Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS SUBSTANSI PERMA NOMOR 3 TAHUN 2017 DAN PEDOMAN

KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2021

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH HUKUM


PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN

DISELESAIKAN OLEH:
Arifin Setyo Budi (19/445107/HK/22121)
Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2021
A. PENDAHULUAN
Negara Indoneisa adalah negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan implikasi, termasuk
kewajiban negara memberikan perlindungan hukum kepada seluruh warga negara
indoneisa termasuk kepada perempuan dan anak.1 Kegiatan perlindungan anak merupakan
suatu tindakan hukum yang berakibat hukum juga, maka perlu adanya jamminan hukum
bagi kegiatan perlindungan perempuan dan anak. Komitmen Indonesia dalam memberikan
perlindungan kepada perempuan dan anak dapat tercermin pada beberapa produk hukum
yang ada, salah satunya merujuk pada PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang perkara
mengadili perempuan berhadapan dengan hukum dan Pedoman Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak
dalam penanganan perkara pidana.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya perlu dilakukan studi perbandingan substansi
antara PERMA Nomor 3 tahun 2017 dengan Pedoman Kejaksaan Republik Indoneisa
Nomor 1 Tahun 2021.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa subtansi penting yang ada di dalam Perma No. 3 Tahun 2017 dan Pedoman
Kejaksaan No. 1 Tahun 2021?

C. PEMBAHASAN
1. Apa subtansi penting yang ada di dalam PERMA Nomor 3 Tahun 2017 dan
Pedoman Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 dengan
membandingan persamaan dan perbedaannya?

Hadirnya PERMA Nomor 3 Tahun 2017 memiliki subtansi penting yang dinilai
cukup akomodatif dalam memberikan definisi relasi kuasa dan memberikan pedoman bagi
hakim untuk mengkaji relasi kuasa pada saat mengadili perkara yang melibatkan
perempuan. Selain itu adanya PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum ini juga dapat dijadikan momentum yang
baik bagi lahirnya putusan-putusan yang progresif dalam hal mengakomodasi hak-hak
korban, khususnya perempuan serta mengantisipasi penafsiran rumusan-rumusan tindak
pidana yang justru merugikan korban.
Adanya Pasal 5 PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili
Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, secara tegas memuat bahwa Dalam
pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, hakim tidak boleh:2
a) Menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan,
menyalahkan dan/atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum
b) Membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan
kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan
penafsiran ahli yang bias gender

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara
Perempuan Berhadapan Dengn Hukum.
c) Mempertanyakan dan/atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar
belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau
meringankan hukuman pelaku, dan ;
d) Mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender
Kejaksaan Republik Indonesia dengan semangat yang serupa dengan PERMA
Nomor 3 Tahun 2017 guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara, non
diskriminasi, mengeluarkan Pedoman Kejaksaan Republik Indonesia Nomer 1 Tahun
2021 yang dimaksudkan sebagai acuan bagi jaksa sekaligus optimalisasi dalam
pemenuhan akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum
dalam perkara pidana. Mulai pada tahap penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan,
penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pedoman tersebut memahami dan mengatur
secara detail kebutuhan korban agar siap dalam memberikan keterangan beserta
perlindungan terhadap informasi dan/atau dokumen terkait dengan seksualitas. Kedua
produk hukum a quo menegaskan kesamaan dalam komitmen menjamin kesetaraan
gender, perlindungan yang setara, dan non diskriminasi.
Perbedaan dari kedua peraturan tersebut dalam pemeriksaan persidangan dimana
perempuan menjadi pelaku ataupun korban. Pada kedua peraturan tersebut adalah
a) Pada Pedoman Kejaksaan mengatur secara komperhensif dari proses pidana dari
penyelidikan hingga pelaksanaan pidana, sedangkan dalam Perma hanya mengatur
mengenai proses persidangan.
b) Pada Pedoman Kejaksaan mengatur mengenai pembuktian perkara tindak pidana
khusus, seperti Tindak Pidana Kekerasan Seksual sampai dengan Tindak Pidana
Pelanggaran HAM Berat secara spesifik sedangkan pada Perma hanya mengatur
secara umum mengenai persidangan dimana perempuan berhadapan dengan
hukum.

D. PENUTUP DAN KESIMPULAN


Penulis berpendapat kedua produk hukum a quo memiliki persamaan serta
perbedaan mengenai perempuan yang berhadapan dengan hukum. Akan tetapi pada
hakikatnya persamaan dan perbedaan tersebut demi melindungi hak dari perempuan yang
sedang berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu keduanya menegaskan bahwa jaksa
dan hakim selayaknya harus memiliki semangat kemanusiaan dan melindungi kepentingan
perempuan dan anak guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara, non
diskriminasi.

Anda mungkin juga menyukai