dan penyeberangan. Selain Polri,
penguatan pengawasan larangan mudik juga melibatkan unsur TNI, Satpol PP dari
dinas kabupaten / kota, unsur dinas perhubungan kabupaten/kota dan Badan Pengelola
Transportasi ditiap daerah.

Namun kebijakan diperbolehkannya tempat pariwisata dan penginapan tetap


beroperasi yang dikeluarkan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif justru
menaikkan sektor pariwisata saat libur lebaran 2021. Hal tersebut dilakukan sebab
khawatir aturan ini berimbas pada anjloknya ekonomi pariwisata Indonesia. Hingga
presiden Jokowi dan menteri pertahan Prabowo yang bertandang hadiri pernikahan
Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah ditengah wabah Covid-19 ini dinilai tak
mencerminkan ketaatan yang telah dibuat. Kebijakan tumpang tindih inilah yang
membuat persepsi kritik di masyarakat. Ketidakkonsistenan dan adil dalam kebijakan
larangan mudik. Merujuk pengalaman di tahun sebelumnya, faktanya tetap ada
peningkatan mobilitas warga melanggar larangan mudik.

Konsistensi kebijakan di lapangan hingga keharusan untuk hasil yang diharap


memang tak mudah apalagi harus membendung penyebaran Covid-19 sambil
bersamaan menjaga kestabilan sektor perekonomian. Wajar bila masyarakat masih
mempertanyakan mengapa mudik dilarang tetapi tempat wisata buka dan tempat
ibadah dibatasi serta pelarangan sholat terawih, apalagi pelanggaran nyata kehadiran
oknum pemerintah pada acara pernikahan yang kala lalu diterapkan kebijakan
pembubaran paksa dan sanksi denda.

Agar tak meresahkan, pemerintah diharapkan untuk mematangkan larangan mudik,


ibadah pada bulan puasa, dan tempat wisata. Tidak boleh ada lagi keputusan yang
membingungkan masyarakat. Kesiapan harta dan sumber daya manusianya
seharusnya lebih diutamakan agar berlaku dan pengawasan di lapangan konsisten.
Jangan sampai masyarakat yang tidak mudik dan tidak mentaati aturan justru kecewa
pada oknum publik yang membuat peraturan malah melanggar namun tidak terjerat
hukum. Pemerintah seharusnya memberi contoh agar masyarakat mau bersama-sama
berkorban tidak mudik demi pencegahan penyebaran Covid-19 jika larangan mudik
tetap ditetapkan.

Selanjutnya, apabila kita lihat Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28J ayat 2
menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrat”. Sesuai
UUD tahun 1945 pasal 28j ayat 2 diatas pemerintah tidak dibenarkan menerapkan
larangan terhadap aktivitas warga negara dalam hal ini mudik lebaran, namun
pemerintah diperkenankan untuk mengatur pembatasan demi kepentingan umum
dan dituangkan dalam instrumen hukum Undang-Undang (bukan Peraturan Menteri)
dan Hak Manusia untuk bermobilisasi sendiri diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Walaupun keputusaan
tersebut bersifat jangka pendek, namun tidak dipungkiri memiliki dampak sangat luas.
Salah satunya, bisa dipastikan, akan berimplikasi terhadap hak asasi manusia (HAM)
yang dalam perspektif sesungguhnya merupakan pembatasan terhadap realisasi
pemenuhan HAM oleh negara. Negara memiliki tiga kewajiban terkait HAM, yaitu;
melindungi (to protect), menghormati (respect), dan memenuhi (fulfill) HAM.

Selama ini pemerintah mengatur pembatasan aktivitas masyarakat dengan


berpedoman Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Namun sampai saat ini pemerintah tidak menerapkan Undang-Undang kekarantinaan
kesehatan sepenuhnya, hanya sebatas himbauan kepada masyarakat tentang
kedaruratan kesehatan di masa pandemi ini. Salah satu kasusapabila masyarakat yang
telah membeli tiket transportasi jauh-jauh hari dan tiba-tiba ada kebijakan larangan
mudik, tentu masyarakat yang di rugikan hak mereka sebagai penumpang telah hilang
dan secara waktu dan finansial mereka akan dirugi. Mengingat tahun kemarin
pengembalian tiket secara vocher atau reschedule dan tidak bisa pengembalian dalam
bentuk uang. Hal ini tentunya menimbulkan kebingungan di masyarakat terkait
peraturan dan kebijakan yang di keluarkan pemerintah terkesan terlalu mepet bahkan
hak dan kebebasan mereka sebagai warga negara telah dilanggar sendiri oleh
pemerintah dengan tidak memberikan jaminan hak akan bermobilisasi atau aktivitas.

Di dalam Hukum Progresif di mulai dari hakikat dasar hukum adalah untuk manusia.
Hukum tidak hadir untuk dirinya – sendiri sebagaimana yang digagas oleh ilmu
hukum positif–tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa
hukum itu selalu berada pada status ‘law in the making’ (hukum yang selalu berproses
untuk menjadi).1 Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijkan-kebijakan yang telah
dikeluarkannya dalam melarang mobilitas masyarakat di masa pandemi covid 19.
Terutam kebijakan dalam bidang transportasi, yang belum tersentuh oleh pemerintah.
Kebijakan larangan mudik dikeluarkan tetapi pemerintah tidak menyesuaikan
kebijakan atau regulasi tentang pengembalian tiket perjalanan dan biaya penginapan
yang tidak bisa di tukarkan dalam bentuk uang melainkan penggantian jadwal dan
vocher. Apalagi penggantian jadwal dan vocher tersebut di batasi waktu yang telah di
tentukan manajemen penyedia jasa.

Hal ini tentunya akan terjadi lagi seperti tahun kemarin, mengingat pandemi covid 19
ini telah berlangsung selam 1 tahun akan tetapi pemerintah belum menyentuh dengan
kebijakan perlindungan konsumen. Seyogianya sebuah kebijakan yang di tuangkan
kedalam undang-undang dan diturunkan kedalam peraturan menteri dibawahnya
untuk mengatur teknik pelaksanaannya untuk melindungi masyarakat dan
memberikan kepastian kepada masyarakat dalam menjalankan aktivitas. Di samping
itu pemerintah di sarankan membuat masterplan penanganan covid 19 dan pemulihan
perekonomian, sehingga dapat dirumuskan program, kegiatan sampai target
penanganannya. Tidak selalu mengatur mobilitas pergerakan masyarakat tanpa
mengatur aspek lain yang ditimbulkan pandemi covid 19. Sehingga masyarakat dapat
merasakan penanganan covid 19 melalui program, kegiatan bukan hanya kebijakan
larangan tanpa memberikan perlindungan terhadapat masyarakat atau warga negara
indonesia.

1. Satjipto Rahardjo,”Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal Hukum Progresif”.


Program Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro, Vol. 1/No. 1/April 2005, hal. 16

Anda mungkin juga menyukai