Anda di halaman 1dari 39

Jakarta, 20 Januari 2019

KETERANGAN PEMERINTAH

Kepada Yth:

KETUA/MAJELIS HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

Di Jalan Medan Merdeka Barat No.6

Jakarta Pusat 10110

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini, ................. Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia sebagaimana Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara

Pengujian Undang-Undang dalam hal ini bertindak baik sendiri maupun bersama-sama untuk

dan atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor

Tertanggal ............... , Oleh karena itusah mewakili Pemerintah Republik Indonesia, untuk

elanjutnya dalam keterangan ini disebut sebagai Pemerintah.

Bahwa berdasarkan surat panggilan Mahkamah Konstitusi Nomor ............. tertanggal

telah mengadiri sidang di Mahkamah Konstitusi untuk menyampaikan keterangan secara

lisan kepada Majelis Mahkamah Konstitusi atas Permohonan Pengujian Undang-Undang

Pasal 359 ayat (1) dan (2) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,

terhadap Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

diohonkan oleh:

1. Agus, S.H, M.H.


2. Ni Putu Selyawati, S.H, M.H.
3. Natalia Sihotang, S.H, M.H.
4. Arif Ramadhan, S.H, M.H.

Dalam perkara yang telah terdaftar dalam Buku Register Perkara Konstitusi (BRPK)

dengan Nomor Register ................. .

Segala keterangan lisan yang disampaikan Pemerintah pada sidang Mahkamah

Konstitusi tanggal 20 Januari 2019 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

keterangan ini, oleh karena itu untuk selanjutnya perkenankanlah Pemerintah

menyampaikan katerangan tertulis sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN.
Apa yang menjadi kekhawatiran dan ketakutan banyak kalangan masyarakat

khususnya dari para insan setiap keluarga korban kecelakaan pesawat udara terhadap

pemberlakuan Rancangan Undang-Undang Penerbangan, akhirnya menjadi

kenyataan. Rancangan Undang-Undang yang semula diharapkan menjadi pelindung

hak-hak konstitusional dan menjadi bagian pelaksanaan dari semangat Pasal 28F

Undang-Undang Dasar Nagara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi

“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan nformasi

dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, telah menjadi momok

bagi kebebasan berkomunikasi, memperoleh informasi dengan menggunakan segalan

jenis saluran yang tersedia..


II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA A QUO.
Mahkamah Konstitusi merupakan ssalah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping

Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini berarti Mahkamah

Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum

dan keadilan. Adapun mengenai tugas pokok dan kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang secara limitatif diuraikan dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi:


“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai

politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”


Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

secara tegas menyatakan bahwa Mahkamah mempunyai kewenangan untuk

memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap apakah suatu undang-undang

bertentangan atau tidak dengan konstitusi, sementara perihal pengaduan

konstitusional (constitutional complaint) hingga saat ini Mahkmah Konstitusi belu

memilki kewenangan untuk menangani perihal constitutional complaint tersebut.


Bahwa menurut Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. dalam bukunya yang

berjudulPengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum

terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara(Vide Bukti)

menjelaskan bahwa yang dimaksud pengaduan konstitusional (constitutional

complait) adalah suatu pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh perorangan ke

Mahkamah Konstitusi terhadap perbuatan (atau kelalaian) suatu lembaga publik yang

mengakibatkan terlanggarnya hak-hak dasar (basic rights) atau hak-hak

konstitusional orang yang bersangkutan.


Secara umum perkara yang diajukan ke mahkamah Konstitusional untuk dapat

diselesaikan melalui constitutional complaint sebelumnya harus ada upaya hukum

terlebih dahulu dari Pemohon ke lembaga berwenang mengenai tindakan yang

dianggap inkonstitusional yang dideritanya. Artinya bahwa semua norma hukum baik

undang-undang produk legislatif maupun keputusan pemerintah (eksekutif) dan

putusan dari lembaga legislatif maupun keputusan pemerintah (eksekutif) dan putusan

lebaga yudisial, dapat diuji melalui constitutional complaint selama norma hukum

tersebut bersifat individual, yang merugikan hak-hak konstitutional setiap individu

warga negara.
Perlu diketahui bahwasanya terdapat perbedaan yang mendasar antara

pengujian undang-undang terhadap konstitusi dan persoalan timbul sebagai akibat

dari penerapan suatu norma undang-undang, yang mana dibeberapa negara seperti

Jerman atau Austria dimasukkan kedalam ruang lingkup persoalan gugatan atau

pengaduan konstitusional (constitutional complaint) yang kewenangan mengadilinya

juga diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.


Perkara yang bisa dilakukan constitutional complaint yaitu kebijakan

pemerintah, peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang langsung

melanggar isi konstitusi, tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dibawah Undang-Undang Dasar negara Republik

Indonesia Tahun 1945, dan putusan pengadilan yang melanggar hak konstitusi

padahal sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan tidak dapat dilawan lagi

dengan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi, misalnya adanya putusan

kasasi atau herziening (peninjauan kembali) dari Mahkamah Agung yang ternyata

merugikan hak konstitusional seseorang.


Setelah membaca dan mencermati permohonan Pemohon I sampai dengan

Pemohon X, maka depat ditarik kesimpulan bahwa latar belakang pengajuan

permohonan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon X pada perkara A Quo adalah

tidak diberinya pertanggungjawaban hukum berupa kejelasan informasi dan ganti rugi

yang seharusnya dapat diterima secara langsung dari pihak penerbangan yang

bersangkutan. Menurut Pemerintah hal tersebut lebih mengarah kepada pengaduan

konstitusional (constitutional complaint) ketimbang pengujian undang-undang

terhadap konstitusi(judicial review on the constitutionality of law), hal ini karena

Pemohon I sampai dengan Pemohon X menemui kelemahan atau kekurangan yang

terjadi dalam proses penerapan norma berupaperaturan perundang-undangan yang

melanggar konstitusi tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.


Berdasarkan hal yang telah disampaikan diatas, Pemerintah berpendapat

bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan


memutus perkara A Quo karena Constitutional Complaint tidak termasuk dalam

ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi, meskipun Pemerintah tetap

menyerahkan keputusannya kepada Mahkamah Konstitusi.

III. ARGUMEN PEMERINTAH TERHADAP KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL

STANDING) PEMOHON.

Kualifikasi Pemohon I sampai dengan Pemohon X pada perkara pengujian Pengujian

Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor

1, Tambahan Lemabran Negara Nomor 4956) terhadap Pasal 28F Undang-Undang Dasar

Negara Repulik Indonesia Tahun 1945 (Vide Bukti) adalah perseorangan (natuurlijke

persoon) yang merupakan pemangku hak dan kewajiban serta merupakan Perorangan

Warga Negara Indonesia atau selompok orang yang memilki kepentingan yang sama

yang mana hal tersebut telah dibuktikannya melalui kepemilikan Kartu Tanda Penduduk

dengan Nomor Induk Kependudukan Pemohon I 317409611290001, Pemohon II

317469112400001, Pemohon III 3174096112900001, Pemohon IV 3173492122960003,

Pemohon V 3203012503770011, Pemohon VI 3203221708600005, Pemohon VII

2103013503980001, Pemohon VII 2004013603980002, Pemohon VIII 2001013619980002,

dan Pemohon X 1401045105430003. Oleh karenanya Pemohon I sampai dengan X telah

memenuhi kualifikasi sebagai Perorangan Warga Negara Indonesia atau sekelompok orang

yang memiliki kepentingan yang sama sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1)

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi yang berbunyi :

a. Perorangan Warga Negara Indonesia;


b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam undang-undang;


c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.”
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon X mengajukan permohonan pengujian

(constitutional review)ke Mahkamah Konstitusi karena merasa dirugikan dengan berlakunya

Pasal 359 ayat (1) dan (2) pada kata “tidak” dan hasil investigasi kecelakaan yang berupa

informasi rahasia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan bertentangan dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Pengertian Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud

dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkaah Konstitusi yang dipertegas dalam penjelasannya, bahwa

“Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menjelaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara

eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”;

Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai

pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian

Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan

membuktikan:

a. kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana disebut

dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud “Penjelasan

Pasal 51 ayat (1)” yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat

berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.

Batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah Konstit usi Republik Indonesia

telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena

berlakunya suatu UndangUndang harus memenuhi 5 (lima) syarat dalam Putusan Nomor

006/PUU-III/ 2005 dan Nomor 010/PUU-III/2005) yaitu sebagai berikut:


a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UndangUndang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan

oleh suatu Undang-Undang yang diuji;


c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus)

dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar

dapat dipastikan akan terjadi;


d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya

Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;


e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian

konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan

pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka Pemohon tidak memiliki

kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Pemohon;

Mahkamah Konstitusi sebagai melalui Putusan Nomor 43/PUU-XIV/2016

tertanggal 11 Januari 2017 (hal. 13) (Vide Bukti)menjelaskan bahwa “Adanya parameter

kerugian konstitusional tersebut memberikan konsekuensi yaitu harus terpenuhi

seluruhnya syarat kerugian tersebut karena sifatnya yang kumulatif”.

Terpenuhinya kualifikasi sebagai pemohon perseoramham dalam Pasal 51 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Noor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

saja tidaklah cukup, karena Pemohon masih harus membeuktikan terkait apakah sudah

tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya

dirugikan oleh berlakunya Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, juga apakah terdapat kerugian konstitusional

pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat

potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan apakah terdapat

hubungan kausalitas (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang

yang dimohonkan untuk diuji. Pemerintah akan menguraikan kekurangan Pemohon

dalam membuat poin-poin parameter kerugian konstitusionalnya sebagai berikut:


Mengenai kerugian-kerugian yang dialami Pemohon I sampai dengan

Pemohon X

Pemohon I sampai dengan Pemohon X berpandangan bahwa dengan adanya kata

“tidak”pada Pasal 359 ayat (1) dan hasil investigasi kecelakaan yang berupa informasi

rahasia pada Pasal 359 ayat (2) dan tidak menimbulkan berbagai kerugian, timbulnya

ketidakadilan karena tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang mendukung dalilnya dalam

persidangan untuk membuktikan adanya kesalahan dari kecelakaan pesawat udara JT 610

(Boeing 737 MAX 8). Dengan demikian, Pemohon I sampai dengan Peohon X merasa bahwa

apa yang dialaminya merupakan akibat dari adanya kata “tidak” pada Pasal 359 ayat (1)

danhasil investigasi kecelakaan yang berupa informasi rahasia pada ayat (2) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan dianggap melanggar hak

konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon X sehingga bertentangan dengan Pasal

28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berikut adalah pokok kerugian-kerugian yang diuraikan Pemohon I sampai dengan Pemohon

X dalam permohonannya:

a. Tidak dapat meminta pertanggungjawaban hukum berupa kejelasan fakta mengenai

terjadinya kecelakaan pesawat udara dan berujung pada keresahan masyarakat

(kerugiaan yang bersifat spesifik khusus);


b. Terjadinya kegaduhan mengenai kebenaran fakta ditengah masyarakat. ( kerugian

yang bersifat aktual);


c. Mengganggu produktifitas setiap keluarga korban dalam menjalani kehidupan berupa

sumber pendapatan, kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban yang yang

dirasakan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon X tidak dirasakan oleh keluarga

korban dikemudian hari, tekanan secara kejiwaan terus menerus, setiap orang tidak

percaya pada kualitas perusahaan penerbangan yang beroperasi di Indonesia.

(kerugian yang bersifat potensial);

Pemerintah berpendapat bahwa kerugian-kerugian yang diuraikan oleh Pemohon I sampai

dengan Pemohon X adalah sesuatu yag pasti dirasakan dari terjadinya kecelakaan Pesawat
Udara. Hal ini berkaitan erat karena status Pemohon I sampai dengan Pemohon X sebagai

keluarga korban kecelakaan Pesawat Udara Lion JT 610 (Boeing 737 MAX 8).

Bahwa Pemerintah juga tidak sependapat dengan dalil Pemohon I sampai dengan

Pemohon X yang menyatakan bahwa hasil investigasi kecelakan pesawat udara harus

digunakan sebagai alat bukti dalam pproses peradilan untuk semata-mata hanya

membuktikan adanya kesalahan dalam kecelakaan pesawat dan meminta

pertanggungjawaban hukum berupa kejelasan fakta terjadinya kecelakaan pesawat udara di

pengadilan, dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon I

sampai dengan Pemohon X, dan karenanya dianggap bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena menurut Pemerintah ketentuan pasal a

quotidak semata-mata ditujukan untuk menggunakan sebebasnya, tetapi untuk mencari

penyebab kecelakaan pesawat udara guna perbaikan sistem dunia penerbangan kedepannya.

Dengan perkataan lain, menurut Pemerintah ketentuan a quo merupakan bentuk upaya

perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara (konstitusi) terhadap

badan yang berwenang dalam mencari penyebab kecelakaan pesawat udara guna perbaikan

siste kedepannya.

Bahwa permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon X tidak jelas, tidak lengkap,

dan kabur (Obscuur Libel) dalam mengkontruksikan adanya hak dan/atau kewenangan

konstitusional yang dirugikan oleh keberlakuan ketentuan a quo, karena Pemohon I sampai

dengan Pemohon X dalam permohonanya ternyata menitikberatkan kepada adanya

kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh undang-undang sebagai pengguna informasi

publik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jika demikian halnya maka yang terjadi adalah

pertentangan dan ketidaksingkronan (disharmoni) antara undang-undang yang satu dengan

yang lainnya (dalam hal ini antara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan), hal demikian menjadi kewenangan pembuat
undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengharmonisasikan, mensingkronkan melalui

mekanisme legislative review, bukan melalui constitutional review di Mahkamah Konstitusi.

Bahwa menurut Pemerintah, harus dibedakan antara pengujian konstitusionalitas norma

undang-undang (constitutional review) dan persoalan yang timbul sebagai akibat dari

penerapan suatu norma undang-undang. Di sejumlah negara (misalnya

Austria(Bundesverfassungsgerichts), Jerman atau korea selatan) dimasukkan kedalam ruang

lingkup peroalan gugatan atau pengaduan konstitusional (contitutional complaint) yang

kewenangan mengadilinya juga diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam hal

pengujian konstitisionalitas norma undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,

sedangkan dalam hal gugatan atau pengaduan konstitusional (constitutional complaint), yang

dipersoalkan adalah apakah suatu perbuatan pejabat publik telah melanggar suatu hak dasar

(basic rights) seseorang, yang antara lain dapat terjadi karena pejabat publik yang

bersangkutan keliru dalam menafsirkan norma undang-undang dalam penerapannya. Namun

berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, yang lebih lanjut dipertegas dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

bahwa Mahkamah Konstitusi antara lain mempunyai kewenangan menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(constitutional

review) dan tidak memiliki kewenangan constitutional complaint.

Selain itu, menurut Pemerintah yang mestinya dilakukan oleh Pemohon I sampai dengan

Pemohon X adalah meminta pertanggungjawaban hukum berupa ganti kerugian sebanyak

Rp.2.500.000.000,00 sebagaimana yang telah ditetapkan kepada PT Lion Air selaku pihak

perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Selain itu, Terkait dengan pemberitahuan

kejelasan informasi penyebab kecelakaan Pesawat Udara JT 610 (Boeing 737 MAX 8),

Menurut Pemerintah telah dipublikasikan oleh Badan yang berwenang dalam melakukan
investigasi yaitu Komisi Nasional Keselamatan Transportasi melalui Laporan KNKT Nomor

18.10.35.04 tentang Aircraft Accident Investigation Report (Vide Bukti).

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat kerugian hak

dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon I sampai dengan Pemohon X atas berlakunya

ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang republik Indonesia Nomor 1 tahun

2009 tentang Penerbangan. Karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon I sampai

dengan Pemohon X dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan

sebagaimana tercanttum dalam pasal 51 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun

berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.

Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan sudah sepatutnyalah jika yang

Mulia Katua/Majelis Hakim Mahkamah konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan

Pengujian pada Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan yang diajukan Pemohon haruslah ditolak atau setidak-

tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).

IV. Argumen Pemerintah terhadap Alasan-Alasan Permohonan Pemohon

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang dan penataan

kembali mengenai regulasi hukum acara Mahkamah Konstitusi, sehingga membuat

pemerintah sebagai pemberi keterangan tidak seharusnya berkomentar terkait pokok

permohonan dan cukup hanya memberikan keterangan sebatas tentang proses pembentukan,

latar belakang, dan hal-hal lain soal norma yang diujikan.Keterangan DPR dan Presiden

dalam uji materi materi undang-undang terhadap Undangan-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mempunyai arti penting dalam Uji Materil untuk menggali hal-hal
yang lebih mendalam terkait latar belakang serta makna dari muatan yang terkandung dalam

pasal, ayat, bab, bagian, atau paragraf yang sedang diuji ateri sehingga didapatkan makna

embentukan undang-undang secara komprehensif, sehingga diwajibkan kehadiran DPR

maupun Presiden untuk memberi ketrangan terkait produk legislasinya yang sedang diuji

oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal terkait ruang lingkup keterangan Pemerintah dan DPR

pada perara pengujian undang-undang telah disebutkan secara jelas (certa) dalam Pasal 25

ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara

dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang

berbunyi:

“keterangan Presiden adalah keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun

tertulis mengenai pokok permohoan yang merupakan hasil koordinasi dai menteri-

menteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait.”

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah dalam memberikan keterangan yang merupakan pokok

permohonan adalah sudah tepat karena sudah memiki landasan yuridisnya. Oleh karena itu,

Pemerintah Pemerintah berpendapat bahwa yang menjadi poin-poin pembahasan dan

argumen dalam berkas keterangan ini sangatlah tepat.

A. Keterangan Pemerintah Atas Pemohonan Pengujian Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam Permohonannya yang menyatakan bahwa

ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun

2009 tentang Penerbangan, yang menyatakan sebagai berikut:

1) hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.
2) Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bukan digolongkan

sebagai informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.

ketentuan tersebut di atas oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon X dianggap bertentangan

denga Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang

menyatakan sebagai berikut:


Pasal 28F menyatakan:

“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencarai,

memperoleh, memilki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Terhadap anggapan/alasan Pemohon tersebut diatas, pemerintah dapat menyampaikan

penjelasan/argumen sebagai berikut:

1. BAHWA MENURUT PEMOHON PASAL 359 AYAT (1) DAN (2) UNDANG-

UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG

PENERBANGAN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 28F UNDANG-

UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.

TERHADAP PERMOHONAN PEMOHON I SAMPAI DENGAN PEMOHON

X TERSEBUT DAPAT DITANGGAPI SEBAGAI BERIKUT:


 Bahwa hak konstitusional sebagaimana dimaksud pada Pasal 28F Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bukanlah termasuk

hak-hak konstitusional yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I ayat (1) yaitu hak untuk hidup, hak

beragama, hak untuk disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak

beragama, hak untuk diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan

hukum dan hak untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah

Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kedaan apapun.

2. BAHWA HAK KONSTITUSIONAL SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM

PASAL 28F UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 1945 TERSEBUT DIBATASI OLEH:


 Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap

orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditentukan dengan undang-

udang dengan maksuud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta


penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi

tentutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masarakat demokratis”;


 Pasal 73 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Hak dan kebebasan yang diatur

dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh berdasarkan undang-

undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan

terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan,

ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”;


 Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik yang menyatakan:


1) Badan Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang

dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.


2) Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila

tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


3) Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik,

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:


a. informasi yang dapat membahayakan negara;
b. informasi yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan

usaha dari persaingan usaha tidak sehat;


c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi;
d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan;dan/atau
e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau

didokumentasikan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan bahwa (1)hasil

investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan, (2)

Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bukan digolongkan

sebagai informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat, sehingga terhadap

dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon X yang menyatakan bahwa Pasal 359 ayat

(1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan bertentangan dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 adalah tidak beralasan.


3. BAHWA MENURUT PEMOHON MENGANGGAP RUMUSAN PASAL A QUO

MELANGGAR KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL:


Bahwa dalam pokok permohonan, Pemohon I sampai dengan Pemohon X menilai

bahwa rumusan Pasal a quo telah bertentangan dengan konvensi internasional yang

telah diratifikasi oleh Indonesia, diantaranya adalah The Convention on International

Civil Aviation 1944 Edisi 13 (konvenan Internasional Chicago 1944), Convention for

the Unification of Certain Rules for International Carriage by air (Konvensi

Montreal 1999), International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik), dan Universal Declaration of Human

Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Pemohon I sampai dengan

Pemohon X menjelaskan bahwa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh

Indonesia terebut telah mengakui dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,

terutama Hak untuk hidup, hak untuk memperoleh informasi.


Oleh karena itu, Pemohon menyimpulkan bahwa penerapan Pasal a quo, selain

bertentangan dengan konstitusi juga bertentangan dengan konvenan dan konvensi

internasional sehingga tidak dapat diberlakukan di Indonesia.


Bahwa penjelasan Pemohon tersebut, Pemerintah menanggapi sebagai berikut:
 Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada

kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negra untuk

meratifikasi suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi

perjanjian internasional maka negara tersebut akat terikat dan tunduk pada

perjanjian internasional yang telah ditandantangani, selama materi sustansi

dalam perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

nasional.
 Sebagai Negara Merdeka yang berdaulat, Indonesia telah aktif berperan dalam

pergaula hubungan internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian

internasional dengan negara-negara lain. Dalam melaksanakan perjanjian-

perjanjian internasional tersebut, Indonesia menganut Primat Hukum Nasional

dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

daripada Hukum Internasional.


 Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, telah diterbitkan surat Presiden Nomor: 2826/Hk

tentang Pengesahan Perjanjian Internasional (Vide Bukti) yang berisi

ketentuan-ketentuan sebagai berikut:


1) Bila perjanjian internasional tersebut mengatur perjanjian tentang

masalah-masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan

Negara Republik Indonesia, diratifikasi dengan undang-undang.


2) Dalam hal perjanjian internasional tersebut mengatur tentang masalah-

masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan Keputusan

Presiden.
 Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian

Internasional telah diratifikasi dengan undang-undang tentang Pengesahaan

Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai

dengan isi ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur

tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjajnjian yang

diratifikasinya.
 Dalam hal ini, keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan bersumber dari Annex 13 Konvensi Chicago

1944 yang mana telah diratifikasi dalam peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pengesahan

Protocol On The Authentic Quinquelingual Text of The Convention On

International Civil Aviation, Chicago 1944 (Protokol tentang Naskah Asli

Bahasa Kelima dari Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, Chicago

1944).
 Walaupun saat ini, Indonesia telah meratifikasi Annex 13 Konvensi Chicago

1944 edisi ke-13, namun selama uu ini masih relevan dalam penerapannya,

oleh sebab itu tidak perlu untuk dihapuskan dan memperbaharui dengan

mengacu pada Annex 13 Konvensi Chicago 1944 edisi ke-13.


 Bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoesia Tahun 1945, mewujudkan

Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem


transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pegembangan

wilayah, mempererat hubungan antar bangsa, dan memperkukuh kedaulatan

negara;
 Bahwa penerbangan adalah bagian dari sistem transportasi nasional yang

mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan

teknomlohi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan

jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan

potensi dan peranannya yang efektif dan efesien, serta membantu terciptnya

pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis. Menyadari peran

transportasi tersebut, penyelenggaraan penerbangan harus ditata dalam satu

kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan

penyediaan jasa transportasi yang seimbang dan mampu mewujudkan

penyediaa jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan, selamat,

aman, efektif, dan efesien.


 Annex 13 Konvensi ICAO adalah dokumen dasar mengenai investigasi atau

penydikan kecelakaan pesawat terbang angkutan sipil. ada banyak negara

yang telah menyerap isi dari Annes 13 dan memasukkannya ke dalam undang-

undang negara tersebut. Pada sarnya Annex 13 dirumuskan untuk menangani

masalah kecelakaan pesawat yang bersifat internasional atau antar bangsa,

tetapi dalam prakteknya kebanyakan negara menerapkannya untuk kasusu

penyidikan kecelakaan pesawat dalam negeri, yang tidak melibatkan bangsa

lain.
 Supaya bermanfaat, Annex 13 telah menjabarkan secara jelas mengenai tujuan

dari penyidikan kecelakaan pesawat, yaitu untuk mencegah terjadinya

kecelakaan pesawat dan bukan untuk mencari kambing hitam menuding siapa

yang bersalah. Annex 13 secara jelas menegaskan bahwa penyidik KNKT

(atau sejenis dari negara lain) harus diberi prioritas untuk mengumpulkan dan

memeriksa barang bukti serta para saksi dan lain sebagainya. Namun Annex

13 secara jelas enegaskan bahwa itu tidak diperbolehkan dan negara harus

memilki undang-undang yang memperbolehkan dan melindungi para penyidik


KNKT (atau sejenis) untuk melakukan penyidikan tanpa interferensi dari

pihak kepolisisan ataupun pihak berwajib terkait lainnya, dan punya prioritas

terhadap akses ke barang bukti.


 Memang sangat disayangkan bahwa kebanyakan negara memiliki undang-

undang yang sering berseberangan dengan kesepakatan Konvensi Chicago

yang ditandatanganinya. Kita tahu bahwa dalam kasus kecelakaan peswat

Garuda yang tergelincir dilandasan bandara di Jogyakarta beberapa tahun

yang lalu, polisi telah menahan pilot yang dianggap bersalah dan melakukan

tindakan pidana, sebelum para penyidik KNKT selesai melakukan tugas

penyidikan mereka. Perlu diketahui bahwa hal ini tidak hanya terjadi

Indonesia ataupun negara negara Asia lainnya, tetapi juga di Australia,

Selandia Baru, Amerika Serikat, Inggris, dan lain sebagainya.


4. PASAL A QUO TELAH MEMENUHI ASAS MATERI MUATAN

PERUNDANG-UNDANGAN (ASAS PENGAYOMAN, ASAS KEMANUSIAAN,

DAN ASAS KETERTIBAN DAN KEPASTIAN HUKUM)


Pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dan mudah diterapkan di

masyarakat merupakan salah satu pilar utama bagi penyelenggaraan suatu negara.

Apabila kita membicarakan terkait ilmu perundang-undangan, maka harus membahas

pula proses pembentukan membentuk peraturan negara, dan sekaligus seluruh

peraturan negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan-peraturan negara,

baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah.


Adapun yang dimaksud dengan asas-asas yang berlaku dalam materi muatan

peraturan perundang-undangab tersebut diuaraikan dalam penejlasan Pasal 6 ayat (1)

Undang-Undang Republik Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemebentukan Peraturan

Perundang-Undangan (Vide Bukti), yang mengatakan:


1) Asas pengayoman, setiap peraturan perundang-undangan harus berfungsi

memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman

masyarakat.
2) Asas kemanusiaan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mecerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta


harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional.
3) Asas kebangsaan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap

menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.


4) Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalm

setiap penngambilan keputusan.


5) Asas kenusantaraan, setiap materi mjuatan peraturan perundang-undangan

senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan bagian

materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah

merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan pancasila.


6) Asas dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.
7) Asas bhineka tunggal ika, setiap materi muatan peraturan perundang-

undangan harus memperhatikan keragaman produk, agama, suku, dan

golongan, kondisin khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


8) Asas keadilan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus

mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.


9) Asas kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, setiap materi muatan

peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat

membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama, suku, ras,

golongan, gender, atau status sosial.


10) Asas ketertiban dan kepastian hukum, stiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat

melalui jaminan adanya kepastian hukum.


11) Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, setiap materi muata

peraturan perundang-undangan harus mencerminkan kesimbangan, keserasian,

dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan

kepentingan dan negara.


5. TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA DALAM KASUS

KECELAKAAN PESAWAT UDARA.


Dalam setiap usaha pengangkuatan, setiap pengangkut pada uumnya harus

bertanggungjawab atas penumpang dan/atau barang yang diangkutnya. Secara umum, dalam

hukum pengangkutan dikenal adanya prinsip-prinsip tanggungjawab pengangkut, yaitu

sebagai berikut:
a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Liability Based on Fault

Principle)
b. Prinsip tanggungjawab atas dasar praduga (Presumption of Liability)
c. Prinsip praduga tidak bersalah (Presumption of Non-liability)
d. Prinsip tanggungjawab mutlak (Absolute Liability/Strict Liability)
e. Prinsip tanggungjawab terbatas (Limitation of Liability)

Berdasarkan prinsip di atas, dalam penerapannya yang sering digunakan yaitu prinsip

tanggungjawab atas dasar praduga (Presumption of Liability). Prinsip ini mempunyai arti

bahwa pengangkut dianggap selalu bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan

pada penumpang atau ahli warisnya, karena penumpang luka atau tewas, atau bagasinya

rusak atau hilang. Jadi, apabila pengangkut merasa dirinya tidak bersalah, maka pihak

pengangkut wajib membuktikannya. Beban pembuktian yang diberikan kepada pihak

pengangkut ini disebut pembuktian terbalik. Dalam prinsip ini kemungkinan bagi pengangkut

dapat membuktikan bahwa ia telah mengambil semua tindakan yang diperlukan atau tidak

mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan tersebut guna menghindarkan kerugian

yang timbul atau pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan akibat

kesalahan pengangkut.

Dalam hal ini, pihak keluarga korban merasa perlu untuk membawa kasus tersebut ke

dalam proses persidangan untuk membuktikan bahwa terdapat suatu kesalahan. Padahal

berdasarkan prinsip Presumption of Liability tersebut seorang pengangkut tetaplah akan

bertanggung jawab tanpa harus membuktikan bahwa ia bersalah atau tidak. Pemerintah

dalam hal ini telah memberikan ganti kerugian bagi para korban kecelakaan udara tersebut

sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang berbunyi sebagai berikut:


“(1) Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal

dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di

dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara”.

Bahwa kemudian dipertegas besaran ganti kerugian yang diberikan dalam Pasal 165

ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

yang termuat dalam Peraturan Menteri sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

“(1) Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat

tetap, atau luka-luka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) ditetapkan

dengan Peraturan Menteri.”

Besaran ganti kerugian tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan

Udara yang diuraikan sebagai berikut:

“Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap

atau luka-Iuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan sebagai

berikut:

a. penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat

kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada

hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar

Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per

penumpang;
b. penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata-mata

ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses

meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau pada

saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar

udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti

kerugian sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per

penumpang;
c. penumpang yang mengalami cacat tetap, meliputi :
1) penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka

waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya

kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp1.250.000.000,00 (satu

miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang; dan
2) penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam

jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya

kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam

lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


d. Cacat Tetap Total sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 yaitu

kehilangan penglihatan total dari 2 (dua) mata yang tidak dapat

disembuhkan, atau terputusnya 2 (dua) tangan atau 2 (dua) kaki atau satu

tangan dan satu kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki, atau

Kehilangan penglihatan total dari 1 (satu) mata yang tidak dapat

disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau kaki pada atau di atas

pergelangan tangan atau kaki.


e. Penumpang yang mengalami luka-Iuka dan harus menjalani perawatan di

rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap

dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya

perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) per penumpang.”

Maka berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut telah sangat jelas bahwa pengangkut

telah mengakomodir segala bentuk ganti kerugian jika terjadi suatu kecelakaan pesawat

udara. Tanpa mengurangi rasa hormat dari Pemerintah, kami merasa tindakan-tindakan yang

dilakukan untuk membuktikan kesalahan melalui pengadilan oleh para keluarga korban

dirasa merupakan suatu tindakan yang tidak perlu, karena hanya akan membuang-buang

waktu padahal sudah sangat jelas segala kerugian telah ditanggung oleh pihak Pengangkut.

Maka ketentuan yang termuat dalam Pasal 359 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dirasa masih relevan untuk digunakan dengan

keadaan saat ini.


6. Pengatuan investigasi kecelakaan pewat udara berdasarkan hukum

internasional.
Keselamatan merupakan esensi dari dunia penerbangan internasional.

Berbagai macam ketentuan penerbangan internasional dihimpun sedemikian rupa

hingga dapat menunjang keselamatan penerbangan internasional. Hal ini dapat dilihat

dari tujuan konvensi chicago 1944 yang secara jelas menyatakan perlunya pengaturan

konprehensif di bidang penerbangan internasional terdapat organisasi internasional

yang dinamakan dengan organisasi penerbangan sipil internasional atau ICAO. ICAO

merupakan salah satu badan khusus PBB yang menangani pengawasan dan

menstandarisasi keselamatan penerbangan internasional. ICAO merupakan hasil

bentukan konferensi chicago 1944 yang menghasilkan Convention on International

Civil Aviation 1944 atau biasa disebut dengan Chicago Convention 1944 (Konvensi

Chicago 1944). Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 43 Konvensi Chicago 1944

yang membentuk ICAO.


Keberadaan ICAO di dalam hukum internasional menadi signifikan

mengingat industri yang mengedepankan unsur teknologi tinggi dan berkaitan dengan

keselamatan nyawa manusia. Selain itu, pengaturan dibidang hukum udara

merupakan suatu konsep luas yang mensinergikan ketentuan nasional dengan

ketentuan internasional. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam aspek huku yang

bersinggungan dengan penggunaan ruang udara seperti masyarakta dan kondisi alam

dari suatu negara. Atas hal ini terdapat pendapat yang mengatakan bahwa:
“Air Law is a vast concept encompassing both national andd international law. It

touches upon all branches of law that may govern different aspects of the social

relations created by the aeronautical uses of the technical, economic, and

political realities of each national constituency, namely, the state. Similarly, in

the view of the inherrent international evolve without regard to the evoltion that

takes places in national constituency”.


Oleh karenanya, ICAO memilki fungsi untuk menciptakan standar dalam dunia

penerbangan internasional sehingga terdapat keseragaman pengaturan dunia

penerbangan yang mendukung keselamatan penerbangan.


Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa keselamatan penerbangan

merupakan ruh dari dunia penerbangan. Segala macam konsep yang diciptakan oleh

para ahli berkenaan dengan pesawat terbang dipastikan selalu memperhatikan aspek

pkeselamatan dari penerbangan itu sendiri.


Salah satu aspek dari keselamata penerbangan adalah ketentuan mengenai

investigasi kecelakaan pesawat udara. Investigasi kecelakaan pesawat udara

mutlahdilakukan karena dari hasil investigasi kecelakaan pesawat udara dapat

diperoleh berbagai macam temuan yang dapat memberikan gambaran penyebab suatu

kecelakaan pesawat udara untuk kemudian dipelajari oleh berbagai macam pihak

yang terkait dengan dunia penerbangan dan dilakukan perbaikan demi menunjang

keselamatan penerbangan. Pasal 26 konvensi chicago 1944 (Vide

Bukti)mengamanatkan para negara peserta ICAO untuk melakukan investigasi

terhadap pesawat yang mengalami naas dengan memperhatikan ketentuan hukum di

negara tempat terjadinya kecelakaan pesawat udara.


“In the event of an accident to an aircraft of the contracting state occurring in

the involving death or serious injury, or indicating serious technical defect in the

aircraft or air navigation facilities, the state in the which the accident accurs will

institute an an inquiry into the circumstances of the accident, in accordance, so

far as its law permit, with the procedure which may be recomended by the ICAO.

The state in which the aircraft is registered shall be given the opportunity to

appoint abservers to be present at the inquiry and the state holding the inquiry

shall communicate the report and findings in the matter to the that state.”
Jika diperhatikan lebih lanjut, ketentuan dalam Pasal 26 memposisikan hukum

nasional lebih tinggi dari ketentuan hukum internasional. Hal ini terlihat dari kata-

kata so far as its law permit. Dalam hal ini, hukum nasional memiliki peranan penting

untuk melimitasi sejauh mana ketentuan mengenai investigasi kecelakaan pesawat

udara internasional dapat diterapkan dalam wilayah negara atau dengan bentuk-

bentuk tertentunya. Meskipun demikian, dalam investigasi kecelakaan pesawat udara,

negara peserta ICAO memilki kebiasaan untuk tetap memepertimbangkan

rekomendasi ICAO.
Dalam praktiknya, manakala terjadi suatu kecelakaan pesawat uara,

investigasi selalu mengacu pada rekomendasi yang dikeluarkan oleh ICAO seperti

yang tertuang dalam Annex 13 beserta peraturan pelaksanaannnya. Melalui Annex,

diatur berbagai macam hal secara mendetail mengenai penerbangan internasional

guna menunjang keselamatan penerbangan dunia. Hingga saat ini terdapa sembilan

belas Annex yang dimilki oleh ICAO dan selalu diperbaharui guna menyesuaikan

dengan kondisi di lapangan. Annex didasarkan pada ketentuan Pasal 37 konvensi

Chicago 1944 yang mensyaratka para negara peserta ICAO untuk bekerjasama

menyusun ketetuan internasional yang akan menunjang keselamatan navigasi udara.


Berdasarkan adanya Pasal 37 Konvensi Chicago 1944(Vide Bukti), terbuka

kesempatan bahkan dapat dikatakan kewajiban bagi para negara peserta ICAO untuk

meruuskan ketentuan dalan berbagai macam ha yang menyangkut keselamatan

penerbangan termasuk elemen-elemen pendukungnya.


Adapun tujuan utama dari investigasi kecelakaan pesawat adalah mencegah

kecelakaan yang sama agar tidak terjadi dikeudian hari. Investigasi tedak bertujuan

untuk mencari kesalahan individu tertentu akan tetapi untuk membentuk suatu

laporan konprehensif yang dapat dipergunakan untuk menunjang keselamatan

penerbaangan. Seperti sudah dikatakan sebelumnya, terdapat berbagai macam faktor

yang dapat meyebabkan suatu kecelakaan atau insiden penerbangan. Dimulai dari

menajemen perusahaan penerbangan, perawatan pesawat, kecakapan manusia,

kesiapan badar udara, maupun cuaca. Nantinya dari hasil investigasi dpat

diperkirakan faktor-faktor mana yang paling mempengaruhi sehingga menyebakab

terjadnya suatu kecelakaan atau insiden penerbangan.


Annex 13 juga mengatur perlindungan barang bukti. Berdasarkan Pasal 3 ayat

(2) Annex 13, negara tempat terjadinya kecelakaan berkewajiban untuk melindungi

dan menjaga keberadaan barang bukti yang dalam hal ini adalah pesawat itu sendiri.

Perlindungan tersebut mecakup pemeliharaan yang bertujuab untuk menghindari

kehancuran lebih lanjut dari pesawat dan pengambilan foto terhadap pesawat maupun

bagian-bagian tertentu dari pesawat untuk dijadikan bukti dalam laporan. Selama

berlangsungnya investigasi, tidak seorangpun yang diperkenankan untuk mendekati


pesawat terlebih lagi mengambil bagian-bagiab dari pesawat. Kegiatan perlindungan

dilakukan untuk satu masa tertentu sesuai dengan keperluan para penyelidik.
Investigasi merupakan inti dari Annex 13. Investigasi adalah suatu proses

pengumpulan data yang disertai dengan anlisis guna mencegah kejadian yang serupa

terulang dikemudian hari. Proses investigasi kecelakaan pesawat lazimnya

dilaksanakan oleh suatu badan khusus yang diberikan wewenang oleh negara untuk

melakukan investigasi itu sendiri. Dalam melaksanakan investigasi tersebut, badan-

badan khusus dapat mengacu kepada segenap ketentuan yang tercantum di dala

Annex 13. Satu hal yang pasti, badan-badan khusus yang melaksanakan investigasi

harus independen agar hasil laporan investigasi yang dihasilkan tidak dipengaruhi

oleh pihak manapun, baik operator maupun regulator. Nantinya, hasil investigasi

harus memiliki bagian-bagian tertentu seperti:


a. Semua inforasi yang terdapat dilokasi kejadian;
b. Rekomendasi sehubungan dengan keselamatan penerbangan;
c. Penyebab kecelakaan;
d. Laporan akhir, dan;
e. Kunjungan lokasi kejadian (apabila dimungkinkan).

Negara pelaksana investigasi harus menunjuk seseorang untuk enjadi kepala

investigasi dengan kewenangan eksklusif untuk berada dan meninjau lokasi kejadian.

Kewenangan eksklusif dapat berupa:

a. Akses kepada bangkai pesawat;


b. Pengumpulan flight recordes dan ATS recordes;
c. Kontrol atas investigasi;
d. Kerjasama dengan aparatur pengadilan untuk membantu proses investigasi.

Dalam suatu kecelakaan pesawat, flight recordes memiliki peranan penting sebagai

pengungkap kecelakaan pesawat. Kepala investigasi berkewajiban untuk segera

melakukan pemetaan dapat dilakukan oleh negara tempat terjadinya kecelakaan atau

negara lainnya yang memiliki peralatan lebih memadai.

Suatu kecelakaan identik dengan korban jiwa dan luka. Kecelakaan penerbangan dari

tahun 1959-2006 di berbagai belahan jiwa. Korban jiwa tersebut meliputi korban

penumpang pesawat dan korban yang berada diluar pesawat. Akan hal ini, Annex 13
memberikan pengaturan dibidang otopsi dan perawatan kesehatan. Meskipun tidak

mendatai, Annex 13 mensyaratkan adanya ahli patologi untuk memriksa kondisi

korban yang mengalami luka serius maupun luka-luka lainnya. Selain itu, kepala

investigasi juga memilki kewajiban untuk memberitahukan pihak aparat penegak

hukum di negara tempat terjadinya kecelakaan pesawat manakala terdapat suatu

tindak pidana atau tindakan melanggar hukum lainnya yang telah membahayakan

keselamatan penerbangan. Informasi yang diberikan oleh kepala investigasu adalah

informasi rahasia yang tidak diperkenankan untuk disebarluaskan kepada siapapun.

Dalam hal ini, segenap informasi dari orang-orang yang memilki kaitan (bekerja)

dengan pesawat naa, informasi medis dan pribadi dari para korban kecelakaan,

rekaman penerbangan (flight recorder), serta berbagai acam informasi lainnya yang

dapat memberikan dampak tertentu pada invesitigasi merupakan jenis-jenis informasi

yang tidak diperkenankan untuk dipublikasikan. Namun demikian, kesemua informasi

tersebut dapat dijabarkan pada laporan final setelah investigasi resmi dihentikan.

Selain itu, Annex 13 juga mengatur pembukaan kembali suatu investigasi.

Suatu investigasi yang telah selesai dapat dibuka kembali apabila ditemukan bukti-

bukti baru. Apabila yang hendak melakukan investigasi ulang bukan negara yang

pertama kali melakukan investigasi, maka negara tersebut haru mendapatkan

persetujuan terlebih dahulu dari negara yang pertama kali melakukan investigasi. Hal

tersebut dibutuhkan karena negara yang akan melakukan investigasi baru

membutuhkan data yang telah telah ada sebelumnya yang dimiliki oleh negara lain.

Dalam hal ini diperlukan suatu kerjasama dari negara peserta ICAO untuk turut

mensukseskan proses investigasi lanjutan. Pada dasarnya, Annex 13 merupakan

peraturan hukum internasional yang hendak memudahkan dan memperjelas pekerjaan

yang akan dilaksanakan dalam suatu investigasi kecelakaan pesawat. Melalui

ketentuan di dalam Annex 13 hendak direduksi berbagai macam persoalan seputar

kedaulatan negara yang terkadang mempersulit individu untuk melakukan suatu hal

dengan tujuan yang baik yang dalam hal ini adalah investigasi kecelakaan pesawat.
Setelah suatu investigasi telah selesai dilaksanakan maka segenap data yang

terhimpun dalam investigasi akan dihimpun dalam suatu bentuk laporan yang disebut

dengan laporan final. Laporan final pertama-tama dibuat dalam bentuk kasar (konsep)

oleh negara yang melakukan investigasi. Selanjutnya, konsep dikirimkan kepada

semua negara yang berpartisipasi dalam kegiatan investigasi. Kesemua pihak (negara)

yang menerima konsep diberikan kesempatan untuk memasukkan komentar ataupun

tambahan pada konsep tersebut. Kesemua proses ini berlangsung 60 hari dihitung dari

tanggal konsep. Oleh karenanya, apabila dalam 60 hari sejak pengiriman konsep

negara pelaksana investigasi belum menerima balasan dari negara-negara lainnya,

negara pelaksana investigasi dapat mengirimkan hasil laporan final akhir kepada:

a. Negara yang mengadakan investigasi;


b. Negara yang pendaftaran pesawat;
c. Negara yang mengoperasikan pesawat;
d. Negara yang merancang pesawat;
e. Negara yang memproduksi pesawat;
f. Negara lainnya yang warga negaranya menjadi korban jiwa atau mengalami

luka serius; dan


g. Negara manapun yang turut memberikan bantuan signifikan selama proses

investigasi.

Salah satu hal yang harus terdapat di dalam laporan final adalah rekomendasi dapat

ditujukan kepada siapapun terkait dengan kecelakaan, baik itu operator atau regulator,

agar rekomendasi dilakukan guna menunjang keselamatan penerbangan. Apabila

rekomendasi tidak dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak tersebut memilki

kesempatan untuk menyampaikan alasannya.

Selain mengatur berbagai macam hal berkenaan dengan investigasi

kecelakaan pesawat, Annex 13 juga mengatur tindakan preventif yang dapat

dilakukan guna mereduksi kecelakaan pesawat. Tindakan tersebut berupa inventarisir

permasalahan seputar keselamatan penerbangan dan pusat data kecelakaan serta

insiden pesawat terbang yang ada di negara masing-masing negara. Tindakan

inventarisir seputar keselamatan penerbangan diperlukan agar masing-masing negara


mengetahui potensi masalah yang dihadapinya berkenaan dengan keselamatan

penerbangan. Potensi masalah tersebut dapat dijadikan obyek perbaikan pada masa

mendatang mengingat semangat yang terkandung dala dunia penerbangan adalah

menunjang keselamata. Selain itu, pusat data kecelakaan serta insiden pesawat

terbang dibutuhkan agar pihak-pihak terkait dengan dunia penerbangan dapat

mempelajari berbagai macam kasus kecelakaan dalan dan insiden pesawat terbang

yang pernah terjadi untuk kemudian melakukan analisi yang hasilnya digunakan

untuk menunjang keselamatan penerbangan. Nantinya, negara-negara peserta ICAO

dapat menciptakan suatu kerjasama dalam hal investigasi kecelakaan dan investigasi

pesawat terbang untuk dapat menjaga dan menopang keselamatan penerbangan.

Pengaturan keselamatan penerbangan di indonesia sendiri secara garis besar terdapat

dalam undang-undang penerbangan dan peraturan pemerintah tentang tentang

keamanan dan keselamatan terbang. Keduanya merupakan lex specialis dalam hukum

nasional indonesia. Adapun segenap peraturan menteri perhubungan di bidang

penerbangan merupakan peraturan yang menunjang kedua peraturan dan

menjembatani kondisi nyata yang dinamis dengan pengaturan di bidang penerbangan.

Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992

tentang Penerbangan (Undang-Undang Penerbangan) disebutkan bahwa transportasi

memilki peranan penting dalam pembangunan ekonomi bangsa. Hal ini demikian

adanya karena transportasi merupkan sarana penghubung antara satu daerah dengan

daerah lainnya. Kesadaran akan pentingnya angkutan udara sebagai salah satu sarana

transportasi dimulai semenjak berakhrnya perang dunia kedua.

Pada dasarnya, penerbangan sebagai salah satu unsur dari transportasi, harus

dikelola secara terpadu sehingga dapat memnuhi unsur keselamatan dan keamanan

yang semaksimal mungkin. Undang-undang penerbangan memberikan kewenangan

kepada pemerintah untuk membina penerbangan di ndonesia. Salah satu poin penting

yang terdapat di dalam undang-undang undang-undang penerbangan adalah

pernaytaan mengenai keanggotaan indonesia dalam ICAO. Dalam penjelasan undang-


undang penerbangan, dikatakan bahwa Indonesia (dalam hal ini adalah Pemerintah)

memiliki kewajiban untuk menyelaraskan pengaturan sistem penerbangannya dengan

ketentuan yang terkandung di dalam Konvensi Chicago 1944. Dengan adanya

ketentuan ini, terdapat satu kejelasan bahwa pengaturan sistem penerbangan di

Indonesia diharuskan untuk mengacu pada ketentuan internasional. Selain itu,

penataan terhadap ketentuan ICAO oleh Indonesia merupakan suatu konsekuensi

logis dari keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Chicago 1944 yang melahirkan

ICAO.

Undang-Undang Penerbangan Indonesia terdiri dari 15 Bab dan 76 Pasal. Dari

jumlah tersebut, ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan keselamatan

penerbangan terdapat dalam Bab 7 hingga bab 9 yang terdiri dari 18 pasal. Bab 7

berjudul keamanan dan keselamatan terbang, bab 8 berjudul Bandar Udara, dan baba

9 berjudul pencarian dan pertolongan kecelakaan serta penelitian sebab-sebab

kecelakaan pesawat udara. Semua ketentuan yang terkandung dalam ketiga bab

tersebut merupakan ketentuan yang diadpsi dari ketetntuan hukum udara

internasional. Dapat dikatakan bahwa pengaturan keselamatan dunia penerbangan

indonesia hingga saat ini telah mengacu kepada ketentuan penerbangan internasional.

Beralih dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Penerbangan disamping itu lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001

tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan

Keselamatan Penerbangan (peraturan pemerintah tentang keamana dan keselamtan

penerbangan) merupakan peraturan yang menjabarkan lebih lanjut ketentuan undang-

undang penerbangan. Terdiri dari 14 bab dan 104 pasal, isi peraturan ini menegaskan

bahwa keselamatan penerbangan merupakan suatu kondisi yang hanya dapat terwujud

dengan penataan terhadap prosedur operasi dan persyaratan teknis terhadap sarana

serta prasarana penerbanga, dikarenakan penekanan terhadap keselamatan

penerbangan terpaku pada kata penataan, maka segenap ketentuan dalam peraturan
pemerintah tentang keamanan dan keselamatan penerbangan ditujukan kepada pihak

oprator dan regulator.

Berkenaan dengan penataan itu sendiri, terdapat satu pelajaran berharga yang

wajib ditangkap oleh operator dan regulator. Kedua pihak embutuhkan kejujuran dan

inegritas dalam melaksanakan operasi penerbangan. Apabila pesawat mengalami

kerusakan sekecil apapun yang dapat menganggu keselamatan suatu penerbanga,

menjadi bijaksana dan benar bila operator tidak menggunkana pesawat tersebut. Pihak

operator juga dituntut untuk memiliki manajemen yang mengerti bahkan

berpengalaman di bidang penerbangan. Dilai pihak, regulator juga harus mengawasi

dengan konsisten ketaatan terhadap peraturan pemerintah tentang keamanan dan

keselamatan penerbangan dan segenap peraturan penerbangan lainnya. Pemeriksaan

harus dilakukan secara konsisten, terpadu, dan meyeluruh. Hal ini, meskipun

membutuhkan suatu upaya yang besar namun mengingat pemeriksaan bersinggungan

dengan faktor keselamatan maka menjadi suatu hal yang mutlak.

Seperti undang-undang penerbangan, peraturan pemerintah tentang keamanan

dan keselamatan penerbangan menegaskan kembali bahwa pemerintah memilki

kewajiban untuk melakukan pembinan terhadap keamanan dan keselamatan

penerbangan melalui menteri perhubungan.

Jika dibandingkan dengan ketentuan internasional, Konvensi Chicago dan

sembilanbelas Annex, peraturan pemerintah tentang keamanan dan keselamatan

penerbangan memilki kesataraan dan cukup up to date dengan kondisi saat ini. Hal ini

dimungkinkan karena Peraturan Pemerintah tentang Kemanan dan Keselamatan

Penerbangan diundangkan pada bulan oktober 2001 sehingga emilki cakupan hingga

perkembangan terakhir seputar dunia penerbangan di awal abad 21. Dalam hal ini,

pengaturan keselamatan penerbangan yang terkandung dalam peraturan pemerintah

tentang keamanan dan keselamatan penerbangan mengakomodir dan dapat dikatakan

sesuai dengan ketentuan intenaional.


Pengaturan investigasi kecelakaan pesawat udara di Indonesia mengacu pada

ketentuan undang-undang Penerbangan dan keputusan Menteri Nomor 1 Tahun 2004

tentang Pemberitahuan dan pelaporan kecelakaan, kejadian atau keterlambatan

kedatangan pesawat udara dan prosedur penyelidikan kecelakaan atau kejadian pada

pesawat udara (KM 1 Tahun 2004). Ketiga peraturan tersebut merupakan peraturan

perundang-undangan nasional dengan sifatnya yang Lex Specialis sehingga harus

dikedepankan dalam penanganan kasusu-kasus yang berkaitan dengan penerbangan.

Dala paragraf terakhir dari penjelasan undang-undang penerbangan dikatakan bahwa

indonesia sebagai salah satu negara anggota ICAO memilki kepentingan untuk

mematuhi ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh ICAO dengan mengedepankan

kepentingan nasional. Selain sebagai penegasan terhadap keikutsertaan Indonessia

dalam Icao, kalimat yang terkandung dalam penjelasan undang-undang penerbanhgan

tersebut bermakna bahwasanya pengaturan nasional dibidang hukum udara tidak

terlepas dari segenap ketentuan internasional. Dan sebagai interpretasi lebih lanjut

akan hal tersebut adalah compliance terhadap ketentuan internasional dibidang

keselamatan penerbangan merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar oleh

Indonesia.

Pengaturan yang ada sudah jelas mengatakan bahwa keselamatan merupakan

esensi dari penerbangan. Keselamtan sendiri merupakan terminologi abstrak dan

terkadang suit untuk ditakar ataupun dijabarkan. Namun demikian, selalu ada benang

merah yang dapat melimitasi defenisi dari suatu keadaan.keselamtan dapat di

indentikkan dengan keadaan aman. Oleh karenanya untuk mencapai keadaan aman

tersebut dibutuhkan berbagai macam cara dan pemebelajaran. Salah satunya adalah

melalui investigasi kecelakaan pesawat udara. Melalui investigasi kecelakaan pesawat

udara dapat dipelajari penyebab terjadinya suatu kecelakaan sehingga kecelakaan

serupa dapat dihindarkan dikeudian hari sehingga menunjang keselamatan

penerbangan.
7. IMPLEMENTASI PENGATURAN INVESTIGASI KECELAKAAN PESAWAT

UDARA BERDASARKAN ANNEX 13 KONVENSI CHICAGO 1944

KEDALAM SISTEM HUKUM NASIONAL.


Jika ditelusuri secara mendalam, hukum penerbangan di Indonesia banyak

mengikuti ketentuan internasional. Hal ini dapat dibuktikan dengan segenap

ketentuan yang terkandung dalam Undang_undang Pnerbaangan Nomor 83 tahun

1958 yang merupakan hukum penerbangan nasional pertama di Indonesia. Dalam

undang-undang tersebut terdapat ketentuan berkenaan dengan pendaftaran pesawat

dan kelaikan serta kecakapan terbang yang mengacu kepada ketentuan internasional.
Dikatakan mengacu kepada ketentuan internasional karena hal-hal mengenai

pendaftaran pesawat, kelaikan terbang dan kecekapan telah terlebih dahulu diatur

dalam pasal 29, 31, dan 32 Konvensi Chicago 1944. Khusus masalah kelaikan dan

kecakapan terbang, semangat yang diusung oleh Undang-Undang Penerbangan 1958

adalah keselamtan. Hal ini sejalan dengan inti dari Konvensi Chicago 1944 dan esensi

dari dunia penerbangan itu sendiri. Dengan demikian, semenjak adanya

peraturanhukum nasional yang pertaa di bidang hukum udara, keselamatan telah

menjadi faktor penting yang tidak terpisahkan dari penerbangan.


Undang-Undang Penerbangan 1958 sendiri telah diamandemenkan oleh

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan.


Undang_undang penerbagan 1992 semakin memperjelas posisi Indonesia dalam hal

mengikuti ketentuan internasional dibidang penerbangan yang juga engedepankan

faktor keselamtan. Tak lepas dari hal tersebut adalah pengikutsertaan Indonesia

terhadap segenap ketentuan internasional mengenai investigasi kecelakaan pesawat

udara.
Selanjutnya Undang-undang Penerbangan tahun 1992 sendiri juga telah

diamandemen oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang

Penerbangan yang mana terdiri dari 24 Bab dan 466 Pasal. Dari jumlah tersebut,

ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan keselamatan penerbangan terdapat

dalam Bab 13 hingga bab 21yang terdiri dari 82 Pasal. Yang mana Bab 13berjudul

Keselamatan Penerbangan. Hal ini menujukkan bahwasanya semakin besar tujuan

dunia penerbangan dalam program keselamatan.


Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara mutlak dibutuhkan dalam kondisi saat

ini. Seperti sudah diungkapkan sebelumnya, dari hasil investigasi kecelakaan pesawat

udara dapat diperoleh asumsi-asumsi yang ditemukan dilokasi kejadian. Dengan

mendalami temuan dan fakta-fakta, tim yang melaksanakan investigasi dapat

menyimpulkan penyebab kecelakaan pesawat dan kemudian memberikan

rekomendasi terhadap pihak-pihak yang terkait dengan kecelakaan penerbangan.


Dari bebarapa kasus jatuhnya pesawat udara yang pernah terjadi di Indonesia,

terlihat arti penting suatu investigasi kecelakaan pesawat terhadap keselamatan

penerbangan. Berdasarkan suatu investigasi dapat dihimpun fakta yang dapat

diarahkan menjadi suatu kesimpulan logis untuk kemudian diberikan segenap

rekomendasi kepada pihak yang terkait dengan penerbanga. Sebagaimana dikatakan

oleh Annex 13, tujuan investigasi adalah untuk mencari penyebab kecelakaan pesawat

terbang untuk kemudian memperbaikinya agar dapat menunjang keselamatan

penerbangan. Dalam hal ini Annex 13 merupakan suatu ketentuan yang wajib untuk

diikuti karena menunjang faktor keselamatan penerbangan.


Annex 13 diadopsi oleh Council ICAO melalui SARPs pada tanggal 11 April

1951 dalam pertemuan 18 pada sesi 12. Namun demikian tidak semua negara peserta

ICAO menjadi peserta dalam Annex 13. Hal ini dikarenakan posisi Annex 13 yang

merupakan suatu perjanjian internasional yang terpisah dari Konvensi Chicago 1944

sehingga dibutuhkan proses penundukan diri (consent to be bound) lebih lanjut bagi

suatu negara apabila negara tersebut berkehendak untuk menjadi peserta dalam Annex

13. Sebagai suatu perjanjian internasional, annex 13 memberikan dampak tertentu

berupa hak dan kewajiban bagi negara pesertanya. Hal ini dapat dilihat dari segenap

ketentuan yang terdapat dalam Annex 13 itu sendiri berkenaan dengan kerja sama

antarnegara maupun kerja sama antara negara maupun kerja sama antara negara

dengan perusahaan penerbanga, perancang pesawat, dan pabrik memproduksi

pesawat dalam lingkup internasional.


Meskipun Annex 13 merupakan suatu perjanjian internasional yang terpisah

dari konvensi Chicago 1944, segenap ketentuan dalam Annex 13 dapat dikatakan

bersifat wajib untuk ditaati. Dikatakan demikian karena ditinjau dari sisi manfaat
maupun kegunaannya, Annex 13 akan memberikan dampak positif bagi negara-

negara peserta. Oleh karenanya, tidak menjadi suatu masalah menakala suatu negara

tidak mengikutsertakan diri dalam Annex 13. Selain itu, berdasarkan Pasal 38,

masing-masing negara memiliki memberikan notifikasi kepada ICAO perihal

perbedaan regulasi penerbangan di dalam negaranya dengan SARPs yang ditetapkan

oleh ICAO. Nantinya ICAO, melalui concil akan memberitahu negara peserta

lainnya. Dengan adanya ketentuan ini, terdapat suatu kewajiban dengan kehalusannya

untuk negara-negara peserta ICAO agar bertindak sesuai dengan SARPs. Hal ini jika

dihubungakan dengan kondisi fakultatif keikutsertaan suatu negara dalam Annex 13

menjadi relevan. Melalui mekanise yang terdapat didalam Pasal 38, suatu negara yang

tidak ikut serta dalam Annex 13 dan peraturan negara tersebut berbeda dengan SARPs

ICAO dapat dipertanyakan komitmennya terhadap tujuan keselamatan penerbangan

internasional oleh negara peserta lainnya. Hal ini merupakan suatu probabilitas yang

dimungkinkan untuk muncul dalam suatu hubungan internasional antar negara dalam

wadah organisasi internasional.


Berkenaan dengan Indonesia, belum pernah terdengar adanya penundukan diri

terhadap Annex 13. Namun demikian, merujuk kepadaUndang-Undang Republik

Indonesia Noor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, Undang-Undang Republik

Indonesia Noor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Pemerintah tentang

Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, dan CASR 830 yang kemudian di

transformasikan kedalam PM 93 Tahun 2016 tentang Program Keselamatan

Penerbangan Nasional terlihat jelas bahwasanya Indonesia telah mengadopsi Annex

13. Berbagai macam ketentuan yang terdapat dalam ketentuan perundang-undanan

nasional khususnya PM 93 Tahun 2016 tentang Program Keselamatan Penerbangan

Nasionalterlihat jelas bahwasanya Indonesia telah mengadopsi Annex 13. Oleh

karenanya, meskipun tidak mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Annex 13

melalui perundang-undangan lainnya.


Mengenai komitmen Indonesia terhadap segenap ketentuan ICAO dan

penerbangan internasional telah tercermin dalam undang-undang penerbangan 1992


yang merupakan suatu lex specialis. Dalam penjelasan Undang-Undang Penerbangan

2009 dikatakan bahwa:


“atas dasar hal tersebut disusunlah Undang-Undang Penerbangan yang

merupakan menyempurnaan dari undang-undang Nomor 15 Tahun 1992”.


Yang mana Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 mengacu pada Konvensi Chicago

1944 beserta Annexes dan dokumen-dokumen teknis operasionalnya serta konvensi-

konvensi internasional terkait lainnya.


Dengan dasar tersebut, Indonesia memilki komitmen terhadap segenap ketentuan

ICAO. Terlebih lagi jika memilki ke dalam sistem perundang-undanan nasional

Indonesia, keberadaan bagian penjelasan dari suatu undang-undang merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan dari suatu undang-undang, sehingga membuat hal-hal

yang tertulis didalam bagian penjelasan sebagai suatu ha yang imperatif dan serupa

dengan bagian batang tubuh dari undang-undang itu sendiri.


Untuk memastikan lebih lanjut implementasiAnnex 13 di Indonesia dapat

dibuktikan dengan melihat pelaksanaan investigasi kecelakaan. Patut dicermati pihak

yang melaksanakan investigasi, bentuk laporan investigasi, maupun pihak-pihak yang

terlibat dalam suatu investigasi kecelakaan pesawat udara. Berdasarkan hasil

wawancara dengan KNKT, terdapat satu kesimpulan bahwasanya dalam

melaksanakan segenap tugasnya, KNKT selain mengacu pada investigasi manual

dalam negeri dan juga mengacu kepada Annex 13. Proses investigasi oleh KNKT pun

kerap melibatkan pihak yang memproduksi pesawat maupun perwakilan dari negara

para korban warga negara asing.


Selain itu untuk bentuk format laporan investigasi kecelakaan pesawat, KNKT

menggunakan format yang terdapat dalam Annnex 13. Hal ini dapat dilihat dari dua

laporan terakhir KNKT yang telah dipublikasikan hingga saat ini. Ditambah lagi

dengan keterangan dari KNKT sendiri yang menyatakan bahwa Annex 13 merupakan

acuan bagi KNKT dalam melaksanakan investigasi kecelakaan pesawat udara

menunjukkan bahwa Annex 13 berlaku dan diimplementasikan dalam kecelakaan

pesawat di Indonesia.
Salah satu bentuk implementasi Annex 13 di Indonesia sebagaimana disebut

di atas adalah dengan terbentuknya KNKT. Dikatakan demikian karena KNKT


merupakan pelaksana tugas dari Annex 13. Annex 13 sendiri menyatakan bahwa

suatu otoritas yang melakasanakan investigasi kecelakaan pesawat harus diberikan

independensi untuk melakasankan investigasi kecelakaan pesawat. Penekanan pada

ketentuan tersebut terdapat dalam kata-kata otoritas, investigasi dan independen.

Dengan demikian, apabila otoritas yang independen telah terbentuk dan diberikan

kewenangan untuk melakukan investigasi sesuai dengan ketentua dalam Annex 13,

maka hal ini menunjukkan keberlakuan Annex 13 di wilayah negara tersebut.


Dalam kaitannya dengan Indonesia, otoritas yang dimaksud adalah Komisi

Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Oleh karenanya keberadaan KNKT di

Indonesia sebagai pelaksana investigasi keceakaan pesawat menunjukkan bahwa

indonesia menaati ketentuan Annex 13.


Berdasarkan sistem hukum indonesia, keberadaan KNKT sebagai pelaksanan

investigasi kecelakaan media transportasi termasuk kecelakaan pesawat udara

didasarkan pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Komite Nasional Keselamatan Transportasi. Pada dasarnya, KNKT memilki

kewajiban untuk melaksanakan:


a. Melaksanakan investigasi kecelakaan transportasi
b. Memberikan rekomendasi hasil hasil investigasi kecelakaan transportasu

kepada pihak terkait; dan


c. Memberikan sarana dan pertimbangan kepada presiden berdasarkan hasil

investigasi kecelakaan transportasi dalam rangka mewujudkan keselamatan

transportasi.

Tugas KNKT sebagaimana tertulis di atas merupakan implementasi lebih lanjut dari

ketentuan undang-undang Penerbangan 2009 berkenaan dengan pencarian dan

pertolongan kecelakaan serta penelitian sebab-sebab kecelakaan Pesawat Udara.

Dengan terbitnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

2012 tentang Komite Nasional Keselamatan Transportasi, KNKT semakin memilki

legitimasi. Hal ini demikian adanya karena terdapat pendelgasian wewenang

investigasi kecelakaan pesawat udara pada KNKT melalui Sub Komite Penelitian

Kecelakaan Transportasi Udara. Akan tetapi, hal ini jika dikaitkan dengan
keberlakuan Annex 13 memberikan satu pertanyaan tersendiri. Terlebih lagi ketentuan

CASR 830 yang kemuadian ditransformasi melalui Peraturan Menteri Perhubungan

Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peraturan Keselamatan

Penerbangan Sipil langsung mengacu keada ketentuan Annex 13 sehingga

menciptakan suatu contoh bahwa hukum internasional dapat berlaku secara langsung

di Indonesia tanpa melalui pernyataan penundukan diri (consent to be bound). Hal ini

dimungkinkan jika mengacu kepada Undang-Undang Penerbangan Tahun 2009 yang

dalam penjelasannya menyatakan bahwa Indonesia terkait dan berkewajiban untuk

elaksanakan ketentuan Konvensi Chicago 1944 beserta Annex-Annex yang ada.

Adapun untuk masa sebelum Keppres Nomor 105 Tahun 1999 berlaku Undang-

Undang Penerbangan 1992 dimana Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan

investigasi kecelakaan pesawat yang juga mengacu kepada Annex 13.

Hasil nyata dari investigasi yang dilakukan oleh KNKT adalah adanya laporan

yang komprehensif mengenai kecelakaan pesawat naas yang diteliti. Berdasarkan

Annex 13, suatu laporan harus memilki format tertentu yang menggambarkan secara

menyeluruh hasil investigasi itu sendiri. Keseragaman tersebut mencakup format,

informasi faktual, analisis, kesimpulan, rekomendasi, dan lampiran-lampiran lainya

yang dipandang perlu untuk membantu menjelaskan laporan. Keseragaman format

menjadi penting demi memudahkan investigasi lanjutan yang mungkin dilakukan

kemudian hari.

Tujuan diadakannyaAnnex 13 adalah untuk mempermudah proses investigasi

kecelakaan pesawat lintas negara yang kerap menciptakan persoalan-persoalan

tersendiri. Namun demikian, Annex 13 kurang mengakomodir investigasi yang

dilaksanakan oleh negara tempat terjadinya kecelakaan pesawat selaku tuan rumah

dan pemegang kedaulatan. Meskipun Annex 13 memberikan kesempatam pada pihak

yang merakit dan merancang pesawat, pihak yang memproduksi pesawat dengan

jumlah massal, perusahaan penerbangan, otoritas yang melambangkan negara dari

korban negara asing yang terdapat di dalam pesawat naas, pihak yang menyewa
maupun memberikan sewa pesawat naas, negara peserta ICAO dan negara lainnya

yang bukan peserta ICAO namun wilayahnya kedapatan menjadi tempat kecelaakn

pesawat untuk turut serta dalam menginvestigasi kecelakaan pesawat, pengaturannya

dirasa kurang memadai. Hal ini dimungkinkan karena keberadaa Annex yang sudah

lama tidak diamanden sehingga kurang merespons kondisi maupun keinginan baru

masyarakat internasional terkait dengan investigasi kecelakaan pesawat. Selain itu,

faktor kedaulatan masih dipegang teguh dalam Annex 13. Formulasi kata-kata yang

terdapat dalam Annex 13 menunjukkan bahwa kedaulatan suatu negara dujunjung

tinggi. Akan hal ini dibutuhkan pengertian dari berbagai pihak terkait dengan

kecelakaan pesawat ditujukan untuk menunjang keselamatan penerbangan. Oleh

karenanya, semua faktor yang dapat menunjang investigasi yang mandiri, independen,

dan omprehensif mutlak untuk didukung. Terkait dengan hal tersebut, investigasi yang

dilaksanakan secara bersama oleh beberapa negara menjadi penting karena dalam

suatu penerbangan internasional dengan penumpang yang heterogen (berasal dari

berbagai negara) akan memudahkan dan memuaskan berbagai pihak yang memilki

kepentingan dengan kecelakaan pesawat. Tidak dapat dipungkiri, ditengah

perkembangan dunia yang sedemikian pesat, hukum seakan terlihat tertinggal.

Walaupun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Chicago 1944 Edisi-14,

namun dalam penerapannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2009 tentang Penerbangan masih relevan dan mampu mendukun program

keselamatan penerbangan.

Anda mungkin juga menyukai