Yth.
Ketua Pengadilan Tinggi
Nusa Tenggara Barat
Melalui
Ketua Pengadilan Negeri Selong
di –
Selong
Mengingat ketentuan pasal 67, 233 jo 237 KUHAP terhadap putusan Pengadilan Negeri
Selong Nomor : 123/Pid.Sus/2022/PN.Sel tanggal 15 September 2022 dalam perkara atas
nama terdakwa :
Nama lengkap : BUKRAN Als HAJI BUKRAN.
Tempat Lahir : Sekarteja.
Umur/Tgl Lahir : 47 tahun / 10 Desember 1974.
Jenis Kelamin : Laki-Laki.
Kewarganegaraan : Indonesia.
Tempat Tinggal : Dusun Sekaranyar Kelurahan Sekarteja Rt/Rw.
006/000, Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok
Timur.
Agama : Islam.
Pekerjaan : Wiraswasta.
Pendidikan : SMP (tidak tamat).
No. KTP : 5203071012740001.
Atas putusan tersebut kami Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Lombok Timur pada
tanggal 20 September 2022 (jadi masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-
undang) telah menyatakan Banding.
Adapun alasan-alasan yang kami ajukan untuk menyatakan banding terhadap putusan
Pengadilan Negeri Selong tersebut adalah sebagai berikut ;
1. TERKAIT STRAFMACHT.
1.1. Bahwa pada prinsipnya kami sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Selong dalam perkara atas nama terdakwa BUKRAN Als HAJI BUKRAN
terhadap pembuktian delik yaitu melanggar Pasal 158 Jo. Pasal 35 ayat (3)
Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-
Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Jo.
Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana yang kami buktikan dalam Surat Tuntutan
kami namun kami tidak sependapat terhadap pertimbangan Majelis Hakim
mengenai :
1) Pidana pokok yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim yang hanya menjatuhkan
pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan denda Rp 7.500.000,00 (Tujuh juta
lima ratus ribu rupiah) subsidiair 1 (satu) bulan kurungan.
2) Barang Bukti berupa Excavator yang dikembalikan kepada terdakwa.
1.2. Dalam perkembangan hukum Pidana di Indonesia menunjukkan bahwa tujuan
pidana dan pemidanaan tidaklah tunggal, akan tetapi terdapat beberapa tujuan
yang terintegrasi, yang pada hakekatnya penjatuhan pidana merupakan salah satu
sarana untuk mencegak kejahatan dan pidana penjara merupakan sarana
memperbaiki narapidana.
Sehubungan dengan tujuan pidana Andi Hamzah dalam buku Sistem Pidana dan
Pemidaan di Indonesia (Jakarta Pradya Paramita, 1993), mengemukakan tiga R
dan satu D, yakni :
Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence. reformasi berarti
memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi
masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga
tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan
menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum
karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah
sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial
menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan.
Menurut Jeremy Bentham dalam bukunya An Introduction to the Principle of
Moral and Legislation, tujuan pidana antara lain :
a. Mencegah semua pelanggaran
b. Mencegah pelanggaran yang paling jahat
c. Menekan kejahatan
d. Menekan kerugian.
Asumsi teori ini adalah bahwa perilaku jahat dapat dicegah jika orang takut
dengan hukuman.
Selanjutnya Herbert L Packer dalam bukunya The Limits of the Criminal Sanction,
Standford University Press menyebutkan istilah “Intimidation untuk Special
Detterence bahwa penjatuhan hukuman merupakan suatu proses yang harus
dibuat supaya si pelaku berpikir dua kali untuk mengulangi perbuatannya, dalam
pandangan ini penjatuhan sanksi pidana memberikan efek penjeraan sekaligus
pencegahan. Efek pencegahan dimaksudkan untuk menjauhkan pelaku dari
kemungkinan untuk mengulangi perbuatan.
Sistem peradilan pidana di Indonesia sendiri menganut teori gabungan, hal ini
ditunjukkan dengan masih diaturnya pidana mati dalam Pasal 10 KUHP mengenai
pidana pokok dan pidana tambahan yang merupakan contoh dari penerapan teori
absolut/teori pembalasan dan untuk penerapan teori relative atau teori tujuan
dapat dilihat dari Pasal 2 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang
Lembaga Pemasyarakatan yang menyebutkan “Sistem Pemasyarakatan
diselenggarakan untuk tujuan meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga
Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana,
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar
3
sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggung jawab dan dapat aktif berperan dalam
pembangunan”.
1.3. Bahwa suatu Putusan Hakim pada hakekatnya haruslah bersifat dan bertujuan
Perventif, korektif dan edukatif sebagaimana pada Yurisprudensi Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor : 572K/PID/2003 tanggal 12 Februari 2004 yaitu :
- Preventif maksudnya suatu putusan hakim diharapkan dapat membuat
pelaku khususnya dan masyarakat pada umumnya tidak berbuat seperti apa
yang dilakukan terdakwa, sehingga putusan hakim benar-benar dapat
mencegah seseorang untuk tidak berbuat. Dalam Putusan Pengadilan Negeri
Selong Nomor : 123/Pid.Sus/2022/PN.Sel tanggal 15 September 2022 menurut
kami belumlah dapat memenuhi tujuan pencegahan karena hukuman yang
dijatuhkan Hakim kepada terdakwa terlalu ringan dan tidak memberikan efek
jera terhadap terdakwa, dan kami Penuntut Umum telah menuntut terdakwa
atas perbuatan yang telah terdakwa lakukan dengan tuntutan yang sesuai
menurut kami yaitu pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dan denda sebesar Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) Subsidair selama 3 (tiga) bulan kurungan, untuk
adanya efek pencegahan lebih baik terhadap terdakwa maupun masyarakat
umum lainnya.
- Korektif dalam arti kata suatu putusan diharapkan dapat memperbaiki
tindakan si Pelaku dan masyarakat lain untuk masa yang akan datang.
Hukuman yang relatif ringan tentunya tidak akan mampu memperbaiki sikap
dan kebiasaan si pelaku dan juga masyarakat tentunya.
- Edukatif dari suatu putusan hakim tidak akan tercapai apabila si pelaku
tindak pidana tidak dijatuhi pidana yang tidak setimpal dengan apa yang telah
diperbuatnya dan agar putusan hakim tersebut dapat menjadi pembelajaran
bagi masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana yang sama di kemudian
hari.
1.4. Bahwa terkait dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa yaitu tindak pidana
dibidang pertambangan, bahwa sektor pertambangan adalah sektor pemanfaatan
sumber daya alam (mineral dan batubara) yang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Aktivitas pertambangan yang ideal
harus menerapkan prinsip penambangan yang baik dan benar (good mining
practice). Ada lingkungan yang harus dijaga untuk meminimalisir kerusakan yang
disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Untuk itu, sebuah penambangan harus
memiliki izin menjalankan usaha dan beroperasi sesuai dengan standarisasi
pengolaan limbah. Kegiatan penambangan tanpa ijin yang dilakukan oleh
terdakwa (illegal) dapat beresiko merusak lingkungan karena mengikuti standart
yang ditetapkan oleh Undang-Undang, untuk itu penegakan hukum sector
Pertambangan Ilegal harus menjadi perhatian khusus mengingat dampak
terhadap lingkungan dan masyarakat yang ditimbulkan sangat berbahaya bagi
kelanjutan pembangunan kedepannya dan juga merugikan keuangan negara oleh
karena penerimaan negara berupa pajak dan bukan pajak pada sektor
pertambangan yang dilakukan oleh terdakwa tidak masuk ke Kas Negara.
1.5. Bahwa dengan dijatuhkannya pidana penjara selama 5 (lima) bulan oleh majelis
hakim, tentu hal tersebut tidak memenuhi rasa keadilan hukum, UU Minerba
menyatakan bahwa setiap orang melakukan Penambangan tanpa Izin Usaha
Pertambangan (IUP) diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,- (serratus miliar rupiah), tidak akan
membuat Terdakwa Junaedi Alias Amaq Rehanun jera dan tentu saja akan ada
kemungkinan Terdakwa Junaedi Alias Amaq Rehanun akan mengulangi
perbuatan sejenis di masa depan. Sehingga dengan demikian sudah sepatutnya
hukuman terdakwa diperberat dengan penjara selama 1 (satu) tahun dan
dikenakan pidana denda sebesar Rp 10.000.000,00 (Sepuluh juta rupiah) subsidiair
3 bulan pidana kurungan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan ini kami mohon supaya Pengadilan Tinggi Nusa
Tenggara Barat menerima permohonan banding dan menyatakan bahwa Terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana usaha pertambangan tanpa izin secara berlanjut melanggar Pasal
158 Jo Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-
Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara jo. Pasal 64
5
ayat (1) KUHP serta menjatuhkan pidana kepada Terdakwa BUKRAN Alias HAJI BUKRAN
sebagai berikut.
Berdasarkan hal-hal dan pertimbangan tersebut di atas, kami Jaksa Penuntut Umum
mohon supaya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram menerima dan memutuskan
sebagai berikut :
1. Menerima permohonan Banding Jaksa Penuntut Umum.
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Selong Nomor : 123/Pid.Sus/2022/PN.Sel
tanggal 15 September 2022 yang dimohonkan banding tersebut.
3. Mengadili sendiri :
1) Menyatakan terdakwa BUKRAN Als. HAJI BUKRAN terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan penambangan tanpa Izin
Usaha Pertambangan secara berlanjut” sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 158 Jo Pasal 35 ayat (3) huruf a Undang – Undang RI No. 3 Tahun 2020
tentang perubahan atas Undang – Undang RI Nomor 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa BUKRAN Als. HAJI BUKRAN dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan
denda Rp. 10.000.000, (sepuluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.
3) Memerintahkan agar terdakwa ditahan
4) Menetapkan agar barang bukti berupa:
1 (satu) unit Excavator warna kuning, merk Komatsu type PC 200
Dikembalikan kepada saksi SADRI.
sesuai dengan tuntutan pidana yang telah kami bacakan pada hari Selasa tanggal 30
Agustus 2022.
Penuntut Umum