Anda di halaman 1dari 12

PERADILAN KHUSUS

ANALISIS KASUS DIVERSI ANAK

Dosen Pengampu: I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 1 KELAS A

1. Sarmila Handri (2004551069)


2. Ida Wayan Bagus Abby Banu (2004551079)
3. Putu Karina Putri (2004551083)
4. Ni Ketut Devi Damayanti (2004551085)
5. Santa Maria Hutapea (2004551087)
6. I Gusti Mahendra Satria Pranata (2004551097)
7. Desak Made Dhitri Rahayu (2004551120)
8. Ni Wayan Luh Duti Ari Anggreni (2004551160)
9. Ni Komang Ayu Diah Lestari (2004551318)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2022
A. Kasus/Duduk Perkara

Seorang anak laki-laki berinisial RK berumur 17 tahun melakukan penganiayaan


bersama dengan Sumardi Als. Mardi dan Suyenti Als. Suyen pada hari Rabu, tanggal 14
Juli 2021 sekitar pukul 18.15 WIB di Perumahan Wahyu 23 Jalan Paria Simpang Garuda,
Kelurahan Siumbut Umbut, Kecamatan Kota Kisaran Timur, Kabupaten Asahan. RK
memukul wajah sebelah kanan korban sehingga menyebabkan luka-luka pada bagian
wajah korban.

Kasus ini telah sampai di tingkat pengadilan dan dilaksanakan proses diversi sejak
tanggal 24 Januari 2022 sampai dengan 7 Februari 2022. Proses diversi menghasilkan
kesepakatan pada tanggal 7 Februari 2022. Dalam proses diversi yang dilakukan oleh RK
dan korban disepakati penyelesaian perkara secara musyawarah. RK telah mengakui,
menyesali, dan meminta maaf kepada korban atas perbuatannya. Begitupun korban telah
memaafkan RK dan tidak akan menuntut RK baik secara pidana atau perdata. Dalam
musyawarah diversi telah menghasilkan kesepakatan bahwa RK bersedia menyerahkan
uang untuk biaya pengobatan korban sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Atas kesepakatan diversi tersebut majelis hakim pada Pengadilan Negeri Kisaran
menyatakan bahwa diversi telah memenuhi dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan sehingga beralasan untuk dikabulkan. Majelis hakim menetapkan
kesepakatan diversi dengan amar sebagai berikut:

1. Mengabulkan Permohonan Hakim;


2. Memerintahkan Anak untuk melaksanakan kesepakatan diversi;
3. Memerintahkan Hakim untuk mengeluarkan penetapan penghentian pemeriksaan
setelah kesepakatan diversi dilaksanakan sepenuhnya;
4. Memerintahkan Anak dibebaskan dari tahanan segera setelah penetapan diversi
ditetapkan;
5. Memerintahkan Panitera menyampaikan salinan penetapan ini kepada Penuntut
Umum, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial, dan Anak/Orang tua.
B. Sumber Kasus

Kasus ini bersumber dari Direktori Putusan Mahkamah Agung. Termasuk kedalam
Penetapan kasus diversi anak dengan Nomor Penetapan: 2/Pen.Div/2022/PN-Kis.

C. Analisis Kasus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem


Peradilan Pidana Anak

Berdasar pada kasus diversi di atas. Dapat dianalisis berdasarkan ketentuan diversi
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) sebagai berikut:

1) Pasal 6 UU SPPA Berkaitan dengan Tujuan Diversi

Terdapat 5 tujuan diversi sebagaimana tercantum dalam pasal a quo. Merujuk


pada Penetapan kasus diversi di atas, dirumuskan dalam Pasal 2 dan 3 Penetapan pada
pokoknya telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban. RK telah mengakui,
menyesali, dan meminta maaf kepada korban atas perbuatannya. Begitupun korban
telah memaafkan RK dan tidak akan menuntut RK baik secara pidana atau perdata.
Hal tersebut sejalan dengan tujuan diversi pada UU SPPA yakni pada Pasal 6 huruf a
yakni mencapai perdamaian antara korban dan anak. Kemudian, pada Pasal 6 huruf b
dirumuskan tujuan diversi yakni menyelesaikan perkara anak diluar peradilan.
Penerapan tujuan tersebut terimplementasi melalui proses penyelesaian perkara
penganiayaan yang dilakukan RK kepada korban melalui diversi yakni secara
musyawarah dan perdamaian. Selanjutnya, pada Pasal 6 huruf c dirumuskan tujuan
diversi yakni menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan. Tujuan tersebut
terimplementasi melalui kesepakatan bahwa korban tidak akan menuntut pelaku baik
secara pidana maupun perdata serta salah satu amar Penetapan yakni memerintahkan
Anak dibebaskan dari tahanan segera setelah penetapan diversi ditetapkan. Hal
tersebut mencerminkan pemberian hak terhadap anak sebagai masa depan dan penerus
bangsa untuk meneruskan pendidikan dan cita-citanya dapat diwujudkan dan tidak
merampas haknya untuk melanjutkan pendidikan. Tujuan selanjutnya pada Pasal 6
huruf d yakni mendorong masyarakat untuk berpartisipasi. Peran serta masyarakat
pada saat proses diversi dilaksanakan di setiap tingkatan dapat dihadirkan perwakilan
masyarakat yakni tokoh masyarakat yang dapat dimintai pendapat oleh fasilitator baik
di tingkat penyidikan, penuntutan dan pada saat proses di Pengadilan Negeri
mengenai hal yang terbaik kepada si anak sebagai pelaku. Dalam Penetapan kasus
diversi di atas tidak terdapat secara implisit peran masyarakat. Namun berdasarkan
pemahaman penulis dengan adanya amar Penetapan yakni Panitera menyerahkan
salinan Penetapan kepada Pembimbing Masyarakat dan Pekerja Sosial menjadi
bentuk perwakilan partisipasi masyarakat. Tujuan selanjutnya, yakni pada Pasal 6
huruf e yakni menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Implementasi tujuan
tersebut yakni pada salah satu amar Penetapan berupa memerintahkan anak untuk
melaksanakan kesepakatan diversi. Amar tersebut memberikan kewajiban bagi pelaku
untuk memenuhi segala kesepakatan dalam diversi seperti mengakui bahwa
perbuatannya merupakan perbuatan yang salah dan tidak akan mengulanginya serta
menyerahkan uang untuk biaya pengobatan korban sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) sebagai bentuk rasa tanggung jawabnya kepada korban. Dengan demikian,
kasus a quo telah sesuai dengan tujuan diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU
SPPA.
2) Pasal 7 UU SPPA Berkaitan dengan Kewajiban dan Syarat Diversi
Dalam proses peradilan pidana anak, upaya diversi wajib diupayakan pada
tingkat penyidikan, penuntutan, hingga tingkat pemeriksaan perkara anak di
Pengadilan Negeri. Wajib diupayakan sendiri mengandung makna bahwa para
penegak hukum baik pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, maupun Pembina
Lembaga Pemasyarakatan diwajibkan untuk melakukan upaya agar proses diversi bisa
dilaksanakan. Hal ini telah terimplementasi dalam kasus a quo mengingat perkara
tersebut melalui dan bahkan diselesaikan dengan mencapai kesepakatan diversi. Hal
ini sejalan dengan tujuan dari dilakukannya upaya diversi sebagaimana tertuang pada
pada Pasal 7 ayat (1), diantaranya:1
1. Untuk menghindari anak dari penahanan;
2. Untuk menghindari label/stigma anak sebagai penjahat;
3. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak;
4. Agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
5. Untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak
tanpa harus melalui proses formal;
6. Menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
7. Menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
1
Munajah. 2015. Upaya Diversi dalam Proses Peradilan Pidana Anak indonesia. Al’ Adl,
Vol. 7, No. (14).
Kewajiban untuk mengupayakan diversi sendiri dapat dilaksanakan dengan
memenuhi beberapa syarat, salah satunya dalam hal tindak pidana yang dilakukan
dengan ancaman pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA.
Berdasarkan pada kasus diversi di atas telah dirumuskan bahwa pelaku melakukan
pemukulan terhadap wajah sebelah kanan korban sehingga menimbulkan luka-luka
pada wajah korban, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut termasuk ke dalam
tindak pidana penganiayaan, dalam hal ini pelaku dapat dikenakan Pasal 351 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang merumuskan
bahwa “Penganiayaan diancam pidana penjara paling lama 2 tahun delapan bulan atau
denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Merujuk pada kasus tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku
kepada korban dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, maka kasus tersebut
dapat dikategorikan sebagai kasus yang merupakan tindak pidana dengan ancaman
pidana dibawah 7 tahun, sehingga kasus diatas dapat diupayakan diversi dikarenakan
ancaman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku adalah pidana penjara paling lama 2
tahun 8 bulan. Kemudian kasus ini sendiri telah dilakukan pengupayaan diversi
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA sampai di tingkat
pengadilan dan proses diversi tersebut telah dilaksanakan dengan adanya kesepakatan
penyelesaian perkara antara pelaku dan korban secara musyawarah, pelaku sendiri
telah mengakui, menyesali, dan meminta maaf kepada korban atas perbuatan yang
telah mereka lakukan, kemudian korban juga telah memaafkan pelaku dan sepakat
untuk tidak menuntut pelaku, sehingga bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Dengan demikian, kasus a quo telah mewajibkan pengupayaan diversi baik dalam
tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan negeri, juga telah
memenuhi syarat-syarat pengupayaan diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat
(1) dan (2) UU SPPA.
3) Pasal 8 UU SPPA Berkaitan dengan Proses Pelaksanaan Diversi
Pasal a quo terdiri dari 3 ayat dengan rumusan yakni ayat (1) merumuskan
proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang
tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan
Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. Ayat (2)
merumuskan dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat. Kemudian ayat
(3) merumuskan proses diversi wajib memperhatikan: kepentingan korban,
kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran
pembalasan, keharmonisan masyarakat, serta kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
Berdasarkan rumusan pasal a quo, dapat ditarik unsur yakni proses diversi
dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya.
Dalam kasus diversi di atas, anak dan korban telah sepakat untuk menyelesaikan
perkara tindak pidana penganiayaan secara musyawarah sesuai dengan Pasal 1
Penetapan Pengadilan Negeri Kisaran dengan nomor register 2/Pen.Div/2022/PN-Kis,
bahwa Anak dan Korban telah sepakat untuk menyelesaikan perkara tindak pidana
Penganiayaan yang dilakukan oleh Anak bersama dengan Sumardi Als. Mardi dan
Suyenti Als. Suyen pada hari Rabu, tanggal 14 Juli 2021 sekitar pukul 18.15 WIB
atau setidak-tidaknya pada suatu waktu pada bulan Juli tahun 2021 bertempat di
Perumahan Wahyu 23 Jalan Paria Simpang Garuda, Kelurahan Siumbut Umbut,
Kecamatan Kota Kisaran Timur, Kabupaten Asahan, secara Musyawarah. Kemudian
pada ayat (2) terkait dengan keterlibatan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau
masyarakat. Dalam Penetapan kasus diversi di atas tidak disampaikan secara eksplisit
terkait peran tenaga kerja sosial atau masyarakat. Selain itu dikarenakan frasa dalam
pasal yakni “dalam hal diperlukan” mencerminkan tidak diwajibkannya keterlibatan 2
elemen tersebut. Selanjutnya, pada ayat (3) berkaitan dengan hal yang wajib
diperhatikan. Secara keseluruhan berdasar pada Penetapan diversi pada kasus di atas
telah memperhatikan yakni kepentingan korban dengan memberikan biaya
pengobatan, kesejahteraan dan tanggung jawab anak dengan memberikan syarat dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku anak, penghindaran stigma negatif dengan
berusaha menciptakan perdamaian dalam penyelesaian perkara, penghindaran
pembalasan dengan menyepakati kepada korban bahwa tidak akan melakukan
penuntutan baik pidana maupun perdata kepada pelaku dan melaksanakan perdamaian
antar kedua belah pihak dengan harapan perkara dapat selesai tanpa timbulnya
keberatan dari pihak-pihak lain, sehingga akan timbul keharmonisan dalam
masyarakat, serta timbul rasa keadilan, kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dengan demikian, kasus a quo telah melalui musyawarah dengan melibatkan Anak,
Korban, dan orang tua/Walinya, serta telah memperhatikan muatan yang wajib
diperhatikan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) UU SPPA.
4) Pasal 9 UU SPPA Berkaitan dengan Hal yang Perlu Dipertimbangkan dan
Pengecualian dalam Proses Diversi
Pasal a quo sendiri terdiri atas 2 ayat, yang mana dalam ayat pertama
mengandung pertimbangan dan pada ayat kedua berisikan pengecualian. Berdasarkan
isi Pasal 9 ayat (1) a quo pihak Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim harus
mempertimbangkan beberapa hal dimulai dari kategori tindak pidana, umur anak,
hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan juga dukungan lingkungan keluarga
serta masyarakat dalam melakukan diversi. Apabila melihat terhadap kasus diversi di
atas, tindak pidana yang dilakukan disini tergolong ke dalam tindak pidana
penganiayaan, sebagaimana yang diungkapkan R. Soesilo bahwa penganiayaan itu
dengan sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka.
Hal ini juga sejalan dengan Pasal 351 ayat (4) KUHP yang menyebutkan “Dengan
penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan”, dapat diartikan disini merusak
kesehatan dengan memberikan rasa sakit, seperti memukul tersebut.
Unsur selanjutnya berkaitan dengan umur anak yang berkonflik apabila
melihat kasus yang ada, anak tersebut baru berumur 17 Tahun yang mana masih
tergolong dalam kategori anak sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU SPPA yang
menyebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah
berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak
pidana. Mengenai unsur hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas tercermin dari
diselesaikannya masalah melalui diversi sehingga tidak lagi terdapat tindak lanjut
penuntutan baik secara pidana maupun perdata. Selanjutnya, mengenai unsur
dukungan keluarga dan masyarakat tercermin dari bagaimana kedua orang tua/Wali
baik dari anak maupun korban turut mendampingi proses diversi tersebut hingga
menghasilkan kesepakatan diversi.
Kemudian berlanjut pada Pasal 9 ayat (2) yang mana diperlukan adanya
persetujuan dan kesediaan korban atau keluarganya agar dapat diadakannya
kesepakatan diversi a quo, dikecualikan untuk tindak pidana berupa pelanggaran,
tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban ataupun nilai kerugian korban tidak
lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Sehubungan dengan hal tersebut,
dalam kasus ini tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan pelanggaran, bukan
merupakan tindak pidana ringan, dan bukan merupakan tindak pidana tanpa korban,
dikarenakan dalam tindak pidana penganiayaan ini menimbulkan adanya kerusakan
pada kesehatan korban sehingga tidak tergolong dalam tindak pidana ringan dan tanpa
korban. Selain itu, kerugian yang diterima korban sebesar Rp 3.000.000,00 (tiga juta
rupiah) untuk biaya pengobatan ini sendiri melebihi nilai dari upah minimum provinsi
Sumatera Utara, yaitu sebesar Rp 2.600.000,00 (dua juta enam ratus ribu rupiah).
Oleh karena hal-hal yang menjadi pengecualian dalam Pasal 9 ayat (2) ini tidak
terdapat satupun dalam kasus perkara ini, maka diperlukan adanya persetujuan dari
korban untuk bisa melangsungkan kesepakatan diversi. Dalam putusan tersebut juga
telah dinyatakan adanya kesepakatan antara anak (pelaku) dan korban untuk
menyelesaikan perkara secara musyawarah yang tercermin pada Pasal 1 isi
pertimbangan putusan tersebut. Dengan demikian, kasus a quo telah melalui hal yang
perlu dipertimbangkan dan pengecualian dalam proses diversi sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) UU SPPA.
5) Pasal 10 UU SPPA Berkaitan dengan Proses Pelaksanaan Kesepakatan Diversi
Tanpa Melalui Persetujuan Korban dan/atau Keluarga Anak Korban
Dalam pasal a quo terdapat 2 ayat. Ayat (1) merumuskan pada pokoknya
pelaksanaan diversi terhadap tindak pidana yang dapat diselesaikan tanpa persetujuan
korban dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing
Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. Kemudian pada ayat (2)
merumuskan Bentuk kesepakatan diversi tanpa persetujuan korban dengan
rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan.
Dikarenakan kasus diversi di atas tidak dapat diselesaikan tanpa persetujuan
korban sebagaimana analisis pada Pasal 9 UU SPPA maka ketentuan pasal 10 UU
SPPA tidak berlaku pada kasus diversi di atas.
6) Pasal 11 UU SPPA Berkaitan dengan Hasil Kesepakatan Diversi
Pada pasal a quo telah dirumuskan bentuk hasil kesepakatan diversi, antara
lain:
1. Perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian;
2. Penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;
3. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
4. Pelayanan masyarakat.

Berdasar pada ketentuan tersebut maka kasus diversi anak di atas telah
memenuhi bentuk hasil kesepakatan diversi. Pada Penetapan kasus diversi di atas
dinyatakan bahwa telah terjadi perdamaian antara pihak anak (sebagai pelaku) dan
korban dan pelaku bersedia uang untuk mengganti kerugian biaya pengobatan korban
sejumlah Rp 3.000.000 (tiga juta rupiah). Kesepakatan tersebut telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 11 huruf a. Selain itu juga sebagaimana penetapan oleh Ketua
Pengadilan Negeri Kisaran bahwa anak dibebaskan dari tahanan segera setelah
Penetapan Diversi ini ditetapkan juga telah sesuai dengan ketentuan Pasal 11 huruf b
UU SPPA. Dengan demikian, kasus a quo telah memenuhi hasil kesepakatan diversi
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU SPPA.
7) Pasal 12 UU SPPA Berkaitan dengan Hasil Kesepakatan dan Penetapan Diversi
Pada ayat (1) pasal a quo dirumuskan hasil kesepakatan dituangkan dalam
bentuk kesepakatan diversi tertanggal 7 Februari 2022. Merujuk pada kasus diversi di
atas, hasil kesepakatan sebagaimana tertuang dalam Penetapan Diversi sudah sesuai
yakni dalam bentuk kesepakatan diversi. Kemudian pada ayat (2) dirumuskan bahwa
hasil kesepakatan diversi disampaikan langsung oleh atasan atasan langsung pejabat
yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai
dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan
dicapai untuk memperoleh penetapan. Berdasarkan kasus diversi di atas, proses
diversi dilakukan pada saat kasus mencapai tingkat pengadilan sehingga penyampaian
yang dilakukan oleh Hakim pada pengadilan tersebut sesuai dengan isi penetapan
yakni “Menimbang, bahwa dari Laporan Hakim tanggal 7 Februari 2022 telah dicapai
kesepakatan diversi”. Kemudian terkait penyampaian hasil kesepakatan diversi telah
dilakukan pada hari yang sama dengan diperolehnya kesepakatan diversi serta
penetapan yang dikeluarkan atas penyampaian kesepakatan dilakukan pula pada hari
yang sama oleh Ketua Pengadilan Negeri Kisaran sehingga telah sesuai dengan
rumusan Pasal 12 ayat (3) UU SPPA. Pada ayat (4) dirumuskan Penetapan
disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau
Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Merujuk pada kasus
diversi di atas, pada amar Penetapan angka 5 telah diperintahkan kepada Panitera
untuk menyerahkan salinan penetapan kepada Penuntut Umum, Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial. Dengan demikian, kasus a quo telah memenuhi hasil
kesepakatan dan penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3)
UU SPPA.
8) Pasal 14 UU SPPA Berkaitan dengan Pengawasan Diversi dan Peran
Pembimbing Kemasyarakatan
Pada pasal a quo telah dirumuskan pada pokoknya terkait dengan pengawasan
diversi. Pelaksanaan proses diversi berdasar pasal a quo wajib didampingi, dibimbing,
dan diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Dalam Penetapan Diversi kasus
tersebut tidak dicantumkan apakah terdapat pendampingan oleh Pembimbing
Kemasyarakatan dalam proses pelaksanaan diversi. Namun pada amar Penetapan
terdapat perintah untuk menyerahkan Salinan Penetapan kepada Pembimbing
Kemasyarakatan. Hal ini memberikan pemahaman telah adanya koordinasi antara
Pengadilan dengan Pembimbing Kemasyarakatan dalam hal pengawasan pelaksanaan
diversi. Sehingga, kasus a quo telah melakukan pengawasan atas proses diversi dan
pelaksanaan kesepakatan yang dihasilkan, serta peran pembimbing kemasyarakatan
tercermin sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) UU SPPA.
9) Pasal 15 UU SPPA Berkaitan dengan Peraturan Pelaksana Diversi dalam
Peraturan Pemerintah
Adapun peraturan pelaksana proses diversi yakni Peraturan Pemerintah Nomor
65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang
Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun (selanjutnya disebut PP Diversi). Dalam
peraturan a quo persyaratan diversi masih sama sebagaimana tertuang dalam UU
SPPA. Pengaturan tambahan dalam PP Diversi berkaitan dengan Tata Cara dan
Koordinasi Pelaksanaan Diversi khususnya berkaitan dengan waktu pelaksanaan
Diversi. Berdasarkan putusan telah tertuang waktu pelaksanaan diversi sejak tanggal
24 Januari 2022 sampai dengan 7 Februari 2022 yakni selama 14 hari sehingga
berdasar pada Pasal 51 PP Diversi pada pokoknya dirumuskan bahwa proses diversi
di pengadilan dilakukan paling lama 30 hari sehingga telah sesuai berdasarkan
ketentuan a quo. Dengan demikian, kasus a quo telah memenuhi urusan berkaitan
dengan peraturan pelaksana diversi dalam Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur
dalam Pasal 15 UU SPPA.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kasus diversi anak yang telah
ditetapkan pada tingkat pengadilan sebagaimana tertuang dalam Penetapan Nomor:
2/Pen.Div/2022/PN-Kis secara umum telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
UU SPPA. Persyaratan kasus di atas untuk diselesaiakan melalui proses diversi telah
sesuai sebagaimana diatur dalam UU SPPA. Kemudian terkait dengan tugas, hak, dan
tanggung jawab masing-masing elemen seperti Pelaku, Korban, Pengadilan, Penuntut
Umum, Lembaga Permasyarakatan, Tenaga Sosial, dan Masyarakat dalam proses diversi
kasus di atas secara umum telah sesuai dengan ketentuan dalam UU SPPA. Namun peran
elemen-elemen tersebut memang tidak tercantum secara jelas dan rinci dalam duduk
perkara dan juga dalam Penetapan Diversi kasus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Artikel/Jurnal/Skripsi/Thesis

Munajah. 2015. Upaya Diversi dalam Proses Peradilan Pidana Anak indonesia. Al’ Adl,
Vol. 7, No. (14).

Pandensolang, Leonardo. 2015. “Kajian Terhadap Tindak Pidana Ringan Dalam Proses
Peradilan Pidana”. Lex Crimen, Vol. 4, No. (1).

Tarigan, Fetri. 2015. Upaya Diversi Bagi Anak dalam Proses Peradilan. Lex Crimen, Vol. 4,
No. (5).

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan
Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.

Internet

Dunia Kerja. 2022. Gaji UMR Asahan & Gaji UMK Asahan Tahun 2022. Sumber URL:
https://gaji.info/gaji-umr-asahan-gaji-umk-asahan-tahun-2022/. Diakses pada 21.51, 06
September 2022.

Pramesti, Tri Jata Ayu. 2015. Memukul Hingga Memar Biru, Termasuk Penganiayaan Berat
atau Ringan?. Sumber URL:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/memukul-hingga-memar-biru--termasuk-penga
niayaan-berat-atau-ringan-lt5523b57c3cd31/. Diakses pada 21.49, 06 September 2022.

Anda mungkin juga menyukai