BAB I
PENDAHULUAN
Anak merupakan anugerah yang tidak terhingga dari Tuhan Yang Maha Esa
eksistensinya tersebut, dan salah satu cara untuk menjaga eksistensinya tersebut
adalah dengan memiliki keturunan. Keturunan sebagai generasi penerus yang dapat
yang lebih luas lagi, keturunan sebagai generasi penerus tersebut menjadi asset
yang sangat bernilai bagi suatu kumpulan masyarakat yang hidup dalam 1 (satu)
individu yang lainnya, maka diperlukan suatu instrumen yang dapat mengatur itu
adalah: “secara konseptual, maka inti dan arti penegakkan hukum terletak pada
kaidah yang baik dan mengejahwantahkan dan sikap tindakan sebagai rangkuman
kedamaian pergaulan hidup”1. Penegakkan hukum sebagai suatu proses yang pada
secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian
pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral.
anak yang cenderung masih belum dapat menjadi pribadi yang seutuhnya menjadi
suatu pribadi. Oleh sebab itu perlindungan terhadap bayi bahkan sudah dimulai
sejak anak tersebut berada dalam kandungan. Pasal 2 Burgerlijk Wetboek (BW)
yang menyatakan “seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya dianggap
sebagai subyek hukum sepanjang kepentingan si anak itu menghendakinya” hal ini
yang kemudia dikenal dengan istilah fiksi hukum. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 28B ayat (2) mengatakan:
“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dalam hal ini termasuk bayi.
mengeluarkan suatu deklarasi yakni Declaration of the Rights of the Child dengan
resolusi Majelis Umum 1386 (XIV) tanggal 30 November 1959 yang berisikan 10
(sepuluh) prinsip, serta suatu konvensi yakni Convention on the Rights of the Child
sesuai resolusi Majelis Umum PBB 44/45 tanggal 20 November 1989. Sejumlah
1
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 1983, h.5.
3
sangat rendah, bahkan tidak dikenal sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
Peraturan Perundang-Undangan.
untuk hidup dan hak anak di dalam Pasal 1 bahwa “All human being are born free
and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and
should act towards one another in a spirit of brotherhood”.2 Juga, dalam Pasal 3
bahwa “Everyone has the right to life, liberty and security of person”.3 Serta dalam
Pasal 25 ayat (2) bahwa “Motherhood and childhood are entitled to special care
and assistance. All children, whether born in or wedlock, shall enjoy the same
Hak setiap orang untuk hidup tidak memandang latar belakang, faktor-faktor
penyebab kehidupan, dan ke arah mana kehidupan itu hendak berlangsung. Setiap
orang berhak untuk hidup tanpa memerlukan pengakuan dari negara, dari
pemerintah, dari hukum bahkan dari masyarakat, oleh karena kehidupan itu sendiri
adalah suatu hal yang alamiah. Hak untuk hidup dalam Deklarasi Universal Hak
Indonesia Tahun 1945, bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
Anak yang dalam hukum digolongkan dalam subyek hukum melekat hak-hak
dan kewajiban-kewajiban terhadap dirinya. Dalam pembahasan kali ini hak-hak nya
lah yang lebih diutamakan untuk dipenuhi karena anak sudah pasti belum cakap
pengertian anak sebagai suatu subyek hukum (natuurlijke persoon). Tidak ada atau
menjadikan dalam pebahasan kali ini bayi tersebut dianggap sama dengan anak
dapat pula dipakai kepada bayi dalam setiap hak-hak dan kewajiban yang melekat
padanya.
dan moral terkait dengan norma-norma yang ada, terlebih lagi perbuatan
Jika pembuangan anak dilakukan dalam keadaan masih hidup, dan dilakukan
oleh orang tua yang dalam hal ini adaah ibu-nya yang membuang anak tersebut
setelah dilahirkan, maka ancaman pidana terkait hal ini terdapat dalam Pasal 308
KUHP: “Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran
maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi setengah (1/2)”.
anak di bawah umur 7 (tujuh) tahun (termasuk juga bayi) di suatu tempat agar
dipungut orang lain dengan maksud terbebas dari pemeliharaan anak itu, dipidana
selama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan, sedangkan pemberatan terhadap hal ini yang
berdampak kepada si Anak mengalami luka berat sesuai ketentuan Pasal 306 ayat
(1) KUHP adalah 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan, dan akan diperberat apabila dalam
hal melakukan pembuangan bayi tersebut menyebabkan kematian pada diri bayi
dipidana dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun. Juga melanggar Pasal
341 KUHP, Pasal 342 KUHP serta merupakan pelanggaran terhadap Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berkaitan dengan hak
anak dimana anak sejak masih dalam kandungan (janin) berhak untuk hidup dan
mempertahankan kehidupannya.
seorang anak berjenis kelamin laki-laki dalam sebuah tas yang merupakan anak
jalan, terdakwa melakukan perbuatan tersebut karena takut diketahui oleh orang
yang telah dilahirkannya disungai dengan menempatkan bayi tersebut kedalam tas
kresek terbuka dan menyembunyikan anak yang baru dilahirkannya tersebut disela-
Bondowoso.
terhadap anak yang telah dilahirkannya akibat pemerkosaan yang dilakukan oleh
yang baru dilahirkannya itu kedalam ranjang dan menaruh anak yang baru
dilahirkannya tersebut di depan gudang kayu supaya anak terdakwa tersebut ada
yang merawatnya.
Terdakwa. Karena si anak tersebut diam saja, maka Terdakwa mengubur anaknya
seorang anak yang memang sudah mati ketika baru saja dilahirkan).
7
sebagian besar melakukan hal tersebut karena merasa takut dan khawatir diketahui
oleh orang lain bahwa dirinya sedang mengandung dan melahirkan seorang anak.
Kejahatan yang dilakukan seorang Ibu terhadap anaknya sendiri dinyatakan sebagai
sesuatu yang mustahil terjadi jika tidak ada sebab yang bersifat khusus
pada masalah kejiwaan, adanya tekanan atau beban pikiran psikologis yang
ditanggung seorang Ibu terhadap anak yang dilahirkannya, dan juga masalah
lingkungan sosial.
Usaha untuk mencegah dan bahkan dalam hal pemberian efek jera terhadap
pelaku tindak pidana pembuangan anak ini adalah dengan menegakkan aturan
hukum pidana yang tegas, sehingga dapat tercapainya kepastian hukum yang
sebagai garda terdepan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan yang harus
dilaksanakan dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Terkait tindak pidana
pembuangan anak yang baru saja dilahirkan ini, para laki-laki yang sebenarnya
“turut serta” dalam proses pembuahan dan kehamilan, selalu lolos dari jerat hukum,
tersebut, sehingga sudah saatnya Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim)
2
Sumiyanto, Pembunuhan Bayi Oleh Ibu Kandungnya Sendiri, Laporan Hasil Penelitian
Universitas Brawijaya, Malang, 2000, h.24.
3
Satjipto Rahardjo, Polri Sipil dan Perubahan Sosial di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002,
h.45.
8
Rumusan Masalah
penelitian hukum berbentuk Tesis ini dapat dijabarkan dalam 2 (dua) rumusan
mati;
2. Tujuan Penelitian
anak tersebut.
9
3. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat teoritis yang hendak dicapai dalam penelitian hukum ini
dan pengembanan Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan Hukum Pidana Anak
pada khususnya, juga diharapkan dalam penelitian kali ini dicapainya penemuan
hukum baru (rechtvinding), selain itu dapat juga sebagai penambah khazanah ilmu
argumentasi baru, atau konsep baru terhadap hal-hal yang telah dipandang mapan
dalam ilmu hukum. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa pada
hakekatnya penelitian hukum adalah penelitian terhadap norma, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis baik hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum)
Terkait manfaat praktis yang ingin didapatkan dalam penelitian hukum ini
adalah untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dan manfaat yang dapat
sebagai garda terdepan didalam Penegakan Hukum Pidana agar dapat berfikir dan
4. Kajian Teori
a. Konsep Hukum
Konsep sejatinya lahir dari kajian ilmu yang digunakan dalam suatu
dikaji dari suatu keilmuan. Secara umum konsep digunakan untuk menggambarkan
Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang
filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran.4
Melalui dengan konsep seorang manusia akan memahami sesuatu yang akan
dipikirkannya. Secara sederhana konsep ini adalah media yang membantu manusia
untuk berpikir. Sesuatu yang ingin dipahami, dimengerti, diukur, dan dikritisi
Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan
suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu. Bailey5 menyebutkan
konsep sebagai suatu persepsi (mental image) atau abstraksi yang dibentuk dengan
4
Wikipedia, 2015 “Definisi Konsep,” http://Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas.html. diunduh pada Kamis, 4 Januari 2018.
5
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor,
Ghalia Indonesia: 2002 h. 17
11
terdapat 2 (dua) desain yang perlu diperhatikan, yaitu generalisasi dan abstraksi.6
pengalaman yang berasal dari literatur, sedangkan abstraksi yaitu cakupan ciri-ciri
Pidana berasal dari kata “straf” (belanda), yang pada dasarnya dapat
kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindakan pidana.
Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang
berasal dari kata “straf” merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno
Suatu kajian hukum pidana dikenal jenis sanksi yang berupa pidana (straf)
di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan berupa siksaan (pemberian
nestapa) yang disebut dengan tindakan (maatregel)8. Selain pidana straf seorang
seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas
6
M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta, Kencana: 2008. h. 57.
7
Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem pidana didalam KUHP dan Pengaturannya
menurut konsep KUHP baru, USU pres, Hal.1.
8
M. Shollehuddin, sistem sanksi dalam hukum pidana, (jakarta Raja Grafindo Persada,
2003, hal. 7
12
perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.9 Jika berbicara tentang
maatregel maka yang mendominasi adalah fungsi prevensi khusus, sekalipun dalam
praktek belum diakui pengenaan tindakan sering juga menimbulkan derita terhadap
pihak yang terkena pada prinsipnya tindakan berwujud sebagai suatu ‘perlakuan’
sebagai pengganti pidana. Sebagai contoh: penempatan paksa dirumah sakit jiwa,
penyerahan kepada pemerintah dan dalam hukum pidana anak, penempatan atau
definisi atau pengertian dari hukum pidana itu sendiri agar syarat-syarat11 terkait
pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja
hukuman untuk menyebut istilah pidana merumuskan, bahwa apa yang dimaksud
dengan hukuman adalah suatu perasaan yang tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan
9
Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem pidana didalam KUHP dan Pengaturannya
menurut konsep KUHP baru, USU pres, H.7.
10
Ibid
11
Widya Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT Refika Aditama,
Jakarta, 2005, h.6.
13
oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang
hukum pidana.12
sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan
sanksi tindakan itu merupakan sanksi yang tidak bersifat membalas, melainkan
dari orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang berbahaya yang mungkin akan
lebih bersifat melindungi dan mendidik, lebih bersifat sosial.14 Dalam prakteknya
banyak hal yang menunjukkan bahwa perbedaan antara pidana dengan tindakan itu
12
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996, h.35.
13
M.Sholehuddin, Op.Cit.,H.17
14
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, h.
342.
14
hanyalah bersifat teoritis saja sehingga sukar untuk ditentukan. Seperti halnya
dengan pidana (straf), maka dengan tindakan (maatregel) pun dapat menciptakan
oleh karena itu tindakan pun dapat dirasakan sebagai suatu pidana (straf), selain itu
tidak jarang pula suatu tindak pidana didasarkan atas ide yang melindungi dan
memperbaiki.15
“strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” di
tersebut perkataan “feif” itu sendiri dalam bahasa belanda berarti perbuatan
Tindak Pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang di atur oleh
aturan hukum yang di ancam dengan sanksi pidana, kata perbuatan dalam perbuatan
pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada 2
dilarang.
15
Ibid., h 343
15
Perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum larangan mana yang disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.
Menurut Pompe “straafbaar feir” itu secara teoritis dapat dirumuskan secara
berikut: suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum “17.
pemidanaan.
Pasal 10 KUHP :
“Pidana terdiri atas:
16
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung,
2013.H.182.
17
Leden Marpaung, Hukum Acara Pidana, Bandung, 2005, h.8.
18
Ibid
16
yang tidak disebut didalam Pasal 10 KUHP tidak dapat dikualifikasi sebagai
tindakan (maatregel). Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, bahwa
dalam banyak hal batas antara pidana dan tindak secara teoritis sukar ditentukan
dengan pasti, karena pidana sendiripun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-
pikiran untuk melindungi dan memperbaiki. Tetapi secara praktis tidak ada
kesukaran, karena apa yang disebut dalam pasal 10 KUHP adalah pidana,
sedangkan yang lain daripada itu adalah tindakan (maatregel), misalnya pendidikan
paksa, seperti yang terjadi ppada anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah
rumah sakit jiwa dengan pemerintah karena orang tersebut tidak dapat
pidana materil , memuat tentang aturan umum hukum pidana dan rumusan-
rumusan tindak pidana tertentu, mengenai aturan umum aturan dalam buku I,
sedangkan kejahatan dan pelanggaran diatur dalam buku II dan buku III KUHP.
20
Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem pidana didalam KUHP dan
Pengaturannya menurut konsep KUHP baru, USU pres, Hal.10
17
hukum dan keadilan terkait dengan masalah hukum yang dideritanya. Walaupun
Indonesia sebagaimana diatur dalam Weetboek Van Strafsrecht (WvS) yang berlaku
hanya dijelaskan didalam Momorie van Toelichting (Mvt) bahwa seorang pembuat
secara negatif, yaitu dengan keadaan-keadaan tertentu pada diri pembuat atau
diketahui bahwasanya KUHP (Sebagai Lex Generalis) dari Hukum Pidana masih
pidana (straftbarfeiit) .Para ahli hukum pidana yang mengikuti teori Monoistis,
21
Menurut Utrecht, tindak pidana adalah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada
seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas kelakuannya-analisir kesalahan (element van
schuld) dalam arti kata “bertanggung jawab” (straftbaarheid van de dader)., E Utrecht, Op.Cit,
h.260 .
18
pidana yang terdiri dari sikap batin pembuat dan sifat melawan hukumnya
dipidana tergantung pada ada atau tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf
bersifat Lex Generali, terdapat beberapa pembahasan mengenai hukum pidana yang
selain sumber kodifikasinya diluar KUHP disebut sebagai Lex Generali, istilah
tersebut dapat juga disebut dengan Hukum Pidana Khusus. Timbulnya Hukum
Pidana Khusus tersebut tidak lain muncul karena adanya pergeseran / pergerakan
masyarakat yang sifatnya dinamis, sehingga adanya pengaturan hukum pidana baru
diluar KUHP sejatinya masih dalam tataran kenormatifan ilmu hukum yang dapat
pidana materiil dan hukum pidana formil sekaligus. Hukum pidana materiil adalah
hukum pidana yang pada dasarnya memuat tentang bentuk-bentuk perbuatan yang
dilarang dilakukan yang disertai dengan ancaman pidana kepada siapa yang
mewujudkan perbuatan itu. Hukum pidana materiil kadang disebut orang dengan
22
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana, Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi antara Asas, Teori, dan Penerapannya, Kencana, Prenada Media Group, 2016, Jakarta,
h.3
19
tindak pidana, walaupun isi hukum pidana materiil sesungguhnya lebih luas dari
tindak pidana.23
Hukum Pidana Formil atau hukum acara pidana yang isinya mengatur tentang
bagaimana usaha negara untuk menjalankan hukum pidana materiil. Dalam usaha
negara menegakkan hukum pidana materiil, maka hukum pidana formil terdiri dari
macam-macam ketentuan, yang pada dasarnya mengenai tindakan dan upaya yang
boleh dan atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya:
polisi, jaksa dan hakim) serta bagaimana caranya berbuat terhadap si pembuat.24
anak adalah keturunan atau manusia yang masih kecil. Sedangkan dalam
pengertian sehari-hari yang dimaksud dengan anak adalah yang belum mencapai
usia tertentu atau belum kawin, pengertian ini seringkali dipakai sebagai
pedoman umum. Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian anak
dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa,
yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau kerap juga disebut sebagai
23
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bayu Media Publishing,
Malang, 2013, h.3.
24
Ibid
25
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori Praktek dan Permasalahannya),
Bandung, Mandar Madju, 2005, h.3.
20
pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal;
c. Penelantaran anak secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua
anaknya;
d. Penelantaran Fasilitas Medis, hal ini terjadi ketika orang tua gagal
memadai.
5. Metode Penelitian
ketentuan hukum positif, dan perangkat hukum positif yang diteliti secara normatif
akan digunakan sebagai sumber bahan hukum. Penelitian Hukum harus dilakukan
pada tataran Kenormatifan hukum. Morris L Cohen yang sependapat dengan Peter
Machmud Marzuki menyatakan “Legal Research is the process of finding the law
26
http://rotsania.co.id/2012/11/penelantaran-anak-html, diakses pada senin 18 September
2017.
21
demikian masih diperlukan dalam praktik hukum yang menentukan baik dampak
peristiwa masa lalu maupun implikasinya pada masa yang akan datang dengan
pernyataan itu sebenarnya apa yang ia kemukakan juga meliputi teori hukum.
tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang
27
Peter Machmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, h.
56.
28
Terkait dengan Doctrinal Research, Soetadnyo Wignyosubroto menyatakan bahwa
Penelitian Doktrinal adalah penelitian terhadap hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas
dasar doktrin yang dianut sang pengonsep atau sang pengembangnya, meliputi:
1. Penelitian Doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai asas hukum alam
dalam sistem moral menurut doktrin hukum alam;
2. Penelitian Doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah Peraturan
Perundang-undangan menurut Doktrin Positivisme;
3. Penelitian Doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai putusan hakim in
concreto menurut Doktrin Realisme.
Dalam Prasetijo Rijadi, Memahami Metode Penelitian Hukum Dalam Konteks Penulisan
Skripsi/Tesis, AL Maktabah, Surabaya, 2017, h.33.
29
Ibid. H.8
30
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Prenada Media Grup, Jakarta,
2005, h. 32.
22
dengan karakter yang khas dari ilmu hukum (Jurisprudence). Penelitian Hukum
oleh Soedjono Dirjosiswono. Ilmu Hukum sebagai ilmu kaidah, merupakan ilmu
yang menelaah hukum sebagai kaidah, atau sistem kaidah-kaidah dengan dogmatik
hukum dan atau sistematik hukum sedemikian rupa, sehingga dapat dipahami
approach)32.
31
Dirdjosiswono,Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h.6.
32
Ibid, h.93.
33
Ibid, h. 133.
23
Pendekatan kasus tersebut bahan yang digunakan adalah putusan pengadilan yang
selanjutnya akan di lihat ketentuan asas dan norma yang berlaku dan terkandung
berkaitan dengan isi hukum yang sedang diteliti yaitu tentang tindak pidana dalam
putusan pengadilan.
hukum untuk penelitian. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini dibedakan
menjadi Sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder.
Menurut R.G. Logan, dalam tulisannya Legal Literature and Law Libraries:
34
Ibid, h. 94
24
suborainate legislation, and reported decision of the courts and tribunals.35 terkait
badan, lembaga, atau instansi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1)
Perundang-Undangan.
bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan lain
mengenai bahan hukum primer37 bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini Peter Mahmud Marzuki, menjelaskan bahwa bahan hukum sekunder
35
R.G. Logan, Legal Literature and Law Libraries, dalam R.G. Logan, Information Sources
in Law, Butterworth Guide to International Soerces, Dalam Prasetijo Rijadi & Sri Priyati, Ibid, h.
43.
36
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Grafindo Persada :Jember 1996,
hal 113.
37
Ibid,h. 114.
25
yang paling utama adalah buku teks,38 karena buku teks berisi mengenai prinsip-
prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang
mempunyai kualifikasi tinggi. Didalam memilih buku teks ini sekali lagi perlu
kalau buku teks yang digunakan adalah buku teks yang ditulis oleh penulis dari
Eropa Kontinental. Buku-buku hukum ini haruslah relevan dengan topik penelitian.
yang dipilih oleh peneliti dalam penelitiannya. Kepentingan terhadap bahan hukum
penelitian.
dengan isu tersebut. Perundang-undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa
regulation.
mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan tetapi, tidak berarti hanya landmark
38
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h.183.
26
dicision yang perlu diacu, melainkan juga yang mempunyai relevansi dengan isu
yang dihadapi.
menghasilkan suatu pemikiran yang bersifat preskriptif dan terapan. Dengan cara
analisis tersebut prosedur dan langkah yang ditempuh didasarkan atas langkah
bahan hukum39.
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press,
Jakarta, h.251-252.
27
BAB III :Berisi bab Ratio Decidendi (pertimbangan hakim) dalam memutus
Nomor: 164/Pid.B/2013/Pn.Mjl.
Pembahasan yang telah dipaparkan dalam BAB I, BAB II, dan BAB
III.
29
BAB II
merupakan tindak pidana, karena perbuatan ini sangatlah tidak mencerminkan sisi
humanisme dalam manusia itu sendiri. perbuatan yang oleh aturan hukum
dapat disebut juga sebagai delik, dimana anak tersebut harusnya diberi
yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak bebas melaksanakan
hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar
baik fisik mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.41
Disamping itu, tindakan penelantaran terhadap anak ini dapat dikualifisir dalam
40
Apong Herlina, Perlindungan Anak, UNICEF, Jakarta, 2003, h. 15
41
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana (Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana), Aksara Baru Jakarta, 1983, h. 13.
30
tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap anak. Dalam istilah sehari-hari abuse
perlakuan salah. Sedangkan child abuse atau child maltreatment adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak. Menurut Barker dalam The
(kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya
secara fisik, psikologis atau finansial, baik yang dialami individu maupun
kelompok).
child abuse sebagai “international acts that result in physical or emotional harm
to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual
kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah
child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman
fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada
penelantaran.42
menjadi empat bentuk, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan
42
Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak), Nuansa, Bandung, 2007,
h.47.
31
pada anak.
prakontrak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui
menelantarkan anak yang baru saja dilahirkan ini secara konsep umum yang diatur
43
Ibid
32
perlu ditolong. Pasal 304 KUHP44 merupakan perbuatan yang dilakukan dengan
pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku atau karena perjanjian,
dalam hal ini orang tua ataupun wali dari anak tersebut.
memenuhi unsur pasal tersebut yaitu menelantarkan anak dibawah umur 7 (tujuh)
tahun dan meninggalkan anak dengan tujuan melepaskan anak tersebut dari
tanggung jawab si pelaku. Perbedaan diantara kedua tindak pidana tersebut adalah
dilakukan oleh siapa saja (setiap orang), sedangkan tindakan untuk melepaskan
seorang anak dari tanggung jawab si pelaku sudah pastilah bahwa tindakan tersebut
hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki hubungan darah dengan anak
yang dibuang tersebut (orang tuanya atau dapat pula wali anak).
Apabila yang menelantarkan anak tersebut adalah orang tuanya, hal ini
diperberat secara sanksi pidananya semakin diperberat yaitu ditambah dengan 1/3
pula instrumen hukum lain yang mengatur terkait hal ini diluar KUHP yaitu dalam
anak dapat dikenakan Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor
mengatur:
44
R. Soesilo, Loc. Cit, h. 223.
33
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)”.
yang tidak sampai menyebabkan matinya anak. Berbeda pengaturan apabila anak
anak yang akhirnya menyebabkan matinya anak yang dilakukan oleh orang tuanya
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 341 KUHP: ”Seorang ibu yang
dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak
berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan
hukuman penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun”. Pasal 341 KUHP ini hanya
berlaku bagi seorang ibu yang melahirkan anak tersebut. Seorang ibu yang
melahirkan seorang anak yang baik terikat perkawinan maupun tidak terikat
tidak beberapa lama setelah dilahirkan, karena takut ketahuan, bahwa ia sudah
melahirkan anak.
Rumusan delik dalam Pasal 341 KUHP ini haruslah didasari dari
terdorongnya si ibu untuk membunuh anak yang baru saja dilahirkannya karena
perasaan ketakutan akan diketahui kelahiran anak tersebut. Biasanya anak yang
34
didapat karena perbuatan zina (untuk perempuan yang sudah terikat perkawinan),
juga karena perbuatan kelamin yang tidak sah (untuk perempuan yang belum terikat
perkawinan). Pasal 341 KUHP ini harus benar-benar dikenakan pada seorang anak
yang baru saja dilahirkan dimana anak tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup,
karena apabila penelantaran anak yang sebelumnya telah diketahui telah mati pada
saat dilahirkan, tidak dapat dikualifisir dalam rumusan delik Pasal 341 KUHP.
pembunuhan terhadap anak) terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi yakni:
Pertama, adanya wujud perbuatan; Kedua, adanya suatu kematian (orang lain);
Ketiga, Adanya hubungan sebab dan akibat (casual verband) antara perbuatan dan
bagi anak (kindermoord), adanya pendapat yang mengatakan bahwa unsur dengan
rencana terlebih dahulu adalah bukan karena bentuk kesengajaannya, tetapi berupa
lain:
2. Setelah orang merencanakan opzet nya tersebut, maka yang penting adalah
cara opzet tersebut dibentuk yaitu harus dalam keadaan yang tenang;
matinya anak ini dilakukan dalam keadaan yang sangat tergesa-gesa dan dapat
45
P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh yang
membahayakan bagi tubuh, nyawa, Bina Cipta, Bandung, 1885, h. 95.
46
S. R. Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni, Bandung, 1983, h.
64.
35
tersebut (karena takut ketahuan telah melahirkan seorang anak) hal ini tidak
unsur berencana itu adalah adanya keadaan hati untuk melakukan pembunuhan,
walaupun keputusan yang diambil dalam hati itu sekejap saja dengan
1941 No. 293 menyatakan “.... dengan berpikir tenang dan menimbang dengan
tenang...” merupakan penentu diterapkannya Pasal 342 KUHP. Hal ini mengenai
tindak pidana penelantaran anak yang menyebabkan matinya anak diatur pula
“Seorang ibu yang karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan anak
dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan
atau tidak lama kemudian, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun (KUHP 37-1 Sub 2, Pasal 308,
Pasal 338, Pasal 342, dst., Pasal 487).”
Adapun rumusan Pasal 341 KUHP itu dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Unsur Objektif
a) Pelaku adalah seorang ibu;
b) Perbuatannya menghilangkan nyawa orang lain;
c) Objeknya adalah nyawa bayinya sendiri;
d) Waktunya;
e) Pada saat bayi tersebut dilahirkan;
f) Motifnya karena takut diketahui telah melahirkan;
2. Unsur Subyektif
a) Dengan sengaja
47
Hermien Hadiati Koeswadji, Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-Asas Kasus dan
Permasalahannya, Sinar Widjaya, Surabaya, 1984, h. 41.
36
unsur yang ada dibelakangnya. Nahwa dengan demikian, maka kehendak dan apa
saat dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan atau tidak lama setelah
dilahirkan.48
sebagai berikut:
48
Pingkan Mangare, Kajian Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Anak Oleh Ibu
Kandungnya (Menurut Pasal 134 KUHP), Jurnal Hukum Lex Privatum, Volume IV, Nomor 2,
Februari 2016, h. 89.
37
5. Waktu (pada saat bayi dilahirkan, tidak lama setelah bayi dilahirkan).
penelantaran anak yang baru saja dilahirkan dalam perspektif penelantaran anak
juga diatur dalam Pasal 76B Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak.
“dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (*seratus juta rupiah)”.
dilakukan karena beberapa faktor baik faktor internal seperti kelahiran anak yang
tidak diinginkan oleh orang tuanya maupun karena pengaruh lingkungan yang
kurang baik. Menurut Erna Dewi terdapat 5 (lima) faktor pelaku melakukan suatu
kejahatan yakni:49
2. Faktor Psikologis;
49
Riki Firman, Analisis Kriminologis Kejahatan Penelantaran Bayi, Jurnal, Fakultas
Hukum Universitas Lampung, 2014, h. 3.
38
Kondisi pelaku yang panik setelah melahirkan anak melalui hubungan luar
nikah, menjadikan sebuah alasan untuk melakuan kejahatan tersebut.
3. Faktor Keluarga;
Keluarga merupakan tempat yang mempengaruhi perkembangan hidup,
karena di dalam lingkup keluarga tersebut seseorang dapat mendapatkan
kasih sayang atau perhatian yang baik untuk mengontrol perilakunya.
Kyrangnya perhatian keluarga mendorong seseorang melakukan kejahatan
penelantaran bayi karena tidak ada kontrol dari dalam keluarga.
4. Faktor Lingkungan;
Lingkungan yang bersabahat membawa pengaruh yang baik bagi setiap
individu di lingkungan tersebut. Tetapi di lingkungan tempat tinggal yang
acuh membentuk karakter seseorang untuk tidak peduli dan membentuk
karakter yang buruk. Karakter yang tidak bersahabat dengan lingkungan ini
sangat rawan untuk melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
norma sosial di masyarakat.
5. Faktor Ekonomi.
Faktor ekonomi memiliki peran besar yang mampu menimbulkan berbagai
macam kejahatan, salah satu kejahatan yang timbul adalah kejahatan
penelantaran anak/pembuangan anak.
dari upaya untuk mewujudkan instrumen hukum yang telah diatur dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud tetap dilakukan oleh Penyidik yang tidak ada bedanya
dengan penyidik terhadap suatu tindak pidana lainnya. Karena terhadap hal tersebut
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tidak mengatur secara khusus mengenai proses
penyelesaian perkara pidana. Oleh sebab itu maka proses penyidikan tindak pidana
pidana dalam KUHAP dan didukung dengan mekanisme penyidikan yang ada
anak, pelaku tindak pidana terkait penelantaran anak masih dikenakan ketentuan
dalam KUHP. Namun dengan adanya asas perundang-undangan yaitu asas lex
specialis derogat legi generalis yang berarti aturan hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum, maka setelah adanya undang-
undang yang mengatur tindak pidana terkait penelantaran anak seperti Undang-
Dalam sub bab ini dibahas mengenai penelantaran terhadap anak. Terutama
anak yang baru saja dilahirkan. Disatu sisi disebut sebagai penelantaran, karena
orang tua yang baru saja melahirkan anak tersebut awal mulanya adalah
hak si anak tersebut. Mengenai si anak tersebut kemudian akan meninggal atau
tidak, ataupun meninggalnya anak tersebut diakibatkan oleh orang tuanya sendiri
ataukah bukan, yang paling penting dalam penelantaran adalah lepasnya tanggung
Konsep Perlindungan Hukum merupakan salah satu hal yang sangat penting
untuk dibahas, karena fokus kajian teori ini pada perlindungan hukum yang
diberikan kepada masyarakat. Masyarakat yang menjadi sasaran pada teori ini
adalah masyarakat yang berada pada posisi lemah, baik dari segi ekonomi maupun
50
Salim HS, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013, h.259.
40
Perlindungan hukum dalam hal ini lebih mengarah kepada salah satu tujuan hukum
yang hendak dicapai dalam tataran berbangsa dan bernegara, yaitu: keadilan.
bagi anak tersebut dapat pula disebut sebagai pembunuhan anak/bayi (infanticide).
usia di bawah 1 (satu) tahun oleh ibu si anak. Sedangkan menurut Infanticide Act
“where a women by any willfull act or omnision causes the death of her child.
Being a child under the age of 12 (twelve) months, but the at times of the act
or omnission the balance of her minda was disturbed by reason of her not
having fully recovered from the effect for lactation concequent upon the birth
of the child, rthen not withstanding... tha but for this act the offence would
have amounted to murder, she shall be guilty...of infanticide”.
(dua belas) bulan. Namun pada saat tindakan ataupun kelalaiannya tersebut terjadi,
didapatkan gangguan mental dikarenakan oleh alasan belum pulihnya efek dari
kelahiran anaknya, atau efek dari menyusui sebagai konsekuensi melahirkan anak
Pembunuhan anak yang baru dilahirkan dianggap sebagai tindak pidana dapat
51
Susi Hadidjah, Penegakkan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Pembunuhan Bayi
di Wilayah DIY, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008, h. 252. Mengutip
pendapat dari Spinelli, Margaret, Maternal Infanticide Associated With Mental Illness; Prevention
and The Promised of Saved Lives America Journal, 2004,page 16.
52
Ibid.
41
yang bermula dari bayi. Oleh sebab itu perhatian dan perlindungan terhadap
seorang anak serta kualitas kehidupan adalah sangat penting demi kemajuan
bangsa dan negara;
2. Berkaitan dengan butir (1), perbuatan membunuh anak yang baru dilahirkan
harus ditempatkan pada keadaan yang sangat membahayakan, tidak
berperikemanusiaan dan perbuatan yang benar-benar tidak dikehendaki,
sangat dibenci dan merugikan. Selain itu harus pula dipertimbangkan sejauh
mana perbuatan membunuh anak itu telah bertentangan bahkan merusak
nilai-nilai fundamental kemanusiaan dalam masyarakat;
pembuangan terhadap anak ini tidak hanya serta merta untuk melepaskan sebuah
tanggung jawab secaramelawan hukum semata, akan tetapi terdapat niatan yang
memang benar-benar jahat dari dalam diri pelaku untuk benar-benar tidak lagi
menginginkan kehidupan si anak tersebut dengan cara yang lebih kejam dari
penelantaran.
42
2.3. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Penelantaran Anak dan Pembuangan Anak
pertanggungjawaban pidana adalah “Geen Straf Zonder Schuld” “Actus Non Facit
Reum Nisi Mens Rea”, yang memiliki arti “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”.53
1. Sesorang tidak akan dipidana jika dia tidak melakukan tindak pidana;
karena itu, mengandung di dalamnya (1) pencelaan secara obyektif, (2) pencelaan
53
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, h.75.
54
Lihat Barda Nawawi Arief, “Masalah Pertanggungjawaban Pidana Cyber Crime”,
makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Problematika Hukum Cyber Crime di
Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga , 9 Oktober 2004,
h.1. Penggunaan istilah “pencelaan” ternyata sekarang ini sudah dipakai oleh pakar hukum pidan,
antara lain Soedarto yang menulis “Syarat utama untuk dapat dipidannya seorang ialah adanya
kesalahan pada orang itu. Kesalahan disini mempunyai arti seluas-luasnya, ialah dapat dicelanya
pembuat tersebut”
43
tidak terdapat perbedaan dengan upaya penegakan hukum tindak pidana pada
meliputi: diketahui terjadinya suatu tindak pidana dari adanya laporan maupun
penyidikan kepada penuntut umum; upaya paksa yang meliputi pemanggilan saksi
pengadilan yaitu melalui proses persidangan yang dapat berjalan terbuka maupun
yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) serta tidak adanya alasan
terdakwa. Adapun asas dari pertanggung jawaban pidana adalah’’ tidak dipidana
apabila tidak ada kesalahan’’. Ini berarti, bahwa kalau ada alasan pemaaf, terdakwa
tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materiil,
Setiap tindak pidana diancam dengan hukuman atau sanksi pidana, sanksi
Straff Zonder Schuld” terdapat adanya 2 (dua) hal yang dimaksud dalam
dalam suatu sistem hukum pidana dalam hubungannya dengan prinsip daad-
55
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung
Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggung Jawaban Pidana), Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, h. 31.
56
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, 2004, Rineka Cipta, Jakarta, h. 29-30
45
Strafsrecht (WvS) yang berlaku di negara Belanda tidak mengatur secara khusus
negatif, yaitu dengan keadaan-keadaan tertentu pada diri pembuat atau perbuatan
bahwasanya KUHP (Sebagai Lex Generalis) dari Hukum Pidana masih menganut
merupakan unsur tindak pidana (straftbarfeiit)59 .Para ahli hukum pidana yang
terpenuhinya rumusan tindak pidana yang terdiri dari sikap batin pembuat dan sifat
57
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana, Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi antara Asas, Teori, dan Penerapannya, Kencana, Prenada Media Group, 2016, Jakarta,
h.2/
58
Menurut Utrecht, tindak pidana adalah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada
seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas kelakuannya-analisir kesalahan (element van
schuld) dalam arti kata “bertanggung jawab” (straftbaarheid van de dader)., E Utrecht, Rangkaian
Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, 1994, h.260.
59
Andi Zainal Abidin farid, Hukum Pidana 1, cetakan II, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, h.
346.
46
pidana. Pembuat tidak dipidana tergantung pada ada atau tidak adanya alasan
cara yaitu:61
punishment/mass media).
pidana pembuangan anak ini terdapat dan tersebar dalam berbagai peraturan
mengenai norma pidananya begitupula mengenai sanksi pidana yang diatur secara
pembuangan anak terdapat dalam ketentuan Pasal 306 KUHP yang mengatur
mengenai hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana berdasarkan Pasal 304
KUHP dan Pasal 305 KUHP. Pasal 308 KUHP juga mengatur apabila seorang ibu
membuang anaknya tidak lama sesudah anak itu dilahirkan, oleh karena takut akan
60
Agus Rusianto, Op.Cit., h.3.
61
Riki Firman, Loc. Cit,, h.6.
47
diketahui orang bahwa ia melahirkan anak, atau jika ia meninggalkan anak itu
dengan tujuan melepaskan anak itu daripadanya karena takut juga, maka maksimum
hukuman atas tindak pidana dari Pasal 305 dan Pasal 306 KUHP, dikurangi sampai
seperduanya.
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
kepada orang tersebut”; dan Pasal 49 huruf a yang berbunyi “Dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. Menelantarkan orang
lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1)”.
dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Pasal 77B
tersebut memuat hukuman atau sanksi pidana bagi tindak pidana dari Pasal 76B
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yaitu berupa pidana penjara paling lama
lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah.
Disamping sanksi pidana yang telah disebutkan diatas, bahwa dalam hal
terjadinya tindak pidana mulai dari sebelum terjadinya tindak pidana (sebagai
penyebab terjadinya tindak pidana) hingga sampai terjadinya tindak pidana (sebagai
48
akibat terjadinya tindak pidana), juga harus ikut menjadi suatu kajian. Tindak
pidana penelantaran ataupun pembuangan terhadap anak yang baru saja dilahirkan,
umumnya sanksi pidana hanya dikenakan bagi orang tua (khusunya ibu) yang
melahirkan anak tersebut. Tetapi disisi lain ada peranan seorang ayah (laki-laki)
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 KUHP dan Pasal 342 KUHP
juga harus diukur dan apabila dinilai telah memenuhi rumusan delik, dapat
dikenakan Pasal 343 KUHP: “Bagi orang lain yang turut campur dalam kejahatan
yang diterangkan dalam Pasal 341 KUHP dan Pasal 342 KUHP dianggap kejahatan
sanksi pidana yang terdapat dalam 3 (tiga) instrumen hukum tersebut, sanksi pidana
dalam penegakkan hukumnya. Dari segi pidana pemenjaraan jelas yang paling tegas
secara teoritisnya adalah KUHP (dengan pidana maksimal 9 (sembilan) tahun) akan
tetapi dalam segi prakteknya pemidanaan ini masih sangat tidak maksimal
pemenjaraan lebih sedikit dibandingkan dengan KUHP akan tetapi terdapat pidana
Sehubungan dengan apa yang telah dikemukakan diatas, maka dirasa perlu
Oleh sebab itu perlu diteliti kembali sebab-sebab adanya kenyataan yang negatif ini
khususnya yang berhubungan dengan masalah perlindungan anak. Antara lain perlu
kesejahteraan anak yang terdapat dalam berbagai peraturan hukum yang ada.
tetaplah memiliki Hak Asasi Manusia pada umumnya. Anak yang baru saja
dilahirkan memiliki Hak Asasi Manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh
62
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (kumpulan karangan), Melton Putra, Jakarta,
1985, h. 160.
63
Rhona. KM.Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, 2008, h.11. mengutip pendapat dari Jack
Donnely,Universal Human Rights in Theory and Pratice, Cornell University Press, Ithaca and
50
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, dapat ditarik pemahaman bahwa anak
tepat, yang mendukung kegiatan perlindungan anak. Rasa keadilan seseorang akan
sejatinya merupakan suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak
Secara garis besar, Konvensi Tentang Hak Anak adalah instrumen yang
paling komprehensif yang berlaku untuk saat ini. terdapat setidaknya 4 (empat) poin
utama dalam Konvensi Hak Anak tersebut antara lain: (1). Non diskriminasi (Pasal
2); (2). Kepentingan terbaik bagi anak; (3). Hak untuk hidup, kelangsungan hidup
Jumlah Kasus
(Tahun)
No Kasus Penelantaran Anak 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Jumlah
1 Sosial dan anak dalam situasi 92 79 246 191 174 211 993
darurat
2 Anak Terlantar (Anak 54 39 69 84 74 87
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial)
3 Anak Dalam Keadaan Konflik 17 22 44 19 14 18
Sosial/Peperangan
4 Anak Korban Perebutan Hak 149 247 322 347 251 223
Kuasa Asuh
London, 2003, h.71. Lihat juga dalam Maurice Cranston, What Are Human Rights?, New York,
1973, h.70.
51
5 Anak Korban Pelarangan Akses 112 141 224 238 255 241
Bertemu Orang Tua
6 Anak Korban Penelantaran 94 154 237 223 182 154
Ekonomi (Hak Nafkah)
7 Anak Hilang 24 35 70 42 41 30
Data-data yang telah disebutkan diatas merupakan data yang masuk ke Komisi
Perlindungan Anak Republik Indonesia dan pasti banyak lagi kasusu-kasus serupa
keadilan tersebut pertama kali ada pada proses penyidikan. Kepolisian Negara
komponen yaitu: Criminology, Criminal law, dan Penal Policy66. Penal Policy
adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga
64
O. Notohamidjodjo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Hunung Muria, Semarang,
1975, h. 34.
65
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni,
1998, h. 48.
66
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 75.
67
Riki Firman, Analisis Kriminologis Kejahatan Penelantaran Bayi, Jurnal Fakultas
Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2014, h. 8. Mengutip pendapat dalam Marc Ancel,
Social Defence, A Modern Approuch To Criminal Problems, London, Routledge and Kegen Paul,
1965, h. 4-5.
53
pembunuhan terhadap anak yang baru saja dilahirkan (infanticide) atau bahkan
hukum penting untuk lebih bersifat aktif dalam menangani infanticide yang ada
agar tidak lagi terulang kembali. Hukum sejatinya perlu memperbaharui mengenai
masalah infanticide ini dengan cara yang lebih tajam dalam artian lebih tegas dalam
menjadikan ketakutan bagi pelaku (efek jera) ataupun kepada masyarakat agar tidak
BAB III
PENELANTARAN ANAK
Pengadilan.
Ratio decideni adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa latin yang
sering diterjemahkan secara harfiah sebagai “alasan untuk keputusan itu” (the
reason/ the rationale for the decision) Blacks Law Dictionary menyatakan ratio
decidendi sebagai “(1). The point in a case which determines the judgement, (2).
konteks yang paling penting dalam suatu putusan hakim. Majelis Hakim dalam
yang ada demi tegakknya suatu putusan yang berkeadilan bagi semua pihak tanpa
terkecuali.
perbuatan perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak
pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh
68
http://www.miftakhulhuda.com, Ratio decidendi, diakses pada Senin, 27 November
2017, pukul 03.17 WIB.
55
terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta yang terdapat di persidangan yang timbul
dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa
dan barang bukti serta alat bukti yang diajukan di persidangan dalam acara
terkait locus (tempat terjadinya tindak pidana) dan tempus delicti (waktu terjadinya
atau dengan kata lain bagaimana cara pelaku melakukan tindak pidana tersebut,
penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana,
terdakwa, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak
69
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,
Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2014, h.219.
70
Lilik Mulyadi,Ibid, h. 219.
56
antara fakta-fakta, tindak pidana yang didakwakan, dan unsur kesalahan terdakwa
Hal tersebut dapat dinilai dari kata “menimbang” berarti hakim dalam
berfikir dan bermusyawarah. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-
Kemudian KUHAP juga mengatur dalam Pasal 182 ayat (7) KUHAP:
dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan
isi buku tersebut sifatnya rahasia”. Karena hakim dalam menjatuhkan putusannya
bersifat merdeka dan independen, sudah barang tentu bahwasanya terkait dengan
ratio decidendi hakim pun akan bersifat demikian (merdeka dan independen)
asalkan masih dalam koridor keilmuan hukum yang dapat diterima, didasarkan pada
motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para
71
Lilik Mulyadi,Ibid, h. 220.
57
yuridis dari tindak pidana yang didakwakan, majelis hakim haruslah menguasai
mengenai aspek teoritis dan praktik, pandangan doktrin yurisprudensi dan kasus
pendiriannya. Ada usulan bahwa salah satu metode untuk menemukan apa yang
menjadi ratio dari suatu perkara tertentu adalah dengan mengkaji (berbagai)
secara langsung, maka ini setidaknya akan menjadi salah satu dari rationes dalam
yang pada akhirnya dibuat dan cara dirinya memandang alasan-alasan ini
di pengadilan.72
Ratio Decidendi atau The Ground of reason the decision merupakan pondasi
penting yang juga mengikat. Karena putusan pidana berada di ranah hukum publik,
maka bagian itu juga mengikat untuk publik atas dasar kepentingan umum
pemikirannya dalam memutus suatu perkara. Fungsi ratio decidendi adalah sebagai
hukum antara seseorang dengan orang lain, atau antara masyarakat dengan
72
Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, dan Socialist
Law,Bandung, Nusa Media, h. 24.
73
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009,
h.54.
58
untuk menjadi replika dan duplika percontohan, terutama menyangkut baik dan
buruknya sistem penerapan dan penegakkan hukum, sikap tindak aparatur hukum,
Nomor. 600/Pid.B/2011/PN.Lmj.
perkara tindak pidana penelantaran anak berjenis kelamin laki-laki berumur 1 (satu)
hari dengan berat 2 (dua) kg 3 (tiga) ons panjang 46 (empat puluh enam) cm yang
dilakukan oleh Terdakwa Halimah Binti Dul Hamid, Alamat Dsn Kampung anyar
Atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa berikut ini Jaksa/Penuntut
Pasal 308 KUHP: “seorang ibu yang menaruh anaknya disuatu tempat supaya
dipungut oleh orang lain tidak berapa lama sesudah anak itu dilahirkan oleh
karena takut akan diketahui orang ia telah melahirkan anak atau dengan maksud
maksimum yang tersebut dalam Pasal 305 dan Pasal 306 dikurangi sehingga
seperduanya”.
Pasal 308 KUHP sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum ini
mempunyai unsur “menaruhkan anak” yang berarti membuang anak kecil artinya
74
Abraham Amos H.F, Legal Opinion Teoritis & Empirisme, Jakarta, Grafindo Persada,
2007, h.34.
59
meninggalkan anak kecil yang belum berumur 7 (tujuh) tahun disuatu tempat,
sehingga dapat ditemu (ditemukan) oleh orang lain dengan tidak mengetahui siapa
orang tuanya, maksudnya ialah untuk melepaskan tanggung jawab atas anak itu. Ini
boleh dilakukan siapa saja. Akan tetapi jika yang melakukan perbuatan itu adalah
ibu atau bapak kandungnya sendiri, maka ancaman hukuman ditambah dengan
sepertiganya (Vide: Pasal 307 KUHP). Jika perbuatan itu dilakukan oleh seseorang
ibu tidak beberapa lama sesudah anak itu dilahirkan oleh karena ketakutan akan
separuhnya (Vide: Pasal 308 KUHP). Perbuatan dalam pasal 304 KUHP dan pasal
305 KUHP apabila berakibat luka parah atau mati, dihukum lebih berat.75
berikut:
1. Dalam pembuktian perkara ini dan seluruh unsur-unsur pasal 308 KUHP
75
R. Soesilo, Op.Cit, h. 224
60
seorang perempuan yang telah membuang seorang anak yang baru saja
melihat dari sisi pelaku saja (terdakwa) yang berstatus sebagai janda sehingga
menjadi tulang punggung keluarga dan bahwa terdakwa sudah mengakui semua
perbuatannya. Menurut penulis Majelis Hakim sebaiknya melihat juga dari sisi anak
yang menjadi korban dari tindakan orang tuanya yang tidak manusiawi. Anaki tidak
diberikan hak-hak nya sebagai sorang anak dan malah ditelantarkan begitu saja.
untuk memperoleh keadilan sering terbentur mengenai masalah norma hukum yang
pembuangan anak yang masih mengikuti KUHP yang dalam hal ini sebenarnya
dapat pula dapat ditarik sebagai penelantaran anak yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, karena secara asasnya
pembuangan anak kandung tersebut adalah sama dengan penelantaran anak yang
dalam hal ini justru dilakukan oleh orang tua kandungnya sendiri.
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Lumajang juga kurang teliti dalam
hukum pidana. Seharusnya sebagai perwakilan dari sisi korban pelaku tindak
hukum pidana yang lebih membuat efek jera bagi terdakwa. Padahal didalam Pasal
61
dalam masyarakat, kesadaran hukum tidak akan tercapai apabila tidak memberikan
ketentuan pidana yang memuat efek jera yang maksimal kepada setiap pelaku
tindak pidana.
Nomor. 101/Pid.Sus/2015/PN.Bdw.
perkara tindak pidana penelantaran bayi berjenis kelamin laki-laki berumur 1 (satu)
hari dengan berat 2,3 (dua koma tiga) kg panjang 45 (empat puluh lima) cm, lingkar
kepala 33 (tiga puluh tiga) cm yang dilakukan oleh Terdakwa Filda Umiatul
Hasanah Binti Nurhasan, Alamat Desa Pakisan RT.006, RW. 001, Kecamatan
Atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa berikut dakwaan yang
diajukan oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bondowoso Atas tindak
2002 Tentang Perlindungan Anak atau Pasal 307 KUHP atau Pasal 308 KUHP.
Pasal 307 KUHP adalah pemberatan terhadap orang tua kandung (ibu atan
bapak) yang membuang anaknya. Pasal 307 KUHP merupakan pemberatan dari
Pasal 305 KUHP (pembuangan bayi/anak) dan Pasal 306 KUHP (pembuangan
ditambah dengan sepertiga. Dengan kata lain apabila bayi/anak yang ditelantarkan
tersebut dalam keadaan hidup maka pemidanaan berdasarkan Pasal 305 KUHP
ditambah sepertiga yakni (5 tahun 6 Bulan ditambah 1/3 dari 5 tahun 6 bulan = 7
bayi/anak mengalami luka berat atau meninggal dunia maka sesuai Pasal 306
KUHP juga ditambah sepertiga yakni (9 tahun ditambah 1/3 dari 9 tahun = 12 tahun
penjara).
Sedangkan apabila merujuk pada pasal 308 KUHP yang dalam hal ini
pidananya menjadi apabila tindakan tersebut sesuai dengan unsur Pasal 305 KUHP
8 bulan penjara). Apabila tindakan tersebut sesuai dengan unsur pasal 306 KUHP
penjara).
63
bersangkutan, MENGADILI:
tersebut diatas penulis merasa terdapat antinomi antara pasal yang didakwakan
dengan pemidanaan yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Padahal dalam hal ini
sudah barang tentu dikenal sebagai salah satu instrumen hukum yang digunakan
untuk melindungi hak-hak anak. Karena anak adalah bagian yang tidak terpisahkan
negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan
negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh
Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi
pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong
adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak
korban dan/atau anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk
sangat jauh dari yang diharapkan apabila dalam implementasinya tidak sesuai
Bondowoso dalam putusan dalam perkara ini penulis merasa kurang cermat dan
(seratus juta rupiah), akan tetapi dalam perkara diatas hanya dijatuhi dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000,00.- (satu juta
mahasiswa (masih terlalu muda) untuk menjalani suatu pemidanaan. Padahal tindak
pidana dapat dilakukan tanpa memperhatikan batasan umur dan begitupula korban
76
Penjelasan Uum atas Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
65
Nomor. 164/Pid.B/2013/PN.Mjl.
perkara tindak pidana penelantaran bayi berjenis kelamin laki-laki berumur 1 (satu)
hari dengan berat 3 (tiga) kg panjang 49 (empat puluh sembilan) cm, yang dilakukan
oleh Terdakwa Yayah Sartiah Binti Darman, Alamat Dusun Tengah RT.014, RW.
Atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa berikut dakwaan yang
diajukan oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Majalengka Nomor Register
Anak.
berikut:
melahirkan seorang anak hasil dari pemerkosaan dan yang menjadi korban
tidak mempunyai biaya dan orang yang tidak mampu karena terdakwa telah
MENGADILI:
seorang bayi di kamar mandi dan agar supaya bayi tersebut tidak menangis,
terdakwa memberinya air dari bak mandi dan kemudian bayi yang baru saja
diatas, tentu akan memunculkan rasa iba karena seorang perempuan yang diperkosa
sewaktu dirinya bekerja sebagai TKI di luar negeri. Akan tetapi apabila kita
melihatnya dari sisi yang berbeda, bayi yang baru dilahirkan oleh Terdakwa juga
kandungnya.
bernegara.
terhadap anak agar orag tua, keluarga, dan masyarakat, serta pemerintah dan negara
untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang
68
fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan
Penulis menilai bahwa Surat Dakwaan dan Tuntutan yang diajukan oleh
Penuntut Umum sudah tepat dengan memberikan ketentuan yang terdapat dalam
Perlindungan anak yang lama). Akan tetapi maksud pemberian efek jera kepada
berbeda memberikan pemidanaan yang jauh lebih ringan daripada tuntutan Jaksa
Penuntut Umum.
kesopanan terdakwa selama berada dalam persidangan, dan bahwa terdakwa belum
pernah dihukum sebelumnya dalam menilai hal-hal yang meringankan atas diri
memberikan dampak yang dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yang berbeda. Salah satu
sisinya, putusan (vonis) merupakan ujung tombak bagi hukum pidana sebagai
fungsinya untuk mengontrol segala hal yang menimbulkan suatu keresahan bagi
77
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
69
Dampak yang lain adalah sebagai efek jera bagi Terpidana dalam hal
secara khusus). Akan tetapi, seiring perkembangan hukum pidana dewasa ini,
restorative justice sehingga suatu vonis dapat berupa upaya pemulihan (treatment)
maka kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai
bahwa untuk hukum pidana dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri
(vermijding van eigenrichting) tetap merupakan fungsi yang penting sekali dalam
berpegang pada teori pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukan
dalam arti tidak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti
78
Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
2010, h.6.
70
(bovengrens) dari beratnya pidana. hanya saja ia berpendapat bahwa tidak perlu
pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam
batas-batas pembalasan.79
penilaian yang dilakukan oleh Majelis Hakim berdasarkan bukti-bukti yang telah
menjadikan suatu dasar bagi hakim menjatuhkan Putusan kepada terdakwa. Baik
berupa putusan bersalah (guilty) ataupun putusan tidak bersalah (not guilty), terkait
terus menerus oleh berbagai pihak yang dilakukan seara bertanggung jawab. Upaya
perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam
kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari
a. Non diskriminasi;
79
Ibid.h.15..
80
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
71
usaha, media massa, atau lembaga pendidikan (baik formal maupu informal).
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang
anak. Bahkan jenis tindak pidana tersebut tidak didefinisikan sehingga sulit untuk
76 huruf C UU No. 23/2002 jis UU No. 35/2014 jis UU No. 23/2004 jis UU
Pasal 76 huruf C:
“setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.
Pasal 76 huruf D
“setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”
Pasal 76 huruf E
72
anak terlantar sebagai berikut: “anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial”. Sejatinya
memastikan bahwa seseorang telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah
penelantaran anak yang ada yakni: (1). Penelantaran fisik, (2). Penelantaran
perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana apabila dilakukan oleh setiap orang
maupun korporasi termasuk dalam perkara tindak pidana terhadap anak sebagai
berikut:
81
Putu Sarasita Kismadewi, Pertanggung jawaban Pidana Orang Tua Yang
menelantarkan Anaknya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, Jurnal Hukum, Program kekhususan hukum pidana, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Bali, h. 12.
73
Mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat aditif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak
korban perdagangan, atau anak korban kekerasan, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu.
terkesan salah menerapkan ketentuan hukum, juga tidak tampak ketegasan hakim
dilahirkan tersebut. Hal ini terlihat dari tidak maksimalnya ancaman pidana yang
dijatuhkan dalam Pasal 307 KUHP, Pasal 308 KUHP, Pasal 341 KUHP, Pasal 342
adalah dengan mengacu pada ketentuan UU Perlindungan Anak atau dipilih tindak
pidana yang ancaman hukumannya paling berat bagi pelaku tindak pidana
pembuangan anak yang baru saja dilahirkan tersebut. Sejatinya Pasal 341 KUHP
75
atau dapat dipidana dengan Pasal 342 KUHP (disertai dengan pemberatannya)
dapat dijadikan patokan dasar mengenai pengenaan sanksi pidana bagi pelaku.
Karena pelaku pembuangan atau penelantaran anak yang baru saja dilahirkan
tersebut diantara lain dilakukan pasti oleh orang tua yang baru saja melahirkan anak
berencana atau Pasal 342 KUHP (beserta pemberatannya) sebagai efek jera yang
dikenakan pada pelaku tindak pidana, karena ancaman tindak pidananya sangat
berat dan sesuai dengan perbuatan pelaku tindak pidana pembuangan atau
penelantaran anak yang baru saja dilahirkan juga dikategorikan sebagai suatu tindak
pidana berat.
laki yang menyebabkan kehamilan tersebut yang nantinya setelah melahirkan anak
tersebut ditelantarkan ataupun dibuang oleh si ibu dapat juga dimintai pertanggung
jawaban pidananya sesuai ketentuan Pasal 343 KUHP. Apabila tidak dilakukan,
maka akan selamanya putusan hakim tidak akan tegas apabila mengadili perkara
serupa, karena hanya akan menganggap bahwa perempuan (ibu) tadi hanya sebagai
korban, dengan demikian karena pemahaman yang keliru inilah mengaburkan suatu
benarnya korban dalam tindak pidana penelantaran atau pembuangan anak ini.
76
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Hingga saat ini praktis instrumen hukum yang mengatur mengenai bayi
bayi dan anak-anak memiliki persamaan yakni belum dewasa dan cakap
hukum. Penelantaran dan pembuangan anak yang baru saja dilahirkan yang
menyebabkan matinya anak tersebut, pelaku tindak pidana saat ini sebagian
anak diatur dalam ketentuan Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP
yang menyebabkan matinya anak tidak ada niat dari pelaku untuk
anak, dimana pelaku memang sengaja membunuh anak yang baru dilahirkan
hamil dan tidak berkenan dengan lahirnya anak tersebut dapat kenakan
2. Sanksi Pidana yang ada selama ini dalam persidangan tindak pidana
anak hanya terfokus pada KUHP saja, hal tersebut juga dilaksanakan dengan
4.2. Saran
penelantaran dan pembuangan anak yang baru saja dilahirkan oleh orang
tuanya karena selama ini belum adanya pengaturan khusus yang terkait
mengenai hal tersebut. Agar tidak lagi terjadi kekosongan hukum (vacuum
of norm).
yang baru saja dilahirkan juga dapat dikenakan terhadap laki-laki yang