Abstrak (Abstract)
Bagi masyarakat Indonesia, mudik merupakan salah satu tradisi dalam merayakan Hari Raya
Lebaran. Namun untuk mencegah lonjakan kasus Covid-19 maka pemerintah mengeluarkan
kebijakan larangan mudik Lebaran 2021 yang berlaku pada 6-17 Mei 2021. Regulasi tersebut
ternyata tidak dapat membendung antusiasme masyarakat untuk tetap melakukan mudik.
Tulisan ini ingin mengkaji arah kebijakan larangan mudik lebaran 2021. Ditemukan bahwa,
larangan mudik ternyata menyebabkan munculnya rasa ketidakadilan pada masyarakat. Hal
ini karena pemerintah hanya melarang kegiatan mudik, namun tetap membuka daerah
wisata. Pemerintah juga tetap menerima kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) saat
larangan mudik berlaku. Kondisi ini menyebabkan banyak masyarakat yang memaksakan diri
untuk tetap mudik. Ke depan, perlu ada evaluasi agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
guna mencegah kenaikan kasus penyebaran Covid-19 dapat berjalan efektif. DPR RI melalui
fungsi pengawasan dapat memberi masukan bagi evaluasi kebijakan larangan mudik bila
akan diterapkan kembali pada masa liburan mendatang.
1. PENDAHULUAN
Mudik merupakan fenomena sosio-kultural. Dia adalah darah daging manusia
Indonesia. Berbagai alasan rasional seolah tidak mampu menjelaskan fenomena yang
teranyam rapat dalam nilai kultural bangsa Indonesia itu. Pulang mudik sekali setahun tidak
hanya sekedar melepas kerinduan pada kampung halaman tetapi mengandung makna yang
jauh lebih dalam dari itu. Kalau hanya sekedar mengobati kerinduan pada keluarga
atau kampung halaman, tentu dapat dilakukan di lain waktu, di luar waktu lebaran. Pada
tahun 2017 dan 2018 total masyarakat Indonesia yang melakukan mudik lebih dari 20 juta
orang. Sehingga dapat dikatakan sekitar 10% dari masyarakat indonesia terlibat dalam
aktivitas tersebut. Selain berdampak sosial yang tinggi, kegiatan mudik ini juga melibatkan
pergerakan rantai perekonomian yang nilainya mencapai 9,7 Triliun Rupiah pada tahun
2019. Sehingga, ketika pemerintah menetapkan kebijakan larangan perjalanan mudik pada
April 2020 sebagai langkah strategis penanganan Covid-19 tentu memberikan dampak pada
jutaan masyarakat Indonesia, baik secara sosial juga secara ekonomi.
Kebijakan pelarangan mudik tersebut akhirnya menimbulkan pro dan kontra karena
beberapa hal di antaranya masalah timing. Terkait timing kebijakan pelarangan mudik
dianggap diputuskan terlalu mendadak yaitu kurang dari sebulan sebelum hari raya idul fitri.
Hal ini sangat disayangkan karena sebagian besar masyarakat telah mempersiapkan mudik
jauh-jauh hari sebelumnya. Banyak yang harus membatalkan rencana termasuk
membatalkan pemesanan akomodasi dan juga tiket kendaraan. Konsistensi kebijakan terkait
perjalanan mudik juga menjadi permasalahan. Pasalnya, kebijakan yang pertama kali muncul
terkait mudik adalah bukan berupa pelarangan tetapi hanya berupa imbauan. Hal tersebut
memberikan penafsiran bahwa mudik pada tahun tersebut diperbolehkan dengan syarat
memperhatikan beberapa hal. Sehingga, banyak dari masyarakat dengan berbagai alasan dan
pertimbangan pada saat itu tetap memutuskan untuk mudik pada tahun tersebut. Namun,
ketika pada akhirnya kebijakan imbauan diubah oleh pemerintah menjadi kebijakan
larangan tentu menjadi hal yang sangat disayangkan. Kebijakan yang tidak konsisten
tersebut menimbulkan persepsi pada masyarakat bahwa adanya ketidakseriusan
pemerintah. Hal ini menjadi sebab munculnya permasalahan yang selanjutnya yaitu terkait
praktik yang terjadi di lapangan ketika memasuki waktu mudik. Di mana meskipun sudah
dilarang, kenyataannya di lapangan tidak sedikit yang tetap melakukan mudik. Hal ini
diperparah dengan kondisi sedikitnya upaya penegakan kebijakan tersebut di lapangan.
Sehingga, tujuan dari kebijakan pelarangan mudik untuk meminimalisir persebaran Covid-19
tidak tercapai karena tidak adanya usaha yang ketat untuk menjalankannya. Justru, muncul
cluster-cluster baru persebaran Covid-19 di daerah yang sebelumnya cukup steril.
Pada tanggal 16 Maret 2021, pada berbagai kanal media diungkapkan bahwa pada
prinsipnya perjalanan mudik hari raya tahun 2021 tidak dilarang. Menteri Perhubungan RI
Budi Karya Sumadi menyatakan bahwa pemerintah tidak melarang mudik pada 2021.
Pernyataan yang disampaikan oleh Menhub tersebut tentu menjadi angin segar baik bagi
masyarakat yang ingin merayakan hari raya bersama keluarga di kampung halaman dan juga
bagi pelaku ekonomi yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan mudik. Namun, sehari
setelahnya juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 memberikan isyarat bahwa
kebijakan terkait mudik belumlah final. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Ketua
Satgas Penanganan Covid-19 yang meminta masyarakat untuk bersabar.
Selanjutnya pada tanggal 22 Maret 2021, Wapres Ma’aruf Amin juga menyatakan
bahwa belum ada keputusan terkait pelaksanan mudik. Kemudian pada tanggal 26 Maret
2021, keputusan final terkait perjalanan mudik tahun 2021 diputuskan.
Muhadjir Effendi, selaku Menko Bidang Pembangunan Manusia menyampaikan bahwa
perjalanan mudik tahun 2021 dilarang dan berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat.
Keputusan tersebut merupakan arahan Presiden dan hasil rapat koordinasi tingkat menteri.
Berbagai macam kebijakan telah dilakukan untuk meminimalisir dampak dan
menghentikan penularan. Di antara kebijakan tersebut adalah pemberlakukan pembatasan
sosial, mekanisme Work from Home (WFH), metode distance learning, pemberian stimulus
ekonomi, bantuan sosial, dan pembatasan perjalanan -baik domestik maupun luar negeri.
Kebijakan-kebijakan tersebut silih berganti ditetapkan dan diterapkan dengan berbagai
macam penyesuaian, minor ataupun mayor. Salah satu kebijakan pemerintah yang dapat kita
analisis adalah pembatasan perjalanan sebagai bagian dari karantina wilayah. Hal tersebut
dilakukan dengan maksud untuk membatasi pergerakan masyarakat dari satu wilayah ke
wilayah lainnya agar tidak terjadi penularan covid-19 dan juga berbagai upaya dikerahkan,
mulai dari penyekatan jalur mudik di 333 titik hingga penerapan kembali Surat Izin Keluar
Masuk (SIKM). Meski sudah dilarang, Kementerian Perhubungan memproyeksi 27 juta
penduduk masih akan nekat mudik di tengah pandemi covid-19. Perkiraan itu berdasarkan
estimasi hasil survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenhub pada Maret 2021.
Memang ada berbagai alasan mengapa orang balik mudik lebaran. Namun, fenomena
mudik jelas berkaitan erat dengan alasan kultural yang menyangkut tiga hal pokok, yaitu
kebutuhan kultural untuk mengunjungi orang tua dan keluarga, berziarah ke makam kerabat,
dan menilik warisan tinggalan keluarga di tempat asal. Jika ketiga alasan itu tidak hadir,
maka dapat dipastikan dorongan untuk mudik menjelang lebaran hampir tidak ada. Namun
yang paling pokok dari ketiga hal itu tampaknya adalah alasan untuk mengunjungi orang tua
dan kerabat. Pada bangsa Indonesia, umumnya ada semacam kebutuhan kultural yang
seolah-olah sebuah kekuatan yang mampu “memaksa” para perantau pulang kampung untuk
mengunjungi orang tua dan kerabat mereka pada saat lebaran. Kebutuhan kultural itu
begitu kuatnya dan mendorong orang untuk pulang mudik. Dorongan itu semakin kuat
dengan adanya persepsi bahwa kesempatan yang paling cocok dan pantas bagi anak-anak
terhadap orang tua.
Dari sisi kajian sosiologis, para pemudik adalah aktor sosial yang membangun sistem
sosialnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari beragam fakta lapangan. Contohnya, bagaimana
pemerintah daerah kompak memperbaiki sarana penunjang kelancaran mudik, mulai dari
jalan, destinasi wisata, hingga tempat peristirahatan. Bahkan ada pemerintah lokal yang
menyambut meriah para pemudik. Mereka kerap dianggap sebagai pahlawan kampung
halaman "karena ketika sedang merantau di kota maupun ketika mudik ke kampung
halamannya, para pemudik ini tidak pernah melepaskan kepedulian sosial ekonominya
kepada penduduk yang tidak bisa atau tidak mau merantau.
Dari sisi swasta, mereka juga terdampak sistem sosial yang diciptakan para pemudik.
Perusahaan-perusahaan transportasi, misalnya, yang mendapat keuntungan besar saat
musim mudik tiba. Ya, meski tahun ini agak berbeda. Yang jelas, secara umum mudik adalah
sistem sosial yang terbangun puluhan tahun. Melihat kenapa orang Indonesia begitu terikat
dengan fenomena mudik, kita perlu melihat kembali sejarah mudik di Nusantara.
Seperti dijelaskan Tantan tentang para perantau sebagai pahlawan, mudik memang
berkaitan dengan nilai-nilai itu: romantisme. Tradisi mudik pada dasarnya adalah tradisi
orang kota. Mudik hadir bersamaan dengan munculnya kota-kota modern di Indonesia dan
gejala urbanisasi pada abad ke-19. Hal itu erat kaitannya dengan Jakarta yang sejak bernama
Batavia dan berstatus Ibu Kota Kolonial telah jadi magnet orang-orang dari berbagai daerah
untuk mengadu nasib. Tak ayal, jumlah urbanisasi yang besar membuat Batavia, terutama
Jakarta, jadi identik dengan mudik.
Gejala-gejala covid-19 yang paling umum adalah demam, rasa lelah, dan batuk kering.
Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, sakit
tenggorokan atau diare, Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul
secara bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apa pun dan tetap
merasa sehat. Sebagian besar (sekitar 80%) orang yang terinfeksi berhasil pulih tanpa perlu
perawatan khusus. Sekitar 1 dari 6 orang yang terjangkit covid-19 menderita sakit parah dan
kesulitan bernapas. Orang-orang lanjut usia (lansia) dan orang-orang dengan kondisi medis
yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung atau diabetes,
punya kemungkinan lebih besar mengalami sakit lebih serius. Mereka yang mengalami
demam, batuk dan kesulitan bernapas sebaiknya mencari pertolongan medis. (WHO)
Perpindahan penduduk baik itu bersifat permanen atau non permanen tidak dibatasi
dengan sifat ataupun jarak perpindahan, sukarela atau tidak dan didalam negeri atau luar
negeri. Hanya saja jelas dikatakan bahwa setiap perpindahan harus didefinisikan dengan
niat orang akan melakukan perpindahan (Everett Lee, 1984). Mudik dapat diinterpretasikan
sebagai perpindahan penduduk secara sementara dan kembali ke daerah asal dengan
harapan membawa keberhasilan yang dituai di kota besar.
1. Sumber Daya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan
manfaat sumber daya yang tersedia. Manusia dan anggaran merupakan sumberdaya
yang penting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi.
Dicontohkan, dengan pemudik yang mencapai jumlah jutaan tetapi pos-pos penyekatan
sedikit dan juga aparat kepolisian di pos penyekatan yang jumlahnya tidak seimbang
dengan para pemudik membuat para pemudik roda dua lolos seperti yang terjadi di
Pos Sekat Bundaran Kepuh, Kabupaten Karawang. Lolosnya ratusan motor yang
menerobos itu terjadi lantaran jumlah personil tak sebanding jumlah pemudik. Pada
saat pemudik memaksa melintas, dikarenakan jumlah personil yang tidak sebanding
dengan jumlah pemudik (diperkirakan terdapat 500 pemudik) sehingga pemudik
secara paksa melintas melingkar dengan cara melawan arus (Republika, 8 Mei 2021).
3. Sikap/Kecenderungan (Disposition)
Para Pelaksana Sikap penolakan dari masyarakat sangat mungkin terjadi karena
kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal
betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Aktor yang terlibat lainnya
yaitu pemerintah pusat dan daerah, tidak sinkron dalam menanggapi kebijakan
larangan mudik ini. Ada pemerintah daerah yang melakukan kebijakan isolasi untuk
para pemudik yang datang dengan menyediakan tempat isolasi tetapi ada juga pemda
yang tidak melakukan kebijakan apapun terhadap para pemudik yang datang.
4. Komunikasi
Kurangnya sosialisasi pemerintah terhadap surat edaran larangan mudik yang tiba-
tiba membuat masyarakat bingung. Pemerintah juga tidak melakukan komunikasi yang
baik dengan Pemda untuk menyosialisasikan sanksi-sanksi jika Pemda tidak
membantu dalam penerapan kebijakan pemerintah tersebut. 6. Lingkungan Ekonomi,
Sosial dan Politik Keberadaan warung-warung sepanjang jalan pemudik dapat
mempengaruhi kebijakan larangan mudik ini. Demikian pula kebijakan tempat
pariwisata yang tetap buka menyebabkan masyarakat menilai bahwa larangan mudik
tidak tegas. Selain itu faktor banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di kota-kota
besar menyebabkan masyarakat ingin segera kembali ke kampung halaman tanpa
mengindahkan larangan mudik.
3. Metode penelitian
A. Jenis Penelitian
1. Tipe Studi
Desain penelitian yang diambil dalam penulusuran ilmiah ini adalah mix
methods studi, cross sectional studi, analisis korelasi, dan kualitatif studi.
2. Tipe Intervensi
Intervensi utama yang ditelaah pada penulusuran ilmiah ini adalah Analisis
Kebijakan Larangan Mudik Oleh Pemerintah Terkait Penyebaran Covid-19
tahun 2021 M/1442 H
3. Hasil Ukur
Outcome yang di ukur dalam penulusuran ilmiah ini adalah analisis kebijakan
larangan mudik oleh pemerintah terkait penyebaran Covid-19 tahun 2021
M/1442 H terkait efektivitas dan penerapan kebijakan tersebut.
.
Artikel atau jurnal yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi
diambil untuk selanjutnya dianalisis. Literature Review ini menggunakan
literatur terbitan tahun 2011-2021 yang dapat diakses fulltext dalam
format pdf dan scholarly (peer reviewed journals). Kriteria jurnal yang
direview adalah artikel jurnal penelitian berbahasa Indonesia dan Inggris
dengan subyek polutan udara.
Kriteria Inklusi
Jangka Jurnal tahun 2011-2021
Waktu
Subyek Mudik
Bahasa Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris
Jenis Jurnal Artikel penelitian, full text
Tema Isi Kebijakan Larangan Mudik oleh
Pemerintah terkait Penyebaran
Covid-19 tahun 2021M/1442H.
Penelusuran
full text PDF Google Google Research
tahun 2011- Search Schola Gate
2021 r
Eligible
46 89 100
dengan kriteria
inklusi
Eligible untuk
dianalisis 2 1 7
Total 10 Artikel
Pemerintah Indonesia telah resmi mengeluarkan kebijakan larangan mudik di tahun ini.
Kebijakan ini ditetapkan dengan sebab penyebaran dan penularan Covid-19 masih di angka
yang cukup tinggi. Dengan adanya larangan mudik, perpindahan atau mobilitas masyarakat
akan menjadi rendah dimana pada umumnya ketika lebaran datang, tentunya mobilitas
masyarakat cukup tinggi, dikarenakan kegiatan mudik tersebut. Kebijakan larangan mudik
juga sebagai bentuk upaya dari pemerintah untuk meningkatkan program pembatasan
kegiatan masyarakat (PPKM). Kebijakan ini tentunya memunculkan pro kontra yang sangat
tajam di tengah masyarakat di saat mudik bertepatan dengan lebaran Idul Fitri 1442 H/ 2021
M, dimana inilah momen untuk merasakan kehangatan keluarga, dengan saling berkumpul di
keluarga besar di kampong halaman.
Pelaksanaan mudik ini telah tertunda sebenarnya bagi mayoritas masyarakat di Indonesia
pada tahun lalu yang disebabkan kondisi Covid-19 yang dampaknya dirasakan oleh seluruh
dunia dan 11 bahkan untuk kegiatan ibadah pun seperti ibadah ke masjid juga dilarang pada
tahun lalu. Oleh karena itu, masyarakat sangat mengharapkan agar bisa mudik, pulang ke
kampung halaman masing-masing yang telah menjadi budaya bagi sebagian besar
masyarakat kita di Indonesia yang bertepatan dengan menurunnya tingkat penularan Covid-
19 dan sudah dimulainya pelanggaran mobilitas masyarakat sebagai akibat dari program
vaksinasi massal yang telah dilaksanakan semenjak bulan januari tahun ini.
Meskipun demikian, dengan keadaan yang seperti itu membuat pemerintah tidak gegabah
dengan resiko penularan Covid-19 yang terus berlangsung dan bisa saja meningkat ketika
masyarakat sudah tidak disiplin lagi mematuhi protokol kesehatan penanganan Covid-19,
yaitu 5 M: Menghindari kerumunan, menjaga jarak, mengurangi mobilitas, memakai masker,
dan mencuci tangan dengan sabun. Di tengah polemik kebijakan larangan mudik ini,
pemerintah tetap teguh dengan pendiriannya dengan pertimbangan kejadian-kejadian
sebelumnya, dimana setiap setelah libur panjang, angka kasus masyarakat yang terkena
Covid-19 terus meningkat.
Menurut drg. Agus Suprapto, M.Kes, Deputi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan
Pembangunan Kependudukan Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (PMK), mengungkapkan bahwasanya kebijakan larangan mudik diterbitkan
sebagai bentuk upaya antisipasi dan pencegahan penularan Covid-19, dimana di Indonesia
kasus penularan Covid-19 masuk dalam level kasus penularan dalam komunitas, sehingga
ketika mengabaikan dan lalai sedikit saja dalam upaya pencegahan penularan, maka akan
sangat mudah kasus peningkatan Covid-19 terjadi. Terus, apakah dampak bagi politik,
ekonomi, dan sosial dengan kebijakan larangan mudik tersebut?
Dampak Politik
Seperti yang kita ketahui bersama, kegiatan mudik telah menjadi budaya bagi mayoritas
masyarakat Indonesia, maka dengan kondisi yang seperti itu, kebijakan larangan mudik ini
menjadi kebijakan yang populis. Tidak heran ketika terjadi pro kontra terhadap kebijakan
larangan mudik ini bahkan kebijakan ini dipandang kontroversi bagi sebagian pengamat
kebijakan. Masyarakat di Indonesia sebagian besar adalah masyarakat urban, dimana mereka
cenderung pergi merantau ke kota-kota besar yang jauh dari kampung halamannya untuk
mencari penghidupan yang layak dengan tujuan ketika pulang nanti sudah mampu
mencukupi 12 kebutuhan keluarganya di kampong halamannya. Maka dari itu, momentum
lebaran ini menjadi momen yang sangat ditunggu-tunggu bagi mereka untuk bisa kembali
bersua dengan keluarga. Ketika kebijakan mudik ini sebagai bentuk upaya untuk mengurangi
mobilitas masyarakat, Munculnya pertanyaan itu dikarenakan pelarangan mudik di interval
6-17 Mei sebenarnya tidak berdampak secara signifikan dalam mengurangi mobilitas
masyarakat. Pelaksanaan kebijakan larangan mudik ini hanya akan mengubah puncak arus
mudik dan arus balik pada minus 1-2 hari sebelum dan plus 1-2 hari sesudah hari raya idul
fitri. Tentunya puncak arus mudik akan terjadi sebelum deadline pelarangan mudik, yaitu
pada tanggal 4-5 Mei 2021. Begitu juga dengan puncak arus balik mudik yang akan terjadi 1-
2 hari setelah larangan mudik sudah tidak diberlakukan lagi, yaitu pada tanggal 18-19 Mei
2021.
Dampak Ekonomi
Menurut Bhima Yudisthira, ekonom Institute for Development of Economic and Finance
(Indef), menyatakan bahwa kebijakan larangan mudik akan berdampak hilangnya potensi
arus uang di kampung sebesar 200 Triliyun. Pendapat beliau bukanlah dengan kalkulasi yang
mengada-ngada, beliau memberikan contoh, ketika rata-rata pemudik berjumlah 20 juta
orang dengan asumsi para pemudik menghabiskan uang sebesar 5-10 juta per orang di
kampung halamannya, maka arus uang di kampung halaman tersebut berpotensi sebesar
200 Triliyun. Beliau juga menambahkan dengan analisis ekonominya bahwa akan adanya
penurunan jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) dan jika dilihat dari teori ekonomi makro
dan mikro, mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi kian merosot sebagai akibat dari
larangan kebijakan mudik tersebut. Hal ini juga diperparah dengan meruginya para agensi
dan pengusaha armada transportasi umum, baik darat, udara, maupun laut yang
mengakibatkan armada mereka tidak jalan dikarenakan kebijakan larangan mudik tersebut
yang pada ujungnya akan berdampak terhadap sumber pendapatan mereka baik langsung
maupun tidak langsung. Segala kemungkinan resiko kebijakan larangan mudik dapat terjadi
ketika tidak diantisipasi sejak dini secara holistik dan komprehensif.
Dampak Sosial
Mudik telah menjadi budaya dan bagian dari kegiatan sosial kemasyarakatan bagi
masyarakat Indonesia. Momen ini bukan hanya dilihat dan dipandang sebagai hari
kemenangan bagi umat Islam yang telah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh,
namun juga sebagai ajang 13 untuk saling menyambung hubungan persaudaraan dan saling
maaf-memaafkan. Sehingga, tidak asing lagi kita dengan lantunan kalimat “Minal Aidin
Walfaizin” dan “Mohon Maaf Lahir dan Bathin”, serta lantunan kalimat itu tidak terasa
lengkap bila hanya diucapkan melalui pesan suara, pesan teks, dan bahkan tele conference
dengan zoom sekalipun. Belum lagi dengan budaya sebagian masyarakat untuk berziarah ke
makam sanak keluarga yang telah berpulang yang hanya bisa dilakukan di momen ini bagi
para perantau.
5. Kesimpulan
Dengan adanya ketidaksetujuan dari masyarakat terkait kebijakan larangan mudik, tentu
akan menjadi hambatan dalam proses penerapan kebijakan tersebut. Untuk itu dibutuhkan
solusi yang bisa meminimalisir hambatan dan masalah yang akan terjadi akibat adanya
kebijakan tersebut. Langkah yang bisa dilakuakan misalnya pemberitahuan mengenai
penerapan kebijakan dilakukan jauh–jauh hari sebelumnya, sehingga masyarakat bisa
mengetahui inti dari penerapan kebijakan tersebut. Dengan adanya kebijakan tersebut pada
hari–hari menjelang lebaran, bisa meminimalisir atau membatasi jumlah masyarakat yang
akan melakukan mudik. Dan yang terakhir yaitu memperbolehkan masyarakat yang
melakukan perjalanan mudik jauh–jauh hari sebelum larangan tersebut berlaku, namun
petugas di lapangan juga harus memeriksa setiap dokumen masyarakat yang menunjukkan
negatif Covid-19.
-
REFERENSI
Andaka, D. (2020). Dampak Pelarangan Mudik Akibat Pandemi Covid19 Terhadap Bisnis
Angkutan Udara di Indonesia. Journal of Civil Engineering and Planning, 1(2), 116-129.
Author. 2021. Larangan Mudik Kendala Penerapan dan Antusiasme Masyarakat.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210409143555-20-627929/larangan-
mudik-kendala-penerapan-dan-antusiasme-masyarakat diakses pada 7 Mei 2021 Jam
15.50
Author. 2021. Sandiaga Ajak Berwisata Lokal Saat Ada Larangan Mudik Lebaran.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210421163910-20-632962/sandiaga-
ajak-berwisata-lokal-saat-ada-larangan-mudik-lebaran diakses pada 7 Mei jam 14.14
Caesar Akbar. 2020. Jokowi Tak Resmi Melarang Mudik Lebaran 2020.
https://bisnis.tempo.co/read/1326975/jokowi-tak-resmi-melarang-mudik-lebaran-
2020-namun diakses pada 7 Mei 2021 jam 14.00
Dr.drg. Munawir H.Usma, M.AP.2021.Dampak Kebijakan Larangan Mudik .
https://metrosulawesi.id/2021/04/21/dampak-kebijakan-larangan-mudik/ diakses
pada 7 Mei 2021 Jam 15.15
Elmy Tasya Khairally. 2021. Mudik Dilarang Wisata Buka, Gubernur Banten: Daerah Tak Bisa
Apa-Apa.https://travel.detik.com/travel-news/d-5534198/mudik-dilarang-wisata-
buka-gubernur-banten-daerah-tak-bisa-apa-apa diakses pada 7 Mei 2021 Jam 15.01
Hasil survei Litbang HMAP setelah diolah oleh penulis.
Imam Baihaqi Lukman. 2021. Larangan Mudik Lebaran 2021: Sebah Overview
Kebijakan.https://birokratmenulis.org/larangan-mudik-lebaran-2021-sebuah-
overview-kebijakan/ diakses pada 7 Mei 2021 Jam 15.40