Anda di halaman 1dari 9

IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…

Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309


Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)
http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris
ISSN ONLINE: 2745-8369

Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam


Hukum Perdata (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.
74/Pid.B/2019/Pn.Tbt Tertanggal 28 Mei 2019)

Juni Kristian Telaumbanua1, Sunarmi2, Madiasa Ablisar3, Mahmud Muliadi4


1,2,3,4Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara
E-mail: kristian.telaumbanua@yahoo.com (CA)

Abstrak
Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28 Mei 2019 tersebut
dimana terdakwa, didakwa karena melakukan perbuatan telat membayar tagihan setelah melakukan
pengambilan barang-barang milik PT. Agung Bumi Lestari dengan tunggakan sebesar Rp.
226.828.440.- yang diperjanjikan harus dibayar paling lambat setelah 30 hari sejak pengambilan barang.
Akibatnya, terdakwa harus menjalani hukuman 2 bulan penjara. Oleh karena itu, perlu dikaji mengenai
batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian dan
penerapan wanprestasi dan tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi
No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt.
Kata Kunci: Perjanjian, Wanprestasi dan Tindak Pidana Penggelapan

Abstract
Tebing Tinggi District Court Decision No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt dated May 28, 2019 where the
defendant was charged for having committed late payment of bills after taking goods belonging to PT.
Agung Bumi Lestari with arrears of Rp. 226,828,440.- which was agreed upon must be paid no later
than 30 days after taking the goods. As a result, the defendant had to serve 2 months in prison. Therefore,
it is necessary to study the boundaries that distinguish between default and the criminal act of
embezzlement in the agreement and the application of default and embezzlement in the decision of the
Tebing Tinggi District Court No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt.
Keywords: Agreement, Default and the Crime of Embezzlement

Cara Sitasi:
Telaumbanua, JK. (2021), “Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Perbuatan Wanprestasi Dalam Hukum Perdata
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/Pn.Tbt Tertanggal 28 Mei 2019)”, IURIS STUDIA: Jurnal
Kajian Hukum Vol . 2, No.2, Juni, Pages: 301-309.

A. Pendahuluan
Perbuatan wanprestasi merupakan bagian dari hukum perdata, sering sekali dikaitkan dengan
penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut
dapat dilihat dari putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt tertanggal 28
Mei 2019. Di dalam putusan tersebut terdakwa, didakwa karena melakukan perbuatan telat membayar
tagihan setelah melakukan pengambilan barang-barang milik PT. Agung Bumi Lestari dengan
tunggakan sebesar Rp. 226.828.440.- (dua ratus dua puluh enam juta delapan ratus dua puluh delapan
ribu dua ratus empat puluh rupiah) yang diperjanjikan harus dibayar paling lambat setelah 30 (tiga
puluh) hari sejak pengambilan barang. Akibatnya, terdakwa harus menjalani hukuman sebagaimana
tercantum di dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt, yakni 2 (dua)
bulan penjara. Padahal jika dilihat dalam bagian pertimbangan hakim terdapat penguraian yang
menunjukkan perbuatan terpidana sebenarnya bukan tindak pidana akan tetapi bagian wanprestasi,
yaitu:
1. Bahwa Terdakwa mengalami penunggakan pembayaran antara Desember 2017 sampai dengan
Maret 2018 barang-barang yang diambil oleh Terdakwa sesuai dengan 12 (dua belas) lembar
bon pengambilan barang (sales invoice) tanggal 27 Desember 2017 sampai dengan Maret 2018
sebagaimana dalam barang bukti hingga tunggakan tersebut senilai lebih dari Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah);

Page 301
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)

2. Bahwa terjadinya tunggakan pembayaran atau tidak dibayarkannya barang-barang yang diambil
terdakwa dai PT. Agung Bumi Lestari adalah karena uang yang sudah dibayarkan pelanggan
Terdakwa tidak Terdakwa setorkan ke perusahaan PT. Agung Bumi Lestari karena terpakai saat
orang tuanya sakit sehingga kemudian perusahaan melaporkan Terdakwa ke kepolisian;
3. Menimbang, bahwa saat ini Terdakwa sudah melunasi tunggakannya ke pihak Perusahaan PT.
Agung Bumi Lestari dan telah melakukan perdamaian dengan PT. Agung Bumi Lestari;

Merujuk uraian di atas maka dapat dilihat secara seksama terpidana pada dasarnya melakukan
wanprestasi namun telah dikenakan hukuman pidana. Kondisi tersebut jelas menggambarkan perbuatan
kriminalisasi sehingga pelaku wanprestasi dihukum pidana padahal secara nyata dapat diselesaikan
secara perdata.1 Hal tersebut menunjukkan tidak berjalannya asas ultimum remidium dalam penegakan
hukum di Indonesia. Adapun yang menjadi pokok pembahasan dalam penulisan ini adalah; Apakah
batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian?
Bagaimana penerapan wanprestasi dan tindak pidana penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri
Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt?.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Sesuai dengan jenis dan sifat penelitiannya,
sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal ilmiah, makalah dan artikel ilmiah yang dapat
memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.2 Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
penelitian kepustakaan (library research),3 dengan analisis data dilakukan secara kualitatif.4 Penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan masalahnya adalah dengan melakukan pendekatan hasil
kajian empiris teoritik dengan melihat berbagai pendapat para ahli, penulis dan kajian-kajian terhadap
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan persoalan berdasarkan asas-asas hukum dan
merumuskan definisi hukum.5

B. Pembahasan
1. Batasan Yang Membedakan Antara Wanprestasi Dengan Tindak Pidana Penggelapan
Dalam Perjanjian
Wanprestasi kemungkinan terjadi dikarena 2 (dua) hal pokok, yaitu: Karena kesalahan debitor dan
Karena keadaan memaksa (overmacht/force majure), sesuatu yang terjadi diluar kemampuan debitor,
debitor tidak bersalah. 6 Keadaan memaksa secara hukum tentunya tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban secara perdata walaupun untuk membuktikannya harus diajukan dipersidangan
atau melalui putusan pengadilan. Demikian kesalahan di dalam perjanjian untuk melihat wujud nyata
harus melalui sengketa dipengadilan atau tidak dengan menginventarisasi poin-poin pelanggaran yang
dilakukan oleh debitor. Artinya, timbulnya wanprestasi ini dapat terjadi karena kesengajaan dan
kelalaian. Wanprestasi yang timbul akibat dari kesalahan debitor, artinya debitor tidak melaksanakan
kewajiban kontraktual yang seharusnya ditunaikan.7

1 Kebijakan kriminalisasi ialah kebijakan untuk mengangkat/menetapkan/menunjuk suatu perbuatan yang semula tidak
merupakan pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/tindak kriminal). Tan Kamello, Kriminalisasi Perjanjian Kredit Bank,
Makalah Seminar Publik, Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013, hal. 4. Kebijakan
kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (socialpolicy) yang terdiri dari
kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social-welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan
masyarakat (social-defense policy). Syafruddin Kalo, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Tanah Di
Indonesia: Suatu Pemikiran :Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria Pada
Fakultas Hukum USU, (Medan: USU Press, 2006), hal. 2-3
2 Zainuddin dan Rahmat Ramadhani, “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online Mortgage Registration”, Jurnal

Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2, (2021): p. 244.


3 Rahmat Ramadhani, “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without Creditors' Permission”, IJRS:

International Journal Reglement & Society 1, No. 2, (2020): p. 33.


4 Jhonny Ibrahim, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media, 2005), hal. 393
5 Rahmat Ramadhani, “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”, SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi

1, No. 1, (2020): p. 2.
6 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 17
7
Kesalahan dalam wanprestasi adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi kreditor. Perbuatan berupa wanprestasi
tersebut menimbulkan kerugian terhadap kreditor, dan perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada debitor. Jika unsur
kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang menimbulkan kerugian pada diri kreditor dan dapat dipertanggungjawabkan
pada debitor. Kerugian yang diderita kreditor tersebut dapat berupa ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan kreditor, kerugian
yang menimpa harta benda milik kreditor, atau hilangnya keuntungan yang dharapkan. Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak
Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hal. 281

Page 302
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)

Wujud wanprestasi dikelompokkan kedalam 4 (empat) peristiwa, yaitu:8


a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali dimana hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa,
sebagai berikut: Kedai minuman menjual sejumlah minumannya secara online dimana ada
seseorang yang memesan selanjutnya dalam proses pengantaran akan dilakukan sejam
kemudian tetapi waktu yang dijanjikan lewat. Akibat hal tersebut penjual telah melakukan
wanprestasi, karena tidak bisa melakukan janji yang telah disanggupinya.
b. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru dimana hal tersebut dapat dilihat dari
peristiwa, sebagai berikut: seorang pembeli memesan celana melalui online. Pada saat
memesan, pembeli melihat contoh bentuk celana yang ditawarkan di layar monitornya lalu
pembeli memesan celana tersebut. Selanjutnya, celana dikirim sampai ke tempat pembeli,
celana tidak sesuai seperti pada gambar. Karena itu penjual dikatakan wanprestasi karena tidak
melaksanakan prestasinya sebagaimana mestinya.
c. Debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya dimana hal tersebut dapat dilihat
dari peristiwa, sebagai berikut: seorang pembeli memesan alat pancing dari toko online. Pesanan
tersebut harusnya sampai dalam waktu 4 (empat) hari, tetapi ternyata pesanan tersebut baru
sampai pada hari ke-10 (kesepuluh). Akibat hal tersebut penjual dikatakan wanprestasi tetapi
karena barang yang dipesanmasih dapat dipergunakan maka wanprestasi ini digolongkan
wanprestasi yang terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan dimana hal tersebut dapat
dilihat dari peristiwa, sebagai berikut: penjual yang berkewajiban untuk tidak menyebarkan ke
khalayak umum tentang identitas dan data diri pembeli, tetapi penjual telah melakukan hal
tersebut. Oleh karena itu, penjual dikatakan wanprestasi.

Selanjutnya, kondisi wanprestasi di atas sering sekali dialihkan kedalam perkara pidana dimana
salah satunya ialah penggelapan. Tindak pidana penggelapan yang diatur pada KUHP yang termuat di
dalam 6 (enam) pasal untuk unsur tindak pidananya mengacu pada Pasal 372 KUHP. Pasal 372 KUHP
pada hakikatnya memiliki kesamaan dengan pasal tindak pidana lainnya, yakni memiliki unsur subjektif
dan unsur objektif.9 Pasal 372 KUHP menunjukkan subjek hukum dengan kalimat “barang siapa”. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Andi Hamzah, yakni subjek hukum terwujud dalam kalimat “barang
siapa” dan “setiap orang”.10 Unsur-unsur tindak pidana Pasal 372 KUHP, yaitu:
a. Unsur subjektif dapat dilihat melalui kata, sebagai berikut:
1) Kesengajaan yang terdapat dalam 372 KUHP dapat dikategorikan sebagai sengaja dengan
maksud (oogmerk). Sengaja dengan maksud (oogmerk) memiliki makna si pelaku benar-
benar mengkehendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman
hukum pidana (constitutief gevolg).11 Artinya, jika dikaitkan dengan Pasal 372 maka barang
siapa atau orang dikatakan sengaja dengan maksud disebabkan orang menghendaki barang
yang dikuasainya (tanpa melawan hukum) tetapi bukan miliknya menjadi milik pribadi.
Oleh karena itu, orang memiliki kehendak dan membayangkan perbuatan pelaku, yakni
orang menghendaki barang yang dikuasainya tanpa melawan hukum menjadi milik
pribadi. 12 Selanjutnya, bayangan kesengajaan ini ada karena pelaku pada waktu
menghendaki barang yang dikuasainya tanpa melawan hukum menjadi milik pribadi,
mempunyai bayangan atau gambaran dalam pikirannya untuk menjadikan barang yang
dikuasai bukan milik sendiri menjadi milik pribadi sebagaimana yang terbayang tadi. Oleh
karena itu, pasal ini termasuk pada delik formil yang mana tidak perlu melihat akibat dari
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

8 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1963), hal. 45


9 Unsur subjektif merupakan kemampuan bertanggungjawab dan kesalahan atau schuld dan unsur objektif merupakan
perbuatan, akibat dan keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang. Tongat (II),
Hukum Pidana Materiil, (Malang, UMM Press, 2015), hal. 45
10 Kata orang atau kalimat barang siapa dan setiap orang merupakan golongan subjek hukum yang dikenal secara umum, yakni

orang (persoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Zaeni Asyhadie & Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2016), hal. 61
11 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat

Pemidanaan Disertai Teori-Teori Pengantar Dan Beberapa Komentar, (Yogyakarta: Rangkang Education PuKAP Indonesia,
2012), hal. 78
12 Ibid, hal. 79

Page 303
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)

2) Melawan hukum; Hukum pidana sebagai salah satu hukum publik mengenal istilah
perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dalam ruang lingkup pidana dikenal
dengan istilah wedderechtelijkheid. Perbuatan melawan hukum dibagi menjadi 2 (dua),
yaitu: ajaran melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid) dan ajaran melawan
hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid).13
Awalnya, menurut ajaran melawan hukum formil, suatu perbuatan dianggap melawan
hukum (wederrechtelijk), apabila perbuatan tersebut telah memenuhi semua unsur yang
terdapat dalam rumusan dari suatu delik menurut undang-undang. Sedangkan menurut
paham ajaran hukum materiil, suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum
(wederrechtelijk), atau tidak, bukan hanya harus ditinjau kesesuaiannya dengan ketentuan-
ketentuan hukum tertulis, melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas umum hukum
yang tidak tertulis. Namun, telah terjadi pergeseran dalam literatur hukum dari yang tadinya
mengikuti literatur hukum Belanda, dimana ajaran melawan hukum secara materiil tidak
dimaknai dengan fungsi positifnya, yaitu hanya digunakan untuk membatasi keberlakuan
rumusan delik apabila terdapat alasan pembenar berdasarkan keadaan nyata kasus terkait,
menjadi melawan hukum secara materiil dengan fungsi positif.14
Merujuk uraian di atas maka Pasal 372 KUHP merupakan perbuatan melawan hukum formil
(formele wederrechtelijkheid).

b. Unsur objektif dapat dilihat dari beberapa kalimat dibawah ini, sebagai berikut:
1) Memiliki dimana kata tersebut di dalam Pasal 372 KUHP mengandung arti sebagai
menguasai suatu benda bertentangan dengan sifat dari hak yang memiliki atas benda itu
dimana tidak selalu mengandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi. 15 Seseorang yang
memiliki sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 372 KUHP disebut petindak. Petindak
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifat dari hak atas barang yang
dikuasainya. Orang yang menguasai benda tersebut, tidak berhak untuk melakukan
perbuatan memiliki hanya sebatas menguasai saja sehingga apabila terdapat
penyalahgunaan maka tidak dibenarkan untuk melebihi dari hak yang dipunyainya tersebut.
Artinya, perbuatan memiliki ialah perbuatan terhadap suatu benda oleh orang yang seolah-
olah pemiliknya, perbuatan mana bertentangan dengan sifat dari sifat hak yang ada padanya
atas benda tersebut.16
2) Benda; Benda yang dimaksud disini ialah benda bergerak dan berwujud saja. Hal tersebut
senada dengan Pendapat Adami Chazawi yang mengatakan: 17 “Apabila ia hendak
melakukan perbuatan terhadap benda itu dia dapat melakukannya secara langsung tanpa
harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda
berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak
berwujud dan tidak tetap”.
3) Sebagian atau seluruhnya milik orang lain; Benda yang diambil haruslah barang/benda yang
dimiliki baik seluruhnya ataupun sebagian oleh orang lain. Jadi harus ada pemiliknya,
barang atau benda yang tidak bertuan atau tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek
penggelapan. Dengan demikian dalam tindak pidana penggelapan, tidak dipersyaratkan
barang yang dicuri itu milik orang lain secara keseluruhan. Penggelapan tetap ada meskipun
itu hanya sebagian yang dimiliki oleh orang lain.18
4) Ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, Van Bemmelen dan Van Hattum
mengatakan:19 “Untuk dapat disebut yang ada padanya itu tidak perlu bahwa orang harus
menguasai sendiri benda tersebut secara nyata. Dapat saja orang mendapat penguasaan
sendiri benda tersebut secara nyata. Dapat saja orang mendapat penguasaan atas suatu benda
melalui orang lain. Barang siapa harus menyimpan suatu benda, ia dapat menyerahkannya

13 Shinta Agustian et.al, Penjelasan Unsur Melawan Hukum, (Jakarta: Judicial Sector Support Program, 2016), hal. 21
14 Ibid
15
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. No.69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959 dan Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung No. 92 K/Kr/1955 tanggal 7 April 1956
16 Adami Chazawi (II), Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Malang: Bayumedia, 2003), hal. 73
17 Ibid, hal. 77
18 Tongat (II), Op.Cit, hal. 74
19 P.AF Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 131

Page 304
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)

kepada orang lain untuk menyimpan benda tersebut. Jika kemudian telah memerintahkan
orang lain untuk menjualnya maka ia telah melakukan suatu penggelapan”.

Merujuk penguraian di atas tentunya antara penggelapan dan wanprestasi dalam sebuah perjanjian
tidak dapat dikatakan sama. Artinya, terjadinya wanprestasi dalam perjanjian merupakan bagian dari
hukum perdata sedangkan penggelapan dalam perjanjian sudah masuh dalam hukum pidana. Namun,
perlu menjadi perhatian dalam menerapkan hukum pidana dalam ranah keperdataan (perjanjian) maka
yang lebih diutamakan tetap hukum perdata untuk menyelesaikan persoalan hukumnya. Hal tersebut
karena sifat hukum pidana yang ultimum remidium. Persoalan ultimum remidium yang melekat pada
hukum pidana disebabkan oleh beberapa hal atau alasan yang merujuk pada pendapat Yoserwan dan
P.A.F. Lamintang, yaitu:20
“Mengingat fungsi dan karakteristik hukum pidana yang demikian, keberadaan norma hukum
pidana baru diperlukan bilamana norma hukum lainnya tidak dapat atau tidak berfungsi untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Norma hukum pidana dipandang sebagai upaya atau sarana
terakhir untuk melindungi kepentingan bersama. Fungsi hukum pidana yang demikian disebut ultimum
remidium. Doktrin ultimum remidium dalam hukum pidana selain dilatarbelakangi oleh fungsi hukum
pidana, juga erat dengan keberadaan sanksi pidana. Mengingat sanksi pidana biasanya sangat keras dan
mendatangkan penderitaan maka dia akan sangat terkait dengan kepentingan dan hak-hak individu atau
hak asasi manusia. Keberadaan sanksi pidana yang sangat keras dan mendatangkan penderitaan tersebut
menempatkan hukum pidana pada 2 (dua) sisi atau fungsi yang berhadap-hadapan. Disatu segi dia
bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat yang juga kepentingan individu, sedangkan
dipihak lain sanksi pidana juga dapat merugikan kepentingan individu. Fungsi hukum pidana yang
demikian dikatakan sebagai dua sisi mata pisau yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Oleh
sebab itu, penetapan dan pelaksanaan hukum pidana baru diperlukan bila kepentingan umum benar-
benar menghendaki. Penetapan dan penerapan sanksi pidana baru dilakukan setelah sanksi lain tidak
dapat berfungsi. Dalam ilmu hukum pidana, fungsi yang demikian disebut dengan fungsi sekunder dan
subsider dari hukum pidana (secondary or subsidiary function)”.
Dengan demikian, perbedaan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam
perjanjian ialah perbuatan wanprestasi dalam perjanjian termasuk kategori kelalaian debitor dalam
memenuhi prestasi sesuai kesepakatan dengan kreditur baik debitur tidak memenuhi prestasi sama
sekali, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak
tepat pada waktunya atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 21
Selanjutnya, tindak pidana penggelapan dalam perjanjian ialah terpenuhinya unsur niat (mens rea) dan
unsur perbuatan tindak pidana penggelapan (actus reus).22 Artinya, unsur mens rea/niat dalam tindak
pidana penggelapan berupa sengaja dengan maksud (oogmerk) dan perbuatan melawan hukum formil
(formele wederrechtelijkheid) harus terpenuhi disertai dengan terpenuhinya unsur actus reus/perbuatan
dalam tindak pidana penggelapan, yakni perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau
keseluruhan milik orang lain dan yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Dengan
demikian, bila actus reus dan mens rea dalam tindak pidana penggelapan dapat ditemukan dalam
perjanjian maka dapat dilakukan penegakan hukum pidana. Misalnya, Si A dan si B melakukan
perjanjian penitipan barang dimana si B menjadi pihak atau tempat dititipkan barang milik si A.
Selanjutnya, si B memiliki niat untuk memiliki barang tersebut dimana si B mengatakan kepada si A
barang yang dititipkan kepadanya telah hilang karena di curi oleh maling. Selanjutnya, diketahui si B
menjual sebuah barang kepada si C dimana barang tersebut merupakan barang milik si A.
Ilustrasi tersebut di atas menunjukkan si B melakukan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian
yang terjadi antara dirinya (si B) dengan Si A. Tindak pidana penggelapan dalam perjanjian yang
dilakukan si B dalam ilustrasi di atas dikarenakan adanya unsur mens rea/niat dalam tindak pidana
penggelapan berupa sengaja dengan maksud (oogmerk) berupa si B menghendaki barang yang dititipkan
kepadanya tanpa melawan hukum menjadi milik pribadi dan perbuatan melawan hukum formil (formele

20 Sondy Raharjanto, Analisis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3135/Pid.B/PN.Mdn,
(Medan: Tesis (S2) Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU, 2019), hal. 94
21 Argumentasi itu berdasarkan referensi yang ditemukan, pada umumnya ketentuan Buku III KUH Perdata tentang perikatan

diterjemahkan oleh para ahli hukum bahwa kesalahan dalam melaksanakan perjanjian adalah kelalaian bukan kesengajaan.
Sugirhot Marbun, “Perbedaan Wanprestasi Dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian”, Dalam USU Law Journal Vol.
3 No. 2, Agustus 2015, (Medan: Pasca Sarjana S2 Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU), hal. 132
22 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 35

Page 305
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)

wederrechtelijkheid) berupa tidak adanya alasan pembenar untuk menghapus pidana yang dilakukan si
B dan actus reus/perbuatan dalam tindak pidana penggelapan, yakni perbuatan memiliki berupa si B
memiliki barang si A hanya terbatas pada penguasaan saja bukan berhak untuk menggunakan barang
tersebut, sesuatu benda berupa barang, yang sebagian atau keseluruhan milik orang lain berupa barang
milik si A dan yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan berupa barang yang dikuasai
si B merupakan barang milik si A yang dikuasainya dikarena perjanjian penitipan barang antar si A
dengan si B.
2. Penerapan Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penggelapan Dalam Putusan Pengadilan
Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/Pn.Tbt
Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt memiliki kesamaan peristiwa
dengan peristiwa yang terdapat didalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1868K/Pid/2012
mengenai penggunaan bilyet giro kosong untuk pembayaran pembelian barang yang mana pembayaran
awal telah dilakukan secara patut. Uraian peristiwa yang terkandung di dalam yurisprudensi tersebut,
yakni:
“Awalnya pada hari Senin tanggal 20 Desember 2010, Yonathan mendatangani CV. Mitra Tungal
Anugerah Cabang Palu dan melakukan pembelian barang-barang spare part sepeda motor roda dua
merk Aspira dan Federal Parts untuk toko “Gabriel Motor” milik Yonathan sehingga Agung Joko
Purnomo, SPd menyerahkan barang-barang yang diminta oleh Yonathan melalui bagian marketing,
yakni Basuki dengan dibuatkan Nota Picking (picking slip) Nomor: 2010.3275 dengan jumlah
sebesar Rp 19.541.160,00 (sembilan belas juta lima ratus empat puluh satu ribu seratus enam puluh
rupiah) yang jatuh tempo pada tanggal 19 Januari 2011. Senin tanggal 27 Desember 2011,
Yonathan kembali melakukan pembelian barang-barang spare part sepeda motor roda dua merk
Aspira dan Federal Parts untuk toko “Gabriel Motor” milik Yonathan sehingga Agung Joko
Purnomo, SPd menyerahkan barang-barang yang diminta oleh Terdakwa melalui bagian marketing,
yakni Basuki dengan dibuatkan Nota Picking (picking slip) Nomor: 2010 3336 tanggal 27
Desember 2010 dengan jumlah sebesar Rp 27.854.230,00 (dua puluh tujuh juta delapan ratus lima
puluh empat ribu dua ratus tiga puluh rupiah) yang jatuh tempo pada tanggal 26 Januari 2011 dan
untuk pembayarannya. Selanjutnya, pada hari Senin tanggal 20 Januari 2011, Yonathan kembali
melakukan pembelian barang-barang spare part sepeda motor roda dua merk Aspira dan Federal
Parts untuk toko “Gabriel Motor” milik Yonathan sehingga Agung Joko Purnomo, SPd
menyerahkan barang-barang yang diminta oleh Yonathan melalui bagian marketing, yakni Basuki
dengan dibuatkan Nota Picking (picking slip) Nomor: 2011 205 tanggal 20 Januari 2011 dengan
jumlah sebesar Rp 8.322.450,00 (delapan juta tiga ruatus dua puluh dua ribu empat ratus lima puluh
rupiah) yang jatuh tempo pada tanggal 19 Februari 2011. Pada hari Jumat tanggal 04 Februari 2011,
Yonathan kembali melakukan pembelian barang-barang spare part sepeda motor roda dua merk
Aspira dan Federal Parts untuk toko “Gabriel Motor” milik Yonathan sehingga Agung Joko
Purnomo, SPd menyerahkan barang-barang yang diminta oleh Yonathan melalui bagian marketing,
yakni Basuki dengan dibuatkan Nota Picking (picking slip) Nomor: 2011 172 tanggal 04 Februari
2011 dengan jumlah sebesar Rp 5.540.540,00 (lima juta lima ratus empat puluh ribu lima ratus
empat puluh rupiah) dan Nota Picking (Picking Slip) Nomor: 2011.430 tanggal 04 Februari 2011
dengan jumlah sebesar Rp 11.215.770,00 (sebelas juta dua ratus lima belas ribu tujuh ratus tujuh
puluh rupiah) yang jatuh tempo pada tanggal 06 Maret 2011. Setelah barang-barang spare part
yang diambil Yonathan, berhasil dijual kepada pembeli di tersebut toko “Gabriel MotorPalu”,
Yonathan menggunakan uang hasil penjualan barang-barang tersebut sebagai modal untuk
membeli barang-barang spare part lain di toko yang lain tanpa sepengetahuan CV. Mitra Tunggal
Anugerah Cabang Palu sehingga pada saat Nota Picking atas barang-barang yang diambil Yonathan
sampai pada tanggal jatuh tempo, Yonathan menggunakan bilyet giro kosong untuk menutupi
tagihan atas barang-barang yang diambilnya di CV. Mitra Tunggal Anugerah Cabang Palu hingga
akhirnya ketahuan oleh pihak CV. Mitra Tunggal Anugerah Cabang Palu pada saat dilakukan
pengajuan pencairan bilyet giro di Bank Mandiri Cabang Palu pada tanggal 21 September 2011.
Akibat perbuatan Terdakwa tersebut, Febrianto, S.Si selaku pimpinan CV. Mitra Tunggal
Anugerah Cabang Palu mengalami kerugian sebesar Rp 70.264.150,00 (tujuh puluh juta dua ratus
enam puluh empat ribu seratus lima puluh rupiah)”.

Page 306
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)

Majelis hakim agung memberikan pertimbangan hukum, sebagai berikut:


“Terdakwa telah melakukan perbuatan membeli spare part motor roda dua merk Aspira dan
Federal Parts untuk toko Terdakwa Gabriel Motor, Pembelian telah berlangsung beberapa kali
antara tahun 2010-2011 yang pembayarannya melalui Bilyet Giro Bank Mandiri Cabang Palu,
pembelian tersebut telah mencapai Rp 853.000.000,00, tidak ternyata sisa hutang Rp.
70.000.000,00 tidak akan dibayar Terdakwa dengan menguasai spare part tersebut tetapi karena
Terdakwa kesulitan keuangan sehingga sisa hutang tersebut adalah berupa wanprestasi dari
Terdakwa dalam bidang hukum keperdataan, bukan tunduk pada Pasal 372 atau Pasal 378 KUHP.
Oleh karena itu harus diselesaikan melalui peradilan perdata bukan peradilan pidana”.
Pertimbangan majelis hakim di atas menguatkan putusan majelis hakim tingkat pertama, yakni
Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum. Hal tersebut seharusnya menjadi rujukan atau perhatian
majelis hakim pada putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt dimana
peristiwa serupa dan letak perbedaannya dalam putusan tersebut terpidana pada saat laporan polisi
dilakukan kreditur maka terpidana melunasi utang/prestasi yang belum dibayar. Namun, demikian
kondisi hakim berpendapat dapat dihukumnya persoalan perdata di dalam ranah pidana tidak dapat
dipersalahkan. Hal itu disebabkan karena sering terjadi atau tersinggungnya di dalam persoalan perdata
sebuah aspek pidana. Hal tersebut sebagaimana pendapat hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi Nelly
Rakhmasuri Lubis, sebagai berikut:23 “Kasus perdata tidak akan bisa berubah menjadi sebuah kasus
pidana. Bila dalam proses tersebut terjadi perubahan kasus perdata menjadi pidana dikarenakan ada
ditemukan unsur-unsur pidana”.
Tanty Helen Manalu hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi mengatakan, sebagai berikut:24 “Jika
di dalam sebuah persoalan hukum muncul ruang perdata dan pidana maka sebaiknya diselesaikan
terlebih dahulu ranah perdata yang mana kemungkinan dapat menghapus pidana. Jika, ranah pidana
yang diselesaikan terlebih dahulu maka seharusnya hakim memberikan pertimbangan yang maksimal”.
Kemudian, untuk melihat hubungan keperdataan yang coba dikriminalisasi dapat pula dilihat dalam
putusan pengadilan Medan No. 440/Pid.B/2019/PN.Mdn jo Putusan Mahkamah Agung No. 1204
K/PID/2019 dimana terdakwa dituntut jaksa penuntut umum sesuai Pasal 372 KUHP dimana terhadap
tuntutan jaksa penuntut umum tersebut majelis hakim menjatuhkan putusan pada intinya berupa
melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslagh Van Alle rechtsvervolging) dan dikuatkan
oleh putusan Mahkamah Agung. Hal tersebut terjadi karena hubungan hukum yang terjalin antara
pelapor dengan terdakwa ialah hubungan jual beli barang tanpa perjanjian tertulis dimana terdakwa
belum bisa melunasi pembayaran namun telah melakukan pencicilan. Atas pencicilan utang yang
dilakukan oleh terdakwa maka hakim beranggapan peristiwa penggelapan yang dituduhkan jaksa
terdapat alasan penghapus pidana. Oleh karena itu, hakim menjatuhkan putusan onslagh Van Alle
rechtsvervolging.
Selanjutnya, jika diperhatikan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 531K/Pid/1984 yang
menyatakan: “Dasar kepemilikan dari saksi pengadu dalam perkara ini adalah surat perjanjian tanggal
30 Januari 1979 sehingga persoalan ini seharusnya diselesaikan berdasarkan surat perjanjian tersebut.
Kalau saksi merasa dirugikan dapatlah ia minta agar perjanjian dibatalkan dengan minta ganti kerugian”.
Kondisi di atas dipertegas oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 129K/Pid/2015 yang
menerangkan dimana jika perbuatan yang dilandasi oleh hubungan keperdataan harus diselesaikan
secara perdata bukan dikenakan Pasal 372 KUHP atau 378 KUHP. Hal tersebut dapat dilihat melalui
petikan pertimbangan hukum dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 129K/Pid/2015, yaitu:
“Putusan Judex Facti yang menyatakan Terdakwa terbukti melakukan penggelapan sebagaimana
diatur dalam Pasal 372 KUHP sebagaimana dalam dakwaan Kedua Jaksa/Penuntut Umum tetapi
perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana dan karena itu melepaskan Terdakwa dari
segala tuntutan hukum dibuat berdasarkan pertimbangan hukum yang benar. Hubungan hukum
antara Terdakwa dan pelapor/korban adalah hubungan hukum keperdataan, jual beli tas, dimana

23 Wawancara dengan hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi Nelly Rakhmasuri Lubis tanggal 30 Juli 2020
24 Wawancara dengan hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi Tanty Helen Manalu tanggal 30 Juli 2020

Page 307
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)

Terdakwa belum menyerahkan tas yang dipesan pelapor karena Terdakwa sudah mentransfer
kepada suppliernya tetapi barang juga belum dikirim”.
Petikan kaidah hukum di atas menunjukkan perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan
tetapi suatu kasus perdata. Selanjutnya, jika dikaitkan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No.
74/Pid.B/2019/PN.Tbt dengan yurisprudensi di atas maka majelis hakim seharusnya menjadi rujukan
yang terurai dalam yurisprudensi karena perbuatan terpidana sangat mencerminkan persoalan
keperdataan dan sudah selesai karena adanya perdamaian yang dibayarkan sebagai bentuk pelunasan
sisa pembayaran yang diminta saksi korban. Namun, bukan tidak ada persoalan perdata yang dihukum
pidana penggelapan. Hal tersebut tercantum di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.
972K/Pid/2000 tertanggal 30 November 2000 yang memuat persoalan sewa-menyewa gudang yang
merupakan persoalan perdata dan berakhir pada penghukuman secara pidana.
C. Penutup
Batasan yang membedakan antara wanprestasi dengan tindak pidana penggelapan dalam perjanjian
ialah perbuatan wanprestasi dalam perjanjian baik berupa kelalaian debitor dalam memenuhi prestasi
sesuai kesepakatan dengan kreditur berupa debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, debitur
memenuhi prestasi tetapi tidak baik atau keliru, debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada
waktunya atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Tindak pidana
penggelapan dalam perjanjian ialah unsur mens rea/niat dalam tindak pidana penggelapan berupa
sengaja dengan maksud (oogmerk) dan perbuatan melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid)
harus terpenuhi disertai dengan terpenuhinya unsur actus reus/perbuatan dalam tindak pidana
penggelapan, yakni perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau keseluruhan milik orang lain
dan yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Penerapan wanprestasi dan tindak pidana
penggelapan dalam putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt dimana dalam
putusan tersebut keliru dalam penjatuhan putusan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan
dimana seharusnya terpidana dijatuhi putusan bebas.

Daftar Pustaka
Agustian, Shinta et.al, Penjelasan Unsur Melawan Hukum, Jakarta: Judicial Sector Support Program,
2016.
Asyhadie, Zaeni & Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016.
Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Malang: Bayumedia, 2003.
Farid, A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Ibrahim, Jhonny, Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya: Bayu Media, 2005.
Ilyas, Amir, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
Sebagai Syarat Pemidanaan Disertai Teori-Teori Pengantar Dan Beberapa Komentar,
Yogyakarta: Rangkang Education PuKAP Indonesia, 2012.
Kalo, Syafruddin, Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pendaftaran Hak-Hak Tanah Di Indonesia: Suatu
Pemikiran :Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Agraria
Pada Fakultas Hukum USU, Medan: USU Press, 2006.
Kamello, Tan, Kriminalisasi Perjanjian Kredit Bank, Makalah Seminar Publik, Diselenggarakan Oleh
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2013.
Khairandy, Ridwan, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, Yogyakarta: UII Press,
2014.
Lamintang, P.AF, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Marbun, Sugirhot, “Perbedaan Wanprestasi Dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian”, Dalam
USU Law Journal Vol. 3 No. 2, Agustus 2015, Medan: Pasca Sarjana S2 Ilmu Hukum Fakultas
Hukum USU.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990.
Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi No. 74/Pid.B/2019/PN.Tbt
Raharjanto, Sondy, Analisis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan No.
3135/Pid.B/PN.Mdn, Medan: Tesis (S2) Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum USU, 2019.
Ramadhani, Rahmat. (2020). “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without
Creditors' Permission”, IJRS: International Journal Reglement & Society 1, No. 2.

Page 308
IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Tuntutan Tindak Pidana Penggelapan Terhadap…
Volume 2 Nomor 2, Juni 2021: Page 301-309 (Juni Kristian Telaumbanua, dkk.)

Ramadhani, Rahmat. (2020). “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”,
SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi 1, No. 1.
Subekti, R., Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1963.
Tongat, Hukum Pidana Materiil, Malang, UMM Press, 2015.
Wawancara dengan hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi Nelly Rakhmasuri Lubis tanggal 30 Juli
2020
Wawancara dengan hakim pengadilan negeri Tebing Tinggi Tanty Helen Manalu tanggal 30 Juli 2020
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 92 K/Kr/1955 tanggal 7 April 1956
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. No.69 K/Kr/1959 tanggal 11 Agustus 1959
Zainuddin dan Rahmat Ramadhani. (2021). “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online
Mortgage Registration”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2.

Page 309

Anda mungkin juga menyukai