Anda di halaman 1dari 9

JDA : JOURNAL DELIK ADPERTISI

https://jurnal.adpertisi.or.id/index.php/jda
Volume : 2 Nomor 1 – Januari 2023, Hal 11-19
e-ISSN : 2961-7685

EKSEKUSI UANG PENGGANTI DALAM UPAYA PENGEMBALIAN


KERUGIAN KEUANGAN NEGARA TERHADAP TINDAK PIDANA
KORUPSI
Nasrah Hasmiati Attas

Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mega Buana Palopo,


Email: nasrah.hasmiati@gmail.com

diterima : 25-12-2022; disetujui: 20-01-2023; Dipublikasi : 31-01-2023)

Abstrak
Jurnal ini bertujuan untuk mengetahui tentang Eksekusi Uang Pengganti dalam Upaya
pengembalian Kerugian Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui sejauh mana implementasi eksekusi uang pengganti dalam pengembalian kerugian Negara
pada tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Limboto. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan yuridis empiris. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan
menggunakan data primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan data yakni wawancara dan kuesioner.
Populasi penelitian ini adalah Keseluruhan pegawai Kejaksaan Negeri Limboto. Sampel dalam penelitian ini
ditentukan sebanyak 4 orang responden dengan menggunakan teknik Purposive sampling. Hasil Penelitian
ini menunjukkan bahwa Implementasi eksekusi uang pengganti dalam pengembalian kerugian negara di
kejaksaan Negeri Limboto telah berjalan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Namun, dalam hal eksekusi uang pengganti ini, dikarenakan hanya merupakan pidana
tambahan maka para terpidana lebih memilih opsi kedua yakni menjalani hukuman penjara tambahan
daripada mengganti kerugian negara, hal ini mengakibatkan tidak tertutupinya kerugian negara atas kasus-
kasus tindak pidana korupsi yang terjadi.

Kata Kunci : eksekusi, uang pengganti, Korupsi (Tipikor)

PENDAHULUAN

Permasalahan seputar eksekusi uang pengganti pada kasus tindak pidana korupsi ternyata
tidak berhenti hanya pada soal hitung-menghitung, ada persoalan eksekusi yang juga pada prakteknya
memunculkan polemik dan tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Permasalahan yang dimaksud adalah mengenai pembebanan uang pengganti dalam Tindak
pidana korupsi dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ada 2 (dua) model pembebanan yang selama ini
diterapkan oleh Hakim untuk memutuskan perkara korupsi. Model pertama adalah pembebanan
tanggung-renteng dan model yang kedua adalah pembebanan secara proporsional.
Tanggung-renteng (tanggung-menanggung bersama), yang lebih dikenal ranah hukum
Tindak pidana korupsi, adalah cara terjadinya suatu perikatan dengan jumlah subjek yang banyak.
Tanggung renteng dalam konteks pemidanaan uang pengganti dapat dikategorikan sebagai tanggung
renteng pasif, dimana negara dalam hal ini berkedudukan sebagai kreditur dan para terdakwa sebagai
debitur. Artinya apabila negara melalui majelis hakim telah menjatuhkan pidana uang pengganti pada
tanggung renteng kepada lebih dari satu terdakwa maka tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban
untuk memenuhi hukuman tersebut. Di mana apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi seluruh
jumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban berdakwa lain gugur secara otomatis.

11
JDA, Delik Journal ADPERTISI, Vol. 2 No. 1 Januari 2023

Dengan model tersebut, majelis hakim dalam putusannya hanya menyatakan para terdakwa
dibebani pidana uang pengganti sekian rupiah dalam jangka waktu tertentu. Majelis hakim (negara)
sama sekali tidak memikirkan Bagaimana cara terdakwa mengumpulkan sejumlah uang untuk
pengganti tersebut, apakah itu ditanggung sendiri oleh salah satu terdakwa atau urunan dengan porsi
tertentu. Sesuai dengan spirit yang melatarbelakangi konsep pemidanaan uang pengganti, negara
hanya peduli bagaimana uang negara yang telah dirugikan karena Tindak pidana korupsi dapat
kembali.
Model kedua, pengeluaran secara profesional adalah pembebanan pidana eksekusi uang
pengganti dimana majelis hakim dalam amarnya secara definitif menentukan beberapa besar beban
masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran
Hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam Tindak pidana korupsi terkait.
Pada prakteknya, kedua model tersebut di atas diterapkan secara acak tergantung penafsiran
Hakim. Ketidakseragaman Ini kemungkinan besar terjadi karena tidak jelasnya aturan yang ada.
Bahwa permasalahan dalam eksekusi uang pengganti di kejaksaan negeri Gorontalo Utara bukan
hanya terhadap putusan pengadilan yang menghukum para terdakwa untuk membayar uang pengganti
secara tanggung renteng namun banyak permasalahan eksekusi uang pengganti diantaranya adalah
terpidana tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terpidana tidak diketahui
domisilinya dan lain-lain.
Uraian-uraian di atas, merupakan suatu uraian tentang uang pengganti yang diterapkan oleh
pihak peradilan dalam memutus perkara korupsi, akan di peradilan kan secara profesional untuk
mendapatkan uang pengganti sesuai dengan besarnya uang hasil korupsi yang dilakukan oleh
koruptor. Pembebanan uang pengganti secara tanggung renteng terhadap para koruptor. Dalam
praktiknya Jaksa selaku eksekutor mengalami berbagai hambatan .Oleh karena itu maka adanya suatu
kajian hukum memberikan penjelasan mengenai eksekusi uang pengganti, sehingga penulis tertarik
meneliti dengan memilih judul: Eksekusi Uang Pengganti dalam Upaya pengembalian Kerugian
Keuangan Negara Terhadap Tindak Pidana Korupsi.

METODE

Objek dari penelitian ini adalah Pelaksanaan eksekusi uang pengganti dalam hal tindak pidana korupsi,
dengan keseluruhan pegawai di Kejaksaan Negeri Limboto sebagai populasinya. Dalam proses
pengambilan sampel menggunakan cara purposive sampling (teknik non-random sampling) yaitu
dengan menetapkan sampel sebanyak 4 responden dari target populasi penelitian ini. (Said Sampara.
2016 : 86) maka ditetapkanlah sampel sebanyak 4 orang responden dari target penelitian ini, yakni
pihak kejaksaan 4 orang. Kemudian teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini yakni
analisis kualitatif yaitu dengan menguraikan, menjelaskan dan menggambarkan sesuai dengan
permasalahan yang erat dengan penelitian ini.

HASIL

Tabel 1. Rekapitulasi Perkara Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Negeri Limboto Priode Tahun 2013-
2017
No. TAHUN JUMLAH PERKARA
1. 2013 4
2. 2014 3
3. 2015 3
4. 2016 1
5 2017 4
Sumber data : Kejaksaan Negeri Limboto

Dari data yang diperoleh, perkara tindak pidana korupsi yang diproses di Kejaksaan Negeri Limboto
pada tahun 2016 sebanyak 1 kasus, lebih sedikit dari tahun 2013 dan 2017 sebanyak 4 kasus.

12
JDA, Delik Journal ADPERTISI, Vol. 2 No. 1 Januari 2023

Tabel 2. Berkas Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Kejaksaan Negeri Limboto


No Nama Nomor Perkara Putusan

1 NH 15/Pid.Sus/Tipikor/20 Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa


15/PN.GTLO dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun
bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah). Membayar uang
pengganti sebesar Rp.49.374.000,- dengan
ketentuan 1 (bulan) tidak membayar uang
pengganti maka akan dikenakan hukuman
penjara selama 6 bulan serta semua aset dari
tindak pidana korupsi di sita.

2. WU Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa


dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun
dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah). Membayar uang pengganti
sebesar Rp. 85.761.000,- dengan ketentuan 1
(bulan) tidak membayar uang pengganti maka
akan dikenakan hukuman penjara selama 6
bulan serta semua aset dari tindak pidana
korupsi di sita.
3. NU Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun
dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah). Membayar uang pengganti
sebesar Rp. 63.000.000,- dengan ketentuan 1
(bulan) tidak membayar uang pengganti maka
akan dikenakan hukuman penjara selama 6
bulan serta semua aset dari tindak pidana
korupsi di sita.

Sumber data: Kejaksaan Negeri Limboto

Pada kasus ini, ketiga terdakwa tersebut pun tidak bersedia membayar uang pengganti kerugian
keuangan negara. Mereka lebih memilih pidana badan daripada harus membayar uang pengganti.
Sebagaimana wawancara dengan salah satu jaksa di Kejaksaan Negeri Limboto Bapak Adam, SH
selaku jaksa fungsional bahwa tidak ada yang bersedia membayar uang pengganti, hal ini disebabkan
terpidana lebih memilih menjalankan pidana badan dari pada harus mengembalikan/menganti
kerugian Negara. (Wawancara 21 Oktober 2018)

PEMBAHASAN

Pengembalian aset negara hasil dari tindak pidana korupsi masih sangat jauh dari harapan
bangsa Indonesia, sehingga upaya pengungkapan harus betul-betul di jadikan sebagai tolak ukur dalam
kesuksesan. Pengembalian aset negara hanya sebagai angan-angan belaka masih banyak aset negara
yang belum terdeteksi oleh aparat penegak hukum, mengingat bahwa pengembalian keuangan negara
hasil dari tindak pidana korupsi dapat memunculkan berbagai perbuatan tindak pidana korupsi, seperti
adanya penimbunan kekayaan hasil korupsi di beberapa daerah atau cara lain yang dilakukan pelaku
untuk dapat mengaburkan asal usul aset dan masih banyak belum diketahui keberadanya.

Pada tahun 2012, menurut hasil Survey Transparancy International (TI) Indonesia yang pada
13
JDA, Delik Journal ADPERTISI, Vol. 2 No. 1 Januari 2023

tahun 2011 menempati urutan ke- 6 negara terkorupsi dengan angka indeks persepsi korupsi (IPK)
adalah 2,4. Sementara di Asia, berdasarkan hasil survai Politicaland Economic Risk Consultacy
(PERC), lembaga pemberi peringkat yang berbasis di Hongkong, pada tahun 2013 Indonesia
menduduki urutan kedua bersama Thailand sebagai negara terkorup di Asia dengan angka IPK 8,03
setelah Filipina. Penurunan peringkat sebagai negara terkorup di Asia ini dikarenakan adanya Political
Will dari pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi.

Kendala yang ditemukan di lapangan, para terpidana lebih memilih menjalani pidana badan
ketimbang membayar uang pengganti. Instrument yang paling bantak dilakukan dalam pengembalian
kerugian Negara adalah dengan menggunakan peradilan tindak pidana korupsi yang dilakukan di
pengadilan negeri, namun kerugian Negara yang dikembalikan masih jauh dari hadapan pengembalian
kerugian Negara. Hal ini dapat dilihat pada salah satu kasus dari 15 kasus yang ada semenjak lima
tahun terakhir, NH selaku mantan Ketua Unit Pengelola Kegiatan desa Limehe Timur Kecamatan
Tibongo Kabupaten Gorontalo, pada kasus ini adanya pengajuan pinjaman SPKP (Simpan Pinjam
Kelompok Perempuan) atas nama beberapa kelompok :

1. Kelompok kue 1 desa Limehe Timur cair pada tanggal 31 Agustus 2010 sebesar Rp. 20.000.000
(Dua puluh juta rupiah)
2. Kelompok Makmur desa Tabongo Barat cair tanggal 31 Agustus 2010 sebesar Rp. 23.000.000 (dua
puluh tiga juta rupiah)
3. Kelompok Kerawang Indah desa Tabongo Barat cair pada tanggal 5 Oktober 2010 sebesar Rp.
20.000.000 (dua puluh juta rupiah).
4. Kemudian Pinjaman total Rp. 32.000.000 (Tiga puluh Dua Juta Rupiah) pada sebelas kelompok
lainnya dengan jumlah yang berbeda-beda.

Sesuai keterangan dari ketua kelompok masing-masing bahwa kelompoknya tidak pernah
membuat proposal yang diajukan ke UPK pada tahun 2010 dan sesuai hasil verifikasi yang mana
diketahui bahwa kelompok-kelompok tersebut tidak pernah menerima dana. Pada saat rapat
penyelesaian masalah pada bulan oktober 2011 diruangan camat Tobongo, dimana Wisma Bilatula
selaku bendahara, Nasrum Hemeto Selaku ketua dan Nasir mencairkan dana pinjaman SPKP atas
nama kelompok-kelompok tersebut.

Pemulihan kerugian keuangan negara dengan upaya pengembalian kerugian keuangan negara
dalam tindak pidana korupsi dalam kenyataannya masih menghadapi hambatan-hambatan baik pada
tataran prosedural maupun pada tataran teknis. Pada tataran prosedural memerlukan instrumen-
intrumen hukum tertentu yang tepat sesuai dengan modus operandi tindak pidana dan obyek
permasalahan hukumnya. Dalam kasus tindak pidana korupsi hasil dari tindak pidana yang berupa
keuangan negara dalam kenyataannya tidak hanya diterima atau dinikmati oleh terdakwa, tetapi juga
diterima atau dinikmati oleh pihak ketiga yang tidak menjadi terdakwa. Dalam hal yang demikian
upaya pengembalian kerugian keuangan negara oleh pihak ketiga secara prosedural memerlukan
instrumen hukum yang tepat dan efektif.

Pengembalian keuangan hasil Tindak Pidana Korupsi sudah merupakan norma yang berdiri
sendiri, dengan prinsip hukum bahwa pelaku Tindak Pidana korupsi tersebut tidak boleh mendapatkan
keuntung dari hasil korupsi. Dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana,
maka perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi
kerusakan dan degradasi kuantitas dan kualitas perekonomian dan mensejahterakan masyarakat yang
terkena dampak dari yang diakibatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi.

Yang dapat dirampas dalam hal ini berupa: 1. Kekayaan yang diperoleh dari hasil
usaha/kegiatan korupsi. 2. Kekayaan yang diperoleh dari hasil usaha atau kegiatan hasil korupsi. 3.
Kekayaan yang diperoleh dari hasil usaha atau kegiatan korupsi yang menghasilkan keuntungan dari
perbuatan memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi,
atau memberikan keterangan yang tidak benar.

14
JDA, Delik Journal ADPERTISI, Vol. 2 No. 1 Januari 2023

Pengembalian uang hasil korupsi terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan (terhadap pelaku)
dijelaskan dalam pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
31/1999) serta penjelasannya. Dalam pasal 4 UU 31/1999 dinyatakan antara lain bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut. Kemudian, di dalam
penjelasan pasal 4 UU 31/1999 dijelaskan sebagai berikut : Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana
terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.

Pengembalian Kerugian Keuangan Negara melalui jalur pidana adalah melalui proses
Penyitaan dan Perampasan. Didalam persidangan pengembalian kerugian keuangan Negara, Hakim
disamping menjatuhkan pidana Pokok juga dapat menjatuhkan pidana Tambahan berupa: 1.
Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang
digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana
serta harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU
31/99 jo UU 20/2001). 2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3)
UU 31/99 jo UU 20/2001). 3. Pidana Denda, UU TPK mempergunakan perumusan sanksi pidana
bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau pidana denda), Kumulatif- alternatif (pidana penjara dan
atau pidana denda), dan perumusan pidana lamanya sanksi pidana bersifat Determinate sentence. 4.
Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia
(Peradilan In absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku
telah melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7) UU 31/99 jo UU 20/2001).

Pasal 17 UU Pemberantasan Tipikor, selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pidana tambahan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU
Pemberantasan Tipikor: Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: 1). perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu
pula dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut 2). pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3). penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. 4).
pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Uang hasil korupsi yang di gunakan tersebut wajib dikembalikan oleh terpidana korupsi
berupa uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi. Hal ini juga dapat dilihat dari Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor, yang secara implisit
mengatakan adanya pengembalian kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.Akan tetapi
pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah
satu faktor yang meringankan, tidak menghilangkan sanksi pidana. Sejalan dengan pengaturan dalam
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Purwaning M. Yanuar dalam bukunya berjudul
Pengembalian Aset Hasil Korupsi bahwa pengembalian kerugian keuangan negara dengan
menggunakan instrumen pidana menurut UU Pemberantasan Tipikor dilakukan melalui proses
penyitaan, perampasan, dan aturan pidana denda.

Dalam rangka melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di negara kita telah
mengeluarkan 3 (tiga) peraturan perundang- undangan mengenai tindak pidana korupsi, yaitu Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor

15
JDA, Delik Journal ADPERTISI, Vol. 2 No. 1 Januari 2023

20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut mengatur tentang pidana uang pengganti bagi
terdakwa kasus korupsi. Pengaturan pidana uang pengganti dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa pembayaran uang pengganti
jumlahnya sebanyakbanyaknya sama dengan uang yang dikorupsi. Namun Undang-undang Nomor 3
Tahun 1971 tersebut tidak secara tegas menentukan kapan uang pengganti itu harus dibayarkan, dan
apa sanksinya bila pembayaran tidak dilakukan. Hanya dalam bagian penjelasan Undang-Undang
tersebut disebutkan, apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi, berlakulah ketentuan-
ketentuan tentang pembayaran denda. Pada saat itu masalah inilah yang coba diatasi dengan
dikeluarkannya Surat edaran Ketua Mahkamah Agung pada tahun 1985. Surat Edaran itu mendorong
jaksa untuk melakukan gugatan perdata apabila eksekusi atas uang pengganti tidak bisa dilaksanakan
karena berbagai hal.

Kelemahan hukum ini telah dikoreksi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undamg Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam
kedua Undang-Undang tersebut, ketentuan mengenai uang pengganti sudah lebih tegas, yaitu apabila
tidak dibayar dalam tempo 1 (satu) bulan, terhukum segera dieksekusi dengan memasukkannya ke
dalam penjara.Hukuman penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan hakim, yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya.

Pasal 18 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi berbunyi bebagai berikut:

1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
sebagai pidana tambahan adalah:

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang
yang mengantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan Seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan Seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b
paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana
penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan
dalam putusan pengadilan.

Proses dalam pelaksanaan putusan uang pengganti yang dilakukan oleh jaksa melalui tahap
pengadialan, tahap pelelangan, tahap pembayaran uang pengganti dan gugatan perdata. Berdasarkan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, terhadap perkara pidana yang diputus
berdasarkan undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dengan pidana tambahan uang pengganti untuk
tahap penagihan maupun pembayaran tidak dibatasi oleh waktu.

16
JDA, Delik Journal ADPERTISI, Vol. 2 No. 1 Januari 2023

Proses penagihan dan terpidana membayar uang pengganti maka mekanismen pembayaran
uang pengganti tersebut berdasarkan keputusan Jaksa Agung Nomor : Kep-518/J.A/11/2001 tanggal 1
November 2001, dilakukan dengan cara:

a. Dibuatkan surat penagihan (D-1) dengan perihal penagihan uang pengganti kepada terpidana
untuk menghadap jaksa eksekutor di kantor kejaksaan setempat.
b. Terpidana dipanggil dan menghadap kaksa eksekutor ditanya tentang kesanggupan membayar
uang pengganti yang telah dijatuhkan oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pada
tahap ini dubuatkan surat pernyataan (D-2) yang isinya sanggup atau tidak sanggup membayar
uang pengganti. Apabila tidak sanggup membayar disertai dengan surat tidak mampu dari
kelurahan/kepala desa.
c. Pada saan membayar uang pengganti, maka dibuatkan tanda terima pembayaran (D-3) uang yang
telah diterima dari terpidana dan ditanda tanggani oleh kasi Pidsus atas nama Kepala Kejaksaan
Negari.
d. Setelah diterima uang pengganti dari terpidana maka kepala Kejaksaan Negeri/Tinggi setempat
membuat surat perintah (D- 4) yang memerintahkan jaksa eksekutor / Kasi Pidsus / Kasubsi
Penuntutan Pidsus untuk menyerahkan uang pengganti atas mana terpidana yang bersangkutan
kepada Kasubagbin Kejaksaan setempat Cq. Bendahara Khusus/penerima setelah menerima uang
pengganti dalam waktu 1x24 jam harus menyetorkan uang pengganti dengan blangko Surat
Setoran Penerima Negara Bukan Pajak (SSBB ke kas Negara dengan mata anggaran penerimaan
(MAP) 423473 melalui bank. Berdasarkan surat JAM BIN Nomor.005/C/Cu/01/08 dan perman
keu No,or./19/PMK.05/2007, MAP diubah menjadi nomnor : 423614 berlaku sejak januari
2008.

Apabila terpidana tidak membayar uang pengganti maka harus ada bukti bahwa terpidana
telah menjalani pidana pengganti. Hal ini harus dibukrikan bengan berita acara pelaksanaan hukuman
pengganti (BA-8), apabila terpidana sedang menjalani hukuman atau telah menjalani hukuman pidana
padahal berita acara pelaksanaan hukuman pengganti belum dibuat maka Kejari Harus memerintah
Kasi Pidsus atau JPU koordinasi kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk mendapatkan surat
keterangan bahwa terpidana sudah menjalani hukuman pengganti. Surat keterangan harus di lampirkan
dalam berkas perkara.
Bahwa apabila pembayaran tidak dapat sekaligus dilakukan oleh terpidana maka lebih
mengarah kepada penyelesaian non litigasi yang dilakukan dengan negosiasi. Bahwa terpidana dapat
membayar dengan cara mengangsur sesuai dengan kesepakatan sampai dengan lunas membayar uang
pengganti.
Sementara perkara yang diputus oleh Undang-undang tindak pidana korupsi yang baru, sudah
ada pembatasan waktu pembayaran selama satu bulan, apabila tidak membayar uang pengganti maka
harta benda dapat disita oleh Jaksa dan harta benda yang disita dapat dilelang untuk menutupi uang
pengganti yang jumlahnya sesuai dengan vonis pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kemudian apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang cukup untuk membayar uang
pengganti maka dipidana berupa pidana penjara yang dijalani terpidana yang lamanynya tidak
melebihi dari pidana pokoknya.
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melalui Pasal 18 ayat
(2), memang menetapkan jangka waktu yang sangat singkat yakni 1 (satu) bulan bagi terpidana untuk
melunasi pidana uang pengganti. Masih dalam ayat yang sama, UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menyediakan cadangan pidana berupa penyitaan harta
terpidana yang kemudian akan dilelang untuk memenuhi uang pengganti.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Implementasi eksekusi uang pengganti dalam pengembalian kerugian negara di kejaksaan Negeri
Limboto telah berjalan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, dalam hal eksekusi uang pengganti ini, dikarenakan hanya merupakan pidana tambahan maka
17
JDA, Delik Journal ADPERTISI, Vol. 2 No. 1 Januari 2023

para terpidana lebih memilih opsi kedua yakni menjalani hukuman penjara tambahan daripada
mengganti kerugian negara, hal ini mengakibatkan tidak tertutupinya kerugian negara atas kasus-kasus
tindak pidana korupsi yang terjadi.

Saran

Seharusnya pembentuk undang-undang mengubah undang- undang pemberantasan tindak


pidana korupsi lebih mengutamakan pengembalian kerugian Negara daripada pemidanaan.
Perkara korupsi yang dibiayai oleh Negara yang begitu tinggi tidak akan ada manfaatnya jika
koruptor hanya dipenjarakan tanpa pengembalian kerugian Negara. Diperlukan kesatuan
koordinasi dan pemahaman terpadu bagi para aparat penegak hukum Negara agar tercipta
optimalisasi pengembalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.

REFERENSI

Abdoel Djamil, 2010. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Achmad Ali, 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya. Ciawi
Bogor: Ghalia Indonesia
Adrian Sutedi, 2010. Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Marger,
Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika
Akil Mochtar, 2009. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Amiruddin, 2010. Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Cetakan Ke-II.
Yogyakarta: Genta Publishing.
Ananda Santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Dara Publika
Andi Hamzah, 2012. Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Perkembangannya,
Jakarta: PT. Softmedia
Andi Hamzah, 2007. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Bambang Suggono, 2005. Metodelogi Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
Barda Nawawi Arief, 2001. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan
Penangggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti
Barda Nawawi Arief, 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Cetakan ke-1, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Barda Nawawi Arief, 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cetakan ke-2, Bandung:
Citra Aditya Bakti
Barda Nawawi Arief, 2011. Perkembangan Sistem Pemidanaan Di Indonesia,
Semarang: Pustaka Magister
Darwan Prinst, 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Citra Aditya
Bakti
Desy Anwar, 2004. Kamus Lengkap 10 Milliard, Surabaya: Amelia
Garnasih Yenti, 2003. Kriminalitas Pencucian Uang. Jakarta: Universitas Indonesia
Harmadi, 2011. Kejahatan Pencucian Uang. Cetakan ke-1. Malang: Setara Press
Hernol Ferry Makawimbang, 2015. Perbuatan Merugikan Keuangan Negara dalam
Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang. Yogyakarta: Penerbit Thafa Media.
Indriyanto Seno Adji, 2002. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara &
Konsultan Hukum “Prof.Oemar Seno Adji & Rekan”.
Jimly Asshidique, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer
18
JDA, Delik Journal ADPERTISI, Vol. 2 No. 1 Januari 2023

Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, 2009. Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung: Nuansa
Makawimbang Hernold Ferry, 2014.Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana
Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif, Yogyakarta: Tafa Media
Marwan, 2009. Kamus Hukum, Surabaya: Reality Publisher
Mien Rukmini, 2009. Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: PT. Alumni
Moh Kusnadi dan Hermelly Ibrahim, 1998. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: Sinar Bakti
Moeljatno, 2009. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Renika Cipta
Muhamad Djumhana, 2006. Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: Aditya Bakti.
Munir Fuady, 2009. Teori Negara Hukum Modern (Reshctstaat), Bandung: Refika
Aditama

Nurjana IGM, 2005 Korupsi dalam Praktik: Bisnis Pemberdayaan Penegakan Hukum,
Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
P.A.F. Lamintang, 2013. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakri
Prodjodikoro Wirjono, 2012. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Romli Atmasasmita, 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju
Said Sampara, 2016. Metode Penelitian Hukum. Makassar : Sign
Sianturi, 1983. Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiaannya. Jakarta: Alumni
Soejono Soekanto, 2002. Faktor-faktor yang Memperngaruhi Penegakan Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Soesilo Prajogo, 2007. Kamus Lengkap Hukum. Wacana Intelektual
Suratman, 2012. Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta
Teguh Prasetyo, 2011. Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wirjono Prodjodikoro, 2003. Tindak Pidana Tertentu Indonesia, Bandung: PT. Refika
Aditama
Yudi Kristiana, 2015. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif
Hukum Progresif. Yogyakarta: Penerbit Thata Media
Undang-Undang:

KUHAP dan Penjelasannya

Soesilo, 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogot: Politeia


Undang-Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Website:

Damang, SH, AliranUtilitarianisme, http//www. Negarahukum. Com/hukum aliran-


Utilitarianisme.html, 2016 diakses tanggal 1 agustus 2018.
Deden Hanini AH ALfathimy, Sistem Negara Modern, 2010 www.
Scribd.com/doc/39960334/Sistem-Negara-Modern+sistem+Negara+modern diakses
tanggal 1 Agustus 2018
http://raypratama.blogspot.com/2016/11/lelang.html diakses tanggal 1 Agustus 2018

19

Anda mungkin juga menyukai