Anda di halaman 1dari 88

“Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggelapan Karena Jabatan /

Pekerjaan Menurut KUHP (Studi Kasus Putusan Nomor 33.B/2015/PN.Mnd)”

NAMA : VELINA SAHDA ANDINY

NIM : 1802010122 (6C SORE)

MATA KULIAH : METODE PENULISAN HUKUM

DOSEN : Hj.TINA ASMARAWATI,SH.,MH.

EKT 2

TAHUN AJARAN 2020-2021

1
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 1

Penggelapan merupakan salah satu kejahatan yang cukup sering terjadi

di Indonesia,apa yang dimaksud dengan “Penggelapan”, sebagaimana diatur

dalam Pasal 372 KUHP, Barang dengan sengaja dan dengan melawan hukum

memiliki barang,yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan

yang ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan,

dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-

banyaknya Sembilan ratus rupiah. 2

Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini menjadi salah satu

penyebab terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-

nilai kehidupan dalam masyarakat.Kehidupan masyarakat sedikit demi sedikit

mulai berubah, penghormatan atas nilai-nilai hukum yang ada mulai bergeser,

masyarakat mulai berfikir materialistis dan egois dalam menghadapi

1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2015, hlm. 59
2
R.Sugandhi, KUHP Berikut Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1980, Pasal 372
3

kehidupan ini, hal ini juga menyebabkan mulai melemahnya rasa kepercayaan

masyarakat terhadap sesama individu.

Kecenderungan usaha untuk mencapai kesejahteraan material dengan

mengabaikan nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat mulai tampak, sehingga

mulai banyak bermunculan pelanggaran dan pemanfaatan kesempatan secara

ilegal untuk kepentingan diri sendiri tanpa mengabaikan hak-hak dari orang

lain serta norma-norma yang ada. Hal ini diperburuk dengan semakin

meluasnya tindak pidana penggelapan, dimana tindak pidana penggelapan

akan membawa sisi negatif yaitu pelanggaran hak-hak sosial serta lunturnya

nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Hal tersebut disebabkan karena

kurangnya pertanggungjawaban pidana yang seharusnya dilakukan oleh pelaku

tindak pidana penggelapan.

Perumusan tindak pidana ini termuat dalam Pasal 372 KUHP dari titel

XXIV buku II KUHP sebagai berikut : dengan sengaja memiliki dengan

melanggar hukum suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

orang lain dan yang ada dibawah kekuasaannya (onder zich hebben) secara

lain daripada dengan melakukan dengan melakukan suatu kejahatan. 3

Barang di bawah kekuasaan pelaku adalah unsur pokok dari

penggelapan barang yang membedakan dari tindak-tindak pidana lain

mengenai kekayaan orang. Ditambahkan bahwa barang harus ada di bawah

kekuasaan pelaku dengan cara lain daripada dengan melakukan kejahatan.

3
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,
2003, hlm.31
4

Dengan demikian tergambar bahwa barang itu oleh empunya dipercayakan

kepada si pelaku. 4

Menurut Moeljatno bahwa dasar pokok dari tindaka pidana

penggelapan adalah bahwa si pelaku mengecewakan kepercayaan yang

diberikan kepadanya oleh pemilik barang. 5

Colista Dwi Setiawan alias Wawan (30), warga Jl Blimbing Tengah,

Pondok Tjandra Indah Sidoarjo, harus mendekam di dalam penjara selama 22

bulan. Ini sebagaimana vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap dirinya,

Selasa (28/4/2015). Majelis hakim menyebut, terdakwa terbukti menggelapkan

uang perusahaan sebesar Rp 800 juta.“Terdakwa terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dalam

jabatan.Menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun dan sepuluh bulan,”

kata hakim Bayu dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Dalam amar putusannya, hakim menyebut bahwa hal yang

memberatkan adalah terdakwa dianggap telah merugikan orang lain.

Sedangkan yang meringankan, terdakwa mengakui perbuatannya telah

melakukan penggelapan uang milik perusahaan PT Jaya Baru Malante.Vonis

tersebut sedikit lebih ringan dari tuntutan jaksa yang pada sidang sebelumnya

menuntut terdakwa dengan hukuman penjara selama dua tahun.Dalam perkara

ini, Wawan yang merupakan pegawai PT Jaya Baru Malante dipercaya

mengelola 70 trailer di kawasan Kalianak Surabaya.Ternyata, dia

4
Ibid, hlm 31
5
Ibid, hlm 33
5

menyalagunakan kepercayaan perusahaan.Wawan diam-diam menagih uang

dari pelanggan yang kemudian tidak disetorkan ke perusahaan.Permainan itu

akhirnya ketahuan perusahaan.Awalnya ditemukan, dalam waktu dua bulan dia

telah menggelapkan uang Rp 250 juta. Kemudian terus merembet hingga total

uang perusahaan yang digelapkan mencapai Rp 800 juta. Uang itu dari tagihan

penyewa trailer yang tidak disetorkan ke perusahaan.Untuk menutupi

perbuatannya, Wawan memberikan alamat dan nomor telpon fiktif pelanggan

ke perusahaannya.Namun, kasus ini terungkap setelah perusahaan menagih ke

beberapa pelanggan.Dan ternyata mereka sudah membayar uang sewa dengan

diserahkan ke Wawan. 6

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Sanksi Pidana

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggelapan Karena Jabatan / Pekerjaan

Menurut KUHP (Studi Kasus Putusan Nomor 33.B/2015/PN.Mnd)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana penggelapan berhubung karena

jabatan / pekerjaan menurut KUHP?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

penggelapan berhubung karena jabatan / pekerjaan menurut KUHP dalam

praktik pengadilan putusan nomor 33.B/2015/PN.Mnd?

6
http://surabaya.tribunnews.com/2015/04/28/sikat-uang-perusahaan-rp-800-juta-dihukum-22-bulan-
penjara
6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui dalam menganalisis tindak pidana penggelapan

berhubung karena jabatan/pekerjaan menurut KUHP

b. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana

berhubung jabatan / pekerjaan menurut KUHP para perkara peradilan

nomor 33.B/2015/PN.Mnd.

2. Kegunaan penelitian

a. Kegunaan teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukkan

dalam pengembangan teori-teori hukum pidana di Indonesia

b. Kegunaan praktis

Penelitian ini diharapkan berguna untuk masukan dalam penyelesaian

tindak pidana penggelapan berhubung karena jabatan / pekerjaan

menurut KUHP
7

D. Kerangka Konseptual

1. Tindak Pidana

a. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-

undang, yang diancam hukuman. 7

b. Menurut Moeljanto, menyebutkan tindak pidana dengan istilah

perbuatan pidana yang artinya sebagai perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 8

2. Tindak Pidana Penggelapan

a. Tindak Pidana penggelapan

Tindak pidana penggelapan artinya dengan sengaja memiliki dengan

melanggar hukum suatu barang yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain dan yang ada dibawah kekuasaanya (onder zich

hebben) secara lain daripada melakukan suatu kejahatan. 9

b. Tindak Pidana Penggelapan Berhubung karena Jabatan / Pekerjaan

Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu

karena jabatannya sendiri atau karena pekerjaanya atau karena

mendapat upah uang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya

5 tahun. 10

7
S.Kartanegara, Hukum Pidana, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa
8
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2015, hlm.59
9
Wirjono Prodjodikoro, Tindak tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,
2003, hlm.31
10
R. Sugandhi, KUHP Berikut Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional,1980, hlm.392
8

E. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.Penelitian

hukum normatif dilakukan dengan studi bahan pustaka meliputi, bahan

hukum baik primer, sekunder maupun tersier.

2. Metode Pendekatan

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan yang diangkat dalam

penelitian ini, maka metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini

adalah pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang dimaksudkan

untuk mempelajari, menelaah norma-norma atau kaidah-kaidah hukum

yang berlaku dan pendekatan kasus dalam arti penerapan norma-norma

hukum atau Undang-undang dalam kasus tertentu.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah dengan studi bahan pustaka atau dengan

melakukan penelusuran literatur hukum dengan tujuan untuk mencari

menemukan dan menganalisis bahan-bahan hukum.


9

4. Sumber Data

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat terdiri dari :

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana

2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 yang diubah oleh

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 yang dirubah kembali

menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015.

4) Putusan Pengadilan Negeri Nomor 33.B/2015/PN.Mnd

b. Bahan hukum sekunder yaitu berupa tulisan-tulisan ilmiah di bidang

hukum yang dapat menjelaskan bahan hukum primer meliputi :

1) Buku-buku ilmiah tentang hukum pidana dan hukum acara pidana

2) Tulisan-tulisan ilmiah tentang perdagangan orang

3) Majalah, surat kabar, internet yang relevan

c. Bahan hukum tersier, yaitu tulisan-tulisan ilmiah yang dapat menambah

kejelasan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi :

1) Kamus hukum

2) Kamus bahasa Indonesia dan lain-lain 11

5. Objek Penelitian

a. Penelitian kaidah hukum atau norma hukum atau asas hukum

b. Penelitian sejarah hukum

c. Penelitian perbandingan hukum

11
Abdul Kadir, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Jayabaya, 2016.
10

d. Penelitian taraf sinkronisasi Undang-undang secara vertikal dan

horizontal

6. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul dianalisis dengan metode kualitatif dengan

menjelaskan hubungan antara gejala-gejala hukum dengan menggunakan

penafsiran-penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.Misalnya penafsiran

outentik, penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis dan seterusnya. 12

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan-penulisan skripsi yang penulis

kembangkan ini terdiri dari lima (5) bab yang tersusun secara teratur dan

sistematis,antara lain sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, Pada bab ini penulis menguraikan mengenai Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,

Kerangka Konseptual, Metode penelitian serta Sistematika Penulisan.

Bab II Tinjauan Umum, pada bab ini penulis menguraikan mengenai,

Jenis-jenis Pidana Menurut KUHP, Cara Merumuskan Tindak Pidana, Unsur-

unsur Tindak Pidana.

Bab III Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Penggelapan berhubung Karena Jabatan / Pekerjaan Menurut KUHP, pada bab

ini diuraikan mengenai, Tindak Pidana Penggelapan Menurut KUHP, Tindak

Pidana Penggelapan Menurut KUHP, Tindak Pidana Menurut Pasal 374


12
Ibid. hlm 5
11

KUHP, Pidana Bersyarat Menurut KUHP, serta Penerapan Sanksi Pidana

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggelapan Berhubung Karena Jabatan /

Pekerjaan dalam Praktik Pengadilan dimulai dari Tahap Penyidikan, Tahap

Penuntutan, dan Tahap Pemeriksaan Sidang Pengadilan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, Pada bab ini akan dibahas

mengenai Analisis Pengaturan Tindak Pidana Penggelapan Berhubung Karena

Jabatan/Pekerjaan, dan Analisis Putusan Pengadilan Nomor

33.B/2015/PN.Mnd yang berisikan mengenai KasusPosisi, Dakwaan dan

Tuntutan Penuntut Umum, Pertimbangan dan Putusan Hakim, serta Analisis

nya.

Bab V Kesimpulan dan Saran, Pada bab ini penulis akan memberikan

kesimpulan dari hasil penelitian dari bab-bab yang terdahulu serta memberikan

saran.
BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Jenis-Jenis Pidana Menurut KUHP

Pidana atau hukuman menurut Pasal 10 KUHP adalah perasaan tidak

enak (penderitaan sengsara)yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada

orang yang melanggar undang-undang hukum pidana.Sedangkan hukuman

yang biasa dijatuhkan guru kepada murid atau hukuman tata tertib yang

diberikan oleh seorang pejabat pemerintah kepada bawahannya yang telah

melanggar tata tertib jabatan, tidak termasuk dalam pengertian ini. 13

Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, Pidana itu

ialah :

1. Pidana pokok

a. Pidana mati

b. Pidana penjara

c. Pidana kurungan

d. Pidana denda

e. Pidana tutupan (KUHP terjemahan BPHN, Berdasarkan UU No. 20

tahun 1946)

13
R. Sugandhi, KUHP Berikut Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya,1980, pasal 10

12
13

2. Pidana tambahan

a. Pencabutan hak-hak tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

c. Pengumuman putusan hakim

Tujuan hukuman itu menurut beberapa filsafat bermacam-macam rupa

adanya, misalnya :

a. Berdasarkan atas pepatah kuno ada yang berpendapat, bahwa hukuman

adalah suatu pembalasan

b. Ada yang berpendapat, bahwa hukuman harus dapat memberi rasa takut,

agar orang tidak melakukan kejahatan pendapat lain mengatakan, bahwa

maksud hukuman itu hanya akan memperbaiki orang yang telah melakukan

kejahatan.

c. Pendapat lain lagi mengatakan, bahwa dasar daripada hukuman ialah

mempertahankan tata tertib kehidupan bersama.

Pada zaman dahulu sebelum adanya ketentuan sebagaimana tersebut di

dalam Pasal 10 KUHP ini, di Indonesia ada beberapa macam hukuman seperti :

a. Dibakar hidup-hidup terikat pada suatu tonggak

b. Dibunuh dengan menggunakan sebilah keris

c. Dicap dengan logam yang dibakar

d. Dipukul

e. Dipukul dengan rantai

f. Ditahan di dalam penjara


14

g. Bekerja paksa dalam pekerjaan-pekerjaan umum

Tetapi hukuman-hukuman seperti itu, kini sudah tidak diperkenankan

lagi, dan yang sah menurut keputusan hakim adalah sebagaimana ditetapkan

dalam Pasal 10 undang-undang ini.

Pengertian Pidana Pokok antara lain :

1. Pidana Mati

Pidana atau hukuman yang dilakukan dengan merampas

kemardekaan atas hidup dari seseorang. Belakangan ini diperkenalkan

yang disebut dengan pidana mati yang ditunda, yang artinya dalam jangka

waktu tertentu jika terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan

kearah yang baik, maka pidana mati diubah menjadi pidana penjara seumur

hidup.14

Sebelum adanya ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang No.2

(Prips) tahun 1964, hukuman mati dilaksanakan oleh algojo di tempat

penggantungan, dengan menggunakan jerat di leher terhukum dan

mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan serta menjatuhkan papan

tempat orang itu berdiri.

Tetapi karena ketentuan itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan

serta jiwa revolusi Indonesia, maka pelaksanaan hukuman mati itu

dilakukan dengan tembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah

14
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 186
15

hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama,

dengan ketentuan-ketentuan antara lain sebagai berikut:

a. Setelah mendengar nasehat dari Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung

jawab untuk pelaksanaan pidan mati itu. Kepala polisi komisarial

daerah tempat kedudukan pengadilan tersebut menentukan waktu dan

tempat pelaksanaannya.

b. Bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab dan

pembela /Pengacara terhukum atas permintaanya sendirir atau atas

permintaanya terhukum, Kepala Polisi Komisarial atau perwira yang

ditunjuk olehnya, mengahadiri pelaksanaan pidana mati itu.

c. Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksaan hukuman mati,

terhukum diberitahukan tentang akan dilaksanakannya hukuman mati

itu oleh Jaksa Tinggi / Jaksa, dan kepadanya diberikan kesempatan

untuk mengemukakan sesuatu keterangan atau pesan pada hari-hari

terakhir. Apabila terhukum seorang wanita yang sedang hamil, maka

pelaksanaan hukuman mati baru dilaksanakan empat puluh hari setelah

anak kandungnya dilahirkan.

d. Untuk pelaksanaan pidana mati itu Kepala Polisi Komisariat tersebut

membentuk sebuah regu penembak, semuanya dari Brigade Mobile,

terdiri dari seorang Bintara dan dua belas orang Tamtama, dibawah

pimpinan seorang Perwira: untuk tugasnya ini regu penembak tidak


16

mempergunakan senjata organiknya, dan hingga selesainya tugas itu

regu penembak tersebut berada dibawah perintah Jaksa Tinggi / Jaksa.

e. Kecuali apabila Presiden menetapkan lain, pidana mati dilaksanakan

tidak di muka umum dan dengan cara sesederhana mungkin.

f. Perlu dicatat di sini, bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan

oleh pengadilan militer, juga dilakukan menurut Penpres No.2/1964


15
sebagaimana diutarakan diatas, hanya saja kata-kata:

1) Kepala Polisi Komisariat Daerah harus dibaca :

Panglima/Komandan Daerah Militer.

2) Jaksa Tinggi/Jaksa harus dibaca : Jaksa Militer atau Oditur Militer

3) Brigade Mobile dan Polisi harus dibaca : Militer

2. Pidana Penjara

Bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana

penjara bervariasi dari penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana

penjara seumur hidup. Pidana seumur hidup hanya tercantum dimana ada

ancaman pidana mati (pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara selama 20 tahun), Umumnya pidana penjara maksimum

adalah 15 tahun. Dalam hal ini pidana penjara seumur hidup jika

dihubungkan dengan tujuan pemidanaan, yaitu untuk memperbaiki

terpidana supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, tidak lagi

sesuai dan dapat terima. Dalam hal ini Pidana penjara seumur hidup harus
15
Ibid, Pasal 11
17

dikaitkan dengan tujuan pemidanaan dalam arti pembalasan terhadap

terpidana atau bertujuan menyingkirkan terpidana dari masyarakat supaya

masyarakat aman dari ancaman perbuatan seperti dilakukan terpidana 16

Pidana penjara disebut pidana hilang kemerdekaan, bukan saja

dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka berpergian, tetapi juga

narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu, seperti: 17

a. Hak untuk memilih dan dipilih. Tentang hal ini akibat Undang-undang

Pemilihan Umum. Di Negara liberal pun demikian pula. Alasannya

ialah agar pemilihan terjamin, dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-

perbuatan yang tidak jujur.

b. Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik

bebas dari perlakuan manusia yang tidak baik.

c. Hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dalam hal ini telah

dipraktekkan pengendoran dalam batas-batas tertentu.

d. Hak untuk bekerja pada perizinan-perizinan tertentu. Misalnya sja izin

usaha, izin praktek (seperti dokter, advokat, notaris dan lain-lain).

e. Hak untuk asuransi hidup.

f. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan

salah satu alasan untuk meminta perceraian menurut hukum perdata

16
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.188
17
Ibid, hlm.188
18

g. Hak untuk kawin. Meskipun adakalanya seseorang kawin sementara

menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan

hanya formalitas belaka.

h. Beberapa hak sipil yang lain.

3. Pidana Kurungan

Pidana kurungan adalah pidana yang hampir sama dengan pidana

penjara namun jangka waktu hukuman yang di berikan oleh terpidana

relative lebih pendek daripada pidana penjara. Kita dapat menarik

kesimpulan bahwasanya pembuat undang-undang memandang pidana

kurungan lebih ringan daripada pidana penjara.Pidana kurungan adalah

pidana pokok yang dijatuhkan bagi pelaku pelanggaran.

Pidana kurungan ini diatur dalam Pasal 18 KUHP yang menyatakan

sebagai berikut :

(1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun

(2) Jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan atau

karena ketentuan Pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah menjadi

satu tahun empat bulan.

Selain itu diatur pula dalam Pasal 19 KUHP yang menyatakan :

(1) Orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalani pekerjaan yang

dibebankan kepadanya, sesuai dengan aturan pelaksanaan Pasal 29


19

(2) Ia diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada yang dijatuhi pidana

penjara. 18

4. Pidana Denda

Pidana merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana

penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda dilakukan

dengan cara mengganti kerugian, kadang kadang berupa denda adat. Pada

zaman modern ini pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan atau

kejahatan ringan, oleh karena itu pula, pidana denda merupakan satu-

satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.

Pidana denda diatur dalam Pasal 50 sampai dengan 31 KUHP yang

berbunyi sebagai berikut :

Pasal 50 KUHP

(1) Denda paling sedikit adalah 25 sen.

(2) Jika denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan

(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan

paling lama enam bulan

(4) Dalam putusan Hakim lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan

demikian : jika dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang

dihitung satu hari, jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung

paling banyak satu hari; demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh

rupiah lima puluh sen.


18
Abdul Kadir, Modul Hukum Penitentier, Jakarta : Universitas Jayabaya, 2016, hlm. 34
20

(5) Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena penggabungan

atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dan 52 a, maka pidana

kurungan pengganti paling lama delapan bulan.

(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan

bulan.

Pasal 31 KUHP

(1) Terpidana dalam menjalani pidana kurungan pengganti tanpa

menunggu batas waktu pembayaran denda

(2) Setiap waktu ia berhak di lepas dari kurungan jika denda dibayar

(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun setelah

mulai menjalani pidana kurungan pengganti membebaskan terpidana

dari sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan yang dibayarnya.

Ketentuan minimum umum bagi denda ialah dua puluh lima sen

sedangkan ketentuan maksimum tidak ada. Dengan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang nomor 18 tahun 1960 ditentukan bahwa mulai

tanggal 14 April 1960 tiap-tiap jumlah pidana denda yang diancamkan baik

dalam KUHP maupun dalam ketentuan pidana lainnya yang dikeluarkan

sebelum 17 Agustus 1945 sebagaimana telah diubah sebelum berlakunya

peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, harus dibaca dalam

mata uang rupiah dan dikalikan lima belas kali. Pidana denda tertinggi
yang diancamkan dalam KUHP terdapat dalam Pasal 403 yaitu seratus lima

puluh ribu. 19

5. Pidana tutupan

Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional

(BPHN), pada Pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok

bagian terakhir dibawah pidana denda. Pidana tutupan disediakan bagi

para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi


20
yang dianutnya.

6. Pidana Tambahan :

a. Pencabutan Hak-hak tertentu

Yang dimaksud dengan “hak yang tertentu” ialah bukan semua hak.

Tidak mungkin seseorang akan dicabut semua haknya, karena

akibatnya orang itu akan tidak dapat hidup. Hak hak yang dapat dicabut

ialah

1) Hak untuk mendapat segala jabatan atau jabatan tertentu

2) Hak untuk menjadi militer

3) Hak pilih aktif dan hak pilih pasif anggota D.P.R pusat dan daerah

serta pemilihan pemilihan lainnyayang diatur dalam undang-undang

dan peraturan umum

4) Hak menjadi penasehat atau penguasa dan menjadi wali

19
Ibid, hlm. 37
20
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.210

21
21
5) Hak untuk mengerjakan pekerjaan tertentu

b. Perampasan barang-barang tertentu

1) Barang kepunyaan terpidana yang diperolehnya dengan kejahatan

atau dengan sengaja telah dipakainya untuk mengerjakan kejahatan

boleh dirampas

2) Jika seseorang dipidana karena melakukan kejahatan tiada dengan

sengaja atau karena melakukan pelanggaran boleh juga dijatuhkan

pidana, rampasan itu dalam hal yang ditentukan oleh undang-

undang

3) Pidana rampasan itu boleh juga dijatuhkan atas orang yang bersalah

diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah tentang barang yang

sudah disita 22

c. Pengumuman putusan hakim

Sebenarnya semua putusan hakim sudah diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum, tetapi agar kejadiannya diketahui orang banyak,

sebagai hukuman tambahan putusan itu disiarkan secara istimewa dan

sejelas-jelasnya dengan cara yang ditentukan oleh hakim melalui surat-

surat kabar, radio, ditempelkan di tempat umum sebagai plakat dan

sebagainya.

21
R. Sugandhi, KUHP Berikut Penjelasannya, Usaha Nasional,Surabaya,1980, pasal.35
22
Ibid, pasal 39

22
Semua biaya penyiaran dibebankan kepada terhukum yang dapat

dipandang sebagai suatu kekecualian dari dalil bahwa semua biaya

penyelenggaraan hukuman ditanggung oleh Negara.

B. Cara Merumuskan Tindak Pidana

Perumusan strafbaar feit (perbuatan yang dilarang oleh undang-

undang,yang diancam hukuman).

Dalam hal ini Prof.Mr.Kartanegara lebih condong untuk menggunakan

istilah “delict” yang telah lazim dipakai, dan walaupun para pembuat undang-

undang telah menterjemahkan “straafbaarfeit” dengan istilah tindak pidana di

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi di dalamnya tidak

diberikan penjelasan secara lebih terperinci sehingga menimbulkan

ketidakjelasan dari pengertian “strafbaarfeit” itu sendiri.

Hal itu menyebabkan munculnya beberapa pendapat tentang arti dari

“strafbaarfeit” yang dirumuskan oleh berbagai kalangan ahli hukum pidana

antara lain: 23

Menurut Simons, bahwa “strafbaarfeit”itu harus memuat beberapa

unsur, yaitu:

1. Suatu perbuatan manusia (menselijk handelingen) dengan handeling

dimaksudkan tidak saja “een doen”(perbuatan), akan tetapi juga “een

nalaten”(mengakibatkan).
23
S.Kartanegara, Hukum Pidana, Jakarta, Balai Lektur Mahasiswa : Universitas Indonesia

23
2. Perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengabdikan) dilarang dan diancam

dengan hukuman oleh Undang-undang.

3. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung

jawabkan, artinya dpat dipersalahkan karena melakukan perbuatan

tersebut.

Van Hattum menulis bahwa menurut perkataan dalam Memorie van

Toelichting (MvT) tidak ada keragu-raguan bahwa maksud pembuata

undangn-undang denga mengadakan kualifikasi di samping penentuan aunsur-

unsur adalah sekedar untuk menggampangkan penyebutan perbuatan yang

dilarang saja; jadi laksana suatu etiket untuk apa yang terkandung dalam

rumusan. Akan tetapi, demikian van Hattum, selanjutnya dalam oraktuik

peradilan ada tendens atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada

kualifikasi. Misalnya dalam putusan Hooge raad tahun 1927 mengenai

pendahan, dimana diputuskan bahwa pencuri yang menjual barang yang dicuri

untuk menarik keuntungan, tidak mungkin dikenai Pasal tentang penadahan,

sekalipun dengan apa yang diperbuatnya itu, semua unsur-unsur yang ada

dalam Pasal 480 telah dipenuhi. Sebab Pasal ini maksudnya adalah untuk

mempermudah dilakukannya kejahatan lain, dimana diambil sebagai dsar,

bahwa perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan

kejahatan dan dari mana barang tadi didapatnya. 24

24
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2015, hlm. 73

24
Selain itu, Moeljatno berpendapat bahwa ada juga rumusan campuran

yaitu dormal-matriil, yang berarti bahwa yang menjadi pokok bukan saja

caranya berbuat tetapi juga akibatnya. Contohnya adalah Pasal 378 KUHP.

Akibat yang dilarang ialah bahwa orang ditipu tergerak hatinya dan

menyerahkan barang-barang kepada orang yang menipu atau memberi utang

ataupun menghapuskan piutang adalah jelas rumusan yang materiil. Selama

orang yang ditipu belum, menyerahkan barang dan seterusnya, maka belum

mnejadi delik penipuan. Mungkin yang terwujud ialah delik percobaan untuk

menipu. Salah satu cara yang disebut haruslah digunakan di antara semua cara

yang disebut, yaitu memakai nama palsu, kedudukan palsu, tipu muslihat,

rangkaian perkataan bohong. Manueur Moeljatno rumusan itu bersifat formil. 25

C. Unsur-unsur tindak pidana

Pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur

lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir

(dunia)

Disamping : A. kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana

biasanya diperlukan pula adanya B. hal ikhwal mana oleh van hammel dibagi

25
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum PIdana I, Jakarta : Sinar Grafika, 2014, hlm. 348

25
dalam dua golongan, yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan

yang mengenai di luar diri si pelaku 26

Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-

unsurnya, maka yang mula mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu

tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan suatu

tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang

terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana “KUHP” pada

umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur

subjektif dan objektif. 27

Menurut Pendapat Satochid kartanegara Unsur subjektif dalam unsur

tindak berartikan yang termasuk juga “algemene leerstukken” dan yang akan

diterangkan kelak, adalah unsur-unsur subjektif dari perbuatan, dan yang dapat

berupa: 28

a. Toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggung jawabkan).

b. Sculd (Kesalahan)

Unsur Objektif menurut S.Kartanegara dalam unsur tindak pidana

unsur-unsur yang terdapat dari luar manusia, yaitu berupa: 29

a. Suatu tindak-tanduk, jadi suatu tindakan

b. Suatu akibat tertentu (een bapaaldgejolg)

c. Keadaan (omstendingheid)
26
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2015, hlm.64
27
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka cipta, 2004, hlm.88
28
S. Kartanegara, Hukum Pidana, Jakarta, Balai lektur Mahasiswa, hlm 75
29
Ibid, hlm.73

26
Yang kesemuanya ini dilarang dan diancam oleh Undang-undang..

Sedangkan Prof Moeljatno menyimpulkan yang merupakan unsur atau

elemen perbuatan pidana adalah :

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur yang melawan hukum subjektif

Akhirnya ditekankan meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah

keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam

perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang

subjektif. 30

30
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana , Jakarta, Rineka cipta, 2015, hlm.70

27
BAB III

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENGGELAPAN KARENA JABATAN / PEKERJAAN MENURUT KUHP

A. Tindak Pidana Penggelapan Menurut KUHP

Tindak pidana penggelapan diatur dalam Buku II Bab XXIV Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang berjudul ” Penggelapan ”. Tindak pidana

penggelapan diatur dalam beberapa Pasal yaitu Pasal 372 KUHP sampai

dengan Pasal 377 KUHP.

Tindak Pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); barangsiapa dengan sengaja dan

dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali atau sebagian

kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana

karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau

denda, sebanyak-banyaknya Sembilan ratus rupiah 31.

Kejahatan ini dinamakan “penggelapan biasa”. Penggelapan adalah

kejahatan yang hamper sama dengan pencurian dalam Pasal 362, hanya

bedanya kalau dalam pencurian barang yang diambil untuk dimiliki itu belum

ada di tangan pelaku, sedang dalam kejahatan penggelapan, barang yang

31
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara, 2011, Pasal 372

28
29

diambil untuk dimiliki itu sudah ada di tangan pelaku tidak dengan jalan

kejahatan atau sudah dipercayakan kepadanya. 32

Perumusan tindak pidana ini termuat dalam Pasal 372 KUHP dari titel

XXIV buku II KUHP sebagai berikut : dengan sengaja memiliki dengan

melanggar hukum suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

orang lain dan yang ada dibawah kekuasaannya (onder zich hebben) secara

lain daripada dengan melakukan dengan melakukan suatu kejahatan. 33

Adapun 2 unsur pokok dari tindak pidana penggelapan yaitu:

1. Barang di bawah kekuasaan pelaku

Unsur ini adalah unsur pokok dari penggelapan barang yang

membedakan dari tindak-tindak pidana lain mengenai kekayaan orang.

Ditambahkan bahwa barang harus ada di bawah kekuasaan pelaku dengan

cara lain daripada dengan melakukan kejahatan. Dengan demikian

tergambar bahwa barang itu oleh empunya dipercayakan kepada si pelaku.

Maka, pada pokoknya dengan perbuatan penggelapan, si pelaku tidak

memenuhi kepercayaan yang di limpahkan atau dapat dianggap

dilimpahkan kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang.

Jadi, tidaklah cukup apabila kebetulan suatu barang de facto ada di

bawah kekuasaan si pelaku. Apabila – misalnya- seekor ayam milik si A

masuk ke dalam pekarangan si B dan bercampur dengan ayam-ayam milik

32
R. Sugandhi, KUHP Berikut Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1980, Pasal 372
33
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,
2003, hlm.31
30

si B, maka ayam itu de facto ada di bawah kekuasaan si B. akan tetapi,

oleh karena tidak ada penganggapan pelimpahan kepercayaan oleh A

kepada B, maka kini tidak ada unsur di bawah kekuasaan dari tindak

pidana penggelapan. Maka, apabila si B memperlakukan ayam itu sebagai

miliknya dengan – misalnya – menggiring ayam itu ke kandang ayam si B,

perbuatan si B termasuk istilah pencurian bukan penggelapan.

Sebaliknya, untuk menggelapkan barang tidak perlu bahwa si

pelaku de facto selalu dapay menguasai barang itu. Misalnya seorang A

diserahi oleh B menyimpan suatu barang milik si B, dan kemudian si A

menyerahkan lagi barang itu pada C untuk disimpan. Pada waktu itu, si A

de facto tidak menguasai barang itu, tetapi apabila ia kemudian menyuruh

C menjual barang tersebut kepada D tanpa persetujuan si B, makasi A tetap

dianggap menguasai barang itu, dan oleh karenanya dapat dikatakan

menggelapkan barang itu. 34

2. Barang milik orang lain

Merupakan salah satu unsur pokok dari penggelapan namun unsur

ini agak menimbulkan kesulitan dalam hal sejumlah uang tunai yang

dipercayakan oleh yang empunya kepada orang lain untuk disimpan atau

untuk dipergunakan melakukan pembayaran tertentu. Apakah si penyimpan

diharuskan memisahkan jumlah uang itu dari uangnya sendiri?Apakah

34
Ibid, hlm.32
31

uang itu tidak boleh diganggu, kecuali untuk melakukan pembayaran

tertentu itu?

Bahwa ini tidak wajar, mudah dapat dimengerti.Akan tetapi

sebaliknya, juga tidak wajar apabila dikatakan bahwa setiap penyimpanan

uang tunai tidak memungkinkan penggelapan uang itu oleh si

penyimpan.Dalam hal ini, tidak boleh menjadi persoalan apakah sejumlah

uang sewujud yang disimpan itu tetap milik orang yang menyimpannya,

atau ia hanya berhak atas pembayaran kembali uang sejumlah yang sama,

tidak sewujud sama.

Dalam hal ini wirjono memberikan pendapatnya atas peristiwa

diatas bahwa harus ada kalanya dianggap uang yang disimpan itu tidak

boleh diganggu, tetapi ada kalanya uang itu dapat dipakai dulu. Dan, ini

bergantung pada :35

a. Maksud penyimpanan uang itu

b. Kepada keadaan kekayaan orang yang diserahi menyimpan uang itu

Tindak pidana penggelapan diatur dalam Buku II Bab XXIV

KitabUndang-Undang Hukum Pidana yang berjudul ” Penggelapan ”.

Tindakpidana penggelapan diatur dalam beberapa Pasal yaitu Pasal 372

KUHPsampai dengan Pasal 377 KUHP yang isinya :

35
Ibid, hlm.32
32

1. Pasal 372 KUHP

”Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum

memilikibarang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain,

danhanya ada padanya bukan karena kejahatan dihukum dengan

hukumanpenjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-

banyaknya 15 kali enam puluh rupiah”.

2. Pasal 373 KUHP

”Perbuatan yang diterangkan pada Pasal 372, bilamana yangdigelapkan itu

bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratuslima puluh ribu rupiah,

dihukum sebagai penggelapan ringan, dengan hukuman penjara selama-

lamanya tiga bulan atau denda sebanyak banyaknya 15 kali enam puluh

rupiah”.

3. Pasal 374 KUHP

”Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itukarena

jabatannya sendiri atau karena pekerjaannya atau karenamendapat upah

uang, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun”. 36

4. Pasal 375 KUHP

”Penggelapan yang dilakukan orang kepadanya terpaksa diberikan untuk

disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus, orang yang menjalankan

wasiat, pengurus lembaga derma atau yayasan terhadap barang yang ada

36
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara, 2011, Pasal 374
33

pada mereka karena jabatan mereka tersebut itu, dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya enam tahun”.

5. Pasal 376 KUHP

”Aturan pada Pasal 376 berlaku bagi kejahatan diterangakan dalam bab

ini”.

6. Pasal 377 KUHP

a. ”Pada waktu pemidanaan karena salah satu kejahatan yang dirumuskan

dalam Pasal 372, Pasal 274, Pasal 375, bahwa Hakim dapat

memerintahkan supaya putusan diumumkan dan dicabutnya hak-hak

tersebut dalam Pasal 35 KUHP yaitu : 37

(1) Menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan

(2) Masuk militer

(3) Memilih dan boleh dipilih dalam pemilihan yang dilakukan karena

Undang-Undang Umum

(4) Menjadi penasehat atau wali atau wali pengawas atau pengampu

atau pengampu pengawas atau orang alian atau pada anaknya

sendiri

(5) Kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan atau anaknya sendiri

(6) Melakukan pekerjaan yang ditentukan.

b. ”Jika yang bersalah melakukan kejahatan dalam pekerjaannya, boleh

dicabut haknya melakukan pekerjaan itu”.


37
R.Sugandhi, KUHP Berikut Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1980, Pasal 377
34

Berdasarkan dari sekian banyak Pasal tersebut diatas, maka tindak

pidana penggelapan dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu :

1) Tindak Penggelapan dalam bentuk pokok Kejahatan penggelapan dalam

bentuk pokok dalam Pasal 372 KUHP yaitu kejahatan yang dilakukan

sesorang yang dengan sengaja menguasai secara melawan hukum suatu

benda yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain.

Akan tetapi orang tersebut dalam mendapatkan barang dalam

kekuasaannya bukan karena kejahatan.

2) Tindak Penggelapan ringan 38

Maksud dari penggelapan ringan adalah seperti diterangkan dalam Pasal

373 KUHP yaitu suatu kejahatan penggelapan yang dilakukan oleh

seseorang yang mana jika penggelapan tidak terhadap ternak ataupun

nilainya tidak lebih dari dua ratus lima puluh ribu rupiah. Mengapa

disebutkan bahwa yang digelapkan itu haruslah bukan ternak, karena perlu

diingat bahwa ternak merupakan unsur yang memberatkan, sehingga ternak

dianggap barang khusus.

3) Tindak pidana Penggelapan dengan pemberatan

Kejahatan penggelapan dengan pemberatan atau disebut juga

”gequalifierde verduistering” tersebut diatur dalam Pasal 374 KUHP

38
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta, Bumi Aksara, 2011, Pasal 373
35

B. Tindak Pidana Menurut Pasal 374 KUHP

Tindak pidana yang diterangkan pada Pasal 374 KUHP merupakan

salah satu jenis tindak pidana penggelapan yang digolongkan dalam Tindak

pidana penggelapan dengan pemberatan.

Pasal 374 KUHP ;

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu


karena jabatannya sendiri atau karena pekerjaannya atau karena
mendapat upah uang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamnya
lima tahun.” 39

Adapun R.Sugandhi di dalam bukunya memberikan penjelasan atas

Pasal diatas;

Kejahatan ini dinamakan “Penggelapan Berat”, yang dapat dituntut

menurut Pasal ini misalnya : 40

a. Seseorang yang karena hubungan pekerjaanya, diserahi menyimpan

barang, kemudian digelapkan; misalnya: hubungan antara majikan dan

pembantu rumah tangga atau antara majikan dengan buruhnya.

b. Seseorang yang menyimpan barang itu karena jabatannya; misalnya:

tukang penatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya, tukang

sepatu, tukang jam atau tukang sepeda yang menggelapkan sepatu, jam

atau sepeda, yang diserahkan kepadanya untuk diperbaiki.

39
R.Sugandhi, KUHP Berikut Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1980, Pasal 374
40
Ibid, Pasal 374
36

c. Seseorang yang memegang barang itu karena mendapat upah uang;

misalnya:seorang karyawan kereta api yang membawakan barang dari

seorang penumpang dengan mendapat upah uang, kemudian menggelapkan

barang yang dibawanya itu

Pasal ini tidak berlaku bagi pegawai negeri yang menggelapkan;

a. Uang atau kertas berharga yang disimpannya karena jabatannya. Pegawai

negeri yang dengan sengaja menggelapkan uang atau kertas berharga yang

disimpan karena jabatannya dikenakan Pasal 415

b. Barang bukti atau keterangan yang dipakai untuk kekuasaan yang berhak,

yang disimpan karena jabatannya. Pegawai negeri yang menggelapkan

barang-barang yang disebut disini, yang disimpan karena jabatannya

diknakan Pasal 417.

Tetapi seorang pegawai negeri yang menggelapkan barang inventaris

kantor, walaupun barang itu ia simpan karena jabatannya, ia dikenakan Pasal

415 atau 417 KUHP, karena barang yang digelapkan bukan barang-barang

yang dimaksudkan oleh Pasal itu. Ia dapat dikenakan Pasal 372 jo. Pasal 52

Pasal 374 merumuskan jenis penggelapan barang, di mana tergambar

lebih tebal kepercayaan yang dilimpahkan kepada si pelaku. Maka, oleh

karenanya maksimum hukuman dipertinggi, yaitu oleh Pasal 374 dijadikan

hukuman penjara lima tahun, sedangkan Pasal 372 hanya mengancam

maksimum hukuman penjara empat tahun.


37

Pasal 374 merumuskan tiga macam hubungan antara si pelaku dan yang

mempercayakan barangnya, yaitu : 41

1. Hubungan buruh – majikan (persoonlijke dienstbtrekking)

2. Hubungan berdasar pekerjaan si pelaku sehari-hari (beroep)

3. Hubungan dimana si pelaku mendapat upah untuk menyimpan barang.

C. Pidana Bersyarat Menurut KUHP

Pidana bersyarat sering disebut juga sebagai putusan percobaan

(voorwaardelijke veroordelling) dan bukan merupakan telah di atur dan

tecantum pada Pasal 14a sampai dengan 14f KUHP diwarisi dari bekanda,

tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan antara keduanya.

Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pada Pasal 10 KUHP,

hanya batas pidana itu tidak akan lebih dari satu tahun penjara atau kurungan. 42

Dalam pidana bersyarat dikenal syarat umum dan syarat khusus. Syarat

umum ialah terpidana bersyarat tidak akan melakukan delik apa pun dalam

waktu yang ditentukan, sedangkan syarat khusus akan ditentukan oleh hakim.

Pengawasan terhadap pidana bersyarat dilakukan oleh yang melaksnakan

eksekusi, yaitu Jaksa.

Dalam praktek, pengawasan oleh jaksa ini tidak berjalan semestinya,

seakan-akan pengawasan hanya bersifat formalitas belaka. Dalam organisasi

41
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,
2003, hlm.33
42
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm. 218
38

kejaksaan negeri tidak ada bagian yang khusus menangani pidana bersyarat

yang sangat penting itu. Setelah perjanjian antara terpidana dan jaksa, maka

seakan-akan masalahanya telah selesai.Tetapi jaksa dapat juga memerintahkan

kepada lembaga yang berbentuk badan hukum atau kepada pemimpin suatu

rumah penampungan atau kepada pejabat tertentu supaya memberi pertolongan

dan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi syarat-syarat khusus.

Penerapan lembaga ini pun di Indonesia menghadapi hambata besar,

karena seperti dikatakan oleh Schpper dalam prae adviesnya (T.1929 Nomor

129 P.310), keadaan di Nederland lain, karena telah ada lembaga rekasering

disana yang mapan, sedangkan di Indonesia belum ada.

Lembaga reklasering di Nederland telah lama didirikan dan di bina.

Sejak tahun 1923 didirikan Nederlansche Genootzschap untuk perbaikan tata

susila para tahanan. Pada tahun 1896 van hammel mendirikan pertama kalinya

di Amsterdam Vereniging Pro Juventute, dan pada tahun berikutnya

meningkat untuk orang dewasa. Kemajuan terus berlanjut, sampai keluar

peraturan reklasering pada tahun 1970. Dari tahun 1905 sampai sekarang telah

diberi subsidi oleh pemerintah. Pada tahun anggaran 1978 telah disediakan

lebih dari 95 juta gulden untuk subsidi reklasering. Sebaliknya di Indonesia

dapat dikatakan tidak ada kemajuan di bidang reklasering itu.

Demikianlah Jonkers berpendapat bahw sebaiknya penerapan pidana

bersyarat dilakukan dengan hati-hati, sehingga ditentukan di dalam Pasal 14 a

ayat (4) WvS (dalam KUHP) bahwa pidana bersyarat hanya dijatuhkan jika
39

hakim berdasarkan penyelidikan dengan teliti, yakni bahwa dapat diadakan

pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, yaitu bahwa

terpidana tidak akan melakukan delik, dam syarat-syarat khusus jika sekiranya

syarat-syarat itu ada. 43

Organisasi reklasering dan pengelolaan pengawasan terhadap pidana

bersyarat di Indonesia masih perlu diperbaiki. Apalagi nanti jika dalam KUHP

Nasional, pidana bersyarat ini diubah menjadi pidana pengawasan, maka

organisasi dan pengetahuan aparat yang ditugaskan melakukan pengawasan

perlu tersusun rapid an memadai. Jangan sampai peraturannya berlaku lebih

cepat dari kesanggupan manusia pelaksananya, sehingga peraturan itu akan

menjadi huruf-huruf mati di atas kertas belaka. 44

Jika nanti pidana pengawasan telah berlaku menggantikan pidana

bersyarat maka harus diperhatikan :

a. Menghilangkan semua kelemahan-kelemahan yang telah ada pada pidana

bersyarat

b. Hanya terhadap kejahatan ringan saja yang dijatuhi pidana pengawasan

c. Pengawasan harus efektif dan intensif

d. Tidak membahayakan kepentingan umum

43
Ibid, hlm. 219
44
Ibid, hlm.221
D. Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggelapan

Dalam Jabatan dalam Praktik Pengadilan

1. Tahap Penyidikan

Pengertian penyidikan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana yang terdapat pada Pasal 1 butir 2 yang berbunyi sebagai

berikut:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan


menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya”. 45

Penyidikan dan Penuntutan, menjelaskan bahwa sebelum dilakukan

dulu tindakan penyidikan, dialkukan dulu penyelidikan oleh pejabat

penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan”

atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan.

Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindsk

pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa

keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak

pidana. 46

Pengertian penyidikan dimuat dalam Pasal 6 KUHAP, yang

berbunyi:

Pasal 6 KUHAP
45
Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981,
LN No. 76 Tahun 1981, TLN No.3209, Pasal 1
46
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika,2006, hlm.101

40
a. Penyidik adalah:

1. Pejabat polisis Negara Republik Indonesia;

2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh Undang-undang.

b. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

akan diatur dalam lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. 47

Keseluruhan proses penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik

polri tersebut kemudian akan dilanjutkan oleh kejaksaan dalam hal

mempersiapkan penuntut yang akan diajukan dalam sidang pengadilan dan

selanjutnya penjatuhan vonis kepada terdakwa yang kesemuanya itu

berlangsung dalam suatu sistem peradilan pidana dalam rangka penegakan

hukum pidana.48

Tugas dan wewenang penyidik diatur dalam Pasal 7 KUHAP yang

berbunyi :

Pasal 7 KUHAP

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena

kewajibannya mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana,

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

47
Indonesia, Undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981,
LN No. 76 Tahun 1981, TLN No.3209, Pasal 6
48
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hlm.120

41
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

(2) Penyidikan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b

mempunyai wewenang sesuai dengan Undang-undang yang menjadi

dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya

berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam

Pasal 6 ayat (1) huruf a.

(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan

ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. 49

Tahap penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimuat dalam :

49
Ibid, Pasal 7 ayat (1) sampai (3)

42
Pasal 8 KUHAP

(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurai

ketentuan lain dalam Undang-undang ini.

(2) Penyidik menyerahkan berkasa perkara kepada penuntut umum.

(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

dilakukan:

a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;

b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik

menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti

kepada penuntut umum. 50

Menurut Pasal 8 KUHAP, jika penyidik telah selesai melakukan

penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada

penuntut umum. Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara terdiri dari

dua tahap di mana pada tahap pertama penyidik menyerahkan berkas

perkara, apabila telah dianggap lengkap maka penyidikan tindak pidana

yang dilakukan oleh penyidik. 51

Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik

menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut

umum, di mana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan

50
Ibid, Pasal 8 ayat (1) sampai (3)
51
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hlm.102

43
berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka

berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk

dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan seseuai dengan petunjuk

umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut

umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah

memberitahu bahwa berkas tersebut lengkap sebelum waktu empat belas

hari maka dapat dilanjutkan prosesnya ke persidangan.

2. Tahap Penuntutan

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Bab IV

Penyidik dan Penuntut Umum bagian ketiga penuntut umum, diuraikan

sebagai berikut:

Pasal 13 KUHAP

“Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang

ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”. 52

Tujuan penuntutan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari

dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil,

yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana

dengan menempatkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat

dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang didakwakan melakukan

tindak pidana.

52
Ibid, Pasal 13

44
Tugas dan Wewenang Penuntut Umum (PU) :

Pasal 14 KUHAP

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara pentidikan dari penyidik atau

penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dengan memperhatikan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4), dengan member

petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau

penehanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah

perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat durst dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari

dan waktu perkara dipersidangan yang disertai surat panggilan, baik

kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada siding yang

telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-undang ini;


53
j. Melaksanakan penetapan hakim;
53
Ibid, Pasal 14 KUHAP

45
Menurut Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) dijelaskan bahwa Jaksa selaku penuntut umum tidak mempunyai

kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara pidana umum.

Penyidikan yang hasilnya kurang lengkap, jaksa diberi wewenang untuk

mengadakan prapenuntutan dengan cara mengembalikan berkas perkara

disertai permintaan kepada penyidik untuk melengkapi dengan melakukan

tambahan penyidikan.

Pasal 15 KUHAP

“Penuntut umum menurut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah

hukumnya menurut ketentuan Undang-undang”. 54

Dalam KUHAP Pasal 1 angka (7) dijelaskan tentang definisi

penuntutan sebagai berikut:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan


perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.” 55
Berdasarkan paparan beberapa bunyi ketentuan di dalam KUHAP

tersebut, dengan demikian harus ada kerja sama antara penyidik dengan

jaksa peneliti/calon penuntut umum agar terlaksananya penuntutan. Hal

inilah yang dekenal dengan “pra penuntutan” atau “hubungan antara

penyidik dengan penuntut umum”.

54
Indonesia, Op. Cit, Pasal 15
55
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm.161

46
Defini prapenuntutan menurut Andi Hamzah, adalah: “Tindakan

penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan

penyelidikan oleh penyidik. Inilah yang terasa janggal, karena memberi

petunjuk kepada penyidik untuk menyempurnakan penyidikan disebut

prapenuntutan.Hal seperti ini dalam ataran lama (HIR), termasuk

penyidikan lanjutan”. 56

Dalam kaitannya dengan tugas yang diemban oleh jaksa sebagai

Penuntut Umum, maka eksistensi surat tuntutan (requisitoir) merupakan

bagian yang penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan

(requisitoir) dibuat secara tertulis dan dibacakan di persidangan

sebagaimana dimaksud oleh Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP. Surat

tuntutan (requisitoir) mencantumkan tuntutan Jaksa Penuntutan Umum

terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan

disusun berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, alat bukti, dan keterangan

terdakwa. Surat dakwaan yang disampaikan belum ada ancaman pidana

dan disusun berdasarkan berita acara polisi.

Susunan surat tuntutan pidana tidak diatur dalam KUHAP tetapi

tumbuh dan berkembang dalam praktik peradilan. Syarat surat penuntutan

menurut Pasal 143 KUHAP mempunyai 2 syarat yang harus dipenuhinya

ialah: 57

56
Ibid, hlm.158
57
Andi Sofyan & Abd.Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta, Prenadamedia Group,
2014, hlm. 172

47
a. Syarat Formiil

Syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 143 KUHAP, yang

mencakup:

1. Diberi tanggal

2. Memuat Identitas terdakwa secara lengkap, meliputi:

a) Nama lengkap

b) Tempat lahir, umur/tanggal lahir

c) Jenis kelamin

d) Kebangsaan

e) Tempat tinggal

f) Agama

g) Pekerjaan

3. Ditandatangani oleh penuntut umum

Jadi hakim dapat membatalkan dakwaan penuntut umum, karena

tidak jelas dakwaan ditujukan kepada siapa. Tujuannya adalah

untuk mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orang atau pelaku

tindak pidana yang sebenarnya (error subyektum)

b. Syarat Materiel

Adapun syarat materiel menurut Pasal 143 (2) huruf b KUHAP, bahwa

surat dakwaan harus memuat uraian “secara cermat, jelas, dan lengkap

48
mengenai tindak pidana yang di dakwakan dengan menyebutkan waktu

(tempos delicti) dan tempat tindak pidana itu dilakukan (locus delicti).58

3. Tahap Pemeriksaan Sidang Pengadilan

Berdasarkan Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)

KUHAP menyatakan bahwa :

a. Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai

tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.

b. Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat

tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya

berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat

kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat

pengadilan negeri itu dari pada tempat kedudukan pengadilan negeri

yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.

c. Apabila seseorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam

daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri

itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu.

d. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut

pautnya dan dilakukan oleh seseorang dalam daerah hukum pelbagai

pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing pengadilan negeri


59
dengan ketentuan dibuka pengadilan penggabungan perkara tersebut.

58
Ibid, hlm. 173
59
Indonesia, Op.Cit, Pasal 84 ayat (1) sampai (4)

49
Pada dasarnya masalah sengketa kewenangan mengadili yang diatur

pada Bagian Kedua, Bab XVI adalah kewenangan secara relative.Artinya,

Pengadilan negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang mengadili

suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan mengadili bagi

setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif, diatur dalam

Bagian Kedua, Bab X, Pasal 84, Pasal 85, dan Pasal 86 Undang-Undang

No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bertitik tolak

dari ketentuan yang dirumuskan dalam ketiga Pasal tersebut, ada beberapa

kriteria yang bisa dipergunakan Pengadilan Negeri sebagai tolak ukur

untuk menguji kewenangannya mengadili perkara yang dilimpahkan

penuntut umum kepadanya. 60

60
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang
Pengadilan, Banding Kasasi,dan Peninjauan kembali, Jakarta, Sinar Grafika,2006, hlm.96

50
Pasal 85 KUHAP, berbunyi:

“Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan


negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua
pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang bersangkutan,
Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk
menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain dari pada yang
tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud.” 61

Pasal 86 KUHAP, berrbunyi:

“Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang


dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia Negeri Jakarta
Pusat yang berwenang mengadilinya”. 62

Di dalam KUHAP, terdiri 3 macam pemeriksaaan di sidang

pengadilan yaitu :

a. Acara Pemeriksaan Biasa

Pemeriksaan persidangan merupakan pemeriksaan terhadap

seseorang terdakwa di depan sidang pengadilan, di mana hakim

mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Pemeriksaan persidangan

ini berarti serangkaian tindakan hakim yang menerima, memeriksa dan

memutus perkara pidana, berdasarkan asas bebas, jujurdan tidak

memihak di sidang pengadilan. 63

Proses pemeriksaan di pengadilan selalu diawali dan didasari

dengan adanya surat pelimpahan perkara oleh Jaksa Penuntut Umum ke


61
Indonesia, Op. Cit, Pasal 85
62
Ibid, Pasal 86
63
M.Yahya Harahap, Op. cit, hlm.101

51
Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara

tersebut yang disertai dengan surat dakwaan (Pasal 142 ayat (1)

KUHAP). Sehingga dalam hal Pengadilan Negeri yang menerima surat

pelimpahan perkara itu berpendapat bahwa perkara itu termasuk dalam

wewenangnya maka ketua pengadilan yang bersangkutan menunjuk

hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut.

Ada beberapa tahap dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu :

1) Tata cara pemeriksaan terdakwa/pemulaan sidang

2) Keberatan/eksepsi

3) Pembuktian/pemeriksaan alat bukti

4) Penuntutan oleh penuntut umum

5) Pembelaan/pledoi terdakwa atau penasihat hukum

6) Replik dan duplik

7) Musyawarah hakim

8) Putusan


b. Acara Pemeriksaan Singkat

Pada dasarnya pengertian tentang acara pemeriksaan singkat

dapat disimpulkan dari Pasal 203 ayat (1) KUHAP, yang berbunyi :

“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah


perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk
ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum

52
pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifat
sederhana”. 64

Berdasarkan rumusan diatas maka acara pemeriksaan singkat

adalah pemeriksaan perkara yang oleh penuntut umum pembuktian dan

penerapan hukum mudah dan sifatnya dan sifatnya sederhana serta

bukan serta bukan tindak pidana ringan atau perkara pelanggaran

jalan.Dengan rumusan di atas, perlu pengamatan cermat tentang

pembuktian dan penerapan hukum mudah. Kata “mudah” dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Departemen pendidikan dan

kebudayaan tercantum artinya: “tidak memerlukan banyak tenaga atau

pikiran dalam mengerjakan; tidak sukar, tidak berat, gampang.”

Bahwa catatan tentang dakwaan dalam acara pemeriksaan

singkat tersebut, diatur dalam Pasal 143 ayat (2) b KUHAP yang

berbunyi :

“Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak


pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.” 65

Setelah hakim menyatakan sidang dibuka untuk umum lalu

menanyakan identitas terdakwa, seterusnya penuntut umum

menyampaikan kepada hakim tentang tindak pidana yang didakwakan

yang diucapkan secara lisan dan panitera mencatat dakwaan yang

64
Indonesia, Op. Cit, Pasal 203 ayat (1)
65
Ibid, Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP

53
diucapkan oleh jaksa atau penuntut umum yang fungsinya sebagai

pengganti surat dakwaan seperti dalam acarapemeriksaan biasa. 66

c. Acara Pemeriksaan Cepat

Pemeriksaan acaara pemeriksaan cepat diatur dalam bagian keenam


67
Bab XVI terdiri dari 2 bagian yaitu:

1) Paragraf I : Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

2) Paragraf II : Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas

Jalan

Adapun untuk lebih jelasnya, dijelaskan di bawah ini :

1) Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan

Menurut Pasal 205 ayat (1) KUHAP ialah :

(1) Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan


ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan
kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini. 68

Bahwa setiap pengadilan negeri telah menetapkan jadwal

dalam memeriksa perkara tindak pidana ringan pada hari yang telah

ditentukan dalm satu bulan dan frekuensinya tergantung banyak

sedikitnya perkara yang dilimpahkan ke pengadilan negeri.

66
Andi Hamzah.Op. Cit, Hlm.161
67
Andi Sofyan&Abd.ASis, Op. Cit, hlm.316
68
Indonesia, Op. Cit, Pasal 205 ayat (1)

54
Dalam Pasal 206 KUHAP, berbunyi :

“Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk


mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana
ringan”. 69

Pemeriksaan perkara tanpa berita acara pemeriksaan sidang

dan dakwaan cukup dicatat dalam buku register yang sekaligus

dianggap dan dijadikan berita acara pemeriksaan sidang.

Dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP yang berbunyi :

“Dalam acara pemeriksaan sebagaiman dimaksud dalam ayat


(1), pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada
tingkat pertama dan terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan terdakwa dapat minta
banding”.

Dari bunyi Pasal 205 ayat (3) KUHAP, maka dapat ditarik

suatu kesimpulan yaitu:

1. Sidang perkara dengan acara pemeriksaan ringan dengan hakim

tunggal.

2. Keputusan hakim terdiri dari 2 macam :

a. Keputusan berupa pidana denda dan atas keputusan tersebut

terhukum tidak dapat naik banding.

b. Keputusan yang berupa perampasan kemerdekaan, terhukum

diberi hak untuk naik banding ke pengadilan tinggi.

69
Ibid, Pasal 206

55
2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas

Proses pemeriksaan perkara rol polisi (Perkara Novies),

sebagaimana menurut Pasal 211 KUHAP, yaitu “Berkas dikirim ke

pengadilan negeri tanpa surat dakwaan (acte van verwijzing).

Perkara yang diperiksa menurut cara ini, adalah perkara

pelanggaran tertentu terhadap peraturan perundang-undangan lalu

lintas jalan.” 70

Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 211 KUHAP, yang

dimaksud dengan “Pelanggaran Tertentu”, adalah :

a) Menggunakan jalan dengan cara yang dapat merintang,

membahayakan ketertiban aau keamanan lalu lintas atau yang

mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan

b) Mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memperlihatkan

Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan

(STNK), surat tanda uji kendaraan yang sah atau tanda bukti

lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan lalu lintas jalan atau ia dapat

memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah kadaluwarsa

c) Membiarkan atau memperkenankan kendaraan bermotor

dikemudikan oleh orang yang tidak memiliki SIM

70
Andi Sofyan & Abd. ASis, Op. Cit, hlm.318

56
d) Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu

lintas jalan tentang penomoran, penerangan, peralatan,

perlengkapan, pemuatan kendaraan dan syarat penggandengan

dengan kendaraan lain

e) Membiarkan kendaraan bermotor yang ada di jalan tanpa

dilengkapi plat tanda nomor kendaraan yang sah, sesuai dengan

Surat Tanda Nomor Kendaraan yang asli

f) Pelanggaran terhadap perintah yang diberikan oleh petugas

pengatur lalu lintas jalan dan/atau isyarat alat pengatur lalu

lintas jalan, rambu-rambu atau tanda yang ada dipermukaan

jalan

g) Pelanggaran terhadap ketentuan tentang ukuran dan muatan

yang di izinkan, cara menaikkan dan menurunkan penumpang

dan/atau cara memuat dan membongkar barang

h) Pelanggaran terhadap izin trayek, jenis kendaraan yang

diperbolehkan beroperasi di jalan yang di tentukan.

Tata cara pemeriksaan terhadap perkara pelanggaran lalu

lintas, menurut KUHAP, sebagai berikut :

a. Menurut Pasal 213 KUHAP, bahwa “terdakwa dapat menunjuk

seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang tetapi apabila

terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang.”

57
b. Menurut Pasal 214 KUHAP

1. Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di persidangan,

pemeriksaan perkara dilanjutkan

2. Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa,

surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana.

3. Bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan oleh

penyidik kepada terpidana, diserahkan kepada panitera untuk

dicatat dalam buku register

4. Dalam hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya terdakwa

(verstek) dan putusan itu berupa pidana perampasan

kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan

(verset)

5. Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan secara sah kepada

terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada

pengadilan yang menjatuhkan putusan itu (Pasal 214 ayat (5)

KUHAP). Ini berbeda dengan acara rol dahulu (landgerechts

reglement) 71

Berhubung dengan RUUKUHP baru tidak mengenal

istilah pelanggaran, maka peradilan cepat menurut RUU tersebut

untuk delik yang diancam dengan pidana denda saja.

71
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm.248

58
Di Jerman yang KUHP-nya sama dengan RUU KUHP

tidak mengenal istilah delik pelanggaran maka pelanggaran

demikian dipandang sebagai pelanggaran peraturan.

Ordungswidrigkeiten yang sanksinya administratif (denda)

tanpa pemeriksaan pengadilan.

Jadi, jika RUU KUHP diterima oleh DPR, maka mesti

dibuat Undang-undang untuk hal ini.

59
BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Analisis Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan Dengan Tindak

Pidana Penggelapan berhubung karena jabatan/pekerjaan

Dalam perkara ini, peraturan perundang-undangan yang dikenakan

terhadap tindak pidana “Penggelapan berhubung karena jabatan/pekerjaan “

diatur dalam Pasal 374 ayat (1) KUHP, yang menyatakan sebagai berikut :

“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap


barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian
atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun.”

Adapun unsur-unsur dari Pasal tersebut yaitu sebagai berikut :

1. Barang siapa ;

2. Sengaja memiliki dengan melawan hukum sesuatu barang

3. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain

4. Berada dalam penguasaannya bukan karena kejahatan

5. Berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya.

Pasal ini biasa disebut dengan penggelapan dengan pemberatan, di

mana pemberatannya adalah dalam hal :

1. Terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena

hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya

60
61

perhubungan antara majikan dan pembantu rumah tangga atau majikan dan

buruh

2. Terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya (beroep), misalnya

tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya, tukang

jam, sepatu, sepeda, dsb menggelapkan sepatu, jam dan sepeda yang

diserahkan kepadanya untuk diprbaiki

3. Karena mendapat upah uang (bukan upah berupa barang), misalnya pekerja

stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang

itu digelapkannya.

 Jadi, Pasal 374 KUHP adalah merupakan Pasal yang mengatur

“Penggelapan dengan Pemberatan” sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Mengenai unsur subyek tindak pidana adalah manusia, hal ini disimpulkan

dari:

1. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah:

barangsiapa, warga negara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri dsb.

2. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana yang diatur dengan

mensyaratkan “kejiwaan”.

3. Ketentuan mengenai pidana denda yang hanya manusia yang mengerti

akan nilai uang.

Peraturan yang berkaitan dengan Pasal 374 KUHP merupakan Pasal

372 KUHP yang sama-sama mengatur tentang tindak pidana penggelapan. Jika
62

dibandingkan kedua Pasal tersebut berbeda dalam ancaman hukuman serta

unsur-unsur yang ada dalam kedua Pasal tersebut.

Sedangkan jika melihat ketentuan Pasal 372 KUHP tentang

penggelapan yang berbunyi sebagai berikut :

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang


sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain,
tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam
karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian

tetapi pada penggelapan pada waktu dimilikinya barang tersebut, sudah ada di

tangannya tidak dengan jalan kejahatan/melawan hukum. Sehingga, dalam hal

ini, jika kita jabarkan unsur-unsur penggelapan yang harus terpenuhi adalah :

1. Barang siapa (ada pelaku);

2. Dengan sengaja dan melawan hukum;

3. Memiliki barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan

orang lain;

4. Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Mengacu pada unsur-unsur pada Pasal penggelapan tersebut di atas,

jika orang tersebut lalai dan bukan dengan sengaja, maka tidak memenuhi

unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dijerat dengan Pasal penggelapan dan

tidak dapat dikatakan sebagai penggelapan.


63

Dengan demikian seperti yang diterangkan diatas kedua Pasal tersebut

berhubungan namun pada Pasal 372 KUHP disebut dengan ”Penggelapan

biasa” sedangkan pada Pasal 374 disebut dengan “penggelapan berat”

B. Analisis Putusan Nomor 33. B/ 2015/PN.Mnd

1. Kasus Posisi

Pada bagian ini akan diuraikan mengenai kasus Tindak Pidana

Penggelapan berhubung karena jabatan/pekerjaan dengan identitas pelaku

sebagai berikut :

Nama lengkap : Victor Albert Pelengkahu

Tempat lahir : Manado

Umur / tanggal lahir : 34 Tahun / 16 Nopember 1980

Jenis kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat tinggal : Kelurahan Banjer Lingkungan IV Kecamatan

Tikala Kota Manado

Agama : Kristen Katholik

Pekerjaan : Swasta

Pendidikan : SMA (Tamat)

Adapun kronologi bahwa terdakwa, Victor Albert Pelengkahu, pada

hari Kamis tanggal 28 Agustus 2014 atau pada waktu-waktu tertentu dalam

bulan Agustus tahun 2014, berempat di Kelurahan Pinaesaan Lingkungan


64

III Kecamatan Wenang kota Manado atau pada tempat-tempat tertentu

yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Manado,

dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang

sesuatu berupa uang sejumlah Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)

yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain yaitu saksi

korban DONY LIMENGAN, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan

karena kejahatan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap

barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencariannya

atau karena mendapat upah untuk itu, yang mengakibatkan saksi korban

Dony Limengan mengalami kerugian sejumlah Rp.25.000.000,- (dua puluh

lima juta rupiah).

Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, terdakwa

Victor Albert Pelengkahu bekerja sebagai Associate Manager Sales Project

di Toko Mer 99 milik saksi korban dan bertugas mencari pembeli,

kemudian pada tanggal 28 April 2014, terdakwa memberitahukan kepada

saksi korban bahwa saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu akan

membeli barang berupa partisi meja kantor dengan harga sejumlah

Rp.210.000.000,- (dua ratus sepuluh juta rupiah) dan saat saksi korban

bertemu dengan saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu Memberikan

memberikan uang panjar kepada saksi korban sejumlah Rp.50.000.000,-

(lima puluh juta rupiah), selanjutnya saksi korban mengorder atau

mengantar barang tersebut dan pada tanggal 12 Mei 2014 saksi Lexi
65

Leopold Masnindeng Rotinsulu memberikan uang panjar kepada saksi

korban sejumlah Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).

Pada tanggal 30 Juni 2014 saksi Lexi Leopold Masnindeng

Rotinsulu kembali memberikan panjar kepada saksi korban sejumlah

Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan pada tanggal 25 Juli 2014

saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu memberikan panjar kepada

saksi korban sejumlah Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sehingga

sisa yang belum di bayar sejumlah Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta

rupiah) sesuai Nota Faktur Jual/ Invoice atas nama Lexi Rotinsulu

(terlampir dalam berkas perkara). Bahwa uang sejumlah Rp.25.000.000,-

(dua puluh lima juta rupiah) tersebut merupakan sisa hasil penjualan partisi

meja kantor PLN Tondano yang telah di serahkan oleh saksi Lexi Leopold

Masnindeng Rotinsulu kepada terdakwa sejak tanggal 22 Juli 2014, namun

uang tersebut tidak di serahkan oleh terdakwa kepada saksi korban dan saat

terdakwa mengambil uang tersebut dari saksi Lexi Leopold Masnindeng

Rotinsulu tanpa sepengetahuan saksi korban serta saksi korban tidak

pernah menyuruh terdakwa untuk mengambil uang tersebut kepada saksi

Lexi Leopold Masnindeng.

Uang milik saksi korban tersebut telah di gunakan oleh terdakwa

untuk kepentingan diri pribadi dari terdakwa yaitu untuk bersenang-senang

dan membeli minuman keras serta di gunakan untuk taruhan bola kaki pada
66

saat itu piala dunia berlangsung dan hal tersebut dilakukan oleh terdakwa

tanpa sepengetahuan ijin dari saksi korban.

Terdakwa sudah kurang lebih 26 (dua puluh enam) bulan bekerja

sebagai karyawan di toko Mer 99 milik saksi korban dan terdakwa diberi

upah berupa gaji setiap bulan sejumlah Rp.3.500.000,- (tiga juta lima ratus

ribu rupiah).

Akibat perbuatan dari terdakwa Victor Albert Pelengkahu, saksi

korban Dony Limengan mengalami kerugian sejumlah Rp.25.000.000,-

(dua puluh lima juta rupiah) atau setidak-tidaknya lebih dari Rp.250,- (dua

ratus lima puluh rupiah).

2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Dalam persidangan Jaksa Penuntut Umum mendakwa dan menutut

perbuatan terdakwa sebagai berikut :

a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

1) Dakwaan Primair Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 374 KUHP.

2) Dakwaan subsidair Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP.


67

b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

1) Menyatakan Terdakwa Victor Albert Pelengkahu, terbukti secara

sah dan meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primair Pasal 374 KUHP.

2) Menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa Victor Albert

Pelengkahu dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6

(enam) bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan

sementara.

3) Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) buah Surat Perjanjian

Kerjasama dalam rangka project pengadaan meja partisi PLN

Cabang Tondano antara MER 99 dan CV Pelita Kasih Nomor

Kontrak : 002/ MER 99-SPK-PR/IV/2014. 1 (satu) buah Kwitansi

Pelunasan Project meja partisi di PLN Cabang Tondano pada

tanggal 22 Juli 2014. 1 (satu) buah Nota Faktur Jual/ Invoice atas

nama Lexi Rotinsulu. Tetap terlampir dalam berkas perkara

4) Menetapkan agar kepada terdakwa, dibebani membayar biaya

perkara, sebesar Rp.3.000.- (tiga ribu rupiah)

Untuk membuktikan dakwaan dan tuntutan tersebut, Jaksa Penuntut

Umum menghadirkan saksi-saksi, keteranga terdakwa dan barang bukti

sebagai berikut :
68

Keterangan Saksi

a. Saksi Dony Limengan

Saksi mengerti diambil keterangannya sebagai saksi korban

karena dugaan tindak pidana penggelapan karena jabatan yang

dilakukan oleh terdakwa Victor Albert Pelengkahu.Terdakwa sebagai

marketing pernah mendapat Project pada PLN Tomohon lewat

kontraktor yaitu saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu. Saksi

mendapat order melalui terdakwa sejumlah Rp.210.000.000.- (dua ratus

sepuluh juta rupiah) untuk pengadaan partisi kantor untuk 1 (satu) set

ruangan, untuk 50 (lima puluh) orang duduk.

Pembayaran dilakukan oleh saksi Lexi Leopold Masnindeng

Rotinsulu secara bertahap yaitu sejumlah Rp.50.000.000.- (lima puluh

juta rupiah), sejumlah Rp.5.000.000.- (lima juta rupiah), sejumlah

Rp.80.000.000.- (delapan puluh juta rupiah), sejumlah Rp.50.000.000.-

(lima puluh juta rupiah) dan sisanya sejumlah Rp.25.000.000.- (dua

puluh lima juta rupiah) belum saksi terima. Bagian administrasi telah

menagih kekurangan pembayaran kepada saksi Lexi Leopold

Masnindeng Rotinsulu tetapi saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu

mengatakan bahwa uang sudah diserahkan kepada terdakwa. Saksi

kemudian memanggil terdakwa dan benar terdakwa mengaku kepada


69

saksi bahwa uang sudah dibayar oleh saksi Lexi Leopold Masnindeng

Rotinsulu kepada terdakwa.

Dengan demikian, saksi ini merupakan saksi yang memberatkan

terdakwa.

b. Saksi Jeanet Mamesah,

Saksi mengerti diambil keterangannya sehubungan dengan

tindak pidana penggelapan uang yang dilakukan oleh terdakwa Victor

Albert Pelengkahu di Toko meubel MER 99 Manado.Saksi sebagai

accounting. Saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu memesan

barang di Toko MER 99 dengan harga sejumlah Rp.210.000.000.- (dua

ratus sepuluh juta rupiah) dan sudah dibayar sejumlah

Rp.185.000.000.- (seratus delapan puluh lima juta rupiah) sedangkan

sisanya sejumlah Rp.25.000.000.- (dua puluh lima juta rupiah) belum

diterima saksi.

Terdakwa pernah menerima titipkpan uang pembayaran dari

pembeli kemudian membayar ke saksi satu kali.Dari bukti setoran yang

ditunjukan oleh saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu sudah 1

(satu) bulan diserahkan ke terdakwa. Nilai kontrak sejumlah

Rp.226.000.000.- (dua ratus dua puluh enam juta rupiah) sesuai invoice

sejumlah Rp.20.000.000.- (dua puluh juta rupiah).


70

Dengan demikian saksi merupakan saksi yang memberatkan

terdakwa.

c. Saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu,

Saksi mengerti diambil keterangannya sehubungan dengan

dugaan tindak pidana penggelapan uang yang dilakukan oleh terdakwa

Victor Albert Pelengkahu di Toko MER 99 Manado pada tahun 2014.

Saksi pernah pesan partisi sejumlah Rp.226.000.000.- (dua ratus dua

puluh enam juta rupiah) berupa meja dan kursi ke Toko Mer 99 dan

saksi disuruh bertemu dengan terdakwa. Awalnya saksi menyerahkan

uang kepada terdakwa sejumlah Rp.60.000.000.- (enam puluh juta

rupiah).

Sisa pembayaran sejumlah Rp.25.000.000.- (dua puluh lima juta

rupiah) dibayar saksi ke terdakwa sesuai dengan perjanjian. Invoice

diterima sejumlah Rp.210.000.000.- (dua ratus sepuluh juta rupiah) dan

bukan sejumlah Rp.226.000.000.- (dua ratus dua puluh enam juta

rupiah), karena belum termasuk kursi. Pada tanggal 23 Juli 2014 lunas

dibayar oleh saksi sejumlah Rp.28.250.000.- (dua puluh delapan juta

dua ratus lima puluh ribu rupiah).. Saksi menerima tagihan dari Toko

MER 99 bahwa sisa Rp.25.000.000,- belum lunas, maka saksi

memberikan bukti pembayaran yang telah diterima terdakwa kepada

toko MER 99. Uang sejumlah Rp.28.250.000.- (dua puluh delapan juta
71

dua ratus lima puluh ribu rupiah) yang diserahkan saksi kepada

terdakwa adalah untuk pelunasan pemesanan partisi di MER 99

Manado.

Dari keterangan diatas, saksi merupakan saksi yang

memberatkan terdakwa

Keterangan Terdakwa

Terdakwa pernah bekerja di toko MER 99 sebagai tenaga marketing

yang bertugas mencari pembeli. Pada awal tahun 2014 terdakwa pernah

mendapat order pemesanan partisi dari saksi Lexi Leopold Masnindeng

Rotinsulu dan telah dibuatkan kontrak dengan Toko MER 99 sejumlah

Rp.226.000.000.- (dua ratus dua puluh enam juta rupiah) sesuai dengan

kontrak kerja untuk pemesanan partisi/ meja panel 5 (lima) set. Uang

muka/ DP sejumlah Rp. 50.000.000.- (lima puluh juta rupiah) dibayar oleh

saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu,

Benar uang yang diserahkan oleh saksi Lexi Leopold Masnindeng

Rotinsulu kepada terdakwa sejumlah Rp. 28.200.000.- (dua puluh delapan

juta dua ratus ribu rupiah) adalah sisa pembayaran ke took MER 99 dan

untuk pembayaran kursi.


72

Barang Bukti

a. 1 (satu) buah Surat Perjanjian Kerjasama dalam rangka project

pengadaan meja partisi PLN Cabang Tondano antara MER 99 dan CV

Pelita Kasih Nomor Kontrak : 002/ MER 99-SPK-PR/IV/2014.

b. 1 (satu) buah Kwitansi Pelunasan Project meja partisi di PLN Cabang

Tondano pada tanggal 22 Juli 2014.

c. 1 (satu) buah Nota Faktur Jual/ Invoice atas nama Lexi Rotinsulu.

Tetap terlampir dalam berkas perkara

3. Pertimbangan dan Putusan Hakim

Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh Jaksa Penuntut

Umum dengan dakwaan subsidairitas maka akan dipertimbangkan terlebih

dahulu dakwaan Primair melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 374 KUHP yang unsur-unsurnya sebagai

berikut :

a. Barang siapa ;

b. Sengaja memiliki dengan melawan hukum sesuatu barang

c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain

d. Berada dalam penguasaannya bukan karena kejahatan

e. Berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya.


73

Unsur ke-1 : Barang Siapa :

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah

setiap orangatau badan hukum yang dimaksud dalam surat dakwaan

sebagai orang yang mampu melakukan suatu perbuatan dan dapat

mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut.

Berdasarkan fakta hukum yang didapat dari keterangan saksi-saksi

dan keterangan terdakwa di persidangan bahwa identitas terdakwa Viktor

Alert Palengkahu telah sesuai dengan orang yang dimaksud sebagai

terdakwa dalam surat dakwaan dan terdakwa telah nyata sebagai orang

yangmampu melakukan suatu perbuatan dan dapat mempertanggung

jawabkan perbuatannya tersebut. Dengan demikian unsur ke-1 telah

terpenuhi ;

Unsur ke-2 : Sengaja memiliki dengan melawan hukum suatu barang;

Berdasarkan fakta yang didapat dari keterangan saksi-saksi dan

terdakwa dipersidangan bahwa terdakwa Victor Albert Pelengkahu bekerja

sebagai Associate Manager Sales Project di Toko MER 99 diManado milik

saksi korban Dony Limengan dan bertugas mencari pembeli, Menimbang

bahwa pada tanggal 28 April 2014, terdakwa memberitahukan kepada saksi

korban bahwa saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu akan membeli

barang berupa partisi meja kantor dengan harga sejumlah Rp.210.000.000,-

(dua ratus sepuluh juta rupiah) dan saat saksi korban bertemu dengan saksi
74

Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu Memberikan memberikan uang panjar

kepada saksi korban sejumlah Rp.50.000.000,- (lima puluhjuta rupiah).

Selanjutnya saksi korban telah mengantar barang tersebutdan pada

tanggal 12 Mei 2014 saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu

memberikan uang panjar kepada saksi korban sejumlah Rp.5.000.000,-

(lima jutarupiah). Pada tanggal 30 Juni 2014 saksi Lexi Leopold

Masnindeng Rotinsulu kembali memberikan angsuran kepada saksi korban

sejumlah Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dan pada tanggal 25

Juli 2014saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu memberikan angsuran

kepadasaksi korban sejumlah Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah),

sehingga sisa yangbelum di bayar sejumlah Rp.25.000.000,- (dua puluh

lima juta rupiah) sesuai NotaFaktur Jual/ Invoice atas nama Lexi

Rotinsulu.

Uang sejumlah Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)

tersebut merupakan sisa pelunasan partisi meja kantor untuk proyek kantor

PLN Tondano yang telah di serahkan oleh saksi Lexi Leopold Masnindeng

Rotinsulu kepada terdakwa sejak tanggal 22 Juli 2014, namun uang

tersebut tidak di serahkan oleh terdakwa kepada saksi korban/toko MER 99

atau kepada bendahara toko Mer 99 yaitu saksi Jeanet Mamesah

Menimbang bahwa uang tersebut telah dipergunakan oleh terdakwa untuk

kepentingannya sendiri dengan alasan telah mendapat persetujuan dari

saksi Lexi Leopold Masnindeng untuk keperluan kerjasama proyek, Saksi


75

Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu membenarkan ada urusan proyek di

Tahuna dengan terdakwa akan tetapi uang sejumlah Rp. 25.000.000,-

tersebut adalah untuk pembayaran pelunasan kepada saksi korban/ toko

MER 99.

Ketika saksi korban menegur terdakwa mengenai uang sejumlah

Rp.25.000.000,- tersebut terdakwa menyatakan bersedia mengganti akan

tetapi saksi korban tidak bersedia memberikan kesempatan dan langsung

melaporkan kepada polisi. Terdakwa dalam pembelaan maupun dalam

keterangannya dipersidangan menyatakan bahwa uang sebesar

Rp.25.000.000,- terdakwa pergunakan karena seijin saksi Lexi Leopold

Masnindeng berkaitan dengan proyek kerjasama pengadaan di Tahuna.

Atas bantahan terdakwa tersebut saksi Lexi Leopold Masnindeng

menyatakan bahwa benar saksi ada kerjasama proyek di Tahuna dengan

terdakwa akan tetapi uang sebesar Rp.25.000.000,- tersebut saksi serahkan

ke terdakwa untuk keperluan pelunasan pemesanan meja pertisi untuk PLN

Tondano dan tidak berkaitan dengan proyek kerjasama saksi dengan

terdakwa di Tahuna. Saksi yang meringankan yang diajukan Penasehat

terdakwa Neidy Victory Lempoy mendengar dari terdakwa bahwa saksi

Lexi memberikan ijin kepada terdakwa untuk memakai atau meminjam

terlebih dahulu uang sebesar Rp.25.000.000,- akan tetapi tidak pernah

mendengar langsung dari saksi Lexi, dengan demikian bantahan terdakwa

tersebut tidak didukung dengan bukti.


76

Dengan demikian benar terdakwa telah memiliki secara melawan

hukum uang sebesar Rp.25.000.000,- karena tidak menyetorkan uang

pelunasan pesanan meja partisi dari saksi Lexi Leopold Masnindeng

Rotinsulu kepada saksi korban/ toko MER 99 Manado. Dengan demikian

unsur ke-2 telah terpenuhi.

Unsur ke-3 : Sebagian atau seluruhnya milik orang lain

Berdasarkan keterangan saksi korban Dony Limengan,saksi Lexy

Leopold Masnindeng Rotinsulu dan terdakwa di persidanganbahwa uang

sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) adalah uang

pembayaran pelunasan pemesanan partisi dari saksi Lexy Leopold

Masnindeng Rotinsulu untuk saksi korban Dony Limengan selaku pemilik

toko Mer 99 Manado dan uang tersebut diserahkan kepada terdakwa selaku

salesdari toko Mer 99 Manado untuk selanjutnya disetorkan kepada saksi

Jeanet Mamesah selaku bendahara took MERS 99 Manado, dengan

demikian uang tersebut adalah milik saksi korban/ toko Mer 99 dan sama

sekali bukan milik terdakwa. Dengan demikian unsur ke-3 telah terpenuhi.

Unsur ke-4 : Berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan

Menimbang bahwa terdakwa selain sebagai sales juga melakukan

penagihan kepada konsumen dimana hal tersebut sudah biasa dilakukan

dan segera setelah mendapatkan pembayaran dari konsumen terdakwa

segera menyetorkan kepada saksi Jeanet Mamesah selaku bendahara toko


77

Mers 88, demikian juga dengan uang sebesar Rp.25.000.000,- sebagai

biaya pelunasan berada dalam kekuasaan terdakwa karena terdakwa selaku

sales yang sejak order telah mendatangani kontrakmewakili toko MER 99

selaku penjual dan saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu selaku

pembeli, dan terdakwa menerima pembayaran dari saksi Lexi Leopold

Masnindeng Rotinsulu. Oleh karena uang sebesar Rp.25.000.000,- berada

dalamkekuasaan terdakwa bukan karena kejahatan, dengan demikian unsur

ke-4 telahterpenuhi.

Unsur ke-5 : Berhubung dengan pekerjaan atau jabatannya

Berdasarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa dipersidangan

bahwa terdakwa sudah kurang lebih 26 (dua puluh enam) bulan bekerja

sebagai Associate Manager Sales Project di toko MER 99 milik saksi

korbandan terdakwa diberi upah berupa gaji setiap bulan sejumlah

Rp.3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) dimana terdakwa bertugas

untuk mencari pembeli dan diberikan kewenangan untuk menerima

pembayaran dari konsumen. Terdakwa menerima order sekaligus

pembayaran darisaksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu adalah karena

jabatan terdakwa selaku Associate Manger Sales Project di toko MER 99

dengan demikian unsur ke-5 telah terpenuhi.

Oleh karena semua unsur dari dakwaan Primair telahterpenuhi maka

terdakwa harus dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah


78

melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Primair. Oleh karena

dakwaan Primair telah terbukti maka dakwaan Subsidair tidak perlu

dipertimbangkan lagi.Oleh karena terdakwa dinyatakan bersalah dan

selamapersidangan pada diri terdakwa tidak ditemukan alasan pemaaf dan

alasanpembenar dari perbuatan terdakwa maka terdakwa harus dijatuhi

pidana.

Menimbang bahwa mengenai barang bukti berupa :

a. 1 (satu) buah Surat Perjanjian Kerjasama dalam rangka project

pengadaan meja partisi PLN Cabang Tondano antara MER 99 dan CV

Pelita Kasih Nomor Kontrak : 002/ MER 99-SPK-PR/IV/2014.

b. 1 (satu) buah Kwitansi Pelunasan Project meja partisi di PLN Cabang

Tondano pada tanggal 22 Juli 2014.

c. 1 (satu) buah Nota Faktur Jual/ Invoice atas nama LEXI

ROTINSULU.Tetap terlampir dalam berkas perkara

Menimbang, bahwa untuk menentukan berat ringannya pidana yang

akan dijatuhkan kepada terdakwa maka dengan memperhatikan

permohonan keringanan hukuman dari terdakwa akan dipertimbangkan

terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan

dari perbuatan terdakwa :

Hal-hal yang memberatkan :

a. Tidak ada ;
79

Hal-hal yang meringankan :

a. Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya ;

b. Terdakwa telah memberi keuntungan kepada perusahaan selama

bekerja.

c. Terdakwa bersedia mengembalikan kerugian kepada saksi korban tetapi

tidakdiberi kesempatan.

d. Terdakwa menderita sakit paru paru dan memerlukan perawatan

berkelanjutan sebagaimana surat keterangan dokter yang diajukan

dipersidangan ;

e. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga.

Berdasarkan hal-hal yang meringankan diatas makaMajelis

mempertimbangkan pidana yang dijatuhkan tidak perlu dijalani oleh

terdakwa kecuali dengan putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum

tetap terdakwa dijatuhi pidana lagi pada masa percobaan yang ditetapkan.

Mengingat Pasal 374 ayat (1) KUHP, UU No.8 Tahun 1981 dan

Pasal-Pasal dari peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan

maka Hakim Pengadilan Negeri Manado memutuskan sebagai berikut :

a. Menyatakan terdakwa Viktor Albert Palengkahu terbukti secara sahdan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan

berhubung karena jabatan/pekerjaan “sebagaimana dakwaan Primair.

b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Viktor Albert Palengkahu

olehkarena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun.


80

c. Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dengan putusan

Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap terdakwa dijatuhi pidana

lagi padamasa percobaan yang ditetapkan selama 2 (dua) Tahun.

4. Analisis

Berdasarkan proses sidang di pengadilan yang dilakukan di atas,

maka penulis akan mengaitkan tahap-tahap dalam persidangan yang telah

dijelaskan di atas, yaitu :

a. Pada tahap pertama penulis mengkaitkan kronologi kasus dengan

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, serta Dakwaan dengan Tuntutan Jaksa

Penuntut Umum

Pada kasus posisi dijelaskan bahwa Terdakwa Victor Albert

Pelengkahu bekerja sebagai Associate Manager Sales Project di Toko

MER 99 milik saksi korban Dony Limengan dan bertugas mencari

pembeli, Pada tanggal 28 April 2014, terdakwa memberitahukan

kepada saksi korban bahwa saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu

akan membeli barang berupa partisi meja kantor dengan harga sejumlah

Rp.210.000.000,- (dua ratus sepuluh juta rupiah) dan saat saksi korban

bertemu dengan saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu

Memberikan memberikan uang panjar kepada saksi korban sejumlah

Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Selanjutnya saksi korban

telah mengantar barang tersebut dan pada tanggal 12 Mei 2014 saksi
81

Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu memberikan uang panjar kepada

saksi korban sejumlah Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah). Pada tanggal

30 Juni 2014 saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu kembali

memberikan angsuran kepada saksi korban sejumlah Rp.80.000.000,-

(delapan puluh juta rupiah) dan pada tanggal 25 Juli 2014 saksi Lexi

Leopold Masnindeng Rotinsulu memberikan angsuran kepada saksi

korban sejumlah Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sehingga

sisa yang belum di bayar sejumlah Rp.25.000.000,- (dua puluh lima

juta rupiah) sesuai Nota Faktur Jual/ Invoice atas nama Lexi Rotinsulu.

Uang sejumlah Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) tersebut

merupakan sisa pembayaran pesanan partisi meja kantor yang telah di

serahkan oleh saksi Lexi Leopold Masnindeng Rotinsulu kepada

terdakwa sejak tanggal 22 Juli 2014, namun uang tersebut tidak di

serahkan oleh terdakwa kepada saksi korban/ toko MER 99 atau kepada

bendahara yaitu saksi Jeanet Mamesah. Uang tersebut telah

dipergunakan oleh terdakwa sendiri dengan alasan telah mendapat

persetujuan dari saksi Lexi Leopold Masnindeng untuk keperluan

kerjasama proyeK. Saksi Lexy Leopold Masnindeng membenarkan ada

urusan proyek di Tahuna dengan terdakwa akan tetapi uang sejumlah

Rp.25.000.000,- tersebut adalah untuk pembayaran pelunasan kepada

skasi korban. Terdakwa sudah kurang lebih 26 (dua puluh enam) bulan

bekerja sebagai karyawan di toko MER 99 milik saksi korban dan


82

terdakwa diberi upah berupa gaji setiap bulan sejumlah Rp.3.500.000,-

(tiga juta lima ratus ribu rupiah). Ketika saksi korban menegur

terdakwa mengenai uang sejumlah Rp.25.000.000,- tersebut terdakwa

mengakui menyatakan bersedia mengganti dengan cara potong gaji

akan tetapi saksi korban tidak bersedia memberikan kesempatan dan

langsung melaporkan kepada polisi.

Berdasarkan kronologis di atas Jaksa Penuntut Umum

mendakwa perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam

dengan ketentuan Pasal 374 KUHP.

Dengan demikian, dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa

telah sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa yaitu

“Penggelapan berhubung karena jabatan/pekerjaan”

Sedangkan bila dikaitkan antara Dakwaan dengan Tuntutan

Jaksa Penuntut Umum, sebagaimana tersebut di atas Jaksa Penuntut

Umum mendakwa perbuatan terdakwa dengan Pasal 374 KUHP.

Dalam perkara ini Jaksa Penuntut umum menutut perbuatan

terdakwa Victor Albert Pelengkahu, terbukti secara sah dan

meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Dakwaan Primair Pasal 374 KUHP serta menjatuhkan

hukuman terhadap Terdakwa Victor Albert Pelengkahu dengan pidana

penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama

terdakwa berada dalam tahanan sementara.


83

Jika melihat ketentuan sanksi pidana yang tercantum dalam

ketentuan Pasal 374 KUHP yang menjelaskan mengenai sanksi pidana

bagi pelaku tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh orang yang

penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja

atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui

bahwa Tuntutan Jaksa Penuntut umum yang menuntut pidana penjara

selama selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan jauh lebih ringan dari

apa yang ada oleh ketentuan dari Pasal 374 KUHP yaitu lima tahun

penjara, dengan kata lain tuntutan jaksa belum sesuai dengan apa yang

ada dalam Pasal 374 KUHP.

b. Pada tahap kedua penulis mengkaitkan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

dengan Putusan Hakim.

Pada tahap tuntutan Jaksa Penuntut Umum menjelaskan

mengenai isi tuntutan jaksa penuntut umum pada pokoknya mohon agar

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado untuk memeriksa dan

mengadili perkara ini serta menjatuhkan putusan dengan menyatakan

terdakwa Victor Albert Pelengkahu, terbukti secara sah dan

meyakinkan, telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Dakwaan Primair Pasal 374 KUHP serta menjatuhkan


84

hukuman terhadap Terdakwa Victor Albert Pelengkahu dengan pidana

penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama

terdakwa berada dalam tahanan sementara.

Sedangkan Putusan Hakim dalam perkara ini menyatakan

terdakwa Viktor Albert Palengkahu terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan berhubung karena

jabatan/pekerjaan “sebagaimana dakwaan Primair sehingga

menjatuhkan pidana kepada terdakwa Viktor Albert Palengkahu oleh

karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa tuntutan Jaksa

Penuntut Umum menuntut perbuatan terdakwa dengan pidana penjara

selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama terdakwa

berada dalam tahanan sementara, sedangkan Putusan Hakim

menjatuhkan pidana penjara selama selama 1 (satu) Tahundikurangi

masa penangkapan dan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa

serta menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dengan

putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, terdakwa dijatuhi

pidana lagi pada masa percobaan yang ditetapkan selama dua tahun.

Menurut penulis putusan Hakim dengan Tuntutan Jaksa

Penuntut berbeda dan tergolong putusan yang ringan. Hal tersebut

dikarenakan Hakim mempertimbangkan bahwa pemidanaan bukanlah

sebagai salah satu alat pembalasan sebagaimana yang dimaksud dalam


85

teori pemidanaan absolut, namun mendasarkan pada teori pemidanaan

relatif yang melihat bahwa pemidanaan bukanlah sebagai alat untuk

membalaskan perbuatan terdakwa melainkan untuk memperbaiki

terdakwa agar tidak melakukan tindak pidana lagi. Maka dapat

diketahui bahwa putusan hakim yang menjatuhkan pidana terhadap

terdakwa Viktor Albert Palengkahu dengan pidana penjara selama 1

(satu) tahun belum sesuai dengan ketentuan Pasal 374 KUHP.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 

A. Kesimpulan

1. Pengaturan tindak pidana penggelapan berhubung karena jabatan / pekerjaan

menurut KUHP sebagaimana diatur dalam Pasal 374 KUHP yang disebut juga

“Penggelapan Berat”. Adapun di dalamnya terdapat Unsur-unsur dari

“Penggelapan berat” itu sendiri antara lain ; Barang milik orang lain, Barang

dibawah kekuasaan si pelaku, dan pelaku menyalahgunakan kepercayaan yang

diberikan korban. Serta perbandingan ketentuan Pasal 374 KUHP dengan

Pasal 372 KUHP yang sama-sama merupakan tindak pidana penggelapan

namun digolongkan “penggelapan biasa“, yang dimana ada perbedaan unsur-

unsur penggelapan antara kedua Pasal tersebut sehingga adanya perbedaan

antara ancaman hukuman diantara kedua Pasal tersebut. Mengacu pada unsur-

unsur pada Pasal penggelapan tersebut di atas, jika orang tersebut lalai dan

bukan dengan sengaja, maka tidak memenuhi unsur yang harus dipenuhi

untuk dapat dijerat dengan Pasal penggelapan dan tidak dapat dikatakan

sebagai penggelapan. Dengan demikian seperti yang diterangkan diatas kedua

Pasal tersebut berhubungan namun pada Pasal 372 KUHP disebut dengan

”Penggelapan biasa” sedangkan pada Pasal 374 disebut dengan “penggelapan

berat”.

86
87

2. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan

berhubung karena jabatan / pekerjaan menurut KUHP dalam praktik

pengadilan putusan nomor 33.B/2015/PN.Mnd masih terlalu ringan bahkan

penggelapan itu sendiri dinilai kejahatan yang bisa di tolerir. Dalam

perkara nomor 33.B/2015/PN.MND, terpidana diberikan pidana bersyarat

dengan tidak menjalani hukuman pidana penjara itu sendiri sehingga dalam

kata lain pelaku bisa terbebas dari sanksi pidana dari tindak pidana

Penggelapan berhubung karena jabatan / pekerjaan yang diancam dengan

hukuman  maksimal 5 tahun penjara, dan dalam kasus ini, tuntutan jaksa

adalah 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan serta putusan hakim memberikan

pidana bersyarat. Yaitu pidana penjara selama satu tahun namun terpidana

tidak perlu dijalani kecuali dengan putusan hakim yang telah berkekuatan

hukum tetap terdakwa dijatuhi pidana lagi pada masa percobaan yang

ditetapkan selama 2 (dua) tahun, dinilai jauh berbeda dengan apa yang

telah diatur dalam KUHP khususnya dalam Pasal 374 KUHP. Mengenai

putusan Hakim dapat diketahui bahwa putusan yang dijatuhkan Hakim

kepada terdakwa jauh berbeda dengan apa yang dituntutkan Jaksa serta

ketentuan yang diatur dalam Pasal 374 KUHP.  

B. Saran

1. Mengenai Undang-undang yaitu untuk penerapan sanksi dalam kasus

pidana penggelapan sebaiknya ancaman pidana dilihat dari nilai kerugian


88

penggelapannya, dalam kata lain sebaiknya semakin tinggi nilai

penggelapan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, maka sebaiknya

semakin tinggi pula ancaman hukuman yang di terima, sedangkan semakin

rendah nilai penggelapan maka sebaiknya semakin rendah pula ancaman

hukuman yang dijatuhkan.

2. Mengenai putusan hakim sebaiknya hakim apabila menjatuhkan pidana

bersyarat dalam sebuah kasus seharusnya juga disertakan pembahasan

tentang pidana bersyarat yaitu di dalam Pasal 14 KUHP tentang pidana

bersyarat di dalam putusan tersebut disamping itu juga hakim harus

memperhatikan teori-teori tujuan pemidanaan itu sendiri. Putusan Hakim

juga seharusnya lebih sesuai dengan tuntutan jaksa.

Anda mungkin juga menyukai