KETERANGAN PEMERINTAH
Kepada Yth:
REPUBLIK INDONESIA
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini, ................. Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia sebagaimana Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan
Pengujian Undang-Undang dalam hal ini bertindak baik sendiri maupun bersama-sama untuk
dan atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor
Tertanggal ............... , Oleh karena itusah mewakili Pemerintah Republik Indonesia, untuk
Pasal 359 ayat (1) dan (2) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,
terhadap Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diohonkan oleh:
Dalam perkara yang telah terdaftar dalam Buku Register Perkara Konstitusi (BRPK)
Konstitusi tanggal 20 Januari 2019 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
I. PENDAHULUAN.
Apa yang menjadi kekhawatiran dan ketakutan banyak kalangan masyarakat
khususnya dari para insan setiap keluarga korban kecelakaan pesawat udara terhadap
hak-hak konstitusional dan menjadi bagian pelaksanaan dari semangat Pasal 28F
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, telah menjadi momok
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah
merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum
dan keadilan. Adapun mengenai tugas pokok dan kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang secara limitatif diuraikan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar
complait) adalah suatu pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh perorangan ke
Mahkamah Konstitusi terhadap perbuatan (atau kelalaian) suatu lembaga publik yang
dianggap inkonstitusional yang dideritanya. Artinya bahwa semua norma hukum baik
putusan dari lembaga legislatif maupun keputusan pemerintah (eksekutif) dan putusan
lebaga yudisial, dapat diuji melalui constitutional complaint selama norma hukum
warga negara.
Perlu diketahui bahwasanya terdapat perbedaan yang mendasar antara
dari penerapan suatu norma undang-undang, yang mana dibeberapa negara seperti
Jerman atau Austria dimasukkan kedalam ruang lingkup persoalan gugatan atau
melanggar isi konstitusi, tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-
Indonesia Tahun 1945, dan putusan pengadilan yang melanggar hak konstitusi
padahal sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat dilawan lagi
dengan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi, misalnya adanya putusan
kasasi atau herziening (peninjauan kembali) dari Mahkamah Agung yang ternyata
permohonan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon X pada perkara A Quo adalah
tidak diberinya pertanggungjawaban hukum berupa kejelasan informasi dan ganti rugi
yang seharusnya dapat diterima secara langsung dari pihak penerbangan yang
STANDING) PEMOHON.
Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
1, Tambahan Lemabran Negara Nomor 4956) terhadap Pasal 28F Undang-Undang Dasar
Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 (Vide Bukti) adalah perseorangan (natuurlijke
persoon) yang merupakan pemangku hak dan kewajiban serta merupakan Perorangan
Warga Negara Indonesia atau selompok orang yang memilki kepentingan yang sama
yang mana hal tersebut telah dibuktikannya melalui kepemilikan Kartu Tanda Penduduk
memenuhi kualifikasi sebagai Perorangan Warga Negara Indonesia atau sekelompok orang
yang memiliki kepentingan yang sama sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1)
Pasal 359 ayat (1) dan (2) pada kata “tidak” dan hasil investigasi kecelakaan yang berupa
Indonesia Tahun 1945. Pengertian Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
“Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menjelaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara
eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”;
Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai
pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud “Penjelasan
Pasal 51 ayat (1)” yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat
telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena
berlakunya suatu UndangUndang harus memenuhi 5 (lima) syarat dalam Putusan Nomor
dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan
tertanggal 11 Januari 2017 (hal. 13) (Vide Bukti)menjelaskan bahwa “Adanya parameter
saja tidaklah cukup, karena Pemohon masih harus membeuktikan terkait apakah sudah
dirugikan oleh berlakunya Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, juga apakah terdapat kerugian konstitusional
pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan apakah terdapat
Pemohon X
“tidak”pada Pasal 359 ayat (1) dan hasil investigasi kecelakaan yang berupa informasi
rahasia pada Pasal 359 ayat (2) dan tidak menimbulkan berbagai kerugian, timbulnya
ketidakadilan karena tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang mendukung dalilnya dalam
persidangan untuk membuktikan adanya kesalahan dari kecelakaan pesawat udara JT 610
(Boeing 737 MAX 8). Dengan demikian, Pemohon I sampai dengan Peohon X merasa bahwa
apa yang dialaminya merupakan akibat dari adanya kata “tidak” pada Pasal 359 ayat (1)
danhasil investigasi kecelakaan yang berupa informasi rahasia pada ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan dianggap melanggar hak
Berikut adalah pokok kerugian-kerugian yang diuraikan Pemohon I sampai dengan Pemohon
X dalam permohonannya:
dirasakan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon X tidak dirasakan oleh keluarga
korban dikemudian hari, tekanan secara kejiwaan terus menerus, setiap orang tidak
dengan Pemohon X adalah sesuatu yag pasti dirasakan dari terjadinya kecelakaan Pesawat
Udara. Hal ini berkaitan erat karena status Pemohon I sampai dengan Pemohon X sebagai
keluarga korban kecelakaan Pesawat Udara Lion JT 610 (Boeing 737 MAX 8).
Bahwa Pemerintah juga tidak sependapat dengan dalil Pemohon I sampai dengan
Pemohon X yang menyatakan bahwa hasil investigasi kecelakan pesawat udara harus
digunakan sebagai alat bukti dalam pproses peradilan untuk semata-mata hanya
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena menurut Pemerintah ketentuan pasal a
penyebab kecelakaan pesawat udara guna perbaikan sistem dunia penerbangan kedepannya.
Dengan perkataan lain, menurut Pemerintah ketentuan a quo merupakan bentuk upaya
perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara (konstitusi) terhadap
badan yang berwenang dalam mencari penyebab kecelakaan pesawat udara guna perbaikan
siste kedepannya.
Bahwa permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon X tidak jelas, tidak lengkap,
dan kabur (Obscuur Libel) dalam mengkontruksikan adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang dirugikan oleh keberlakuan ketentuan a quo, karena Pemohon I sampai
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jika demikian halnya maka yang terjadi adalah
yang lainnya (dalam hal ini antara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan), hal demikian menjadi kewenangan pembuat
undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengharmonisasikan, mensingkronkan melalui
undang-undang (constitutional review) dan persoalan yang timbul sebagai akibat dari
sedangkan dalam hal gugatan atau pengaduan konstitusional (constitutional complaint), yang
dipersoalkan adalah apakah suatu perbuatan pejabat publik telah melanggar suatu hak dasar
(basic rights) seseorang, yang antara lain dapat terjadi karena pejabat publik yang
berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yang lebih lanjut dipertegas dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Selain itu, menurut Pemerintah yang mestinya dilakukan oleh Pemohon I sampai dengan
Rp.2.500.000.000,00 sebagaimana yang telah ditetapkan kepada PT Lion Air selaku pihak
kejelasan informasi penyebab kecelakaan Pesawat Udara JT 610 (Boeing 737 MAX 8),
Menurut Pemerintah telah dipublikasikan oleh Badan yang berwenang dalam melakukan
investigasi yaitu Komisi Nasional Keselamatan Transportasi melalui Laporan KNKT Nomor
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat kerugian hak
ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang republik Indonesia Nomor 1 tahun
2009 tentang Penerbangan. Karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon I sampai
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika yang
Pengujian pada Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan yang diajukan Pemohon haruslah ditolak atau setidak-
permohonan dan cukup hanya memberikan keterangan sebatas tentang proses pembentukan,
latar belakang, dan hal-hal lain soal norma yang diujikan.Keterangan DPR dan Presiden
dalam uji materi materi undang-undang terhadap Undangan-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 mempunyai arti penting dalam Uji Materil untuk menggali hal-hal
yang lebih mendalam terkait latar belakang serta makna dari muatan yang terkandung dalam
pasal, ayat, bab, bagian, atau paragraf yang sedang diuji ateri sehingga didapatkan makna
maupun Presiden untuk memberi ketrangan terkait produk legislasinya yang sedang diuji
oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal terkait ruang lingkup keterangan Pemerintah dan DPR
pada perara pengujian undang-undang telah disebutkan secara jelas (certa) dalam Pasal 25
ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
berbunyi:
“keterangan Presiden adalah keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun
tertulis mengenai pokok permohoan yang merupakan hasil koordinasi dai menteri-
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah dalam memberikan keterangan yang merupakan pokok
permohonan adalah sudah tepat karena sudah memiki landasan yuridisnya. Oleh karena itu,
ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun
1) hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.
2) Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bukan digolongkan
ketentuan tersebut di atas oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon X dianggap bertentangan
denga Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
1. BAHWA MENURUT PEMOHON PASAL 359 AYAT (1) DAN (2) UNDANG-
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (1) yaitu hak untuk hidup, hak
beragama, hak untuk disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan
hukum dan hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kedaan apapun.
Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Hak dan kebebasan yang diatur
terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan,
didokumentasikan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan, (2)
Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bukan digolongkan
dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon X yang menyatakan bahwa Pasal 359 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang
bahwa rumusan Pasal a quo telah bertentangan dengan konvensi internasional yang
Civil Aviation 1944 Edisi 13 (konvenan Internasional Chicago 1944), Convention for
Indonesia terebut telah mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,
perjanjian internasional maka negara tersebut akat terikat dan tunduk pada
nasional.
Sebagai Negara Merdeka yang berdaulat, Indonesia telah aktif berperan dalam
dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
Presiden.
Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian
tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjajnjian yang
diratifikasinya.
Dalam hal ini, keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
1944 yang mana telah diratifikasi dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan
1944).
Walaupun saat ini, Indonesia telah meratifikasi Annex 13 Konvensi Chicago
1944 edisi ke-13, namun selama uu ini masih relevan dalam penerapannya,
oleh sebab itu tidak perlu untuk dihapuskan dan memperbaharui dengan
negara;
Bahwa penerbangan adalah bagian dari sistem transportasi nasional yang
potensi dan peranannya yang efektif dan efesien, serta membantu terciptnya
yang telah menyerap isi dari Annes 13 dan memasukkannya ke dalam undang-
lain.
Supaya bermanfaat, Annex 13 telah menjabarkan secara jelas mengenai tujuan
kecelakaan pesawat dan bukan untuk mencari kambing hitam menuding siapa
(atau sejenis dari negara lain) harus diberi prioritas untuk mengumpulkan dan
memeriksa barang bukti serta para saksi dan lain sebagainya. Namun Annex
13 secara jelas enegaskan bahwa itu tidak diperbolehkan dan negara harus
pihak kepolisisan ataupun pihak berwajib terkait lainnya, dan punya prioritas
yang lalu, polisi telah menahan pilot yang dianggap bersalah dan melakukan
penyidikan mereka. Perlu diketahui bahwa hal ini tidak hanya terjadi
masyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu negara.
masyarakat.
2) Asas kemanusiaan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
proporsional.
3) Asas kebangsaan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap
Tahun 1945.
7) Asas bhineka tunggal ika, setiap materi muatan peraturan perundang-
bertanggungjawab atas penumpang dan/atau barang yang diangkutnya. Secara umum, dalam
sebagai berikut:
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Liability Based on Fault
Principle)
b. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (Presumption of Liability)
c. Prinsip praduga tidak bersalah (Presumption of Non-liability)
d. Prinsip tanggungjawab mutlak (Absolute Liability/Strict Liability)
e. Prinsip tanggungjawab terbatas (Limitation of Liability)
Berdasarkan prinsip di atas, dalam penerapannya yang sering digunakan yaitu prinsip
tanggungjawab atas dasar praduga (Presumption of Liability). Prinsip ini mempunyai arti
pada penumpang atau ahli warisnya, karena penumpang luka atau tewas, atau bagasinya
rusak atau hilang. Jadi, apabila pengangkut merasa dirinya tidak bersalah, maka pihak
pengangkut ini disebut pembuktian terbalik. Dalam prinsip ini kemungkinan bagi pengangkut
dapat membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan atau tidak
mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan tersebut guna menghindarkan kerugian
yang timbul atau pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan akibat
kesalahan pengangkut.
Dalam hal ini, pihak keluarga korban merasa perlu untuk membawa kasus tersebut ke
dalam proses persidangan untuk membuktikan bahwa terdapat suatu kesalahan. Padahal
bertanggung jawab tanpa harus membuktikan bahwa ia bersalah atau tidak. Pemerintah
dalam hal ini telah memberikan ganti kerugian bagi para korban kecelakaan udara tersebut
sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di
Bahwa kemudian dipertegas besaran ganti kerugian yang diberikan dalam Pasal 165
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
“(1) Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat
tetap, atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) ditetapkan
Besaran ganti kerugian tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Menteri
“Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap
berikut:
Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per
penumpang;
b. penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata-mata
meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau pada
saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar
penumpang;
c. penumpang yang mengalami cacat tetap, meliputi :
1) penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka
miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang; dan
2) penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam
jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya
disembuhkan, atau terputusnya 2 (dua) tangan atau 2 (dua) kaki atau satu
tangan dan satu kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki, atau
disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau kaki pada atau di atas
rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap
perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
telah mengakomodir segala bentuk ganti kerugian jika terjadi suatu kecelakaan pesawat
udara. Tanpa mengurangi rasa hormat dari Pemerintah, kami merasa tindakan-tindakan yang
dilakukan untuk membuktikan kesalahan melalui pengadilan oleh para keluarga korban
dirasa merupakan suatu tindakan yang tidak perlu, karena hanya akan membuang-buang
waktu padahal sudah sangat jelas segala kerugian telah ditanggung oleh pihak Pengangkut.
Maka ketentuan yang termuat dalam Pasal 359 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dirasa masih relevan untuk digunakan dengan
internasional.
Keselamatan merupakan esensi dari dunia penerbangan internasional.
hingga dapat menunjang keselamatan penerbangan internasional. Hal ini dapat dilihat
dari tujuan konvensi chicago 1944 yang secara jelas menyatakan perlunya pengaturan
yang dinamakan dengan organisasi penerbangan sipil internasional atau ICAO. ICAO
merupakan salah satu badan khusus PBB yang menangani pengawasan dan
Civil Aviation 1944 atau biasa disebut dengan Chicago Convention 1944 (Konvensi
Chicago 1944). Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 43 Konvensi Chicago 1944
mengingat industri yang mengedepankan unsur teknologi tinggi dan berkaitan dengan
ketentuan internasional. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam aspek huku yang
bersinggungan dengan penggunaan ruang udara seperti masyarakta dan kondisi alam
dari suatu negara. Atas hal ini terdapat pendapat yang mengatakan bahwa:
“Air Law is a vast concept encompassing both national andd international law. It
touches upon all branches of law that may govern different aspects of the social
the view of the inherrent international evolve without regard to the evoltion that
merupakan ruh dari dunia penerbangan. Segala macam konsep yang diciptakan oleh
para ahli berkenaan dengan pesawat terbang dipastikan selalu memperhatikan aspek
diperoleh berbagai macam temuan yang dapat memberikan gambaran penyebab suatu
kecelakaan pesawat udara untuk kemudian dipelajari oleh berbagai macam pihak
yang terkait dengan dunia penerbangan dan dilakukan perbaikan demi menunjang
the involving death or serious injury, or indicating serious technical defect in the
aircraft or air navigation facilities, the state in the which the accident accurs will
far as its law permit, with the procedure which may be recomended by the ICAO.
The state in which the aircraft is registered shall be given the opportunity to
appoint abservers to be present at the inquiry and the state holding the inquiry
shall communicate the report and findings in the matter to the that state.”
Jika diperhatikan lebih lanjut, ketentuan dalam Pasal 26 memposisikan hukum
nasional lebih tinggi dari ketentuan hukum internasional. Hal ini terlihat dari kata-
kata so far as its law permit. Dalam hal ini, hukum nasional memiliki peranan penting
udara internasional dapat diterapkan dalam wilayah negara atau dengan bentuk-
rekomendasi ICAO.
Dalam praktiknya, manakala terjadi suatu kecelakaan pesawat uara,
investigasi selalu mengacu pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh ICAO seperti
guna menunjang keselamatan penerbangan dunia. Hingga saat ini terdapa sembilan
belas Annex yang dimilki oleh ICAO dan selalu diperbaharui guna menyesuaikan
Chicago 1944 yang mensyaratka para negara peserta ICAO untuk bekerjasama
kesempatan bahkan dapat dikatakan kewajiban bagi para negara peserta ICAO untuk
kecelakaan yang sama agar tidak terjadi dikeudian hari. Investigasi tedak bertujuan
untuk mencari kesalahan individu tertentu akan tetapi untuk membentuk suatu
yang dapat meyebabkan suatu kecelakaan atau insiden penerbangan. Dimulai dari
kesiapan badar udara, maupun cuaca. Nantinya dari hasil investigasi dpat
(2) Annex 13, negara tempat terjadinya kecelakaan berkewajiban untuk melindungi
dan menjaga keberadaan barang bukti yang dalam hal ini adalah pesawat itu sendiri.
kehancuran lebih lanjut dari pesawat dan pengambilan foto terhadap pesawat maupun
bagian-bagian tertentu dari pesawat untuk dijadikan bukti dalam laporan. Selama
dilakukan untuk satu masa tertentu sesuai dengan keperluan para penyelidik.
Investigasi merupakan inti dari Annex 13. Investigasi adalah suatu proses
pengumpulan data yang disertai dengan anlisis guna mencegah kejadian yang serupa
dilaksanakan oleh suatu badan khusus yang diberikan wewenang oleh negara untuk
badan khusus dapat mengacu kepada segenap ketentuan yang tercantum di dala
Annex 13. Satu hal yang pasti, badan-badan khusus yang melaksanakan investigasi
harus independen agar hasil laporan investigasi yang dihasilkan tidak dipengaruhi
oleh pihak manapun, baik operator maupun regulator. Nantinya, hasil investigasi
investigasi dengan kewenangan eksklusif untuk berada dan meninjau lokasi kejadian.
Dalam suatu kecelakaan pesawat, flight recordes memiliki peranan penting sebagai
melakukan pemetaan dapat dilakukan oleh negara tempat terjadinya kecelakaan atau
Suatu kecelakaan identik dengan korban jiwa dan luka. Kecelakaan penerbangan dari
tahun 1959-2006 di berbagai belahan jiwa. Korban jiwa tersebut meliputi korban
penumpang pesawat dan korban yang berada diluar pesawat. Akan hal ini, Annex 13
memberikan pengaturan dibidang otopsi dan perawatan kesehatan. Meskipun tidak
korban yang mengalami luka serius maupun luka-luka lainnya. Selain itu, kepala
tindak pidana atau tindakan melanggar hukum lainnya yang telah membahayakan
Dalam hal ini, segenap informasi dari orang-orang yang memilki kaitan (bekerja)
dengan pesawat naa, informasi medis dan pribadi dari para korban kecelakaan,
rekaman penerbangan (flight recorder), serta berbagai acam informasi lainnya yang
tersebut dapat dijabarkan pada laporan final setelah investigasi resmi dihentikan.
Suatu investigasi yang telah selesai dapat dibuka kembali apabila ditemukan bukti-
bukti baru. Apabila yang hendak melakukan investigasi ulang bukan negara yang
persetujuan terlebih dahulu dari negara yang pertama kali melakukan investigasi. Hal
membutuhkan data yang telah telah ada sebelumnya yang dimiliki oleh negara lain.
Dalam hal ini diperlukan suatu kerjasama dari negara peserta ICAO untuk turut
kedaulatan negara yang terkadang mempersulit individu untuk melakukan suatu hal
dengan tujuan yang baik yang dalam hal ini adalah investigasi kecelakaan pesawat.
Setelah suatu investigasi telah selesai dilaksanakan maka segenap data yang
terhimpun dalam investigasi akan dihimpun dalam suatu bentuk laporan yang disebut
dengan laporan final. Laporan final pertama-tama dibuat dalam bentuk kasar (konsep)
semua negara yang berpartisipasi dalam kegiatan investigasi. Kesemua pihak (negara)
tambahan pada konsep tersebut. Kesemua proses ini berlangsung 60 hari dihitung dari
tanggal konsep. Oleh karenanya, apabila dalam 60 hari sejak pengiriman konsep
negara pelaksana investigasi dapat mengirimkan hasil laporan final akhir kepada:
investigasi.
Salah satu hal yang harus terdapat di dalam laporan final adalah rekomendasi dapat
ditujukan kepada siapapun terkait dengan kecelakaan, baik itu operator atau regulator,
rekomendasi tidak dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak tersebut memilki
penerbangan. Potensi masalah tersebut dapat dijadikan obyek perbaikan pada masa
menunjang keselamata. Selain itu, pusat data kecelakaan serta insiden pesawat
mempelajari berbagai macam kasus kecelakaan dalan dan insiden pesawat terbang
yang pernah terjadi untuk kemudian melakukan analisi yang hasilnya digunakan
dapat menciptakan suatu kerjasama dalam hal investigasi kecelakaan dan investigasi
keamanan dan keselamatan terbang. Keduanya merupakan lex specialis dalam hukum
memilki peranan penting dalam pembangunan ekonomi bangsa. Hal ini demikian
adanya karena transportasi merupkan sarana penghubung antara satu daerah dengan
daerah lainnya. Kesadaran akan pentingnya angkutan udara sebagai salah satu sarana
Pada dasarnya, penerbangan sebagai salah satu unsur dari transportasi, harus
dikelola secara terpadu sehingga dapat memnuhi unsur keselamatan dan keamanan
kepada pemerintah untuk membina penerbangan di ndonesia. Salah satu poin penting
logis dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Chicago 1944 yang melahirkan
ICAO.
penerbangan terdapat dalam Bab 7 hingga bab 9 yang terdiri dari 18 pasal. Bab 7
berjudul keamanan dan keselamatan terbang, bab 8 berjudul Bandar Udara, dan baba
kecelakaan pesawat udara. Semua ketentuan yang terkandung dalam ketiga bab
indonesia hingga saat ini telah mengacu kepada ketentuan penerbangan internasional.
undang penerbangan. Terdiri dari 14 bab dan 104 pasal, isi peraturan ini menegaskan
bahwa keselamatan penerbangan merupakan suatu kondisi yang hanya dapat terwujud
dengan penataan terhadap prosedur operasi dan persyaratan teknis terhadap sarana
penerbangan terpaku pada kata penataan, maka segenap ketentuan dalam peraturan
pemerintah tentang keamanan dan keselamatan penerbangan ditujukan kepada pihak
Berkenaan dengan penataan itu sendiri, terdapat satu pelajaran berharga yang
wajib ditangkap oleh operator dan regulator. Kedua pihak embutuhkan kejujuran dan
menjadi bijaksana dan benar bila operator tidak menggunkana pesawat tersebut. Pihak
harus dilakukan secara konsisten, terpadu, dan meyeluruh. Hal ini, meskipun
penerbangan memilki kesataraan dan cukup up to date dengan kondisi saat ini. Hal ini
Penerbangan diundangkan pada bulan oktober 2001 sehingga emilki cakupan hingga
perkembangan terakhir seputar dunia penerbangan di awal abad 21. Dalam hal ini,
kedatangan pesawat udara dan prosedur penyelidikan kecelakaan atau kejadian pada
pesawat udara (KM 1 Tahun 2004). Ketiga peraturan tersebut merupakan peraturan
indonesia sebagai salah satu negara anggota ICAO memilki kepentingan untuk
terlepas dari segenap ketentuan internasional. Dan sebagai interpretasi lebih lanjut
keselamatan penerbangan merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar oleh
Indonesia.
terkadang suit untuk ditakar ataupun dijabarkan. Namun demikian, selalu ada benang
indentikkan dengan keadaan aman. Oleh karenanya untuk mencapai keadaan aman
tersebut dibutuhkan berbagai macam cara dan pemebelajaran. Salah satunya adalah
penerbangan.
7. IMPLEMENTASI PENGATURAN INVESTIGASI KECELAKAAN PESAWAT
dan kelaikan serta kecakapan terbang yang mengacu kepada ketentuan internasional.
Dikatakan mengacu kepada ketentuan internasional karena hal-hal mengenai
pendaftaran pesawat, kelaikan terbang dan kecekapan telah terlebih dahulu diatur
dalam pasal 29, 31, dan 32 Konvensi Chicago 1944. Khusus masalah kelaikan dan
adalah keselamtan. Hal ini sejalan dengan inti dari Konvensi Chicago 1944 dan esensi
faktor keselamtan. Tak lepas dari hal tersebut adalah pengikutsertaan Indonesia
udara.
Selanjutnya Undang-undang Penerbangan tahun 1992 sendiri juga telah
Penerbangan yang mana terdiri dari 24 Bab dan 466 Pasal. Dari jumlah tersebut,
dalam Bab 13 hingga bab 21yang terdiri dari 82 Pasal. Yang mana Bab 13berjudul
ini. Seperti sudah diungkapkan sebelumnya, dari hasil investigasi kecelakaan pesawat
oleh Annex 13, tujuan investigasi adalah untuk mencari penyebab kecelakaan pesawat
penerbangan. Dalam hal ini Annex 13 merupakan suatu ketentuan yang wajib untuk
1951 dalam pertemuan 18 pada sesi 12. Namun demikian tidak semua negara peserta
ICAO menjadi peserta dalam Annex 13. Hal ini dikarenakan posisi Annex 13 yang
merupakan suatu perjanjian internasional yang terpisah dari Konvensi Chicago 1944
sehingga dibutuhkan proses penundukan diri (consent to be bound) lebih lanjut bagi
suatu negara apabila negara tersebut berkehendak untuk menjadi peserta dalam Annex
berupa hak dan kewajiban bagi negara pesertanya. Hal ini dapat dilihat dari segenap
ketentuan yang terdapat dalam Annex 13 itu sendiri berkenaan dengan kerja sama
antarnegara maupun kerja sama antara negara maupun kerja sama antara negara
dari konvensi Chicago 1944, segenap ketentuan dalam Annex 13 dapat dikatakan
bersifat wajib untuk ditaati. Dikatakan demikian karena ditinjau dari sisi manfaat
maupun kegunaannya, Annex 13 akan memberikan dampak positif bagi negara-
negara peserta. Oleh karenanya, tidak menjadi suatu masalah menakala suatu negara
tidak mengikutsertakan diri dalam Annex 13. Selain itu, berdasarkan Pasal 38,
oleh ICAO. Nantinya ICAO, melalui concil akan memberitahu negara peserta
lainnya. Dengan adanya ketentuan ini, terdapat suatu kewajiban dengan kehalusannya
untuk negara-negara peserta ICAO agar bertindak sesuai dengan SARPs. Hal ini jika
menjadi relevan. Melalui mekanise yang terdapat didalam Pasal 38, suatu negara yang
tidak ikut serta dalam Annex 13 dan peraturan negara tersebut berbeda dengan SARPs
internasional oleh negara peserta lainnya. Hal ini merupakan suatu probabilitas yang
dimungkinkan untuk muncul dalam suatu hubungan internasional antar negara dalam
kesatuan yang tidak terpisahkan dari suatu undang-undang, sehingga membuat hal-hal
yang tertulis didalam bagian penjelasan sebagai suatu ha yang imperatif dan serupa
dalam negeri dan juga mengacu kepada Annex 13. Proses investigasi oleh KNKT pun
kerap melibatkan pihak yang memproduksi pesawat maupun perwakilan dari negara
menggunakan format yang terdapat dalam Annnex 13. Hal ini dapat dilihat dari dua
laporan terakhir KNKT yang telah dipublikasikan hingga saat ini. Ditambah lagi
dengan keterangan dari KNKT sendiri yang menyatakan bahwa Annex 13 merupakan
pesawat di Indonesia.
Salah satu bentuk implementasi Annex 13 di Indonesia sebagaimana disebut
Dengan demikian, apabila otoritas yang independen telah terbentuk dan diberikan
kewenangan untuk melakukan investigasi sesuai dengan ketentua dalam Annex 13,
didasarkan pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang
transportasi.
Tugas KNKT sebagaimana tertulis di atas merupakan implementasi lebih lanjut dari
investigasi kecelakaan pesawat udara pada KNKT melalui Sub Komite Penelitian
Kecelakaan Transportasi Udara. Akan tetapi, hal ini jika dikaitkan dengan
keberlakuan Annex 13 memberikan satu pertanyaan tersendiri. Terlebih lagi ketentuan
menciptakan suatu contoh bahwa hukum internasional dapat berlaku secara langsung
di Indonesia tanpa melalui pernyataan penundukan diri (consent to be bound). Hal ini
Adapun untuk masa sebelum Keppres Nomor 105 Tahun 1999 berlaku Undang-
Hasil nyata dari investigasi yang dilakukan oleh KNKT adalah adanya laporan
Annex 13, suatu laporan harus memilki format tertentu yang menggambarkan secara
kemudian hari.
dilaksanakan oleh negara tempat terjadinya kecelakaan pesawat selaku tuan rumah
yang merakit dan merancang pesawat, pihak yang memproduksi pesawat dengan
korban negara asing yang terdapat di dalam pesawat naas, pihak yang menyewa
maupun memberikan sewa pesawat naas, negara peserta ICAO dan negara lainnya
yang bukan peserta ICAO namun wilayahnya kedapatan menjadi tempat kecelaakn
dirasa kurang memadai. Hal ini dimungkinkan karena keberadaa Annex yang sudah
lama tidak diamanden sehingga kurang merespons kondisi maupun keinginan baru
faktor kedaulatan masih dipegang teguh dalam Annex 13. Formulasi kata-kata yang
tinggi. Akan hal ini dibutuhkan pengertian dari berbagai pihak terkait dengan
karenanya, semua faktor yang dapat menunjang investigasi yang mandiri, independen,
dan omprehensif mutlak untuk didukung. Terkait dengan hal tersebut, investigasi yang
dilaksanakan secara bersama oleh beberapa negara menjadi penting karena dalam
berbagai negara) akan memudahkan dan memuaskan berbagai pihak yang memilki
keselamatan penerbangan.