Anda di halaman 1dari 77

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

USULAN PENELITIAN UNTUK PENULISAN HUKUM

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NO. 4


TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI JASA USAHA TERHADAP
PENERAPAN TARIF PARKIR SEPEDA MOTOR DI TEMPAT KHUSUS
PARKIR KAWASAN I KOTA YOGYAKARTA

(STUDI KASUS : TKP SRIWEDANI & TKP NGABEAN)

Diajukan Oleh :

Ika Widhia Safitri

14/366562/HK/20043

YOGYAKARTA

2017

1
HALAMAN PERSETUJUAN

Usulan penelitian untuk penulisan hukum ini telah disetujui oleh Dosen
Pembimbing, pada hari tanggal

Penyusun

Ika Widhia Safitri

14/366562/HK/20043

Menyetujui

Dr. Mailinda Eka Yuniza, SH.,LL.M.


NIP: 198306302005012002

2
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ............................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 10
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 11
D. Keaslian Penelitian .............................................................................................. 12
E. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 14
BAB II .............................................................................................................................. 16
A. Tinjauan Umum Peraturan Daerah ................................................................. 16
1. Pengertian Peraturan Daerah ................................................................................ 16
2. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah ..................................................... 19
3. Asas Pembentukan Peraturan Daerah .................................................................. 24
B. Tinjauan Umum tentang Pelayanan Publik .................................................... 26
1. Negara Kesejahteraan (Welfare State) ................................................................. 26
2. Pengertian Pelayanan Publik ................................................................................ 30
3. Hakekat dan Asas-Asas Pelayanan Publik ........................................................... 33
4. Penyelenggaraan Pelayanan Publik ...................................................................... 35
5. Standar Pelayanan Publik ..................................................................................... 36
6. Pelayanan Publik dan Desentralisasi .................................................................... 36
C. Tinjauan Umum tentang Penyelenggaraan Perparkiran di Kota
Yogyakarta ......................................................................................................... 37
1. Pengertian Perparkiran ......................................................................................... 37
2. Hak dan Kewajiban Pemerintah Kota Sebagai Penyelenggara Perparkiran di Kota
Yogyakarta ........................................................................................................... 38
3. Hak dan Kewajiban Pengguna Jasa Parkir ........................................................... 43
4. Dinas-Dinas yang Terkait dengan Penyelenggaraan Perparkiran ........................ 45
D. Tinjauan Umum tentang Parkir di Tempat Khusus Parkir .......................... 58
1. Dasar Hukum Penyelenggaraan Penarikan Tarif Parkir di Tempat Khusus Parkir
di Kota Yogyakarta. ............................................................................................. 58
2. Tarif Retribusi Tempat Khusus Parkir ................................................................. 63
3. Petugas Parkir Sebagai Operator Penyelenggaraan Perparkiran di Lapangan. .... 64
4. Hak dan Kewajiban Pengelola Parkir Tempat Khusus Parkir .............................. 65
BAB III............................................................................................................................. 67
A. Sifat Penelitian ..................................................................................................... 67
B. Jenis Penelitian .................................................................................................... 68
C. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 73
D. Analisis Data ........................................................................................................ 73
E. Daftar Pustaka ..................................................................................................... 74

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 amandemen kedua,

pada Bab VI tentang Pemerintahan Daerah Pasal 18 Ayat 1, dinyatakan bahwa

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan

undang-undang.1 Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, setiap daerah-

daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang diatur

dengan Undang-Undang.

Dalam rangka meningkatkan dan meratakan pembangunan di berbagai sektor

di Indonesia, maka pemerintah pusat dalam pembangunan di beberapa sektor

dilimpahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah atau biasa disebut dengan

otonomi daerah. Pemerintah daerah menjalakan otonomi seluas-luasnya untuk

mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan

tugas pembantuan. berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah dan Perubahannya, klasifikasi urusan pemerintahan terdri dari 3 (tiga)

urusan, yakni urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan urusan pemerintahan

umum.2

1
Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
2
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Perubahannya

4
Perkembangan yang paling bermakna untuk dicatat dalam upaya pembangunan

adalah perubahan dan perkembangan sistem pemerintahan negara Indonesia

menuju era desentralisasi dan otonomi daerah. Semangat desentralisasi dan

otonomi daerah adalah momentum yang baik bagi terlaksananya upaya pencegahan

dan penanggulangan yang menyeluruh, serentak, terfokus dan terkoordinasi karena

melalui otonomi daerah, pemerintah daerah diberi kewenangan dan tanggung jawab

untuk mengambil peran dalam urusan pemerintahan yang bersifat pilihan, baik di

tingkat provinsi maupun kabupaten/kota meliputi urusan pemerintahan yang secara

nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan kondisi, kekhasan, dan potensi daerah yang bersangkutan.

Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki

hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintah daerah lainnya.

Hubungan tersebut meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum,

pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.3 Hubungan wewenang,

keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya

lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan

pemerintahan sebagaimana telah termaktub dalam Undang-Undang No. 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Perubahannya.

Sesuai spirit desentralisasi yang dihembuskan Undang-Undang No. 23 Tahun

2014, Pemerintah daerah memiliki ruang kebijakan yang luas untuk mengatasi

berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dan aspirasi yang berkembang. Oleh

3
Irawan Soejitno, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta,
hlm. 60.

5
karenanya, pemerintah daerah sedang berupaya untuk mengatasi berbagai masalah

tersebut dengan dukungan berbagai pihak baik internal maupun eksternal.

Tanggung jawab pemerintah daerah didukung pula dengan kewenangan untuk

membentuk dan menetapkan peraturan daerah (selanjutnya disebut Perda) dalam

rangka penyelenggaraan otonomi daerah di Provinsi/Kabupaten dan Kota dan tugas

pembantuan.

Untuk menyelenggarakan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia 1945 amandemen kedua, pada Bab VI tentang Pemerintahan

Daerah Pasal 18 Ayat 1, daerah berhak melaksanakan pengenaan pungutan kepada

masyarakat. Hak ini muncul dikarenakan pemerintah daerah dalam melaksanakan

tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan

yang dapat diandalkan. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah, terlebih sejak

berlakunya otonomi daerah di Indonesia. Dengan adanya penerimaan daerah yang

dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah, Undang-Undang tentang

Pemerintah Daerah menetapkan pajak dan retribusi daerah menjadi sumber

pendapatan daerah dan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi masing-masing

daerah.4

Menimbang bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu

sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintah

daerah, maka pungutan daerah yang berupa pajak dan retribusi diatur dengan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

4
Marihot Siahaan Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan Undang-Undnag
Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, edisi Revisi, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm 1.

6
Daerah. Sesuai dengan undang-undang tersebut, daerah diberi kewenangan-

kewenangan untuk memungut 16 (enam belas) jenis pajak, yaitu 5 (lima) jenis pajak

provinsi dan 11 (sebelas) jenis pajak kabupaten/kota.5 Selain itu, pemerintah

kabupaten/kota juga masih diberi kewenangan untuk menetapkan jenis pajak lain

sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang. Undang-

undang tersebut juga mengatur tarif pajak maksimum untuk 16 (enam belas) jenis

pajak tersebut. Terkait dengan retribusi, undang-undang tersebut hanya mengatur

prinsip-prinsip dalam menetapkan jenis retribusi yang dapat dipungut daerah. Baik

pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk

menetapkan jenis retribusi selain yang ditetapkan dalam Peraturan.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah, maka daerah hanya diperbolehkan memungut

pungutan sebagaimana diatur dalam undang-undang dimaksud, sehingga dalam hal

ini daerah tidak boleh menambah jenis pungutan selain yang diatur dalam undang-

undang tersebut. Oleh karena itu pemerintah kota melakukan pengaturan

berdasarkan klasifikasi jenis retribusinya, untuk retribusi jasa umum pemerintah

Kota Yogyakarta memungut 8 (delapan) jenis retribusi dari 14 (empat belas) yang

menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.6 Sedangkan untuk retribusi jasa

usaha, pemerintah Kota Yogyakarta memungut 5 (lima) dari 13 (tiga belas) yang

menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.7 Hal tersebut dengan melihat

kondisi, potensi dan kemampuan. 5 (lima) retribusi jasa usaha tersebut meliputi

5
Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
6
Penjelasan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 5 Tahun 2012
7
Penjelasan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 4 Tahun 2012

7
retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi terminal, retribusi tempat khusus

parkir, retrubisu rumah potong hewan, dan retribusi penjualan produksi usaha

daerah. 8

Salah satu dari 5 (lima) jenis retribusi tersebut adalah retribusi pelayanan parkir

di tempat khusus parkir. Retribusi ini memiliki potensi yang besar, mengingat

jumlah kendaraan yang tumbuh banyak di Yogyakarta. Untuk memberikan dasar

pengenaan retribusi pelayanan parkir, pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan

Perda Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran, Perda Nomor

19 Tahun 2009 tentang Retribusi Parkir di Jalan Umum dan Perda Nomor 4 Tahun

2012 tentang Retribusi Jasa Usaha yang didalamnya mengatur mengenai retribusi

tempat khusus parkir.

Parkir merupakan suatu kebutuhan masyarakat untuk menjamin keamanan dan

kenyamanan penggunanya serta di sisi lain juga dapat memberikan kontribusi

positif bagi pemerintah dalam hal pemasukan memalui sektor retribusi. Kebutuhan

akan lahan parkir di Kota Yogyakarta sangat tinggi, ini dapat dilihat dengan

banyaknya kendaraan bermotor baik kendaraan bermotor yang berasal dari Kota

Yogyakarta ataupun daerah lainnya. Kemacetan lalu lintas saat ini sudah menjadi

pemandangan yang tidak asing lagi bagi warga Kota Yogyakarta. Hampir di seluruh

wilayah Kota Yogyakarta akan dijumpai dengan mudah lokasi yang dijadikan

sebagai lahan parkir.

Realitas yang terjadi dilapangan walaupun sudah diatur dengan tegas, pada

praktiknya pengelolaan parkir khususnya di tempat khusus parkir ini ada

8
Pasal 2 Perda Kota Yogyakarta No. 4 Tahun 2012

8
ketidaksesuaian antara fakta di lapangan dengan standar normatif sebagaimana

telah diatur dalam Perda. Contohnya adalah ketika terdapat banyaknya masyarakat

yang mengeluhkan tentang pelayanan para juru parkir yang dinilai masih kurang

memuaskan serta tidak jelasnya mekanisme penanganan terhadap kasus-kasus

tersebut semain menambah parah permasalahan perparkiran di Kota Yogyakarta.

Permasalahan mulai timbul yang lahir dari buruknya aspek moralitas aparatur di

lapangan yang tidak terlalu sulit untuk kita temukan. Sudah tidak menjadi rahasia

umum di Yogyakarta, bahwa juru parkir sering tidak memberikan karcis parkir

resmi sebagaimana kewajibannya. Apabila diberikan, tak jarang bentuknya berupa

karcis usang atau rusak yang telah dipakai sebelumnya, selain itu di beberapa

tempat terdapat pula juru parkir yang meminta bayaran melebihi tarif yang

semestinya. Hal ini didukung dengan tidak adanya informasi tarif parkir di area

tempat khusus parkir yang akhirnya memberi peluang bagi juru parkir untuk

memungut tarif diluar ketentuan yang berlaku.

Masalah tarif parkir ini menambah daftar persoalan di sektor pariwisata Kota

Yogyakarta. Kasus ini menjadi perhatian banyak pihak setelah sang pengguna

parkir yang tak jarang adalah wisatawan dari luar kota yang sering mendapatkan

karcis parkir dengan keadaan sudah dirusak dengan cara angka tarif dicoret dan

diganti tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Keberadaan juru parkir nakal

tersebut dikhawatirkan mengganggu iklim pariwisata di Yogyakarta karena

perilaku tak terpuji itu berpotensi membuat para wisatawan enggan berkunjung ke

Yogyakarta.

9
Dengan adanya tidak kesesuaian antara fakta di lapangan dengan standar

normatif sebagaimana telah diatur dalam Perda, hal ini menunjukkan bahwa Kota

Yogyakarta yang dikenal sebagai salah satu destinasi favorit di Indonesia, masih

menyimpan sejumlah persoalan yang bisa mengganggu kenyamanan wisatawan.

Sehingga, penulis beranggapan untuk mengangkat permasalahan-permasalahan

yang ada menjadi tema penelitian penulisan hukum ini yang berjudul

Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang

Retribusi Jasa Usaha terhadap Pengenaan Tarif Parkir Sepeda Motor di

Tempat Khusus Parkir Kawasan I Kota Yogyakarta (Studi Kasus : TKP

Sriwedani & TKP Ngabean)

Atas dasar pemikiran yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini penting

dilakukan agar dapat diungkapkan realitas penerapan perda tentang retribusi tempat

khusus parkir terhadap penerapan tarif parkir sepeda motor di Kota Yogyakarta.

Penerapan perda yang efektif akan berkontribusi terhadap perubahan perilaku

menyimpang dengan praktek penerapan tarif parkir sepeda motor yang tidak sesuai

dengan ketentuang yang berlaku.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana implementasi dari Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 4

Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha terhadap penerapan tarif parkir

sepeda motor di tempat khusus parkir kawasan I kota Yogyakarta?

2. Apa saja kendala-kendala untuk melaksanakan implementasi dari Peraturan

Daerah Kota Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha

10
terhadap penerapan tarif parkir sepeda motor di tempat khusus parkir

kawasan I kota Yogyakarta?

3. Bagaimana upaya untuk menyelesaikan masalah pengenaan tarif parkir

sepeda motor?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Tujuan Subyektif

Penelitian ini berguna dalam penyusunan Penulisan Hukum sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada.

2. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui dan menganalisis implentasi Peraturan Daerah

Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha

terhadap pengenaan tarif parkir sepeda motor di kawasan I Kota

Yogyakarta.

b. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi kendala-kendala yang

timbul dalam melaksanakan implementasi dari Peraturan Daerah

Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha

terhadap pengenaan tarif parkir sepeda motor di kawasan I Kota

Yogyakarta.

c. Untuk menggali dan menganalisis upaya dari pejabat yang ditunjuk

sebagai pengawas pengelolaan parkir Kota Yogyakarta untuk

11
menyelesaikan masalah pengenaan tarif parkir sepeda motor di

kawasan I Kota Yogyakarta.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelurusan kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada, penelitian yang dilakukan oleh penulis belum pernah

diteliti dan ditulis oleh penulis sebelumnya. Penelitian dan penulisan yang

membahas permasalahan mengenai implementasi peraturan daerah dan dikaitkan

dengan tarif parkir ada beberapa, namun dari sekian yang ada mempunyai rumusan

masalah dan lokasi penelitian yang berbeda dengan yang dilakukan oleh penulis.

Adapun penelitian dan penulisan terkait tarif parkir antara lain telah dilakukan oleh

1. Danang Rusmandoko, pada tahun 2006, dengan judul penulisan hukum

Penegakan Hukum Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2002 tentang

Penyelenggaraan Perparkiran Khususnya Penyelenggaraan Parkir di Tepi

Jalan Umum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Kota Yogyakarta.9

Penulisan hukum ini menitikberatkan pada bagaimana penegakan hukum

dalam pengelolaan perparkiran yang dilakukan oleh PPNS di Kota

Yogyakarta, sedangkan permasalahan yang di angkat dalam penulisan

hukum ini adalah mengenai pelaksanaan pemungutan retribusi tempat

9
Danang Rusmandoko, 2006 Penegakan Hukum Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2002
tentang Penyelenggaraan Perparkiran Khususnya Penyelenggaraan Parkir di Tepi Jalan Umum
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Kota Yogyakarta.

12
khusus parkir, yang berlokasi pada Tempat Khusus Parkir Sriwedani dan

Tempat Khusus Parkir Ngabean.

2. Genjah Pulungjati, pada tahun 2006, dengan judul penulisan hukum

Peranan Dinas Perhubungan dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan

Parkir di Tepi Jalan Umum di Wilayah Kota Yogyakarta.10 Penulisan

hukum ini menitikberatkan pada peranan Dinas Perhubungan dalam

meningkatkan pelayanan perparkiran di tepi jalan umum, sedangkan

permasalahan yang di angkat dalam penulisan hukum ini adalah mengenai

pelaksanaan pemungutan retribusi tempat khusus parkir, yang berlokasi

pada Tempat Khusus Parkir Sriwedani dan Tempat Khusus Parkir Ngabean.

3. Isnaini Raharjo, pada tahun 2011, dengan judul penulisan hukum

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009

tentang Penyelenggaraan Perparkiran dalam Usaha Mewujudkan

Kenyamanan dan Keamanan bagi Pengguna Jasa Parkir di Kota

Yogyakarta.11 Penulisan hukum ini menitikberatkan pada pelaksanaan

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Penyelenggaraan Perpakiran, dengan mengaitkan implementasi tersebut

terhadap kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jasa parkir di Kota

Yogyakarta, sedangkan permasalahan yang di angkat dalam penulisan

hukum ini adalah mengenai pelaksanaan pemungutan retribusi tempat

10
Ganjah Pulungjati, 2006, Peranan Dinas Perhubungan dalam Meningkatkan Kualitas
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum di Wilayah Kota Yogyakarta.
11
Isnaini Raharjo, 2006, Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta dalam Usaha
Mewujudkan Kenyamanan dan Keamanan bagi Pengguna Jasa Parkir di Kota Yogyakarta.

13
khusus parkir, yang berlokasi pada Tempat Khusus Parkir Sriwedani dan

Tempat Khusus Parkir Ngabean.

4. Deri Arkiyoga, pada tahun 2014, dengan judul penulisan hukum

Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum

Di Luar Kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang Dalam Kaitannya

Dengan Asas Kepastian Hukum.12 Penulisan hukum ini menitikberatkan

pada pelaksanaan pemungutan retribusi pelayanan parkir di tepi jalan

umum, dengan lokasi penelitian di luar kawasan Candi Borobudur

Kabupaten Magelang. Selain itu, penulisan hukum ini juga mengaitkan

pelaksanaan pemungutan retribusi parkir terhadap asas kepastian hukum,

sedangkan permasalahan yang di angkat dalam penulisan hukum ini adalah

mengenai pelaksanaan pemungutan retribusi tempat khusus parkir, yang

berlokasi pada Tempat Khusus Parkir Sriwedani dan Tempat Khusus Parkir

Ngabean.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Penulis

a. Untuk mendapatkan data sebagai bahan penyusunan penulisan

hukum guna memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Hukum.

12
Deri Arkiyoga, 2006, Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan
Umum di Luar Kawasan Candi Borobudur Kabupaten Magelang dalam Kaitannya dengan Asas
Kepastian Hukum.

14
b. Untuk mengembangkan teori dan keilmuan hukum serta menambah

pengetahuan dan berlatih dalam menganalisis dan memecahkan

masalah

c. Untuk menambah pengetahuan penulis dalam mengadakan suatu

penelitian ilmiah, sehingga untuk penelitian selanjutnya penulis

mendapat suatu pengalaman yang berharga dalam meneliti suatu

masalah.

d. Untuk memberikan kontribusi pemikiran yang cukup berarti bagi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum

pada khususnya mengenai pelaksanaan Peraturan Daerah Kota

Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2017 tentang Retribusi Jasa Usaha.

2. Bagi Pejabat Pengawas Pengelola Parkir Kota Yogyakarta

Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menjadikan perbaikan bagi

pengawas pengelola parkir Kota Yogyakarta, yang disni adalah Dinas

Perhubungan Kota Yogyakarta, agar dalam mengelola penyelenggaraan

perparkiran di Kota Yogyakarta semakin baik dan diharapkan dapat

meminimalisir masalah-masalah yang ada sebelumnya.

3. Bagi Masyarakat

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi lebih bagi

masyarakat khususnya para pengguna jasa parkir dalam terpenuhinya

kenyamanan penyelenggaraan tarif parir di tempat khusus parkir yang

dialaminya.

15
4. Bagi Pihak Lain

Untuk memberikan informasi guna menambah wawasan pengetahuan

dengan adanya hasil penelitian ini mengenai pengawasan terhadap

pengelolaan parkir di Kota Yogyakarta. Di samping itu, hasil penelitian ini

nantinya juga diharapkan bisa dijadikan sebagai wacana dan bahan

informasi tentang pengelolaan parkir serta bisa dijadikan sebagai bahan

referensi atau acuan untuk penelitian berikutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Peraturan Daerah

1. Pengertian Peraturan Daerah

Pengertian peraturan daerah dijelaskan secara yuridis didalam beberapa

Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah menjelaskan bahwa peraturan daerah adalah Perda Provinsi dan Perda

16
Kabupaten.13 Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dibagi menjadi 2 (dua), yaitu

Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.14 Dijelaskan

bahwa, Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan

bersama Gubernur. Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Kedudukan peraturan daerah dalam hierarki peraturan perundang-undangan

sesuai dengan Undnag-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi;

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah

provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih

lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dalam hierarki dengan

13
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
14
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan

17
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Hal ini dijelaskan dalam Undang-

Undang tentang Pemerintahan Daerah. Mengenai materi muatan yang diatur dalam

tiap peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi serta penjabaran lebih lanjut mengenai penyelenggaraan

otonomi daerah dan tugas pembantuan dan juga untuk menampung kondisi khusus

daerah tersebut.15

Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) serta gubernur atau bupati atau walikota. Apabila dalam satu kali

masa sidang gubernur atau bupati atau walikota dan DPRD menyampaikan

rancangan peraturan daerah dengan materi muatan yang sama, maka yang dibahas

adalah rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan

rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur atau bupati atau

walikota digunakan sebagai perbandingan.

Peraturan Daerah dapat pula memuat mengenai ketentuan pidana. Ketentuan

pidana sebagaimana yang dimaksud berupa ancaman pidana kurungan paling lama

6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh

juta rupiah) dan harus pula disesuaikan dengan yang telah diatur dalam peraturan

perundang-undangan lainnya. Peraturan daerah disusun dalam suatu program

penyusunan yang disebut sebagai program legislasi daerah (Prolegda). Penyusunan

ini bertujuan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam menyiapkan satu materi

15
Pasal 14 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan

18
peraturan daerah. Dalam penyusunan Prolegda Provinsi, penyusunan daftar

rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas:16

a. Perintah Peraturan Perundang-Undangan lebih tinggi;

b. Rencana pembangunan daerah;

c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan;

d. Aspirasi masyarakat daerah.

Sedangkan untuk Prolegda Kabupaten/Kota, dijelaskan pada Pasal 40 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, bahwa ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah

Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku

secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota.17

2. Kewenangan Pembentukan Peraturan Daerah

Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. hal ini diatur

secara jelas dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun

1945 pada Pasal 18 Ayat (6). Pengaturan tersebut menjadi dasar kewenangan dapat

dibentuknya peraturan daerah oleh pemerintah daerah dimana peraturan daerah

dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota

dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

16
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan
17
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan

19
perundang-undangan yang lebih tingi dalam hierarki dengan memperhatikan ciri

khas masing-masing daerah.

Indonesia menganut jenis sistem desentralisasi dalam penyelenggaraan

pemerinah untuk melaksanakan otonomi daerah. Dalam negara kesatuan dengan

sistem desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan

untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang disebut sebagai

otonomi daerah yang dinamakan dengan Daerah Otonom.18 Menurut Soemantri,

adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah

otonom bukanlah lah itu ditetapkan dalam konstitusinya, akan tetapi masalah itu

adalah merupakan hakekat daripada negara kesatuan.19 Pendapat lain menyatakan

bahwa pengertian otonomi tidaklah semata-mata bergandengan dengan negara

kesatuan, tetapi otonomi dalam arti umum dan dogmatis juga terdapat dalam negara

serikar dimana otonomi itu lebih luas daripada negara kesatuan.20

Pemberian daerah otonomi bagi negara berbentuk kesatuan adalah dikarenakan

tujuan akhir dari otonomi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai

dengan prinsip welfare state. Pendapat yang menekankan pada pentingnya

melakukan desentralisasi dalam rangka reformasi negara kesejahteraan sejalan

dengan pendapat Hellmut Wollman tentang apa yang disebutnya sebagai local

welfare state. Alasan pendapat tersebut adalah:21

18
Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah, Jakarta, Media Sarana
Press, hlm. 21
19
Sri Sumantri, 1981, Pengantar Pebandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta, Rajawali, hlm.
52
20
Amrah Muslimin, 1978, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung, Alumni, hlm, 17
21
I Dewa Gede Palguna, 2008, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, Jakarta,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 202

20
a. Pertama, berdasarkan perkembangan sejarahnya, konsep-konsep dan

tanggungjawab negara kesejahteraan pada awalnya muncul di tingkat

lokal dikarenakan pemerintah-pemerintah lokal itulah yang seringkali

lebih dulu bereaksi terhadap setumpuk masalah sosial yang disebabkan

oleh merajalelanya industrialisasi dan urbanisasi dalam abad ke-19.

Sehingga, pemerintah-pemerintah pada tingkat lokal itu pula yang

memulai bentuk-bentuk permulaan kebijakan-kebijakan negara

kesejahteraan lokal (local welfare state politics), yang oleh kalangan

konservatif kontemporer dan pendukung pasar bebas dituduh sebagai

sosialsme kotapraja (municipal socialism). Baru pada akhir abad ke-19

pemerintah nasional negara-negara mengembangkan negara

kesejahteraan modern dengan cara menasionalisasikan dan memusatkan

tanggungjawab dan kebijakan-kebijakan negara kesejahteraan,

sementara tanggungjawab lokal yang sebelumnya sudah ada tetap

dipelihara, diadaptasi, dan diintegrasikan ke dalam sistem-sistem

kesejahteraan yang tengah berkembang;

b. Kedua, konsep dari lensa analitis (analytical lens) terhadap local welfare

state seharusnya cocok untuk menarik perhatian pada profil kelembagaan

dan fungsional yang spesifik dari tingkat pemerintah lokal di dalam

keseluruhan setting hubungan antar pemerintahan dari suatu negara dan

pembagiannya dalam pembuatan kebijakan, tanggungjawab dan fungsi

administratif maupun finansial di antara tingkat-tingkat pemerintahan.

Pemberian perhatian pada peran di tingkat lokal akan memberi

21
pengertian yang lebih jelas karena riset komparatif internasional

mengenai negara kesejahteraan terkonsentrasi pada proses dan struktur

pembuatan kebijakan di tingkat nasional.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pelimpahan wewenang atau otonomi

daerah merupakan suatu hal yang esensi dalam suatu negara kesatuan karena sudah

lahir dan berkembang kebijakan kesejahteraan didalam budaya pemerintahan

daerah yang langsung berhubungan dengan permasalahan dan konflik sosial di

masyarakat, akan tetapi harus pula diingat bahwa otonomi itu dalam negara

kesatuan yang mempunyai batas-batas tertentu dan terikat pada prinsip-prinsip

yakni jangan sampai hal tersebut justru mengancam keutuhan dari negara kesatuan

itu sendiri. Sebagai suatu daerah otonom, maka pemerintah daerah mempunyai

suatu kebebasan untuk mengatur dan mengurus kepentingan-kepentingan

masyarakat didalam daerahnya sendiri dan batas-batas wewenang yang telah

diterimanya, tidak lebih dari itu.22 Sebuah daerah otonom dapat dinilai indikator

derajat kemandirian otonominya jika telah sempurna menjalankan ciri-ciri dari

sebuah daerah otonom. daerah otonomi memiliki ciri-ciri antara lain:23

a. Mempunyai aparat pemerintahan sendiri;

b. Mempunyai wewenang atau urusan tertentu;

c. Mempunyai wewenang mengolah sumber keuangan sendiri;

d. Mempunyai wewenang untuk membuat kebijaksanaan atau perbuatan

sendiri

22
Abdurrahman, op. cit., hlm 58
23
Arif Nasution, 2000, Demokrasi dan Problema Otonomi Daerah, Bandung, Mandar Maju, hlm
87

22
Pelaksanaan otonomi di Indonesia dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,

pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya

saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Ketentuan lebih lanjut mengenai urusan-urusan yang menjadi kewenangan

pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan

Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam ketentuan ini, terdapat urusan yang

menjadi bidang urusan pemerintah yang didistribusikan menjadi kewenangan

pemerintah daerah.

Pembagian urusan pemerintahan tersebut didalamnya dijelaskan mengenai

urusan wajib dan urusan pilihan. , dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam ketentuan ini, terdapat urusan yang menjadi bidang urusan pemerintah yang

didistribusikan menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Pembagian urusan pemerintahan tersebut didalamnya dijelaskan mengenai

urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

pemerintah daerah baik itu wajib atau pilihan harus ditetapkan pengaturan lebih

23
lanjutu dalam peraturan daerah yang bersangkutan dan urusan pemerintahan

tersebut menjadi dasar penyusunan susunan organisasi dan tata kerja perangkat

daerah.24 Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seperti yang telah

diamanatkan oleh Peraturan Pemerintahan terkait pembagian urusan pemerintah

daerah telah melahirkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Nomor 7 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan, Pemerintah Kota Yogyakarta,

terkait pembagian urusan pemerintah daerah telah melahirkan Peraturan Daerah

Kota Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah.

Peraturan Daerah ini melegalisasi lebih lanjut pelaksanaan pembagian

penyelenggaraan urusan pemerintah yang wajib dan pilihan. Sesuai kondisi riil di

daerah maka tidak semua urusan pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah nomor 38 Tahun 2007, diatur pula dalam kedua Peraturan

Daerah tersebut.

3. Asas Pembentukan Peraturan Daerah

Peraturan Daerah sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan

dalam perumusannya harus berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik dan benar. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan

telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, antara lain:25

a. Asas kejelasan tujuan : bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-

undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

24
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota.
25
Pasal 5 dan Bagian Penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan

24
b. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat : bahwa setiap

jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara

atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.

Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi

hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak

berwenang.;

c. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan : bahwa dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan;

d. Asas dapat dilaksanakan : bahwa setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan harus memperhitungkan efektivas peraturan

perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,

sosiologis, maupun yuridis;

e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan : bahwa setiap peraturan

perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan

bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara;

f. Asas kejelasan rumusan : bahwa setiap peraturan perundang-undangan

harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-

undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang

jelas dan mudah dimengerti sdehingga tidak menimbulkan berbagai

macam interpretasi dalam pelaksanaannya;

25
g. Asas keterbukaan : bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,

pengesahan, atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan

terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan.

B. Tinjauan Umum tentang Pelayanan Publik

1. Negara Kesejahteraan (Welfare State)

Pemikiran mengenai perlu dibentuknya negara hukum muncul pada abad 17.

Penyelenggaraan kekuasaan negara pada abad tersebut dijalankan dalam sistem

monarki absolut dan terbukti telah melakukan banyak penyalahgunaan kekuasaan

seperti yang terjadi di Perancis oleh rezim monarki absolut raja Louis XIV dan di

Inggris oleh raja Charles II.26

Pemikiran-pemikiran sebagai antitesis terhadap praktek penyalahgunaan

kekuasaan negara diawali oleh John Locke dengan teorinya yang membagi

kekuasaan negara menjadi kekuasaan pembentuk Undang-Undang (legislatif),

kekuasaan pelaksana Undang-Undang, dan kekuasaan federatif. Selanjutnya

Montesquieu memperkenalkan konsep trias politica yaitu pembagian kekuasaan

menjadi 3 (tiga) macam, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaanyudikatif, dan

kekuasaan eksekutif. Pemisahan kekuasaan sesuai apa yang diungkapkan oleh

Montesquieu ini diperlukan untuk menjamin terlindunginya hak asasi warga negara

26
W. Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta,
hlm 1

26
dan mencegah praktek kekuasaan absolut. Pemikiran-pemikirian mengenai

pembagian kekuasaan selanjutnya berkembang menjadi negara hukum. Konsep

negara hukum yang dikenal adalah konsep negara hukum klasik versi Eropa dan

versi Anglo Saxon. Unsur-unsur utama negara hukum klasik adalah:27

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia;

2. Penyelenggaraan negara harus didasarkan atas teori trias politica supaya

menjamin terlindunginya hak-hak asasi manusia tersebut;

3. Penyelenggaraan pemerintahan didasarkan atas Undang-Undang

(wetmatig bestuur)

4. Apabila dalam pelaksanaan kewenangannya pemerintah melanggar hak-

hak asasi warga negara, maka harus ada pengadilan administrasi yang

menyelesaikannya.

Paham negara hukum klasik kemudian bergeser menjadi konsep negara

kesejahteraan. Konsep negara kesejahteraan mempunyai lapangan yang luas, yaitu

negara memiliki peranan yang jauh lebih besar di segala lapangan kehidupan

bermasyarakat. Dalam suatu negara hukum, setiap kegiatan pemerintahan wajib

untuk tunduk pada aturan-aturan hukum yang menjamin dan melindungi hak-hak

dari warganya dalam kehidupan sipil, politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.

Pengertian ini diartikan bahwa hukum haruslah ditempatkan sebagai aturan main

dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan pemerintahan untuk menata

masyarakat yang damai, adil, dan bermakna.

27
Ibid, hlm 3

27
Konsep negara kesejahteraan (Welfare State) menempatkan peran negara yang

tidak hanya terbatas sebagai penjaga ketertiban semua, akan tetapi negara juga

dimungkinkan untuk ikut serta dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dalam

konsep negara kesejahteraan ini mempunyai tujuan untuk mewujudkan

kesejahteraan setiap warganya. Untuk mewujudkan tersebut, negara harus ikut serta

dalam mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Hal ini juga telah sesuai

dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Republik 1945 sebagai dasar bagi

negara Indonesia untuk menyelenggarakan pemerintahan dalam rangka

mewujudkan kesejahteraan dari warganya. Menurut Seheltema, yang dikutip dalam

bukunya Sidharta, mengatakan bahwa suatu negara hukum harus memiliki

beberapa unsur sebagai berikut:28

1. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusiayang

berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity);

2. Asas kepastian hukum;

3. Asas persamaan (similia similibux);

4. Asas demokrasi;

5. Pemerintah dan pejabat pemerintah mengemban fungsi pelayanan

masyarakat.

Mencermati unsur-unsur suatu negara hukum di atas, fungsi pelayanan

masyarakat yang diemban oleh pemerintah mengandung arti bahwa pemerintah

melalui aparaturnya berkewajiban untuk memberikan pelayanan publik dalam

segala kehidupan masyarakat. Pelaksanaan fungsi pelayanan publik dapat diartikan

28
Ibid, hlm 15

28
sebagai tanggung jawab pemerintah agar dapat disebut sebagai suatu negara hukum,

disamping harus memiliki fungsi-fungsi atau unsur-unsur lainnya.

Negara indonesia adalah negara hukum sekaligus juga menganut paham negara

kesejahteraan. Dalam ilmu pemerintahan di Indonesia, penyelenggaraan

pemerintahan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu pemerintahan pusat dan

pemerintahan daerah. Pengertian pemerintaha pusat yang selanjutnya disebut

pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

pemerintahan negara Republik Indonesia. Sedangkan pemerintahan daerah, yang

dimaksud dengan pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD, menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana disebut dalam UUD

1945.29

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah saat ini diharapkan mampu

memperbaiki dan meningkatkan pelayanan pemerintah dalam hal ini pemerintah

daerah kepada masyarakat atau kepala publik. Sebagai negara kesejahteraan

(Welfare State), maka negara atau pemerintah mempunyai tangung jawab untuk

mewujudkan kesejahteraan umum untuk warga atau masyarakatnya.30 Ajaran ini

merupakan bentuk konkret dari peralihan prinsip staatsonthouding, yang

membatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi

dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis, yang menghendaki negara dan

29
Siswanto Sunarno, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
Hlm 5.
30
Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 14

29
pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai

lagkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan menjaga ketertiban dan

keamanan (rust en orde).31 Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa konsep

negara kesejahteraan memunculkan kewajiban bagi negara dan pemerintah untuk

mewujudkan kesejahteraan umum.

Untuk mewujudkan kesejahteraan umum, pemerintah melaksanakan fungsi

pelayanan umum atau biasa disebut dengan pelayanan publik. Pelayanan publik ini

merupakan perwujudan dari fungsi dalam negara kesejahteraan.

2. Pengertian Pelayanan Publik

Salah satu fungsi dari penyelenggaraan peemerintahan yang dilakukan oleh

aparatur pemerintah adalah pelayanan publik. Pada dasarnya pelayanan publik

mencakup aspek pengertian kehidupan yang sangat luas, negara dalam hal ini

pemerintah memiliki fungsi memberikan pelayanan bagi warganya, baik itu mulai

dari adanya pengaturan yang diwujudkan dengan ditetapkannya sebuah peraturan-

peraturan, maupun dalam hal pemberian pelayanan-pelayanan dalam berbagai

aspek kehidupan masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, kependudukan,

keamanan, dll.

Pada prinsipnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara

ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan

manusia.32 Menurut Sampara Lukman, pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan

kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseoran dengan orang lain

31
Ibid, hlm 15.
32
L.P. Sinambela, 1992, Ilmu dan Budaya Perkembangan Ilmu Administrasi Negara, Bumi
Aksara, Jakarta, hlm 198

30
atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.33 Sedangkan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pelayanan adalah perihal atau

cara melayani, usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh

imbalan.34 Istilah publik berasal dari bahasa Inggris public, yang berarti umum,

masyarakat, negara. Kata public sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa

Indonesia baku menjadi publik yang berarti orang banyak (umum), semua orang

yang datang.35 Sedagkan Inu, dkk., mendefinisikan publik adalah sejumlah manusia

yang memiliki kebersamaan berfikir, perasaan, harapan sikap, dan tindakan yang

benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang merasa memiliki.36 Oleh karena

itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang

menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan meawarkan kepuasan

meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.37 Sedangkan

pendapat lain mengatakan bahwa pelayanan publik diartikan sebagai pemberian

layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan

kepada organisasi itu sesuai dengan aturan masyarakat yang mempunyai

kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah

ditetapkan.38

33
Sampara Lukman, 2000, Manajemen Kualitas Pelayanan, STIA LAN Press, Jakarta, hlm 6
34
Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hlm.646
35
Ibid, hlm 902
36
Inu Kencana Syafiie, 1999,, Ilmu Administrasi Publik, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 17
37
Ibid
38
Agung Kurniawan, 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Pembaruan, Yogyakarta, hlm 4

31
Istilah pelayanan publik menurut Yeremis T. Keban, secara konseptual juga

dapat disamaartika dengan istilah administrasi publik. Yeremis T. Keban

mengartikan administrasi publik sebagai segala tindakan pemerintah sebagai agen

tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator yang aktif dan selalu berinisiatif

dalam mengatur atau mengambil langkah dan prakarsa yang menurut mereka

penting atau baik untu masyarakat karena diasumsikan bahwa masyarakat adalah

pihak yang pasif, kurang mampu, dan harus tunduk dan menerima apa saja yang

diatur pemerintah.39

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan dan objek-objek

tertentu yang secara khusus dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

umum (the general public) atau memberikan dukungan terhadap upaya

meningkatkan kematian dan kemudahan (comfort and conveniences) bagi seluruh

masyarakat.40

Pelayanan pbublik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan

kebutuhan pelayanans sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap

warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ pelayanan administratif yang

disediakan oleh penyeleggara pelayanan publik.41 Dalam pengertian ini, yang

dimaksud dengan penyelenggara pelayanan publik adalah pemerintah, pemerintah

daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota. Berdasarkan organisasi yang

menyelenggarakannya, pelayanan publik dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

39
Yeremis T. Keban,2008, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori, dan Isu,
Gava Media, Yogyakarta, hlm 4
40
Adrian Sutedi, 2009 Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm 78
41
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

32
a. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah

semua penyediaan barang atau jasa publik diselenggarakan oleh swasta

b. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Pelayanan

ini dapat dibedakan menjadi:

1) Yang bersifat primer, adalah semua penyediaan barang/jasa publik

yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah

merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/klien mau tak

mau harus memerlukannya.

2) Yang bersifat sekuunder, adalah segala bentuk penyediaan

barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi di

dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena

adanya beberapa penyelenggara pelayanan.42

3. Hakekat dan Asas-Asas Pelayanan Publik

Dalam suatu negara hukum, tugas negara dalam dimensi pelayanan publik

adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial bagi

masyarakatnya. Tugas negara berkembang atau bertambah, bukan hanya sebagai

pemelihara keamanan dan ketertiban saja. Negara melakukan campur tangan

hampir di setiap sektor kehidupan masyarakat, menyebabkan semakin besarnya

42
Ismail Mohammad, 2004, Pelayanan Publik dalam Era Desentralisasi, Lembaga Administrasi
Negara, Republik Indonesia, hlm. 15

33
ketertiban administrasi negara di dalamnya.43 Asas-asas dalam pelayanan publik

menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 4 adalah:44

a. Kepentingan Umum yaitu pemberian pelayanan tidak boleh

mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.

b. Kepastian Hukum yaitu Sebagai jaminan terwujudnya hak dan kewajiban

dalam penyelenggaraan pelayanan.

c. Kesamaan Hak yaitu pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras,

agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

d. Keseimbangan Hak dan Kewajiban yaitu pemenuhan hak harus

sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi

maupun penerima layanan.

e. Keprofesionalan yaitu pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi

yang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

f. Partisipasif yaitu peningkatan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,

dan harapan masyarakat.

g. Persamaan Perlakuan/Tidak Diskriminatif yaitu setiap warga negara

berhak memperoleh pelayanan yang adil.

h. Keterbukaan yaitu setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah

mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang

diinginkan.

43
SF. Marbun, 1981, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, hlm 105
44
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

34
i. Akuntabilitas yaitu proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

j. Fasilitas dan Perlakuan Khusus bagi Kelompok Rentan yaitu pemberian

kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam

pelayanan, contohnya penyandang cacat, dan orang jompo.

k. Ketepatan Waktu yaitu penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan

tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.

l. Kecepatan, Kemudahan, dan Keterjangkauan yaitu setiap jenis pelayanan

dilakukan cepat, mudah, dan terjangkau oleh masyarakat sebagai

pengguna jasa pelayanan.

4. Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Negara atau pemerintah dalam dimensi pelayanan publik memiliki tugas

menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial bagi

masyarakatnya. Ini sejalan dengan paham negara kesejahteraan yang dianut oleh

negara kita, dimana negara tidak hanya berfungsi untuk menjaga dan memelihara

keamanan dan ketertiban saja, akan tetapi juga turut campur hampir di seluruh

sektor atau bidang dalam kehidupan masyarakat. Prinsip-prinsip penyelenggaraan

pelayanan publik: Commented [TL1]: Perlu diberikan footnote

a. Kesederhanaan;

b. Kejelasan;

c. Kepastian Waktu;

35
d. Akurasi;

e. Keamanan ;

f. Tanggung Jawab;

g. Kelengkapan Sarana dan Prasarana;

h. Kemudahan Akses;

i. Kedisiplinan, Kesopanan, dan Keramahan;

j. Kenyamanan.

5. Standar Pelayanan Publik

Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan. Standar

pelayanan dijadikan ukuran dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib

ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan. Standar pelayanan yang

ditetapkan hendaknya realistis karena merupakan jaminan bahwa komitmen yang

dibuat dapat dipenuhi, jelas, dan mudah dimengerti oleh pemberi dan penerima

layanan.

6. Pelayanan Publik dan Desentralisasi

Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah sejak tahun

2001 memberikan perubahan dalam pelaksanaan pemerintah di daerah. Salah satu

perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan

beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini,

maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan

menyelenggarakan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan

kebutuhannya.

36
Otonomi daerah merupakan suatu hal yang telah lama direkomendasikan oleh

para akdemisi dalam forum-forum ilmiah dan didambakan oleh para akademisi

dalam forum-forum ilmiah dan ditambahkan oleh para praktisi dan birokrat daerah.

Akan tetapi setelah pelaksanaan otonomi daerah, masyarakat banyak yang kecewa

karena otonomi daerah belum dapat memperbaiki kinerja pemerintah daerah,

khususnya dalam peyelenggaraan pelayanan publik.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, telah memberikan perluasan kewenangan pada tingkat

pemerintahan daerah dipandang sebagai salah satu upaya untuk memotong

hambatan birokratis yang sering kali mengakibatkan pemberian pelayanan

memakan waktu dan biaya yang tinggi. Dengan adanya desentralisasi, pemerintah

daerah harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini

dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Konsekuensinya pemerintah daerah dituntut

untuk mampu memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, dalam arti lebih

berorientasi kepada aspirasi masyarakat, lebih efisien, efektif, dan bertanggung

jawab.45

C. Tinjauan Umum tentang Penyelenggaraan Perparkiran di Kota

Yogyakarta

1. Pengertian Perparkiran

Secara umum dapat diketahui bahwa kebijakan penyelenggaraan perparkiran

ini bertujuan untuk: Commented [TL2]: Footnote

a. Meningkatkan kelancaran lalu lintas;

45
Dr. Ismail Mohammad, Op.cit

37
b. Memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pengguna jasa parkir dan

masyarakat;

c. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui retribusi parkir.

Parkir dapat digunakan sebagai salah satu manajemen lalu lintas kota, karena

dengan perkembangan masyarakat saat ini dan melonjaknya populasi kendaraan

bermotor setiap hari tentu saja pengelolaan parkir yang tepat dan efektif mutlak

dilakukan. Efisien berarti pengelolaan parkir diharapkan tidak terlalu membebani

anggaran daerah sedangkan efektif dapat kita artikan sebagai dapat dirasakan

manfaar serta tepat sasaran. Parkir di Kota Yogyakarta juga telah mampu

memberikan kontribusi bagi Pendapat Asli Daerah (PAD) tiap tahunnya, dan

pendapatan di sektor retribusi parkir diharapkan dapat meningkatkan tiap tahunnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia parkir diartikan sebagai

menghentikan atau menaruh (kendaraan bermotor) untuk beberapa saat di tempat

yang sudah disediakan.46 Sedangkan dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta

Nomor 18 Tahun 2009, yang dimaksudkan dengan parkir adalah kendaraan berhenti

atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.47

2. Hak dan Kewajiban Pemerintah Kota Sebagai Penyelenggara Perparkiran di

Kota Yogyakarta

Kewajiban pemerintah kota adalah melaksanakan penyelenggaraan

perparkiran di Kota Yogyakarta, antara lain yaitu:

46
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahsa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hlm 649
47
Pasal 1 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan
Perparkiran

38
a) Menyelenggarakan tempat parkir

Penyelenggaraan tempat parkir ini diatur dalam Peratruan Daerah Kota

Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 2 Ayat (1) yang berbunyi:

Penyelenggaraan tempat parkir dapat dilaksanakan oleh Pemerintah

Daerah atau Swasta. Ayat (2) yang berbunyi: Penyelenggaraan tempat

parkir yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah meliputi: Tempat Parkir

Tepi Jalan Umum, Tempat Khsuus Parkir dan Parkir tidak Tetap. Serta

pada Ayat (3) yang berbunyi: Penyelenggaraan tempat parkir yang

dilaksanakan oleh swasta yaitu tempat khusus parkir milik swasta.

b) Menetapkan suatu kawasan untuk dijadikan sebagai tempat parkir

Penetapan suatu kawasan menjadi tempat parkir diatur dalam Peraturan

Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 3 Aya (1) yang

berbunyi: Penetapan kawasan dan lokasi tempat parkir dengan

memperhatikan:

a. Rencana tata ruang kota;

b. Keselematan dan kelancaran lalu lintas;

c. Penataan dan kelestarian lingkungan;

d. Kemudahan bagi pengguna tempat parkir.

Di dalam Peraturan Walikota Nomor 16 Tahun 2011 sebagai petunjuk

pelaksanaan dari Perda Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 2 Ayat (1)

menyebutkan setiap ruas jalan yang ditetapkan sebagai lokasi tempat

39
parkir, dinyatakan dengan rambu parkir, dan atau marka parkir. Dalam

Pasal 2 ini juga menetapkan lokasi parkir menjadi dua kawasan, yaitu:

1) Kawasan I, meliputi ruas jalan sebagai berikut:

Jl. Laksda Adisucipto; Jl. Mayjend Sutoyo;

Jl. Urip Sumoharjo; Jl. D.I. Panjaitan;

Jl. C. Simanjuntak; Jl. Gedongkuning;

Jl. Jendral Sudiman; Jl. Veteran;

Jl. P. Mangkubumi dan sirip-siripnya; Jl. Tentara Pelajar;

Jl. Malioboro dan sirip-siripnya; Jl. Bumijo;

Jl. Ahmad Yani dan sirip-siripnya; Jl. Ahmad Jazuli;

Jl. P. Senopati; Jl. Yos Sudarso;

Jl. Mayor Suryotomo dan sirip-siripnya; Jl. Juwadi;

Jl. Mataram; Jl. Johar S;

Jl. Gandekan Lor; Jl. Munggur;

Jl. Jogonegaran; Jl. Faridan M. Noto;

Jl. Bhayangkara; Jl. Bantul;

Jl. KHA. Dahlan; Jl. Bugisan;

Jl. Trikora; Jl. Jlagran Lor;

Jl. Ketandan; Jl. Kemetiran;

Jl. Sriwedani; Jl. Ngasem;

Jl. Prof. Dr. Yohanes; Jl. Mas Suharto;

Jl. Wachid Hasyim; Jl. Kenari;

40
Jl. Kusumanegara; Jl. Gayam;

Jl. Sultan Agung; Jl. Cendana;

Jl. P. Diponegoro dan sirip-siripnya; Jl. Melati Wetan;

Jl. Brigjend Katamso; Jl. Ibu Ruswo

Jl. Emplasement Lempuyangan; Jl. Dr. Wajidin Sudiro

Jl. Secodiningratan; Husodo;

Jl. Kol. Sugiyono; Jl. Gadjah Mada;

Jl. Menteri Supeno; Jl. Hayam Wuruk;

Jl. Tamansiswa; Jl. AM Sangaji;

Jl. Parangtritis; Jl. Dr. Sardjito;

Jl. Magelang; Jl. Gejayan;

Jl. Kyai Mojo; Jl. RE Martadinata;

Jl. Cik Di Tiro; Jl. HOS Cokroaminoto;

Jl. Kahar Muzakkir; Jl. Kapten Piere Tendean;

Jl. Dr. Sutomo; Jl. Letjend MT Haryono;

2) Kawasan II, yaitu meliputi seluruh ruas jalan di wilayan Kota

Yogyakarta yang tidak termasuk dalam Kawasan I.

c) Menunjuk juru parkir sebagai operator parkir di lapangan

Pemerintah berwenang untuk menunjuk juru parkir dalam

melaksanakan penyelenggaraan parkir di tempat khusus parkir,

ketentuan ini diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18

Tahun 2009 Pasal 4 Ayat (1) yang berbunyi: Walikota atau Pejabat yang

41
ditunjuk, menugaskan Juru Parkir dengan Surat Tugas., dan Ayat (2)

yang berbunyi: Juru Parkir sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

bertanggungjawab kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.

d) Melakukan pengawasan kepada juru parkir dan pengelola perparkiran.

Pasal 28 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009

berbunyi: Pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah ini menjadi

wewenang Walikota atau pejabat yang ditunjuk. Dalam Peraturan

Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009

tentang Penyelenggaraan Perparkiran, pejabat yang ditunjuk untuk

melakukan penyelenggaraan sekaligus pengawasan perparkiran adalah:

a. Kepala Dinas Pengelolaan Pasar, dengan kewenangan

menyelenggarakan perparkiran di kawasan pasar, kecuali

kawasan pasar yang berada di jalan Ahmad Yani;

b. Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan kewenangan

menyelenggarakan perparkiran di jalan Malioboro. Jalan Ahmad

Yani, TKP Malioboro I dan TKP Malioboro II;

c. Kepala Dinas Perhubungan dengan kewenangan

menyelenggarakan perparkiran TJU dan TKP selain pada huruf a

dan b;

d. Camat dengan kewenangan menyelenggarakan perparkiran tidak

tetap di wilayah kecamatan setempat, selain di jalan Malioboro

jalan Ahmad Yani.

42
e) Melakukan penegakan terhadap adanya pelanggaran Perda terkait

Penyelenggaraan Perparkiran

Penegakan terhadap pelanggaran diatur dalam Pasal 19 huruf c

Peraturan Walikota Kota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Perda Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009

yang berbunyi:

Hasil Pengawasan khusus bila ditemukan adanya pelanggaran,


SKPD yang berwenang melaporkan kepada Dinas Ketertiban.

Di samping adanya kewajiban bagi pemerintah kota dalam

penyelenggaraan parkir di Kota Yogyakarta, terdapat adanya hak bagi

Pemerintah Kota Yogyakarta. Hak yang dimiliki adalah mendapatkan

pemasukan retribusi dari pengguna jasa parkir.

3. Hak dan Kewajiban Pengguna Jasa Parkir

Kewajiban pengguna jasa parkir dalam penyelenggaraan perparkiran di Kota

Yogyakarta diatur di dalam Pasal 20 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18

Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran, yang menyatakan bahwa:

Setiap pengguna jasa tempat parkir wajib:

a) Mematuhi semua tanda-tanda parkir dan atau petunjuk yang ada, berupa:

rambu, marka atau tanda lain;

b) Meminta karcis parkir resmi sebagai tanda bukti pada saat akan parkir;

c) Menunjukkan dan membayar retribusi parkir kepada juru parkir atau

pengelola parkir pada saat akan meninggalkan parkir.

43
Kewajiban yang lain juga diatur dalam Pasal 21, yang menyatakan bahwa:

Setiap pemilik dan atau pengemudi kendaraan roda empat atau lebih yang

memarkir kendaraan di badan jalan secara tetap atau rutin dilokasi yang sama, wajib

mendapatkan izin dari Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dengan pertimbangan

tertentu. Dalam Pasal 22 terdapat larangan bagi pengguna jasa parkir atau

masyarakat umuum. Laarangan tersebut adalah:

(1) Setiap pemilik dan/atau pengemudi kendaraan dilarang parkir di tempat-

tempat yang tidak dinyatakan dengan rambu parkir, dan/atau marka parkir;

(2) Ruas jalan yang dapat dipergunakan sebagai tempat parkir dinyatakan

dengan rambu parkir, dan/atau marka parkir sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

(3) Setiap pemilik dan atau pengemudi kendaraan dilarang parkir berlapis di

tempat parkir di tepi jalan umum.

Dengan adanya kewajiban yang dilaksanakan pengguna jasa parkir maka akan

ada timbulnya hak. Hak yang didapatkan oleh pengguna jasa parkir dalam

penyelenggaraan perparkiran di Kota Yogyakarta adalah terpenuhinya kenyamanan

dan keamanan dalam perparkiran, kenyamanan yang didapatkan antara lain:

1) Ketersediaan tempat parkir yang cukup oleh Pemerintah Kota.

Penyediaan tempat parkir menjadi kewajiban dari Pemerintah Kota

Yogyakarta. Pengguna jasa parkir berhak untuk mendapatkan ketersediaan

fasilitas tempat parkir yang memenuhi kenyamanan dan keamanan mereka.

Ketersediaan tempat parkir yang cukup dapat dilihat dari adanya rambu atau

marka parkir dan papan informasi mengenai perparkiran di tempat parkir.

44
2) Mendapatkan pelayanan yang memuaskan atau maksimal dari juru parkir.

Kenyamanan dan keamanan bagi pengguna jasa parkir akan terwujud

apabila juru parkir/petugas parkir sebagai operator parkir di lapangan

menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 serta Peratruan

Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011.

3) Adanya jaminan keamanan dan ganti rugi atas kehilangan.

Dalam penyelenggaraannya, parkir tidak bisa dilepaskan dari segi

keamanan. Pengguna jasa parkir tentu mengharapkan kendaraannya yang

diparkir dapat terjamin keamanannya. Beberapa Pasal dalam Peraturan

Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 yang secara jelas mengatur

tentang jaminan hak bagi pengguna jasa parkir adalah Pasal 17 dan 18. Dalam

Pasal 17 dan 18 diatur mengenai ketentuan ganti rugi atas kehilangan. Pasal

17 yang terdiri dari 5 (liam) ayat menjadi landasan jaminan hukum bagi

semua pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan parkir terutama bagi

pengguna jasa parkir. Pasal 17 mengatur tentang ganti rugi atas kehilangan

yang terjadi di tepi jalan umum, sedangkan pada Pasal 18 mengatur tentang

ganti rugi atas kehilangan yang terjadi di tempat khusus parkir milik

pemerintah kota dan swasta. Apabila terjadi kehilangan di kedua tempat

khusus parkir tersebut, maka ganti rugi atas kehilangan menjadi tanggung

jawab pengelola tempat khusus parkir.

4. Dinas-Dinas yang Terkait dengan Penyelenggaraan Perparkiran

45
Penyelenggaraan perparkiran di Kota Yogyakarta

dilaksanakan oleh beberapa dinas dalam lingkungan Pemerintah

Kota Yogyakarta.

a) Dinas Perhubungan

1) Pengertian Dinas Perhubungan

Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta

Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan,

Kedudukan, dan Tugas Pokok Dinas Daerah

menyebutkan bhawa dinas perhubungan merupakan

unsur pelaksana pemerintah daerah di bidang

perhubungan, pos, dan telekomunikasi. Dinas

Perhubungan dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang

berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Walikota

melalui Sekretaris Daerah.

2) Tugas dan Fungsi Dinas Perhubungan

Dinas Perhubungan mempunyai tugas pokok

melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan

asas otonomi dan tugas pembantuan di bidang

perhubungan, pos, dan telekomunikasi.48

Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta

48
Pasal 14 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan,
Susunan, Kedudukan, dan Tugas Pokok Dinas Daerah

46
Nomor 10 Tahun 2008. Dinas Perhubungan Kota

Yogyakarta mempunyai tugas:

1. Pelaksanaan urusan umum, kepegawaian, keuangan,

administrasi data dan pelaporan di bidang

perhubungan;

2. Penyelenggaraan manajemen lalu lintas, rekayasa

lalu lintas dan angkutan;

3. Penyelenggaraan optimalisasi perparkiran dan

pengelolaan retribusi parkir;

4. Penyelenggaraan pengendalian operasional dan

bimbingan keselamatan di bidang perhubungan.

3) Susunan Organisasi

Susunan organisasi Dinas Perhubungan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor

10 Tahun 2008 adalah sebagai berikut:

1. Sekretariat, terdiri dari:

Sub Bagian Umum dan Kepegawaian

Sub Bagian Keuangan

Sub Bagian Administrasi Data dan Pelaporan

2. Bidang Lalu Lintas dan Angkutan, terdiri dari:

Seksi Manajemen Lalu Lintas

Seksi Rekayasa Lalu Lintas

Seksi Angkutan

47
3. Bidang Perparkiran, terdiri dari:

Seksi Optimalisasi Perparkiran

Seksi Retribusi Parkir

4. Bidang Pengendalian Operasional dan Bimbingan

Keselamatan, terdiri dari:

Seksi Pengendalian Operasional

Seksi Bimbingan Keselamatan

5. Unit Pelaksana Teknis

6. Kelompok Jabatan Fungsional

Kewenangan Dinas Perhubungan dalam

Penyelenggaraan Perparkiran di Kota Yogyakarta

.Peranan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta dalam

penyelenggaraan perparkiran di Kota Yogyakarta

menurut Peratruan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18

Tahun 2009 dan Peraturan Walikota Nomor 16 Tahun

2011 Pasal 4 adalah berwenang dalam

menyelenggarakan perparkiran di tepi jalan umum (TJU)

dan tempat khusus parkir (TKP). Penyelenggaraan

perparkiran di kedua tempat tersebut terdapat

pengecualian, yaitu tidak berwenang dalam

penyelenggaraan perparkiran di kawasan pasar,

sepanjang Jalan Malioboro, Jalan Ahmad Yani, Tempat

48
Khusus Parkir Malioboro I, dan Tempat Parkir

Malioboro II.

Penyelenggaraan perparkiran ditangani oleh Bidang

Perparkiran Dinas Perhubungan. Bidang perparkiran

mempunyai tugas yaitu, membantu Kepala Dinas dalam

merumuskan kebijakan, mengkoordinasikan, membina,

mengawasi, dan mengendalikan program bidang

perparkiran.49

b) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

1) Pengertian Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan merupakan unsur

pelaksana pemerintah daerah di bidang pariwisata dan

kebudayaan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dipimpin

oleh Kepala Dinas yang berkedudukan di bawah dan

bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris

Daerah.

2) Tugas dan Fungsi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mempunyai tugas

pokok melaksanakan urusan pemerintahan daerah

berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan di

bidang pariwisata dan kebudayaan

49
Pasal 18 Peraturan Walikota Yogyakarya Nomor 80 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi,
Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta.

49
3) Susunan Organisasi

Susunan organisasi Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan, terdiri dari:

a. Sekretariat, terdiri dari:

1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;

2. Sub Bagian Keuangan;

3. Sub Bagian Administrasi Data dan Pelaporan;

b. Bidang Promosi dan Kerjasama Pariwisata, terdiri

dari:

1. Seksi Promosi dan Pemasaran Pariwisata;

2. Seksi Kerjasama Pariwisata;

c. Bidang Pembinaan dan Pengembangan Pariwisata,

terdiri dari:

1. Seksi Pembinaan dan Pengembangan Pelaku

Pariwisata;

2. Seksi Pengembangan Usaha dan Jasa Pariwisata.

d. Bidang Pengembangan Obyek dan Daya Tarik

Wisata, terdiri dari:

1. Seksi Pengembangan Atraksi Budaya;

2. Seksi Pengembangan Obyek dan Daya Tarik

Wisata.

e. Bidang Kebudayaan, terdiri dari:

50
1. Seksi Pembinaan dan Pelestarian Nilai-Nilai

Budaya;

2. Seksi Pengembangan dan Pelestarian Seni dan

Cagar Budaya.

f. UPT;

g. Kelompok Jabatan Fungsional

4) Kewenangan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dalam

Penyelenggaraan Perparkiran di Kota Yogyakarta

Pengelolaan parkir yang berada di bawah Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan dilaksanakan oleh Unit

Pelaksana Teknis Pengelolaan Kawasan Malioboro atau

disingkat dengan UPT. UPT Pengelolaan Kawasan

Malioboro dibentuk dengan Peraturan Walikota

Yogyakarta Nomor 92 Tahun 2009 tentang

Pembentukan, Susunan, Kedudukan, Fungsi, dan

Rincian Tugas Unit Pelaksana Tugas Pengelolaan

Kawasan Malioboro pada Dinas Pariwisata dan

Kebudayaan Kota Yogyakarta, yang sudah diperbaharui

dengan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 8 Tahun

2012. UPT adalah unsur pelaksana di lingkungan Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan yang melaksanakan kegiatan

teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang

tertentu.

51
Penyelenggaraan perparkiran yang dilaksanakan

oleh UPT Pengelolaan Kawasan Malioboro yaitu

perparkiran di sepanjang jalan Malioboro, jalan Ahmad

Yani, TKP Malioboro I, dan TKP Malioboro II.

UPT Pengelolaan Kawasan Malioboro mempunyai

fungsi pengelolaan pariwisata, kebersihan, keindahan,

pemeliharaan sarana prasarana, pembinaan ketentraman

dan ketertiban, usaha perdagangan, penataan kawasan

parkir dan transportasi yang berada di kawasan

Malioboro.

Untuk melaksanakan fungsinya, UPT mempunyai

tugas:50

1. Menyusun perencanaan, program, anggaran dan

laporan;

2. Melakukan perawatan dan pemeliharaan

kebersihan, pertamanan, sarana, prasarana, dan

fasilitas pendukung lainnya yang menjadi

kewenangan UPT;

3. Melakukan pemberdayaan komunitas Malioboro;

4. Melakukan promosi kawasan Malioboro;

50
Pasal 6 Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pembentukan, Susunan,
Kedudukan, Fungsi dan Rincian Tugas Unit Pelaksana Teknis Pengelolaan Kawasan Malioboro
pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta

52
5. Melakukan pembinaan, pengawasan,

pemantauan dan pengendalian ketentraman,

keamanan dan ketertiban di kawasan Malioboro;

6. Memfasilitasi dan melaksanakan koordinasi

pembinaan, pengawasan, pemantauan dan

pengendalian ketertiban kelancaran lalu lintas

kawasan Malioboro;

7. Melaksanakan pengaturan dan pengendalian

kendaraan tidak bermotor di kawasan Malioboro;

8. Melakukan urusan kerumahtanggaan UPT.

Sesuai dengan struktur organisasi UPT Pengelolaan

Kawasan Malioboro, pengelolaan perparkiran menjadi

tugas dari Divisi Ketentraman, Ketertiban, dan Lalu

lintas. Dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pembentukan, Sususnan,

Kedudukan, Fungsi, dan Rincian Tugas Unit Pelaksana

Teknis Pengelolaan Kawasan Malioboro pada Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Pasal 11

Ayat (2) huruf g, h, i, j, k, l, dan m Divisi Ketentraman,

Ketertiban, dan Lalu Lintas mempunyai tugas dalam hal

perparkiran antara lain:

Melaksanakan fasilitasi dan koordinasi pengawasan,

pembinaan, dan penertiban perparkiran;

53
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian tempat

khusus parkir diluar kepentingan parkir/tempat

parkir swasta;

Melaksanakan fasilitas pelayanan penerbitan

perizinan tempat parkir swasta, tempat parkir

pemerintah dan tepi jalan umum;

Melaksanakan pengawasan dan pengendalian tempat

parkir swasta, tempat parkir pemerintah dan tepi

jalan umum;

Melaksanakan pengawasan dan pembinaan juru

parkir;

Melaksanakan fasilitasi dengan pihak terkait dalam

rangka pelaksanaan kebijakan manajemen

perparkiran;

Melaksanakan pemungutan dan penyetoran retribusi

parkir.

c) Dinas Pengelolaan Pasar

1) Pengertian Dinas Pengelolaan Pasar

Dinas Pengelolaan Pasar merupakan unsur pelaksana

pemerintah daerah dibidang pengelolaan pasar. Dinas

pengelolaan pasar dipimpin oleh Kepala Dinas dan

berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada

Walikota melalui Sekretaris Daerah.

54
2) Tugas dan Fungsi Dinas Pengelolaan Pasar

Dinas Pengelolaan Pasar mempunyai tugas pokok

melaksanakan urusan otonomi daerah dan tugas

pembantuan di bidang pengelolaan pasar. Dalam

Peraturan Walikota Nomor 86 Tahun 2008 tentang

Fungsi, Rincian Tugas, dan Tata Kerja Dinas

Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta, Dinas Pengelolaan

Pasar mempunyai fungsi pelaksanaan urusan umum,

kepegawaian, keuangan, administrasi data dan

pelaporan.

3) Susunan Organisasi Dinas Pengelolaan Pasar Kota

Yogyakarta

Susunan organisasi Dinas Pengelolaan Pasar terdiri

dari:

a. Sekretariat, terdiri dari:

1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;

2. Sub Bagian Keuangan;

3. Sub Bagian Administrasi Data dan

Pelaporan.

b. Bidang Pemeliharaan Sarana Prasarana,

Kebersihan dan Keamanan, terdiri dari:

1. Seksi Pemeliharaan Sarana Prasarana;

2. Seksi Kebersihan;

55
3. Seksi Keamanan.

c. Bidang Pemanfaatan Lahan dan Pengelolaan

Retribusi, terdiri dari:

1. Seksi Pemanfaatan Lahan;

2. Seksi Pengelolaan Retribusi.

d. Bidang Pengembangan, terdiri dari:

1. Seksi Pembinaan Pedagang dan Komunitas

Pasar;

2. Seksi Pengkajian, Pengembangan dan

Pemasaran.

e. UPT;

f. Kelompok Jabatan Fungsional.

d) Dinas Ketertiban

1) Pengertian Dinas Ketertiban

Dinas Ketertiban merupakan unsur pelaksana

pemerintah daerah di bidang ketertiban. Dinas ketertiban

dipimpin oleh Kepala Dinas dan berkedudukan di bawah

dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui

Sekretaris Daerah.

2) Tugas dan Fungsi Dinas Ketertiban

Dinas Ketertiban mempunyai tugas pokok

melaksanakan urusan otonomi daerah dan tugas

pembantuan di bidang ketertiban. Dalam Peraturan

56
Walikota Nomor 88 tentang Fungsi, Rincian Tugas, dan

Tata Kerja Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta, Dinas

Ketertiban mempunyai fungsi:

1. Pelaksanaan urusan umum, kepegawaian, keuangan,

admnistrasi data dan pelaporan;

2. Penyelenggaraan perencanaan dan pelaksanaan

penindakan pelanggaran peratturan daerah;

3. Memelihara pembinaan ketentraman dan ketertiban

umum serta menegakkan peraturan daerah secara non

yustisi.

Penyelenggaraan penegakan peraturan perundang-

undangan pro yustisi, pengkajian, pengolanan peraturan

perundang-undangan serta pengembangan kapasitas

Polisi Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

3) Susunan Organisasi Dinas Ketertiban

Susunan organisasi Dinas Ketertiban, terdiri dari:

g. Sekretariat, terdiri dari:

4. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian;

5. Sub Bagian Keuangan;

6. Sub Bagian Administrasi Data dan

Pelaporan.

h. Bidang Pengendalian Operasional, terdiri dari:

4. Seksi Perencanaan Operasional;

57
5. Seksi Operasional.

i. Bidang Polisi Pamong Praja dan Pembinaan

Masyarakat, terdiri dari:

3. Seksi Ketentraman;

4. Seksi Ketertiban;

5. Seksi Pembinaan Masyarakat.

j. Bidang Penegakan Peraturan Perundang-

undangan dan Pengembangan Kapasitas, terdiri

dari:

3. Seksi Penyidikan;

4. Seksi Pengkajian dan Pengolahan Peraturan

Perundang-Undangan;

5. Seksi Pengembangan Kapasitas Polisi

Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri

Sipil.

k. UPT;

l. Kelompok Jabatan Fungsional.

D. Tinjauan Umum tentang Parkir di Tempat Khusus Parkir

1. Payung Hukum dalam Penyelenggaraan Penarikan Tarif Parkir di

Tempat Khusus Parkir di Kota Yogyakarta.

Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penarikan tarif di

tempat khusus parkir di Kota Yogyakarta, Pemerintah Kota

Yogyakarta telah memberlakukan beberapa peraturan daerah,

58
diantaranya yaitu Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18

Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran, Peraturan Daerah

Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha,

dan Peraturan Walikota Nomor 16 Tahun 2011 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Perda Nomor 18 Tahun 2009

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 mencabut

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 20 Tahun 2009 tentang

Retribusi Tempat Khusus Parkir yang sebelumnya sudah mengatur

tentang retribusi tempat khusus parkir di Kota Yogyakarta. Hal yang

mendasari dicabutnya Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 20

Tahun 2009 adalah untuk menjamin kepastian hukum dalam

pemungutan retribusi di tempat khusus parkir.

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 ini

bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat

serta mewujudkan kelancaran pembayaran retribusi, salah

satunya adalah retribusi tempat khusus parkir. Pengertian

tersebut cukup menjelaskan bahwa peraturan ini merupakan

pedoman yang jelas bagi pelaksanaan retribusi tempat khusus

parkir di Kota Yogyakarta.

59
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009

tentang Penyelenggaraan Parkir, membagi lokasi tempat parkir

menjadi empat macam, yaitu:51

1) Tempat parkir di tepi jalan umum;

2) Tempat khusus parkir;

3) Tempat khusus parkir swasta;

4) Tempat-tempat tertentu yang digunakan sebagai tempat

parkir tidak tetap.

Pada penulisan hukum ini penulis ingin lebih

memfokuskan penelitiannya pada hal sejauh mana penerapan

tarif parkir sepeda motor di tempat khusus parkir yang

diselenggarakan oleh Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta

dalam mewujudkan kenyamanan para pengguna jasa parkir.

Tempat parkir di Tempat Khusus Parkir adalah tempat parkir

kendaraan beserta fasilitas penunjangnya yang dimiliki

Pemerintah Daerah yang dapat dikelola oleh Pemerintah Daerah

atau badan atau orang pribadi yang meliputi gedung parkir,

taman parkir dan pelataran atau lingkungan parkir.52

Penyelenggaraan parkir tempat khusus parkir yang

menjadi kewenangan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan adalah

51
Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perparkiran
52
Pasal 1 butir 10 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perparkiran

60
yang berada di Ruas Jalan Malioboro dan Jalan Ahmad Yani.

Sedangkan parkir tempat khusus parkir di luar wilayah tersebut

berada pada kewenangan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta.

Adanya beberapa perda mengenai tempat khusus parkir

ini akan menimbulkan hak dan kewaijban bagi semua pihak.

Kewajiban bagi pemerintah kota untuk menyelenggarakan

perparkiran yang dapat memberikan kenyamanan bagi pengguna

jasa parkir di samping mendapatkan hak berupa pendapatan

retribusi dari pengguna jasa parkir. Kewajiban petugas parkir

sebagai operator di lapangan untuk memberikan pelayanan

prima kepada pengguna jasa parkir di samping mendapatkan

hak-hak sebagai juru parkir. Bagi pengguna jasa parkir,

peraturan daerah ini mengatur hak-hak yang seharusnya

diperoleh dalam penyelenggaraan penarikan tarif retribusi

tempat khusus parkir di samping itu juga adanya kewajiban yang

diemban sebagai pengguna jasa parkir.

2. Penyelenggaraan Parkir di Tempat Khusus Parkir

Tempat Khusus Parkir yang selanjutnya disingkat TKP

adalah tempat parkir kendaraan beserta fasilitas penunjangnya

yang dimiliki Pemerintah Daerah yang dapat dikelola oleh

Pemerintah Daerah atau badan atau orang pribadi yang meliputi

gedung parkir, taman parkir, dan pelataran atau lingkungan

61
parkir. Tempat Khusus Parkir Swasta adalah tempat parkir yang

dimiliki oleh swasta yang dikelola oleh orang pribadi atau badan.

Penyelenggara parkir di tempat khusus parkir adalah Petugas

Parkir yang dipekerjakan oleh Penyelenggara Tempat Parkir.

Penetapan kawasan Tempat Khusus Parkir ditentukan sesuai

dengan ruas jalan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan (4)

Peraturan Walikota Nomor 16 Tahun 2011. Khusus Tempat

Khusus Parkir di dalam Pasar dan Pelataran Pasar yang dikelola

Dinas Pengelola Pasar diberlakukan sebagai Kawasan I. Tempat

Khusus Parkir terdiri dari Tempat Khusus Parkir milik

Pemerintah Daerah, dan Tempat Khusus Parkir milik Swasta.

Lokasi Tempat Khusus Parkir milik Pemerintah Daerah yaitu:

a. Lokasi tempat parkir Malioboro I, di Jalan Abu Bakar Ali;

b. Lokasi tempat parkir Malioboro II, di Jalan Pabringan/Jalan

Jend. Ahmad Yani;

c. Lokasi tempat parkir Senopati, di Jalan P. Senopati;

d. Lokasi tempat parkir Sriwedani, di Jalan P. Senopati/Jalan

Sriwedani;

e. Lokasi tempat parkir Limaran, di Jalan Mayor Suryotomo;

f. Lokasi tempat parkir Ngabean, di Jalan K.H. Wachid

Hasyim;

g. Lokasi tempat parkir di Gedung Parkir, Pelataran atau

lingkungan parkir milik Pemerintah Daerah

62
h. Lokasi tempat parkir di dalam pasar dan pelataran pasar yang

dikelola Dinas Pengelolaan Pasar.

h. Tarif Retribusi Tempat Khusus Parkir

1. Tarif retribusi satuan ruang parkir pada tempat khusus parkir

adalah sebagai berikut:53

Tabel 1

2. Tarif retribusi untuk fasilitas penunjang Tempat Khusus Parkir

sebagai berikut:54

53
Lampiran III Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa
Usaha
54
Ibid, hlm 21

63
Tabel 2

i. Petugas Parkir Sebagai Operator Penyelenggaraan

Perparkiran di Lapangan.

Petugas Parkir adalah orang yang dipekerjakan oleh

Penyelenggara Tempat Parkir sebagai tukang parkir pada Tempat

Khusus Parkir.55 Sedangkan kewajiban petugas parkir sebagai

operator parkir di lapangan adalah melaksanakan kewajiban sebagai

juru parkir sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Daerah

Nomor 18 Tahun 2009, antara lain adalah:

a. Menggunakan pakaian seragam, tanda pengenal serta

perlengkapan lainnya;

b. Menjaga keamanan dan ketertiban tempat parkir, serta

bertanggungjawab atas keamanan kendaraan beserta

perlengkapannya;

55
Pasal 1 butir 13 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perparkiran

64
c. Menjaga kebersihan, keindahan, dan kenyamanan

lingkungan parkir;

d. Menyerahkan karcis parkir sebagai tanda bukti untuk

setiap kali parkir dan memungut retribusi sesuai dengan

ketentuan yang berlaku;

e. Menata dengan tertib kendaraan yang diparkir, baik pada

waktu datang maupun pergi.

j. Hak dan Kewajiban Pengelola Parkir Tempat Khusus

Parkir

Pada Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011

sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Daerah Kota

Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 Pasal 14, ditetapkan besaran

pembagian atas pendapatan adalah sebagai berikut:

Tabel 3

Pembagian pendapatan antara Pemerintah dengan pengelola tempat

khusus parkir:

Tabel 2

Pembagian pendapatan antara Pemerintah dengan juru parkir:

65
Dari tabel pembagian pendapatan antara pemerintah dengan

pengelola tempat khusus parkir di atas atau tabel 1 (satu), dapat

dilihat bahwa persentase yang didapat dari retribusi tarif parkir

kendaraan oleh pengelola parkir di kawasan I adalah sama rata, dan

kawasan II, pengelola tempat khusus parkir lebih besar

dibandingkan dengan pemerintah. Hal ini merupakan salah satu

upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pengelola

parkir kepada pengguna jasa parkir.

Antara tempat khusus parkir dan parkir tepi jalan umum,

dibedakan dari segi pengelola dan pembagian dari retribusi tersebut.

Pengelola parkir tempat khusus parkir disebut sebagai pengelola,

sedangkan pengelola parkir tepi jalan umum dikelola oleh juru

parkir. Selain perbedaan julukan nama, hal lain yang membedakan

adalah dalam sistem mekanisme pembagian retribusi. Seperti yang

dilihat di tabel 1 dan 2, bahwa terdapat perbedaan dalam pembagian

retribusi. Untuk pembagian retribusi tempat khusus parkir,

pembagian adalah antara pemerintah kota dengan pengelola parkir,

sehingga bagian untuk petugas parkir yang dipekerjakan oleh

pengelola parkir adalah tanggungjawab dari pengelola parkir

tersebut. Pembagian retribusi untuk tepi jalan umum, adalah antara

pemerintah kota dengan juru parkir langsung tanpa perantara.

66
Kewajiban dari pengelola parkir didalam Peraturan Daerah Kota

Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan

Perparkiran adalah:

a. Bertanggungjawab atas segala kegiatan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan tempat parkir, termasuk kebersihan,

pemeliharaan sarana dan prasarana serta keamanan dan

ketertiban tempat parkir;

b. Bertanggungjawab atas keamanan kendaraan beserta

perlengkapannya;

c. Memenuhi kewajiban atas pungutan Negara dan pungutan

Daerah;

d. Mencetak karcis retribusi parkir sesuai dengan peraturan yang

berlaku dibawah pengawasan pejabat yang ditunjuk;

e. Memiliki Nomor Pokok Wajib Retribusi Daerah (NPWRD) dan

Nomor Pokok Wajib Pajak.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum

yuridis empiris yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan

meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Selain itu

penelitian empiris juga dapat diartikan sebagai penelitian yang dilakukan

terhadap data primer yang ada di lapangan. Pennulisan hukum berjudul

67
Implementasi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang

Retribusi Jasa Usaha terhadap Pengenaan Tarif Sepeda Motor di Kawasan I

& Kawasan II Kota Yogyakarta (Studi Kasus : TKP Sriwedani & TKP

Ngabean) ini bersifat deskriptif yang berusaha menggambarkan objek atau

subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya, dengan tujuan

menggambarkan secara sistematis, fakta dan karakteristik ojek yang diteliti

secara tepat.

B. Jenis Penelitian

Dalam rangka melakukan analisis permasalahan yang penulis

kemukakan, dibutuhkan data-data yang akurat sesuai dengan permasalahan.

Untuk menunjang penelitian tersebut, Penulis menggunakan jenis penelitian

yaitu:

1. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan merupakan jenis penelitian yang dilakukan

dengan cara mengumpulkan, mempelajari, dan menganalisis data

tertulis dari berbagai bahan kepustakaan agar mampu mendapat jawaban

atas masalah yang akan diteliti. Atas penelitian kepustaan akan

didapatkan data sekunder dimana data-data tersebut telah tersedia

sebelumnya, sehingga penulis hanya perlu mengumpulkan, mengolah,

serta menganalisa dari beberapa bahan hukum berupa:56

a. Bahan Hukum Primer

56
Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 12

68
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang

berkaitan erat dengan permasalahan yang diteliti, berupa:

1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah;

3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik;

4) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009

tentang Penyelenggaraan Perparkiran;

5) Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012

tentang Retribusi Jasa Usaha;

6) Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2011 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta

Nomor 18 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perparkiran.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari:

1) Hasil-hasil penelitian

2) Jurnal-jurnal dan makalah-makalah yang berkaitan dengan

penulisan hukum

3) Buku-buku mengenai Hukum Administrasi Negara

4) Buku-buku mengenai Pelayanan Publik

69
5) Buku-buku terkait yang mendukung dan artikel-artikel berita

dari surat kabar, majalan, dan media internet.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi

petunjuk dan penjelasan mengenai hukum sekunder, berupa:57

1) Kamus Besar Bahasa Indonesia

2) Kamus Hukum Indonesia

2. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan adalah cara penelitian yang dilakukan untuk

memperoleh data primer yang diambil langsung dari sumber pertama

yaitu lokasi penelitian maupun lokasi yang berhubungan erat dengan

lokasi penelitian.58

a. Jenis Data

Data yang diperoleh secara langsung dari lapangan ini adalah

data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

narasumber dan responden yaitu pihak yang berkaitan langsung

dengan masalah yang diteliti dan memberikan data dan keterangan

57
Ibid, hlm 52
58
Ibid, hlm 12

70
yang dibutuhkan dengan penulisan. Data primer diperoleh melalui

penelitian lapangan yang didapat melalui proses wawancara untuk

mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

b. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Wilayah Kota Yogyakarta, yaitu:

Tempat Parkir Khusus (TKP) yang berada di bawah kewenangan

Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta sebagai kawasan I dengan

mengambil sampel di TKP Sriwedani dan TKP Ngabean.

c. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-

probability sampling, dimana tidak semua elemen dalam populasi

mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi responden. Tata

cara ini diterapkan karena ingin menjamin, bahwa unsur-unsur yang

hendak ditelitinya masuk kedalam sampel yang ditariknya59. Oleh

karena itu dipilihlah orang-orang tertentu yang dianggap mengerti

dan berhubungan langsung dengan objek penelitian. Dalam hal ini

adalah mengerti mengenai pelaksanaan penarikan tarif perparkiran

dan yang langsung menghadapi atau menjalani proses pelaksanaan

penarikan tarif perparkiran tersebut, baik sebagai yang mengawasi,

melayani, atau sebagai yang dilayani.

59
Ibid, hlm. 196

71
Sedangkan, jenis sampel yang dipilih adalah purposive

sampling, dimana penulis menetukan sendiri responden mana yang

dianggap dapat mewakili populasi.60 Penentuan responden dan

narasumber didasarkan pada beberapa kriteria antara lain:

1) Narasumber, yaitu pihak-pihak yang dapat memberikan

informasi maupun solusi tentang permasalahan yang diteliti oleh

penulis. Narasumber dalam penelitian ini adalah:

a. Kepala Bidang Perparkiran Dinas Perhubungan Kota

Yogyakarta

b. Kepala Seksi Penyidikan Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta

c. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota

Yogyakarta

d. Kepala Investigasi Perparkiran Ombudsman Republik

Indonesia Perwakilan DIY

e. Ketua FKPPY TKP Sriwedani

f. Ketua FKPPY TKP Ngabean

2) Responden, yaitu pihak-pihak yang terkait secara langsung

dengan penyelenggaraan perparkiran. Responden dalam

penelitian ini adalah:

a. Petugas Parkir

b. Pengguna Jasa Parkir

60
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 87-91

72
C. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner

kepada responden dan wawancara terhadap narasumber. Kuesioner

adalah suatu teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan

analisis mempelajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku, dan

karakteristik beberapa orang utama di dalam organisasi yang bisa

terpengaruh oleh sistem yang diajukan atau oleh sistem yang sudah

ada. Wawancara adalah teknik pengumpulan data dan dalam

memperoleh informasi dan keterangan yang diperlukan dengan jalan

tanya jawab secara langsung dengan pihak yang diwawancarai, yaitu

orang-orang yang berkompetensi di bidangnya.61

2. Alat Pengumpulan Data

a. Kuesioner, berisikan daftar pertanyaan yang akan diajukan.

b. Pedoman wawancara, berisikan daftar pertanyaan yang akan

diajukan.

c. Alat perekam, alat tulis, dan komputer.

D. Analisis Data

61
Ronny Hanitjo Soemitro, 1994, Metodologi Penulisan dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
hlm 157

73
Penelitian ini menggunakan metode analisis data deskriptif dan

kualitatif. Dimana data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan

maupun lapangan dipadukan menjadi satu. Sedangkan metode kualitatif

adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diamati.62

E. Daftar Pustaka

A. Buku

Abdurrahman, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang Otonomi Daerah,


Jakarta : Media Sarana Press.

Ashshofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, Kamus Besar Bahsa
Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Jakara : Balai Pustaka.

HR, Ridwan, 2002, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : UII Press.

Keban, Yeremis.T,,2008, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik :


Konsep, Teori, dan Isu, Yogyakarta : Gava Media.

Kurniawan, Agung, 2005, Transformasi Pelayanan Publik, Yogyakarta :


Pembaruan.
Lukman, Sampara, 2000, Manajemen Kualitas Pelayanan, Jakarta : STIA
LAN Press.

Marbun, SF, 1981, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi


Negara, Yogyakarta : UII Press.

62
Lexy J. Meleong, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
hlm 3

74
Meleong, Lexy J, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT.
Remaja Rosdakaya.
Mohamad, Ismail, 2004, Pelayanan Publik dalam Era Desentralisasi,
Republik Indonesia : Lembaga Administrasi Negara.

Muslimin, Amrah, 1978, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Bandung :


Alumni.

Nasution, Arif, 2000, Demokrasi dan Problema Otonomi Daerah, Bandung


: Mandar Maju
Pahala, Marihot Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Berdasarkan
Undang-Undnag Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Pers.

Palguna, I Dewa Gede, 2008, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan


Welfare State, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi.

Sinambela, L.P, 1992, Ilmu dan Budaya Perkembangan Ilmu Administrasi


Negara, Jakarta : Bumi Aksara.
Soejitno, Irawan, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah, Jakarta : Rineka Cipta

Soekanto, Soerjono, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press.

Soemitro, Ronny Hanitjo, 1994, Metodologi Penulisan dan Jurimetri,


Jakarta : Ghalia Indonesia

Sumantri, Sri, 1981, Pengantar Pebandingan Antar Hukum Tata Negara,


Jakarta : Rajawali.

Sunarno, Siswanto, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di indonesia,


Jakarta : Sinar Grafika.
Sutedi, Adrian, 2009 Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik,
Jakarta Sinar Grafika.

Syafiie, Inu Kencana.1999, Ilmu Administrasi Publik, Jakarta : Rineka


Cipta.

Tjandra, W. Riawan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta :


Universitas Atma Jaya.

B. Peraturan Perundang-undangan

75
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi


Daerah

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan


Perubahannya

PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara


Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten atau Kota.

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang


Pembentukan, Susunan, Kedudukan, dan Tugas Pokok Dinas Daerah
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perparkiran

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi


Jasa Usaha

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa


Usaha

Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa


Umum

Peraturan Walikota Nomor 16 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan


Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Penyelenggaraan Perparkiran.

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 8 Tahun 2012 tentang


Pembentukan, Susunan, Kedudukan, Fungsi dan Rincian Tugas Unit
Pelaksana Teknis Pengelolaan Kawasan Malioboro pada Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta

Peraturan Walikota Yogyakarya Nomor 80 Tahun 2016 tentang Susunan


Organisasi, Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Tata Kerja Dinas
Perhubungan Kota Yogyakarta.

C. Makalah

76
Rusmandoko, Danang, 2006, Penegakan Hukum Peraturan Daerah
Nomor 17 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Perparkiran
Khususnya Penyelenggaraan Parkir di Tepi Jalan Umum oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di Kota Yogyakarta., Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
Pulungjati, Ganang, 2006, Peranan Dinas Perhubungan dalam
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum di
Wilayah Kota Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Isnaini Raharjo, 2006, Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta


dalam Usaha Mewujudkan Kenyamanan dan Keamanan bagi Pengguna
Jasa Parkir di Kota Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada

Deri Arkiyoga, 2006, Pelaksanaan Pemungutan Retribusi Pelayanan


Parkir di Tepi Jalan Umum di Luar Kawasan Candi Borobudur
Kabupaten Magelang dalam Kaitannya dengan Asas Kepastian
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

77

Anda mungkin juga menyukai