Anda di halaman 1dari 8

KASUS 1 KERUGIAN NEGARA

Korupsi Dana Proyek Sertifikasi, Kepala BPN Divonis 4 Tahun Penjara

Majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis
empat tahun penjara, denda Rp 200 juta dengan subsider lima bulan kurungan, serta kewajiban
membayar uang pengganti sebesar Rp 917 juta dengan ketentuan atau pidana 18 bulan penjara
kepada mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Simalungun, Asli Dachi.

Hakim berpendapat Dachi terbukti bersalah melanggar Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) KUHPidana atas kasus korupsi dana proyek sertifikasi aset milik
Pemkab Simalungun sebesar Rp 1,9 miliar pada APBD Simalungun 2014. "Menetapkan uang
yang telah dititipkan terdakwa kepada Kejaksaan Negeri Simalungan sebesar Rp 1 miliar sebagai
kerugian negara, maka dirampas untuk negara," kata Ketua Majelis Hakim Berlian Napitupulu
lalu mengetuk palu, Senin (29/8/2016). Terkait vonis tersebut, melalui penasehat hukumnya,
Daichi pikir-pikir. Dachi didakwa melakukan korupsi pada dana proyek sertifikasi aset milik
Pemkab Simalungun sebesar Rp 1,9 miliar. Dia dituntut Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan
Negeri Simalungun Saut Damanik dengan hukuman enam tahun penjara.
Jaksa juga menuntut Dachi membayar denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara dan
membayar uang pengganti sebesar Rp 917 juta atau digantikan pidana kurungan badan selama
tiga tahun jika tidak mampu membayarnya. Terdakwa lalu mengembalikan kerugian negara
sebesar Rp 1 miliar. Untuk perkara korupsi dana proyek sertifikasi aset di Pemkab Simalungun,
jaksa menjerat mantan Kepala Bidang Perselisihan dan Sengketa Kantor Wilayah BPN
Kalimantan Tengah (Kalteng) itu dengan Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55
ayat (1) KUHPidana.

Terdakwa mengangkat dirinya menjadi Ketua Panitia Sertifikasi aset yang bertentangan
dengan peraturan Mendagri Nomor 32 tahun 2011 tentang hibah dan bantuan sosial APBD. Saat
itu, terdakwa masih menjabat sebagai Kepala BPN Simalungun yang menerima permohonan
penerbitan aset milik Pemkab Simalungun yang ditandatangani Sekda Pemkab Simalungun
GideonPurba.

Ancaman maksimal hukuman terdakwa menurut jaksa 20 tahun penjara karena akibat
perbuatan terdakwa, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, negara mengalami
kerugian sebesar Rp 1,9 miliar lebih dari total anggaran Rp 2 miliar pada APBD Simalungun
2014. Dana diperuntukan untuk penerbitan sertifikasi aset Pemkab Simalungun berupa 1.410
bidangtanah.
KASUS 2 PEMERASAN

Kepala BPN Lamandau Divonis 5 Tahun Penjara Karena


Pemerasan

Palangka Raya Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lamandau Hari
Mustain dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Palangka Raya menilai terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana
pemerasan.

Hari Mustain ditangkap petugas Kejaksaan Negeri Lamandau beberapa saat setelah
menerima uang sejumlah Rp50 juta untuk penerbitan sertifikat prona yang mestinya gratis. Dia
diseret ke pengadilan dengan dakwaan pasal 12 huruf e UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi.
Menjatuhkan pidana penjara 5 tahun potong masa tahanan. Pidana denda Rp 200 juta
subsider 6 bulan kurungan Ketua Majelis Hakim Brelly membacakan amar putusan di
Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Senin (5/9/2016).

Putusan ini lebih berat dari tuntutan penuntut umum Arief yang meminta hakim
menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara. Sementara itu, terdakwa melalui penasehat hukum
menyatakan pikir-pikir apakah akan naik banding.

Sebelumnya, Heri Mustain dalam pembelaan menyatakan tak pernah meminta uang
senilai Rp 1,5 juta kepada warga Desa Wonorejo Kabupaten Lamandau untuk penerbitan
sertifikat. Bahkan terdakwa menyatakan menghimbau agar tida menarik Rp 500 pun dari warga.

Namun setelah mendengarkan keterangan 45 saksi dan 7 saksi meringankan, hakim


berkesimpulan, terdakwa benar melakukan pemerasan. Untuk penerbitan sertifikat telah
disediakan di APBN untuk pos BPN, tutur hakim dalam amar putusan. (RONI SAHALA/m)
KASUS 3 SUAP DAN GRATIFIKASI

Terbukti Terima Gratifikasi 110,7 Miliar, Rita Widyasari Divonis


10 Tahun Penjara

Bupati Kutai Kartanegara nonaktif Rita Widyasari dinyatakan terbukti bersalah menerima
suap dan gratifikasi.

Dalam amar putusan yang dibacakan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Rita
dijatuhi vonis 10 tahun penjara atas penerimaan gratifikasi sebesar Rp 110,7 miliar dan suap Rp
6 miliar dari Herry Susanto Gun alias Abun.

"Menjatuhkan pidana penjara 10 tahun denda Rp 600 juta atau apabila tidak mampu membayar
maka diganti dengan kurungan 6 bulan," ujar Ketua Majelis Hakim, Sugiyanto, Jumat
(6/7/2018).
Penerimaan gratifikasi dilakukan Rita bersama-sama dengan Khairudin mantan anggota
DPRD Kutai kartanegara yang divonis delapan tahun penjara denda Rp 300 juta atau subsider
dua bulan kurungan

Dalam vonis, hakim merinci Rita menerima gratifikasi dari beberapa perusahaan setiap
kali ada permohonan izin di wilayah kabupaten Kutai Kartanegara sejak Juni 2010 hingga
Agustus 2018.
Keduanya dinyatakan bersalah melanggar Pasal 12B Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi Jo
Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.

Sementara itu atas penerimaan suap, Rita divonis telah melanggar Pasal 12b Undang-
Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Hal-hal yang memberatkan kedua terdakwan ialah tidak mendukung program pemerintah
dalam pemberantasan korupsi dan tidak memberikan teladan bagi masyarakat Kutai Kartanegara,
terlebih posisi Rita sebagai bupati. Hal yang meringankan, mereka berlaku sopan dan belum
pernah dihukum.

Pada keduanya majelis hakim juga menjatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak
politik selama lima tahun usai menjalani pidana pokok.
KASUS 4 PENGGELAPAN DALAM JABATAN

Tangis Haru Dea, Pelaku Penggelapan Uang, Saat Divonis 8 Bulan


Penjara

Dea Novelia Agniesya (20) tak kuasa menahan tangis. Ia terharu bisa melepaskan beban
pikirannya setelah dijatuhi pidana 8 bulan penjara atas kasus penggelapan uang Rp 13 juta.

Vonis yang diterima Dea lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU),
Suparlan. Terdakwa dituntut 1 tahun 3 bulan di sidang yang digelar PN Surabaya.

“Menuntut terdakwa karena terbukti melanggar Pasal 374 KUHP jo Pasal 64 ayat 1
KUHP tentang penggelapan dalam jabatan,” jelas JPU Suparlan, Selasa (4/9/2018).

Usai dibacakan tuntutan, majelis hakim yang diketuai Dwi Winarko memberi kesempatan
perempuan 20 tahun ini untuk menyampaikan pledoi. Dia meminta keringanan atas tuntutan
yang diajukan JPU.
“Saya meminta keringanan karena sudah mengembalikan uang itu lengkap dengan
kuitansinya,”bebernya.
Dia juga mengakui kesalahannya dan khilaf atas penggelapan uang Rp 13 juta itu. Dia
menggunakan uang itu untuk biaya operasi ibunya dan biaya kosmetiknya.

Usai pleidoi lisan itu, majelis hakim meminta skors guna memutuskan pidana. Setelah 10
menit waktu skors, akhirnya majelis hakim membacakan putusan.

“Menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama 8 bulan,”
ucap ketua majelis Dwi Winarko. Adapun pertimbangan dari majelis hakim terkait hal yang
meringankan, terdakwa menyesali perbuatannya dan mengembalikan dana itu. Sedangkan hal
memberatkan, perbuatan terdakwa meresahkan dan merugikan orang lain.

Tak pelak, putusan itu direaksi terdakwa dengan tangisan haru. Tak lama, terdakwa
mengaku menerima, begitu pula dinyatakan oleh jaksa yang juga menerima putusan. Usai
sidang, terdakwa langsung menghampiri keluarganya seraya menangis dan memeluk salah satu
keluarganya.

Anda mungkin juga menyukai