Anda di halaman 1dari 77

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan anugerah yang tidak terhingga dari Tuhan Yang Maha Esa

(TYME). Bentuk eksistensi manusia sebagai manusia adalah mampu menjaga

eksistensinya tersebut, dan salah satu cara untuk menjaga eksistensinya tersebut

adalah dengan memiliki keturunan. Keturunan sebagai generasi penerus yang dapat

menjaga sekaligus mengangkat eksistensi manusia. Perihal sifatnya dalam cakupan

yang lebih luas lagi, keturunan sebagai generasi penerus tersebut menjadi asset

yang sangat bernilai bagi suatu kumpulan masyarakat yang hidup dalam 1 (satu)

tujuan yang sama yang disebut negara.

Untuk menjaga harmonisasi dan interaksi antara satu individu dengan

individu yang lainnya, maka diperlukan suatu instrumen yang dapat mengatur itu

semua yang disebut sebagai aturan (hukum). Hukum dapat memberikan

perlindungan dari ancaman disharmonisasi dalam suatu kumpulan masyarakat

tersebut. Perlindungan hukum yang diimplementasikan dalam ranah penegakkan

hukum, merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep

menjadi kenyataan. Pendapat Soerjono Soekanto terhadap penegakkan hukum

adalah: “secara konseptual, maka inti dan arti penegakkan hukum terletak pada

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan didalam kaidah-

kaidah yang baik dan mengejahwantahkan dan sikap tindakan sebagai rangkuman

penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan


2

kedamaian pergaulan hidup”1. Penegakkan hukum sebagai suatu proses yang pada

hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak

secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian

pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral.

Terhadap anak, perlindungan hukum lebih diutamakan karena sifat alamiah

anak yang cenderung masih belum dapat menjadi pribadi yang seutuhnya menjadi

suatu pribadi. Oleh sebab itu perlindungan terhadap bayi bahkan sudah dimulai

sejak anak tersebut berada dalam kandungan. Pasal 2 Burgerlijk Wetboek (BW)

yang menyatakan “seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya dianggap

sebagai subyek hukum sepanjang kepentingan si anak itu menghendakinya” hal ini

yang kemudia dikenal dengan istilah fiksi hukum. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 28B ayat (2) mengatakan:

“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dalam hal ini termasuk bayi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Majelis Umum juga telah

mengeluarkan suatu deklarasi yakni Declaration of the Rights of the Child dengan

resolusi Majelis Umum 1386 (XIV) tanggal 30 November 1959 yang berisikan 10

(sepuluh) prinsip, serta suatu konvensi yakni Convention on the Rights of the Child

sesuai resolusi Majelis Umum PBB 44/45 tanggal 20 November 1989. Sejumlah

instrumen internasional HAM tersebut, baik DUHAM maupun Deklarasi Hak-hak

Anak tidak diratifikasi oleh Indonesia, sedangkan Konvensi Hak-hak Anak

diratifikasi oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 36

1
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakkan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 1983, h.5.
3

Tahun 1990, sehingga tingkatan peraturan perundangan berbentuk Keppres ini

sangat rendah, bahkan tidak dikenal sebagai salah satu jenis peraturan perundang-

undangan menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

Instrumen Internasional HAM yakni Universal Declaration of Human Right

(Deklarasi Universal HAM/DUHAM), mengatur sejumlah ketentuan mengenai hak

untuk hidup dan hak anak di dalam Pasal 1 bahwa “All human being are born free

and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and

should act towards one another in a spirit of brotherhood”.2 Juga, dalam Pasal 3

bahwa “Everyone has the right to life, liberty and security of person”.3 Serta dalam

Pasal 25 ayat (2) bahwa “Motherhood and childhood are entitled to special care

and assistance. All children, whether born in or wedlock, shall enjoy the same

social protection” perlindungan hukum terhadap anak tersebut telah menjadi

concern dalam setiap perkumpulan masyarakat yang beradab.

Hak setiap orang untuk hidup tidak memandang latar belakang, faktor-faktor

penyebab kehidupan, dan ke arah mana kehidupan itu hendak berlangsung. Setiap

orang berhak untuk hidup tanpa memerlukan pengakuan dari negara, dari

pemerintah, dari hukum bahkan dari masyarakat, oleh karena kehidupan itu sendiri

adalah suatu hal yang alamiah. Hak untuk hidup dalam Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (Pasal 3) tersebut di atas, sejalan pula dengan ketentuan

konstitusional di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya” (Pasal 28A).


4

Anak yang dalam hukum digolongkan dalam subyek hukum melekat hak-hak

dan kewajiban-kewajiban terhadap dirinya. Dalam pembahasan kali ini hak-hak nya

lah yang lebih diutamakan untuk dipenuhi karena anak sudah pasti belum cakap

hukum untuk dikenakan suatu kewajiban hukum, namun tidak meniadakan

pengertian anak sebagai suatu subyek hukum (natuurlijke persoon). Tidak ada atau

belum adanya peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang bayi

menjadikan dalam pebahasan kali ini bayi tersebut dianggap sama dengan anak

(karena memiliki persamaan konsep yaitu sama-sama belum dewasa). Dengan

demikian segala peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai anak

dapat pula dipakai kepada bayi dalam setiap hak-hak dan kewajiban yang melekat

padanya.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 2

ayat (1) sampai ayat (4) menyatakan:

1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan


berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;
2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan
dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan
kepribadian bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan
berguna;
3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa
dalam kanudngan maupun dilahirkan
4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.
Pembuangan anak merupakan perbuatan yang sangat menciderai sisi kemanusiaan

dan moral terkait dengan norma-norma yang ada, terlebih lagi perbuatan

pembuangan bayi tersebut adalah merupakan suatu tindak pidana.


5

Jika pembuangan anak dilakukan dalam keadaan masih hidup, dan dilakukan

oleh orang tua yang dalam hal ini adaah ibu-nya yang membuang anak tersebut

setelah dilahirkan, maka ancaman pidana terkait hal ini terdapat dalam Pasal 308

KUHP: “Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran

anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan

atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka

maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi setengah (1/2)”.

Adapun Pasal 305 KUHP memberikan aturan mengenai menaruh/menempatkan

anak di bawah umur 7 (tujuh) tahun (termasuk juga bayi) di suatu tempat agar

dipungut orang lain dengan maksud terbebas dari pemeliharaan anak itu, dipidana

selama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan, sedangkan pemberatan terhadap hal ini yang

berdampak kepada si Anak mengalami luka berat sesuai ketentuan Pasal 306 ayat

(1) KUHP adalah 7 (tujuh) tahun 6 (enam) bulan, dan akan diperberat apabila dalam

hal melakukan pembuangan bayi tersebut menyebabkan kematian pada diri bayi

dipidana dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun. Juga melanggar Pasal

341 KUHP, Pasal 342 KUHP serta merupakan pelanggaran terhadap Undang-

Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berkaitan dengan hak

anak dimana anak sejak masih dalam kandungan (janin) berhak untuk hidup dan

mempertahankan kehidupannya.

Sebagai contoh kasus dapat dikaji dalam Putusan Pengadilan Negeri

Lumajang Nomor 600/Pid.B/2011/PN.Lmj yang Terdakwa telah membuang

seorang anak berjenis kelamin laki-laki dalam sebuah tas yang merupakan anak

kandung terdakwa sendiri. Kemudian Terdakwa meletakkan tas tersebut di pinggir


6

jalan, terdakwa melakukan perbuatan tersebut karena takut diketahui oleh orang

lain kalau terdakwa telah melahirkan seorang anak.

Selanjutnya Putusan Pengadilan Negeri Bondowoso Nomor:

101/PID.SUS/2015/PN.BDW dimana Terdakwa telah membuang seorang anak

yang telah dilahirkannya disungai dengan menempatkan bayi tersebut kedalam tas

kresek terbuka dan menyembunyikan anak yang baru dilahirkannya tersebut disela-

sela tanaman padi di sawah Desa Pakisan Kecamatan Tlogosari Kabupaten

Bondowoso.

Contoh kasus selanjutnya adalah berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri

Majalengka Nomor: 164/Pid.B/2013/PN.Mjl atas Terdakwa yang bekerja sebagai

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi yang melakukan pembuangan

terhadap anak yang telah dilahirkannya akibat pemerkosaan yang dilakukan oleh

majikan Terdakwa selama berada di Arab Saudi. Terdakwa menempatkan anak

yang baru dilahirkannya itu kedalam ranjang dan menaruh anak yang baru

dilahirkannya tersebut di depan gudang kayu supaya anak terdakwa tersebut ada

yang merawatnya.

Contoh Kasus selanjutnya adalah Kasus Putusan Pengadilan Negeri Magetan

Nomor: 177/Pid.B/2012/PN.Mgt dimana berdasarkan fakta-fakta yang terungkap

di persidangan, ternyata Terdakwa melahirkan seorang anak dikamar mandi rumah

Terdakwa. Karena si anak tersebut diam saja, maka Terdakwa mengubur anaknya

tersebut di comberan belakang rumah (untuk hal pembuangan/pengkuburan

seorang anak yang memang sudah mati ketika baru saja dilahirkan).
7

Beberapa kasus pembuangan anak kebanyakan dilakukan oleh Ibu

kandungnya sendiri dan biasanya dilakukan setelah proses melahirkan, karena

sebagian besar melakukan hal tersebut karena merasa takut dan khawatir diketahui

oleh orang lain bahwa dirinya sedang mengandung dan melahirkan seorang anak.

Kejahatan yang dilakukan seorang Ibu terhadap anaknya sendiri dinyatakan sebagai

sesuatu yang mustahil terjadi jika tidak ada sebab yang bersifat khusus

(secreetfactors)2. Kasus pembuangan anak yang baru dilahirkan lebih cenderung

pada masalah kejiwaan, adanya tekanan atau beban pikiran psikologis yang

ditanggung seorang Ibu terhadap anak yang dilahirkannya, dan juga masalah

lingkungan sosial.

Usaha untuk mencegah dan bahkan dalam hal pemberian efek jera terhadap

pelaku tindak pidana pembuangan anak ini adalah dengan menegakkan aturan

hukum pidana yang tegas, sehingga dapat tercapainya kepastian hukum yang

nantinya akan bermuara pada keadilan. Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagai garda terdepan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan yang harus

dilaksanakan dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Terkait tindak pidana

pembuangan anak yang baru saja dilahirkan ini, para laki-laki yang sebenarnya

“turut serta” dalam proses pembuahan dan kehamilan, selalu lolos dari jerat hukum,

atau setidaknya tidak pernah dianggap ikut bertanggungjawab dari perbuatan

tersebut, sehingga sudah saatnya Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim)

memberikan efek jera pula kepadanya.3

2
Sumiyanto, Pembunuhan Bayi Oleh Ibu Kandungnya Sendiri, Laporan Hasil Penelitian
Universitas Brawijaya, Malang, 2000, h.24.
3
Satjipto Rahardjo, Polri Sipil dan Perubahan Sosial di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002,
h.45.
8

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam

penelitian hukum berbentuk Tesis ini dapat dijabarkan dalam 2 (dua) rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Konsep penelantaran anak dan pembuangan anak yang menyebabkan

mati;

2. Apakah pertimbangan hakim dalam penelantaran anak yang baru

dilahirkan sudah memperhatikan aspek-aspek kepentingan yang terbaik

untuk anak? (Studi Putusan Pengadilan);

2. Tujuan Penelitian

a. Mengkaji dan menganalisis secara mendalam terkait Ratio

Decidenci (Pertimbangan Hakim) terkait dengan aspek-aspek

kepentingan yang terbaik untuk anak dalam perkara pembuangan

anak yang baru saja dilahirkan yang menyebabkan matinya anak

dalam perspektif penelantaran anak.

b. Mengkaji dan menganalisis secara mendalam terkait Perbedaan

Konsep pembuangan anak sebagai penelantaran anak dan

pembuangan anak (Penelantaran) yang Berakibat Meninggalnya

anak tersebut.
9

3. Manfaat Penelitian

3.1. Manfaat Teoritis

Adapun manfaat teoritis yang hendak dicapai dalam penelitian hukum ini

adalah diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan

dan pengembanan Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan Hukum Pidana Anak

pada khususnya, juga diharapkan dalam penelitian kali ini dicapainya penemuan

hukum baru (rechtvinding), selain itu dapat juga sebagai penambah khazanah ilmu

pengetahuan dalam bidang hukum bagi penulis.

Penelitian hukum ini dilakukan sebagai suatu kajian akademis. Penelitian

hukum yang bersifat akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan

sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum melalui teori-teori hukum,

argumentasi baru, atau konsep baru terhadap hal-hal yang telah dipandang mapan

dalam ilmu hukum. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa pada

hakekatnya penelitian hukum adalah penelitian terhadap norma, baik yang tertulis

maupun yang tidak tertulis baik hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum)

maupun hukum yang berlaku dikemudian hari (ius constituendum).

3.2. Manfaat Praktis

Terkait manfaat praktis yang ingin didapatkan dalam penelitian hukum ini

adalah untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dan manfaat yang dapat

disumbangkan kepada Aparat Penegak Hukum dalam menjalankan fungsinya

sebagai garda terdepan didalam Penegakan Hukum Pidana agar dapat berfikir dan

bertindak dengan sangat bijaksana demi tegaknya keadilan


10

4. Kajian Teori

a. Konsep Hukum

Konsep sejatinya lahir dari kajian ilmu yang digunakan dalam suatu

permasalahan. Dalam suatu permasalahan hukum maka yang digunakan adalah

konsep hukum, dalam permasalahan ekonomi konsep yang digunakan adalah

konsep ekonomi, begitu seterusnya mengikuti suatu permsalahan yang hendak

dikaji dari suatu keilmuan. Secara umum konsep digunakan untuk menggambarkan

objek secara abstrak.

Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang

dipahami. Aristoteles dalam "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa

konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan

filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran.4

Melalui dengan konsep seorang manusia akan memahami sesuatu yang akan

dipikirkannya. Secara sederhana konsep ini adalah media yang membantu manusia

untuk berpikir. Sesuatu yang ingin dipahami, dimengerti, diukur, dan dikritisi

secara mendalam oleh pikiran manusia.

Konsep adalah istilah, terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan

suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu. Bailey5 menyebutkan

konsep sebagai suatu persepsi (mental image) atau abstraksi yang dibentuk dengan

menggeneralisasikan hal-hal khusus. Konsep dapat juga disebut sebagai

generalisasi dan sekelompok fenomena yang sama. Dalam membangun konsep

4
Wikipedia, 2015 “Definisi Konsep,” http://Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas.html. diunduh pada Kamis, 4 Januari 2018.
5
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Bogor,
Ghalia Indonesia: 2002 h. 17
11

terdapat 2 (dua) desain yang perlu diperhatikan, yaitu generalisasi dan abstraksi.6

Generalisasi adalah proses bagaimana memperoleh prinsip dari berbagai

pengalaman yang berasal dari literatur, sedangkan abstraksi yaitu cakupan ciri-ciri

umum yang khas dari fenomena yang dibacakan.

b. Teori Hukum Pidana

Pidana berasal dari kata “straf” (belanda), yang pada dasarnya dapat

dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/ dijatuhkan

kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindakan pidana.

Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang

berasal dari kata “straf” merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno

menggunakan istilah yang konvensional yaitu pidana.7

Suatu kajian hukum pidana dikenal jenis sanksi yang berupa pidana (straf)

dan tindakan (maatregel), Satochid mengemukakan dalam M.Shollehuddin, bahwa

di dalam hukum pidana juga ada sanksi yang bukan berupa siksaan (pemberian

nestapa) yang disebut dengan tindakan (maatregel)8. Selain pidana straf seorang

hakim dapat pula menjatuhkan tindakan (maatregel) kepada seseorang yang

terbukti bersalah telah melakukan suatu tindak pidana. Pidana didefenisikan

sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan/ diberikan negara kepada

seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas

6
M. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta, Kencana: 2008. h. 57.
7
Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem pidana didalam KUHP dan Pengaturannya
menurut konsep KUHP baru, USU pres, Hal.1.
8
M. Shollehuddin, sistem sanksi dalam hukum pidana, (jakarta Raja Grafindo Persada,
2003, hal. 7
12

perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.9 Jika berbicara tentang

maatregel maka yang mendominasi adalah fungsi prevensi khusus, sekalipun dalam

praktek belum diakui pengenaan tindakan sering juga menimbulkan derita terhadap

pihak yang terkena pada prinsipnya tindakan berwujud sebagai suatu ‘perlakuan’

(behandeling/treatment) yang dijatuhkan oleh hakim di dalam vonis disamping atau

sebagai pengganti pidana. Sebagai contoh: penempatan paksa dirumah sakit jiwa,

penyerahan kepada pemerintah dan dalam hukum pidana anak, penempatan atau

penyerahan paksa kepada lembaga koreksi untuk anak-anak10.

Sebelum memahami terkait pemidanaan perlu difahami terlebih dahulu

definisi atau pengertian dari hukum pidana itu sendiri agar syarat-syarat11 terkait

hukum pidana dapat dimasukkan kedalam pemidanaan nantinya. Soedarto

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu, berbeda dengan Roelan Saleh yang mengatakan bahwasanya

pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja

ditimpakan negara pada pembuat delik. Sependapat dengan yang diucapkan

Roeslan Saleh, R.Soesilo menyatakan bahwa hukum pidana menggunakan istilah

hukuman untuk menyebut istilah pidana merumuskan, bahwa apa yang dimaksud

dengan hukuman adalah suatu perasaan yang tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan

9
Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem pidana didalam KUHP dan Pengaturannya
menurut konsep KUHP baru, USU pres, H.7.
10
Ibid
11
Widya Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT Refika Aditama,
Jakarta, 2005, h.6.
13

oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang

hukum pidana.12

Sanksi pidana juga lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia

merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar

sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan

pembinaan atau perawatan si pembuat13 ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka

sanksi tindakan itu merupakan sanksi yang tidak bersifat membalas, melainkan

hanya ditunjukkan pada prevensi khusus yang bertujuan melindungi masyarakat

dari orang-orang tertentu, yaitu orang-orang yang berbahaya yang mungkin akan

melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat. Tujuan tindakan ini

bukanlah untuk penambahan penderitaan, akan tetapi semata-mata untuk

perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan bagi pelaku

pelanggar hukum. Jika tindakan itu masih menimbulkan penderitaan bagaimanapun

juga ini bukanlah yang dimaksudkan menjadi tujuan.

Utrecht menyebutkan bahwa sebagian besar ahli hukum pidana melukiskan

perbedaan antara hukuman (pidana) dengan tindakan itu, bahwa hukumkan

bertujuan memberikan penderitaan yang istimewa (bijzonder leed) kepada

pelanggar agar ia merasakan akibat dari perbuatannya, sedangkan tujuan tindakan

lebih bersifat melindungi dan mendidik, lebih bersifat sosial.14 Dalam prakteknya

banyak hal yang menunjukkan bahwa perbedaan antara pidana dengan tindakan itu

12
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1996, h.35.
13
M.Sholehuddin, Op.Cit.,H.17
14
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, h.
342.
14

hanyalah bersifat teoritis saja sehingga sukar untuk ditentukan. Seperti halnya

dengan pidana (straf), maka dengan tindakan (maatregel) pun dapat menciptakan

perubahan besar dalam kehidupan seseorang karena tindakanpun memberikan

batasan bahkan kadang-kadangpun sampai menghilangkan kebebesan seseorang,

oleh karena itu tindakan pun dapat dirasakan sebagai suatu pidana (straf), selain itu

tidak jarang pula suatu tindak pidana didasarkan atas ide yang melindungi dan

memperbaiki.15

Pembentukan Undang-undang Indonesia telah menggunakan istilah

“strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana” di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan suatu penjelasan

mengenai apa yang sebenarnya di maksud dengan perkataan “straafbaar teit”

tersebut perkataan “feif” itu sendiri dalam bahasa belanda berarti perbuatan

sedangkan “straafbaar” berarti dapat dihukum sehingga secara harfiah perkataan

“straafbaar faif” dapat diterjemahkan menjadi suatu “ perbuatan yang dapat

dihukum” (Lamintang, 1997 : 181 Pembentukan Undang-Undang Indonesia).

Tindak Pidana adalah perbuatan yang melanggar larangan yang di atur oleh

aturan hukum yang di ancam dengan sanksi pidana, kata perbuatan dalam perbuatan

pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang menunjuk pada 2

(dua) kejadian yang konkreat :

- Adanya kejadian yang tertentu yang menimbulkan akibat yang

dilarang.

- Adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

15
Ibid., h 343
15

Perbuatan yang di larang oleh suatu aturan hukum larangan mana yang disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut.

Menurut Pompe “straafbaar feir” itu secara teoritis dapat dirumuskan secara

berikut: suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan

sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana

penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi menjaga

terpeliharanya tertib hukum dan terjalinnya kepentingan hukum.16

Menurut Simons, “straafbaar feit” itu adalah “sautu tindakan melanggar

hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh

seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh

undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum “17.

Walaupun demikian menurut Utrecht18 penjatuhan menurut hukum penitensier.19

Hukuman-hukuman itu ditentukan secara limitatif didalam pasal 10 KUHP,

sedangkan Menurut Van Bemmelen hukum penitensiere adalah hukum yang

berkenaan dengan tujuan, daya kerja dan organisasi dari lembaga-lembaga

pemidanaan.

Menelaah mengenai sanksi pidana yang terdapat didalam KUHP dapat

merujuk pada pasal 10 KUHP.

Pasal 10 KUHP :
“Pidana terdiri atas:
16
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,Citra Aditya Bakti, Bandung,
2013.H.182.
17
Leden Marpaung, Hukum Acara Pidana, Bandung, 2005, h.8.
18
Ibid
16

1. Pidana pokok (1.Pidana mati, 2.Pidana Penjara, 3.Pidana


kurungan, 4.Pidana denda, 5.Pidana tutupan);
2. b.Pidana tambahan (1.Pencabutan hak-hak tertentu, 2. Perampasan
barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim).”

Jadi semua perampasan atau pembatasan (pengurangan) kebebasan lainnya

yang tidak disebut didalam Pasal 10 KUHP tidak dapat dikualifikasi sebagai

tindakan (maatregel). Hal senada juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh, bahwa

dalam banyak hal batas antara pidana dan tindak secara teoritis sukar ditentukan

dengan pasti, karena pidana sendiripun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-

pikiran untuk melindungi dan memperbaiki. Tetapi secara praktis tidak ada

kesukaran, karena apa yang disebut dalam pasal 10 KUHP adalah pidana,

sedangkan yang lain daripada itu adalah tindakan (maatregel), misalnya pendidikan

paksa, seperti yang terjadi ppada anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah

untuk dididik didalam lembaga pendidikan paksa, ditempatkan seseorang didalam

rumah sakit jiwa dengan pemerintah karena orang tersebut tidak dapat

dipertanggungjawabkan oleh karena adanya pertumbuhan yang cacat pada jiwanya

atau karena gangguan penyakit20

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sumber pokok hukum

pidana materil , memuat tentang aturan umum hukum pidana dan rumusan-

rumusan tindak pidana tertentu, mengenai aturan umum aturan dalam buku I,

sedangkan kejahatan dan pelanggaran diatur dalam buku II dan buku III KUHP.

Semangat hukum pidana baik pidana materiil maupun formil mengusung

perlindungan terhadap para pelaku tindak pidana agar memperoleh kepastian

20
Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem pidana didalam KUHP dan
Pengaturannya menurut konsep KUHP baru, USU pres, Hal.10
17

hukum dan keadilan terkait dengan masalah hukum yang dideritanya. Walaupun

demikian hukum pidana juga tidak mengesampingkan pertanggung jawaban pelaku

karena melanggar ketentuan pidana yang ada.

c. Teori Pertanggung Jawaban Pidana

Pertanggung jawaban pidana sangat diperlukan dalam suatu sistem hukum

pidana dalam hubungannya dengan prinsip daad-daderstrafs recht. KUHP

Indonesia sebagaimana diatur dalam Weetboek Van Strafsrecht (WvS) yang berlaku

di negara Belanda tidak mengatur secara khusus tentang pertanggung jawaban

pidana, tetapi hanya mengatur tentang keadaan-keadaan yang mengakibatkan tidak

dipertanggung jawabkannya pembuat. Tidak dipertanggung jawabkannya pembuat

hanya dijelaskan didalam Momorie van Toelichting (Mvt) bahwa seorang pembuat

tidak dipertanggungjawabkannya apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.

Menandakan bahwa pertanggung jawaban pidana di dalam KUHP diatur

secara negatif, yaitu dengan keadaan-keadaan tertentu pada diri pembuat atau

perbuatan mengakibatkan tidak dipidananya pembuat. Sebagaimana yang

diketahui bahwasanya KUHP (Sebagai Lex Generalis) dari Hukum Pidana masih

menganut aliran Dualistik didalamnya.

Dianutnya aliran Dualistik tadi, maka menganut bahwasanya sifat melawan

hukum21 (wederrechteliijkeid) dan kesalahan (schuld) merupakan unsur tindak

pidana (straftbarfeiit) .Para ahli hukum pidana yang mengikuti teori Monoistis,

21
Menurut Utrecht, tindak pidana adalah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada
seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas kelakuannya-analisir kesalahan (element van
schuld) dalam arti kata “bertanggung jawab” (straftbaarheid van de dader)., E Utrecht, Op.Cit,
h.260 .
18

memandang pertanggung jawaban pidana dilihat dari terpenuhinya rumusan tindak

pidana yang terdiri dari sikap batin pembuat dan sifat melawan hukumnya

perbuatan. Terpenuhinya unsur-unsur itu, mengakibatkan pembuat telah melakukan

tindak pidana dan mempunyai pertanggung jawaban pidana. Pembuat tidak

dipidana tergantung pada ada atau tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf

sebagai peniadaan pidana 22.

Sebagaimana telah disebutkan diatas, KUHP merupakan hukum pidana yang

bersifat Lex Generali, terdapat beberapa pembahasan mengenai hukum pidana yang

selain sumber kodifikasinya diluar KUHP disebut sebagai Lex Generali, istilah

tersebut dapat juga disebut dengan Hukum Pidana Khusus. Timbulnya Hukum

Pidana Khusus tersebut tidak lain muncul karena adanya pergeseran / pergerakan

masyarakat yang sifatnya dinamis, sehingga adanya pengaturan hukum pidana baru

diluar KUHP sejatinya masih dalam tataran kenormatifan ilmu hukum yang dapat

dikenal dengan istilah rekonseptualisasi Hukum.

Sebagai ciri hukum pidana khusus yang bersumber pada peraturan

perundang-undangan hukum pidana, ialah di dalamnya mengatur baik hukum

pidana materiil dan hukum pidana formil sekaligus. Hukum pidana materiil adalah

hukum pidana yang pada dasarnya memuat tentang bentuk-bentuk perbuatan yang

dilarang dilakukan yang disertai dengan ancaman pidana kepada siapa yang

mewujudkan perbuatan itu. Hukum pidana materiil kadang disebut orang dengan

22
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana, Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi antara Asas, Teori, dan Penerapannya, Kencana, Prenada Media Group, 2016, Jakarta,
h.3
19

tindak pidana, walaupun isi hukum pidana materiil sesungguhnya lebih luas dari

tindak pidana.23

Hukum Pidana Formil atau hukum acara pidana yang isinya mengatur tentang

bagaimana usaha negara untuk menjalankan hukum pidana materiil. Dalam usaha

negara menegakkan hukum pidana materiil, maka hukum pidana formil terdiri dari

macam-macam ketentuan, yang pada dasarnya mengenai tindakan dan upaya yang

boleh dan atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya:

polisi, jaksa dan hakim) serta bagaimana caranya berbuat terhadap si pembuat.24

d. Teori Penelantaran Anak

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan

anak adalah keturunan atau manusia yang masih kecil. Sedangkan dalam

pengertian sehari-hari yang dimaksud dengan anak adalah yang belum mencapai

usia tertentu atau belum kawin, pengertian ini seringkali dipakai sebagai

pedoman umum. Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian anak

dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa,

yang dibawah umur atau keadaan dibawah umur atau kerap juga disebut sebagai

anak yang dibawah pengawasan wali25.

23
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bayu Media Publishing,
Malang, 2013, h.3.
24
Ibid
25
Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori Praktek dan Permasalahannya),
Bandung, Mandar Madju, 2005, h.3.
20

Bentuk penelantaran anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggung

jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan,

termasuk fisik, emosional, pendidikan atau medis.26

a. Penelantaran fisik misalnya keterlambatan mencari bantuan medis,

pengawasan yang kurang memadai serta tidak tersedianya kebutuhan akan

rasa aman dalam keluarga;

b. Penelantaran pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat

pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal;

c. Penelantaran anak secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua

memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-

anaknya;

d. Penelantaran Fasilitas Medis, hal ini terjadi ketika orang tua gagal

menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial

memadai.

5. Metode Penelitian

5.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk menelaah ketentuan-

ketentuan hukum positif, dan perangkat hukum positif yang diteliti secara normatif

akan digunakan sebagai sumber bahan hukum. Penelitian Hukum harus dilakukan

pada tataran Kenormatifan hukum. Morris L Cohen yang sependapat dengan Peter

Machmud Marzuki menyatakan “Legal Research is the process of finding the law

26
http://rotsania.co.id/2012/11/penelantaran-anak-html, diakses pada senin 18 September
2017.
21

that governs activities in human society”27. Sekilas tampaknya apa yang

dikemukakan oleh Morris L Cohen tersebut untuk tujuan praktis. Prosedur

demikian masih diperlukan dalam praktik hukum yang menentukan baik dampak

peristiwa masa lalu maupun implikasinya pada masa yang akan datang dengan

pernyataan itu sebenarnya apa yang ia kemukakan juga meliputi teori hukum.

Tipe penelitian hukum disamping berupa Doctrinal Research28, yakni

penelitian yang memberikan atau menghasilkan penjelasan sistematis tentang

norma-norma (aturan/kaidah) hukum yang mengatur suatu kategori tertentu,29 juga

tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang

ditujukan sebagai bahan untuk mereformasi hukum (Reform Oriented Research),

yaitu penelitian untuk mengevaluasi peraturan-peraturan perundang-undangan

hukum yang ada serta memberikan rekomendasi terhadap perubahan-perubahan

terhadap peraturan-peraturan hukum yang ditemukan sesuai dengan yang

diinginkan sehingga dapat menjawab isu hukum yang diajukan30.

27
Peter Machmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005, h.
56.
28
Terkait dengan Doctrinal Research, Soetadnyo Wignyosubroto menyatakan bahwa
Penelitian Doktrinal adalah penelitian terhadap hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas
dasar doktrin yang dianut sang pengonsep atau sang pengembangnya, meliputi:
1. Penelitian Doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai asas hukum alam
dalam sistem moral menurut doktrin hukum alam;
2. Penelitian Doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah Peraturan
Perundang-undangan menurut Doktrin Positivisme;
3. Penelitian Doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai putusan hakim in
concreto menurut Doktrin Realisme.
Dalam Prasetijo Rijadi, Memahami Metode Penelitian Hukum Dalam Konteks Penulisan
Skripsi/Tesis, AL Maktabah, Surabaya, 2017, h.33.
29
Ibid. H.8
30
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Prenada Media Grup, Jakarta,
2005, h. 32.
22

Penelitian hukum (Legal Research) ini dilakukan dengan metode sesuai

dengan karakter yang khas dari ilmu hukum (Jurisprudence). Penelitian Hukum

Normatif, yakni penelitian yang mengkaji tentang norma-norma seperti dikatakan

oleh Soedjono Dirjosiswono. Ilmu Hukum sebagai ilmu kaidah, merupakan ilmu

yang menelaah hukum sebagai kaidah, atau sistem kaidah-kaidah dengan dogmatik

hukum dan atau sistematik hukum sedemikian rupa, sehingga dapat dipahami

dengan jelas tentang hukum sebagai kaidah31

5.2. Pendekatan Masalah

Beberapa pendekatan masalah yang dikemukakan oleh Peter Mahmud

Marzuki adalah pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum

adalah pendekatan perundang-undangan (Statute approach), pendekatan kasus

(case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conseptual

approach)32.

Pendekatan Masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual

(conseptual approach). Peter mahmud Marzuki mengatakan bahwa pendekatan

yang digunakan dalam penulisan diatas antara lain:33

“Statute Approach adalah Pendekatan Perundang-Undangan yang


dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Conseptual
Approach pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan
para ahli”.

31
Dirdjosiswono,Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h.6.
32
Ibid, h.93.
33
Ibid, h. 133.
23

Melalui pendekatan konseptual (Conseptual Approach), peneliti akan menemukan

ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan

asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi34.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan kasus tersebut bahan yang digunakan adalah putusan pengadilan yang

selanjutnya akan di lihat ketentuan asas dan norma yang berlaku dan terkandung

dalam perundang-undangan. Karena yang akan diteliti adalah putusan pengadilan

maka pendekatan ini dilakukan dengan menelaan perundang-undangan yang

berkaitan dengan isi hukum yang sedang diteliti yaitu tentang tindak pidana dalam

putusan pengadilan.

5.3. Sumber Bahan Hukum

Dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian hukum berbeda dengan penelitian

sosial. Penelitian Hukum tidak mengenal adanya data. Bertujuan untuk

memecahkan isu hukum yang seyogyianya diperlukan sumber-sumber bahan

hukum untuk penelitian. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini dibedakan

menjadi Sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder.

5.3.1. Sumber Bahan Hukum Primer

Menurut R.G. Logan, dalam tulisannya Legal Literature and Law Libraries:

Termasuk bahan hukum primer (primary materials) adalah: Acts of Parliament,

34
Ibid, h. 94
24

suborainate legislation, and reported decision of the courts and tribunals.35 terkait

dengan pendapat tersebut Peter Mahmud Marzuki memberikan pengertian

bahwasanya sumber bahan hukum primer yang otoritasnya dibawah undang-

undang adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan suatu

badan, lembaga, atau instansi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat36 Adapun

bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian

normatif dan sifat deskriptif diambil Peraturan Perundang-undangan yang meliputi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang

Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan lain

yang terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas.

5.3.2. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer37 bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini Peter Mahmud Marzuki, menjelaskan bahwa bahan hukum sekunder

35
R.G. Logan, Legal Literature and Law Libraries, dalam R.G. Logan, Information Sources
in Law, Butterworth Guide to International Soerces, Dalam Prasetijo Rijadi & Sri Priyati, Ibid, h.
43.
36
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Grafindo Persada :Jember 1996,
hal 113.
37
Ibid,h. 114.
25

yang paling utama adalah buku teks,38 karena buku teks berisi mengenai prinsip-

prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang

mempunyai kualifikasi tinggi. Didalam memilih buku teks ini sekali lagi perlu

dikemukakan bahwa mengingat Indonesia bekas jajahan Belanda sangat dianjurkan

kalau buku teks yang digunakan adalah buku teks yang ditulis oleh penulis dari

Eropa Kontinental. Buku-buku hukum ini haruslah relevan dengan topik penelitian.

5.4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum ini berbanding lurus dengan pendekatan masalah

yang dipilih oleh peneliti dalam penelitiannya. Kepentingan terhadap bahan hukum

harus relevan, mengumpulkan bahan hukum yang sesuai dengan pembahasan

penelitian.

Apabila dalam penelitian hukum tersebut, peneliti sudah menyebutkan

pendekatan perundang-undangan (statute approach), yang harus dilakukan peneliti

adalah mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan

dengan isu tersebut. Perundang-undangan dalam hal ini meliputi baik yang berupa

legislation maupun regulation bahkan juga delegated legislation dan delegated

regulation.

Jika peneliti menggunakan pendekatan kasus (case approach), ia harus

mengumpulkan putusan-putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi.

Putusan pengadilan tersebut sebaiknya kalau merupakan putusan yang sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan tetapi, tidak berarti hanya landmark

38
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h.183.
26

dicision yang perlu diacu, melainkan juga yang mempunyai relevansi dengan isu

yang dihadapi.

Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila peneliti melakukan pendekatan

konseptual (conseptual approach). Yang harus dikumpulkan lebih dahulu bukan

peraturan perundang-undangan untuk isu hukum yang hendak dipecahkan. Lebih

essensial adalah penelusuran buku-buku hukum (treatises). Buku-buku hukum itu

mengandung banyak konsep-konsep hukum

5.5. Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum

Seluruh bahan hukum yang telah dikumpulkan tersebut dianalisis secara

mendalam dalam tataran normatif dan dipaparkan secara deskriptif untuk

menghasilkan suatu pemikiran yang bersifat preskriptif dan terapan. Dengan cara

analisis tersebut prosedur dan langkah yang ditempuh didasarkan atas langkah

berpikir secara runtut atau sistematis untuk mendapatkan jawaban atas

permasalahan dalam penelitian ini.

Analisa bahan hukum dilakukan dengan cara mensistematika terhadap

bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap

bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi

bahan hukum39.

6. Pertanggung jawaban sistematika

Secara sistematika, penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut:

39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press,
Jakarta, h.251-252.
27

BAB I : Berisi latar belakang, rumusan masalah yang dihadapi, Tujuan

Penelitian yang terbagi dalam tujuan umum dan tujuan khusus,

Manfaat Penelitian yang terbagi dalam Manfaat Teoritis dan

Manfaat Praktis, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian mencakup

Tipe Penelitian Hukum, Pendekatan masalah dan sumber bahan

hukum baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

Prosedur pengumpulan bahan hukum, Pengolahan dan Analisis

bahan Hukum dan Pertanggung jawaban Sistematika;

BAB II :Berisi Bab Perbedaan Konsep Pembuangan Bayi Sebagai

Penelantaran Anak dan Konsep Pembuangan Bayi Sebagai

Pembuangan Anak, serta berisi Sub-Sub Bab mengenai penelantaran

anak yang menyebabkan matinya anak, pembuangan anak yang

menyebabkan matinya anak, dan sanksi pidana bagi pelaku

penelantaran anak dan pembuangan anak yang menyebabkan

kematian dalam perspektif perlindungan anak.

BAB III :Berisi bab Ratio Decidendi (pertimbangan hakim) dalam memutus

tindak pidana pembuangan anak dan penelantaran anak yang

menyebabkan mati dalam perspektif penelantaran anak, dan berisi

sub-sub bab mengenai Pengertian Ratio Decidendi (pertimbangan

hakim) dalam putusan pengadilan, pertimbangan hakim dalam

putusan Pengadilan Negeri Lumajang Nomor:

600/Pid.B/2011/Pn.Lmj, Pertimbangan Hakim dalam Putusan

Pengadilan Negeri Bondowoso Nomor: 101/Pid.Sus/2015/PN.Bdw,


28

Pertimbangan Hakim dalam Putusan pengadilan negeri Majalengka

Nomor: 164/Pid.B/2013/Pn.Mjl.

BAB IV : Berisi Kesimpulan dan Saran dari Peneliti terkait dengan

Pembahasan yang telah dipaparkan dalam BAB I, BAB II, dan BAB

III.
29

BAB II

PERBEDAAN KONSEP PEMBUANGAN BAYI SEBAGAI

PENELANTARAN ANAK DAK KONSEP PEMBUANGAN BAYI

SEBAGAI PEMBUANGAN ANAK

2.1. Penelantaran Anak yang Menyebabkan Matinya Anak.

Perbuatan penelantaran terhadap anak yang baru saja dilahirkan jelas

merupakan tindak pidana, karena perbuatan ini sangatlah tidak mencerminkan sisi

humanisme dalam manusia itu sendiri. perbuatan yang oleh aturan hukum

dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan perbuatan pidana maupun

dapat disebut juga sebagai delik, dimana anak tersebut harusnya diberi

perlindungan, bukan malah ditelantarkan. Perlindungan anak adalah segala usaha

yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak bebas melaksanakan

hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar

baik fisik mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya

keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan

dalam berbagai kehidupan bernegara dan bermasyarakat.40

Menurut wujud dan sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah

perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga dapat

merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan

terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.41

Disamping itu, tindakan penelantaran terhadap anak ini dapat dikualifisir dalam

40
Apong Herlina, Perlindungan Anak, UNICEF, Jakarta, 2003, h. 15
41
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana (Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana), Aksara Baru Jakarta, 1983, h. 13.
30

tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap anak. Dalam istilah sehari-hari abuse

diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, penyiksaan, atau

perlakuan salah. Sedangkan child abuse atau child maltreatment adalah istilah yang

digunakan untuk menyebut kekerasan terhadap anak. Menurut Barker dalam The

Social Work Dictionary mendefinisikan abuse sebagai “improper behavior

intended to cause phsycal, psychological, or financial harm to an individual group”

(kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya

secara fisik, psikologis atau finansial, baik yang dialami individu maupun

kelompok).

Richard J.Gelles dalam Encyclopedia Article from Encarta, mengartikan

child abuse sebagai “international acts that result in physical or emotional harm

to children. The term child abuse covers a wide range of behavior, from actual

physical assault by parents or other adult caretakers to neglect at a child’s basic

needs”. (kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan

kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah

child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman

fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada

penelantaran.42

Terry E. Lawson, mengklasifikasi kekerasan terhadap anak (child abuse)

menjadi empat bentuk, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse, dan

sexual abuse. Sedangkan, menurut Suharto mengelompokan child abuse menjadi 4

(empat) bentuk, yakni:

42
Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak), Nuansa, Bandung, 2007,
h.47.
31

1. Physical Abuse (kekerasan secara fisik), adalah penyiksaan, pemukulan,

dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan

benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian

pada anak.

2. Psychological abuse (kekerasan secara psikis) , meliputi penghardikan,

penyampaian kata-kata kasar dan kotor.

3. Sexual Abuse (kekerasan secara seksual), dapat berupa perlakuan

prakontrak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui

kata, sentuhan, gambar, visual, exhibitionism), maupun perlakuan

kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa

(incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

4. Social abuse (kekerasan secara sosial), dapat mencakup penelantaran

anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan

perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak

terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya, anak dikucilkan,

diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan

kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap

diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang

dilakukan keluarga atau masyarakat.43

Terdapat instrumen hukum yang mengatur mengenai perbuatan

menelantarkan anak yang baru saja dilahirkan ini secara konsep umum yang diatur

dalam Bab XV Buku II KUHP (Kejahatan) mengenai meninggalkan orang yang

43
Ibid
32

perlu ditolong. Pasal 304 KUHP44 merupakan perbuatan yang dilakukan dengan

sengaja menyebabkan atau membiarkan orang lain dalam keadaan sengsara,

sedangkan seseorang tersebut wajib memberi kehidupan, perawatan atau

pemeliharaan kepada orang itu karena hukum yang berlaku atau karena perjanjian,

dalam hal ini orang tua ataupun wali dari anak tersebut.

Pasal 305 KUHP memberikan pengertian bahwa terdapat 2 (tindakan) yang

memenuhi unsur pasal tersebut yaitu menelantarkan anak dibawah umur 7 (tujuh)

tahun dan meninggalkan anak dengan tujuan melepaskan anak tersebut dari

tanggung jawab si pelaku. Perbedaan diantara kedua tindak pidana tersebut adalah

apabila seseorang tersebut membuang anak bermakna tindakan tersebut dapat

dilakukan oleh siapa saja (setiap orang), sedangkan tindakan untuk melepaskan

seorang anak dari tanggung jawab si pelaku sudah pastilah bahwa tindakan tersebut

hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki hubungan darah dengan anak

yang dibuang tersebut (orang tuanya atau dapat pula wali anak).

Apabila yang menelantarkan anak tersebut adalah orang tuanya, hal ini

diperberat secara sanksi pidananya semakin diperberat yaitu ditambah dengan 1/3

(sepertiga)nya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 307 KUHP. Terdapat

pula instrumen hukum lain yang mengatur terkait hal ini diluar KUHP yaitu dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga. Dalam pengaturan undang-undang tersebut perbuatan penelantaran

anak dapat dikenakan Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang

mengatur:

44
R. Soesilo, Loc. Cit, h. 223.
33

Pasal 9 ayat (1) UU No 23/2004:

“Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,


padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut”.

Pasal 49 huruf a UU No 23/2004:

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a.
Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)”.

Ketentuan hukum yang disebutkan diatas berlaku bagi penelantaran anak

yang tidak sampai menyebabkan matinya anak. Berbeda pengaturan apabila anak

yang ditelantarkan tersebut menyebabkan matinya anak. Perbuatan penelantaran

anak yang akhirnya menyebabkan matinya anak yang dilakukan oleh orang tuanya

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 341 KUHP: ”Seorang ibu yang

dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak

berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan

anak, dihukum karena pembunuhan terhadap anak (kinderdoodslag), dengan

hukuman penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun”. Pasal 341 KUHP ini hanya

berlaku bagi seorang ibu yang melahirkan anak tersebut. Seorang ibu yang

melahirkan seorang anak yang baik terikat perkawinan maupun tidak terikat

perkawinan. Perbuatan dimana membunuh anaknya pada waktu dilahirkan atau

tidak beberapa lama setelah dilahirkan, karena takut ketahuan, bahwa ia sudah

melahirkan anak.

Rumusan delik dalam Pasal 341 KUHP ini haruslah didasari dari

terdorongnya si ibu untuk membunuh anak yang baru saja dilahirkannya karena

perasaan ketakutan akan diketahui kelahiran anak tersebut. Biasanya anak yang
34

didapat karena perbuatan zina (untuk perempuan yang sudah terikat perkawinan),

juga karena perbuatan kelamin yang tidak sah (untuk perempuan yang belum terikat

perkawinan). Pasal 341 KUHP ini harus benar-benar dikenakan pada seorang anak

yang baru saja dilahirkan dimana anak tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup,

karena apabila penelantaran anak yang sebelumnya telah diketahui telah mati pada

saat dilahirkan, tidak dapat dikualifisir dalam rumusan delik Pasal 341 KUHP.

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain (dalam hal ini

pembunuhan terhadap anak) terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi yakni:

Pertama, adanya wujud perbuatan; Kedua, adanya suatu kematian (orang lain);

Ketiga, Adanya hubungan sebab dan akibat (casual verband) antara perbuatan dan

akibat kematian orang lain.45 Mengenai menghilangkan nyawa secara berencana

bagi anak (kindermoord), adanya pendapat yang mengatakan bahwa unsur dengan

rencana terlebih dahulu adalah bukan karena bentuk kesengajaannya, tetapi berupa

cara membentuk kesengajaan/opzet tersebut yang mencakup 3 (tiga) syarat antara

lain:

1. Opzet nya itu dibentuk setelah direncanakan terlebih dahulu;

2. Setelah orang merencanakan opzet nya tersebut, maka yang penting adalah

cara opzet tersebut dibentuk yaitu harus dalam keadaan yang tenang;

3. Dan pada umumnya, merencanakan pelaksanaan opzet itu memerlukan

jangka waktu yang agak lama.46

Berbagai kasus yang terjadi mengenai penelantaran anak yang menyebabkan

matinya anak ini dilakukan dalam keadaan yang sangat tergesa-gesa dan dapat

45
P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh yang
membahayakan bagi tubuh, nyawa, Bina Cipta, Bandung, 1885, h. 95.
46
S. R. Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni, Bandung, 1983, h.
64.
35

dikatakan dilakukan dengan keadaan yang sangat cepat (dalam pelaksanaanya).

Menurut pendapat Andi Hamzah, menyebutkan bahwa dalam unsur tergesa-gesa

tersebut (karena takut ketahuan telah melahirkan seorang anak) hal ini tidak

menghilangkan unsur berencana itu sendiri, Andi Hamzah berpendapat bahwa

unsur berencana itu adalah adanya keadaan hati untuk melakukan pembunuhan,

walaupun keputusan yang diambil dalam hati itu sekejap saja dengan

pelaksanaannya.47 Hoge Raad dalam Putusannya tanggal 2 Desember 1940, N.J

1941 No. 293 menyatakan “.... dengan berpikir tenang dan menimbang dengan

tenang...” merupakan penentu diterapkannya Pasal 342 KUHP. Hal ini mengenai

tindak pidana penelantaran anak yang menyebabkan matinya anak diatur pula

dalam Pasal 341 KUHP dan Pasal 342 KUHP.

Pasal 341 KUHP:

“Seorang ibu yang karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan anak
dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya pada saat anak itu dilahirkan
atau tidak lama kemudian, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun (KUHP 37-1 Sub 2, Pasal 308,
Pasal 338, Pasal 342, dst., Pasal 487).”

Adapun rumusan Pasal 341 KUHP itu dirinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai

berikut:

1. Unsur Objektif
a) Pelaku adalah seorang ibu;
b) Perbuatannya menghilangkan nyawa orang lain;
c) Objeknya adalah nyawa bayinya sendiri;
d) Waktunya;
e) Pada saat bayi tersebut dilahirkan;
f) Motifnya karena takut diketahui telah melahirkan;
2. Unsur Subyektif
a) Dengan sengaja

47
Hermien Hadiati Koeswadji, Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-Asas Kasus dan
Permasalahannya, Sinar Widjaya, Surabaya, 1984, h. 41.
36

Unsur kesengajaan dalam pembunuhan bayi harus ditunjukkan pada seluruh

unsur yang ada dibelakangnya. Nahwa dengan demikian, maka kehendak dan apa

yang diketahui si ibu ditunjukkan yakni:

a) Untuk mewujudkan perbuatan menghilangkan nyawa;

b) Nyawa bayinya sendiri;

c) Waktunya, yakni: ketika bayi sedang dilahirkan, dan tidak lama

setelah bayi dilahirkan.

Artinya, kesengajaan yang demikian itu adalah, bahwa si ibu menghendaki

mewujudkan perbuatan menghilangkan nyawa dan mengetahui perbuatan itu dapat

menimbulkan akibat kematian, yang diketahuinya perbuatan mana dilakukan pada

saat dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan atau tidak lama setelah

dilahirkan.48

Pasal 342 KUHP:

“Seorang ibu yang melaksanakan keputusan yang diambilnya karena takut


akan diketahui bahwa ia akan melahirkan anak, menghilangkan nyawa
anaknya pada saat anak itu dilahirkan atau tidak lama kemudian, diancam
karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan berencana, dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun (KUHP 37-1 Sub 2, Pasal 308,
Pasal 340, dst, Pasal 343, Pasal 487).”

Pembunuhan bayi berencana (kindermoord) tersebut mempunyai unsur-unsur

sebagai berikut:

1. Pelaku adalah seorang ibu kandungnya;

2. Adanya putusan kehendak yang telah diambil sebelumnya;

3. Perbuatannya menghilangkan nyawa;

48
Pingkan Mangare, Kajian Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Anak Oleh Ibu
Kandungnya (Menurut Pasal 134 KUHP), Jurnal Hukum Lex Privatum, Volume IV, Nomor 2,
Februari 2016, h. 89.
37

4. Objek nyawa adalah bayi kandungnya sendiri;

5. Waktu (pada saat bayi dilahirkan, tidak lama setelah bayi dilahirkan).

Selain itu mengenai instrumen hukum yang mengatur mengenai perbuatan

penelantaran anak yang baru saja dilahirkan dalam perspektif penelantaran anak

juga diatur dalam Pasal 76B Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

Pasal 76B UU No. 35/2014:

“setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh


melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran”;

Pasal 77B UU No. 35/2014:

“dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (*seratus juta rupiah)”.

Tindak pidana penelantaran anak dalam perspektif penelantaran anak tersebut

dilakukan karena beberapa faktor baik faktor internal seperti kelahiran anak yang

tidak diinginkan oleh orang tuanya maupun karena pengaruh lingkungan yang

kurang baik. Menurut Erna Dewi terdapat 5 (lima) faktor pelaku melakukan suatu

kejahatan yakni:49

1. Faktor pergaulan bebas;


Adanya pemyimpangan norma yang terjadi sehingga menimbulkan masalah
akibat pergaulan bebas yaitu anak hasil hubungan gelap. Sehingga
mendorong pelaku nekat menelantarkan anak yang baru dilahirkannya
sendiri.

2. Faktor Psikologis;

49
Riki Firman, Analisis Kriminologis Kejahatan Penelantaran Bayi, Jurnal, Fakultas
Hukum Universitas Lampung, 2014, h. 3.
38

Kondisi pelaku yang panik setelah melahirkan anak melalui hubungan luar
nikah, menjadikan sebuah alasan untuk melakuan kejahatan tersebut.

3. Faktor Keluarga;
Keluarga merupakan tempat yang mempengaruhi perkembangan hidup,
karena di dalam lingkup keluarga tersebut seseorang dapat mendapatkan
kasih sayang atau perhatian yang baik untuk mengontrol perilakunya.
Kyrangnya perhatian keluarga mendorong seseorang melakukan kejahatan
penelantaran bayi karena tidak ada kontrol dari dalam keluarga.

4. Faktor Lingkungan;
Lingkungan yang bersabahat membawa pengaruh yang baik bagi setiap
individu di lingkungan tersebut. Tetapi di lingkungan tempat tinggal yang
acuh membentuk karakter seseorang untuk tidak peduli dan membentuk
karakter yang buruk. Karakter yang tidak bersahabat dengan lingkungan ini
sangat rawan untuk melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
norma sosial di masyarakat.

5. Faktor Ekonomi.
Faktor ekonomi memiliki peran besar yang mampu menimbulkan berbagai
macam kejahatan, salah satu kejahatan yang timbul adalah kejahatan
penelantaran anak/pembuangan anak.

Upaya penegakkan hukum terhadap penelantaran anak tidak dapat dipisahkan

dari upaya untuk mewujudkan instrumen hukum yang telah diatur dalam ketentuan

KUHP maupun peraturan perundang-undangan lain yang mengatur terkait hal

serupa. Terhadap penegakkan hukumnya atau pelaksanaan terkait instrumen hukum

sebagaimana dimaksud tetap dilakukan oleh Penyidik yang tidak ada bedanya

dengan penyidik terhadap suatu tindak pidana lainnya. Karena terhadap hal tersebut

telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 maupun Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tidak mengatur secara khusus mengenai proses

penyelesaian perkara pidana. Oleh sebab itu maka proses penyidikan tindak pidana

terkait penelantaran anak dilaksanakan dengan berdasarkan pada hukum acara

pidana dalam KUHAP dan didukung dengan mekanisme penyidikan yang ada

dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.


39

Perihal kebijakan hukum pidana terkait penelantaran anak yaitu sebelum

adanya undang-undang yang khusus mengatur tindak pidana terkait penelantaran

anak, pelaku tindak pidana terkait penelantaran anak masih dikenakan ketentuan

dalam KUHP. Namun dengan adanya asas perundang-undangan yaitu asas lex

specialis derogat legi generalis yang berarti aturan hukum yang bersifat khusus

mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum, maka setelah adanya undang-

undang yang mengatur tindak pidana terkait penelantaran anak seperti Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

Dalam sub bab ini dibahas mengenai penelantaran terhadap anak. Terutama

anak yang baru saja dilahirkan. Disatu sisi disebut sebagai penelantaran, karena

orang tua yang baru saja melahirkan anak tersebut awal mulanya adalah

berkeinginan untuk membebaskan tanggung jawab dirinya dalam memenuhi hak-

hak si anak tersebut. Mengenai si anak tersebut kemudian akan meninggal atau

tidak, ataupun meninggalnya anak tersebut diakibatkan oleh orang tuanya sendiri

ataukah bukan, yang paling penting dalam penelantaran adalah lepasnya tanggung

jawab secara melawan hukum.

2.2. Pembuangan Anak Yang Menyebabkan Matinya Anak.

Konsep Perlindungan Hukum merupakan salah satu hal yang sangat penting

untuk dibahas, karena fokus kajian teori ini pada perlindungan hukum yang

diberikan kepada masyarakat. Masyarakat yang menjadi sasaran pada teori ini

adalah masyarakat yang berada pada posisi lemah, baik dari segi ekonomi maupun

dari aspek yuridisnya.50 Masyarakat tersebut salah satunya adalah anak.

50
Salim HS, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi,Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2013, h.259.
40

Perlindungan hukum dalam hal ini lebih mengarah kepada salah satu tujuan hukum

yang hendak dicapai dalam tataran berbangsa dan bernegara, yaitu: keadilan.

Pembuangan anak yang baru saja dilahirkan yang menyebabkan kematian

bagi anak tersebut dapat pula disebut sebagai pembunuhan anak/bayi (infanticide).

Merupakan istilah hukum yang menggambarkan tentang pembunuhan anak dengan

usia di bawah 1 (satu) tahun oleh ibu si anak. Sedangkan menurut Infanticide Act

1938, Article I (London) adalah:

“where a women by any willfull act or omnision causes the death of her child.
Being a child under the age of 12 (twelve) months, but the at times of the act
or omnission the balance of her minda was disturbed by reason of her not
having fully recovered from the effect for lactation concequent upon the birth
of the child, rthen not withstanding... tha but for this act the offence would
have amounted to murder, she shall be guilty...of infanticide”.

Infanticide adalah di mana seorang wanita dengan sengaja atau karena

kelalaiannya mengakibatkan kematian atas anaknya yang berumur di bawah 12

(dua belas) bulan. Namun pada saat tindakan ataupun kelalaiannya tersebut terjadi,

didapatkan gangguan mental dikarenakan oleh alasan belum pulihnya efek dari

kelahiran anaknya, atau efek dari menyusui sebagai konsekuensi melahirkan anak

tanpa perkecualian. Hal tersebut dapat dinyatakan sebagai pembunuhan, dan

dinyatakan bersalah sebagai infanticide.51

Pembunuhan anak yang baru dilahirkan dianggap sebagai tindak pidana dapat

ditinjau dari beberapa faktor sebagai berikut:52

1. Seorang anak merupakan aset pembangunan nasional yang sangat besar


artinya Masa depan bangsa terletak ditangan generasi-generasi penerus

51
Susi Hadidjah, Penegakkan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Pembunuhan Bayi
di Wilayah DIY, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008, h. 252. Mengutip
pendapat dari Spinelli, Margaret, Maternal Infanticide Associated With Mental Illness; Prevention
and The Promised of Saved Lives America Journal, 2004,page 16.
52
Ibid.
41

yang bermula dari bayi. Oleh sebab itu perhatian dan perlindungan terhadap
seorang anak serta kualitas kehidupan adalah sangat penting demi kemajuan
bangsa dan negara;

2. Berkaitan dengan butir (1), perbuatan membunuh anak yang baru dilahirkan
harus ditempatkan pada keadaan yang sangat membahayakan, tidak
berperikemanusiaan dan perbuatan yang benar-benar tidak dikehendaki,
sangat dibenci dan merugikan. Selain itu harus pula dipertimbangkan sejauh
mana perbuatan membunuh anak itu telah bertentangan bahkan merusak
nilai-nilai fundamental kemanusiaan dalam masyarakat;

3. Perlu diperhitungkan apakah biaya yang harus dikeluarkan (cost) dalam


pembuatan suatu undang-undang. Tetapi dalam hal tindak pidana
pembunuhan manusia (bayi) menurut penulis pertimbangan tentang biaya
(cost) bukan merupakan pertimbangan yang penting hal ini disebabkan
karena menyangkut harta dan martabat manusia yang seharusnya dijunjung
tinggi;

4. Selanjutnya perlu juga dipertimbangkan kapasitas atau kemampuan daya


kerja dari badan-badan penegak hukum di Indonesia dalam menegakkan
ketentuan-ketentuan yang mengatur delik pembunuhan anak (bayi) . Karena
masalah pembunuhan anak yang baru dilahirkan ini sudah berskala
kejahatan transnasional bahkan internasional. Maka harus diprediksi
bagaimana kondisi personil aparat penegak hukum baik secara kuantitas
maupun kualitas, misalnya menyangkut tngkat pendidikan, tingkat
profesionalisme, pengalamannya serta bagaimana penyebarannya di
Indonesia. Selain harus pula ditinjau bagaimana kondisi-kondisi yang
menyangkut pelaksanaan tugasnya atau cara kerjanya, misalnya,
menyangkut sistem hukum negara lain, prosedurnya maupun birokrasinya;

5. Akhirnya perlu pula dikaji akibat sosial dari pengkriminalisasian atau


pendekriminalisasian dari kejahatan pembunuhan anak bagi perilaku atau
sikap pelaku pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Berbeda dalam pembahasan sebelumnya mengenai penelantaran, konsep

pembuangan terhadap anak ini tidak hanya serta merta untuk melepaskan sebuah

tanggung jawab secaramelawan hukum semata, akan tetapi terdapat niatan yang

memang benar-benar jahat dari dalam diri pelaku untuk benar-benar tidak lagi

menginginkan kehidupan si anak tersebut dengan cara yang lebih kejam dari

penelantaran.
42

2.3. Sanksi Pidana Bagi Pelaku Penelantaran Anak dan Pembuangan Anak

Yang Menyebabkan Kematian Dalam Perspektif Perlindungan Anak.

Sebelum membahas mengenai sanksi pidana yang dapat dijatuhkan, terlebih

dahulu dibahas mengenai pertanggung jawaban pidana yang dapat diberlakukan

kepada pelaku penelantaran ataupun pembuangan terhadap anak. Asas

pertanggungjawaban pidana adalah “Geen Straf Zonder Schuld” “Actus Non Facit

Reum Nisi Mens Rea”, yang memiliki arti “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan”.53

Terdapat 2 (dua) kemungkinan yang berkaitan dengan asas ini yaitu:

1. Sesorang tidak akan dipidana jika dia tidak melakukan tindak pidana;

2. Seseorang yang melakukan tindak pidana, belum tentu dipidana.

Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa masalah pertanggungjawaban

pidana, pada hakikatnya mengandung makna pencelaan pembuat (subyek hukum)

atas tindak pidana yang telah dilakukannya . Pertanggungjawaban pidana, oleh

karena itu, mengandung di dalamnya (1) pencelaan secara obyektif, (2) pencelaan

secara subyektif. Artinya, secara obyektif, si pembuat telah melakukan tindak

pidana (perbuatan terlarang/melawan hukum dan diancam pidana menurut hukum

yang berlaku). Secara subyektif, si pembuat patut dicela atau

dipersalahkan/dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya itu,

sehingga ia patut dipidana.54

53
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, h.75.
54
Lihat Barda Nawawi Arief, “Masalah Pertanggungjawaban Pidana Cyber Crime”,
makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional “Problematika Hukum Cyber Crime di
Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga , 9 Oktober 2004,
h.1. Penggunaan istilah “pencelaan” ternyata sekarang ini sudah dipakai oleh pakar hukum pidan,
antara lain Soedarto yang menulis “Syarat utama untuk dapat dipidannya seorang ialah adanya
kesalahan pada orang itu. Kesalahan disini mempunyai arti seluas-luasnya, ialah dapat dicelanya
pembuat tersebut”
43

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana terkait penelantaran anak

tidak terdapat perbedaan dengan upaya penegakan hukum tindak pidana pada

umumnya. Upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Penyidik Kepolisian,

meliputi: diketahui terjadinya suatu tindak pidana dari adanya laporan maupun

penyidik yang dengan sendirinya mengetahui; pemberitahuan dimulainya

penyidikan kepada penuntut umum; upaya paksa yang meliputi pemanggilan saksi

maupun tersangka, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,

pemeriksaan terhadap saksi, ahli, maupun tersangka; dan penyerahan berkas

perkara kepada penuntut umum.

Upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Penuntut Umum yaitu

pembuatan surat dakwaan lalu penuntutan dengan langkah pelimpahan berkas

perkara disertai surat dakwaan kepada Pengadilan Negeri. Sedangkan upaya

penegakan hukum terhadap tindak pidana terkait penelantaran dan juga

pembuangan anak yang baru dilahirkan yang dilaksanakan oleh hakim di

pengadilan yaitu melalui proses persidangan yang dapat berjalan terbuka maupun

tertutup sesuai dengan kebijaksanaan majelis hakim.

Unsur perbuatan pidana adalah sifat melawan hukumnya perbuatan,

sedangkan unsur pertanggung jawaban pidana adalah bentuk-bentuk kesalahan

yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) serta tidak adanya alasan

pemaaf. Alasan pemaaf yaitu alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan dari

terdakwa. Adapun asas dari pertanggung jawaban pidana adalah’’ tidak dipidana

apabila tidak ada kesalahan’’. Ini berarti, bahwa kalau ada alasan pemaaf, terdakwa

harus dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging).


44

Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan

demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-

kelakuan tertentu. Dalam delik-delik omisi, larangan ditunjukkan kepada tidak

diturutinya perintah.55 Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan

tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materiil,

larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan

tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.

Setiap tindak pidana diancam dengan hukuman atau sanksi pidana, sanksi

pidana tersebut dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang dapat dikenai

pertanggungjawaban secara pidana. Kesalahan merupakan salah satu faktor yang

sangat essensial didalam menentukan seseorang tersebut dapat dikenai

pertanggungjawaban pidana ataukah tidak. Berkaitan dengan adanya asas “Geen

Straff Zonder Schuld” terdapat adanya 2 (dua) hal yang dimaksud dalam

pengertiannya tersebut antara lain:56

1. Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang


diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau
pengabaian tersebut harus tercantum dalam Undang-undang Pidana
2. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu perkecualian
yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).

Apabila membahas mengenai tindak pidana tidak dapat terlepas mengenai

pertanggung jawaban pidananya. Pertanggung jawaban pidana sangat diperlukan

dalam suatu sistem hukum pidana dalam hubungannya dengan prinsip daad-

55
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung
Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan (Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggung Jawaban Pidana), Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008, h. 31.
56
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, 2004, Rineka Cipta, Jakarta, h. 29-30
45

daderstrafs recht. KUHP Indonesia sebagaimana diatur dalam Weetboek Van

Strafsrecht (WvS) yang berlaku di negara Belanda tidak mengatur secara khusus

tentang pertanggung jawaban pidana, tetapi hanya mengatur tentang keadaan-

keadaan yang mengakibatkan tidak dipertanggung jawabkannya pembuat.

Tidak dipertanggung jawabkannya pembuat hanya dijelaskan didalam

Momorie van Toelichting (Mvt) bahwa seorang pembuat tidak

dipertanggungjawabkannya apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Ini

menandakan bahwa pertanggung jawaban pidana di dalam KUHP diatur secara

negatif, yaitu dengan keadaan-keadaan tertentu pada diri pembuat atau perbuatan

mengakibatkan tidak dipidananya pembuat.57 Sebagaimana yang diketahui

bahwasanya KUHP (Sebagai Lex Generalis) dari Hukum Pidana masih menganut

aliran Dualistik didalamnya.

Sebagai konsekuensi dianutnya aliran Dualistik tadi, maka menganut

bahwasanya sifat melawan hukum58 (wederrechteliijkeid) dan kesalahan (schuld)

merupakan unsur tindak pidana (straftbarfeiit)59 .Para ahli hukum pidana yang

mengikuti teori Monoistis, memandang pertanggung jawaban pidana dilihat dari

terpenuhinya rumusan tindak pidana yang terdiri dari sikap batin pembuat dan sifat

melawan hukumnya perbuatan. Terpenuhinya unsur-unsur itu, mengakibatkan

57
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggung Jawaban Pidana, Tinjauan Kritis Melalui
Konsistensi antara Asas, Teori, dan Penerapannya, Kencana, Prenada Media Group, 2016, Jakarta,
h.2/
58
Menurut Utrecht, tindak pidana adalah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada
seorang pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas kelakuannya-analisir kesalahan (element van
schuld) dalam arti kata “bertanggung jawab” (straftbaarheid van de dader)., E Utrecht, Rangkaian
Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya, Pustaka Tinta Mas, 1994, h.260.
59
Andi Zainal Abidin farid, Hukum Pidana 1, cetakan II, Jakarta, Sinar Grafika, 2007, h.
346.
46

pembuat telah melakukan tindak pidana dan mempunyai pertanggung jawaban

pidana. Pembuat tidak dipidana tergantung pada ada atau tidak adanya alasan

pembenar dan alasan pemaaf sebagai peniadaan pidana60.

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan dalam upaya melakukan

penanggulangan terhadap suatu kejahatan seperti yang dikatakan oleh G.P.

Hoefnagel bahwa penanggulangan kejahatan itu dapat dilakukan dengan 3 (tiga)

cara yaitu:61

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

2. Pencegahan tanpa pidana (criminal without punishment);

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa (influencing news of society on crime and

punishment/mass media).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pengaturan hukum terkait tindak

pidana pembuangan anak ini terdapat dan tersebar dalam berbagai peraturan

perundang-undangan yang ada. Beberapa instrumen hukum tersebut mengatur

mengenai norma pidananya begitupula mengenai sanksi pidana yang diatur secara

berbeda-beda. KUHP mengatur sanksi yang dapat dijatuhkan untuk pelaku

pembuangan anak terdapat dalam ketentuan Pasal 306 KUHP yang mengatur

mengenai hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana berdasarkan Pasal 304

KUHP dan Pasal 305 KUHP. Pasal 308 KUHP juga mengatur apabila seorang ibu

membuang anaknya tidak lama sesudah anak itu dilahirkan, oleh karena takut akan

60
Agus Rusianto, Op.Cit., h.3.
61
Riki Firman, Loc. Cit,, h.6.
47

diketahui orang bahwa ia melahirkan anak, atau jika ia meninggalkan anak itu

dengan tujuan melepaskan anak itu daripadanya karena takut juga, maka maksimum

hukuman atas tindak pidana dari Pasal 305 dan Pasal 306 KUHP, dikurangi sampai

seperduanya.

Dalam Pasal 49 huruf a UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT juga

mengatur bahwa pelaku yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan

atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan

kepada orang tersebut”; dan Pasal 49 huruf a yang berbunyi “Dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp

15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a. Menelantarkan orang

lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat

(1)”.

Pasal 77B UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

menyatakan “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiman dimaksud

dalam Pasal 76B, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Pasal 77B

tersebut memuat hukuman atau sanksi pidana bagi tindak pidana dari Pasal 76B

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yaitu berupa pidana penjara paling lama

lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah.

Disamping sanksi pidana yang telah disebutkan diatas, bahwa dalam hal

terjadinya tindak pidana mulai dari sebelum terjadinya tindak pidana (sebagai

penyebab terjadinya tindak pidana) hingga sampai terjadinya tindak pidana (sebagai
48

akibat terjadinya tindak pidana), juga harus ikut menjadi suatu kajian. Tindak

pidana penelantaran ataupun pembuangan terhadap anak yang baru saja dilahirkan,

umumnya sanksi pidana hanya dikenakan bagi orang tua (khusunya ibu) yang

melahirkan anak tersebut. Tetapi disisi lain ada peranan seorang ayah (laki-laki)

yang menyebabkan perempuan (ibu) tadi sampai mengandung anak tersebut.

Peranan laki-laki tersebut hingga sampai seorang perempuan (ibu) melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 KUHP dan Pasal 342 KUHP

juga harus diukur dan apabila dinilai telah memenuhi rumusan delik, dapat

dikenakan Pasal 343 KUHP: “Bagi orang lain yang turut campur dalam kejahatan

yang diterangkan dalam Pasal 341 KUHP dan Pasal 342 KUHP dianggap kejahatan

itu sebagai pembunuhan” dengan menjuncto-kan dengan Pasal 55 KUHP (turut

serta) ataupun Pasal 56 KUHP (pembantuan).

Dapat diketahui terdapat 3 (tiga) instrumen hukum yang memuat sanksi

pidana terhadap pelaku tindak pidana pembuangan bayi/anak yaitu KUHP, UU No

23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Diantara

sanksi pidana yang terdapat dalam 3 (tiga) instrumen hukum tersebut, sanksi pidana

dalam penegakkan hukumnya. Dari segi pidana pemenjaraan jelas yang paling tegas

secara teoritisnya adalah KUHP (dengan pidana maksimal 9 (sembilan) tahun) akan

tetapi dalam segi prakteknya pemidanaan ini masih sangat tidak maksimal

diterapkan. Peraturan Perundang-Undangan diluar KUHP memang secara pidana

pemenjaraan lebih sedikit dibandingkan dengan KUHP akan tetapi terdapat pidana

dengan berupa sejumlah uang sebagai pidana tambahannya.


49

Sehubungan dengan apa yang telah dikemukakan diatas, maka dirasa perlu

untuk mengambil tindakan kebijaksanaan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Oleh sebab itu perlu diteliti kembali sebab-sebab adanya kenyataan yang negatif ini

untuk penentuan kebijaksanaan (dalam bentuk instrumen hukum) tersebut

khususnya yang berhubungan dengan masalah perlindungan anak. Antara lain perlu

diteliti kembali mengenai ketentuan-ketentuan yang menjamin pelaksanaan

kesejahteraan anak yang terdapat dalam berbagai peraturan hukum yang ada.

Ketentuan-ketentuan hukum ini akan meliputi ketentuan-ketentuan yang

mengandung antara lain hak-hak sebagai berikut:62

1. Untuk mendapatkan kehidupan;


2. Untuk mendapatkan kasih sayang dan pengertian;
3. Untuk mendapatkan gizi yang memuaskan dan pemeliharaan kesehatan;
4. Untuk mendapatkan pendidikan tanpa kesulitan;
5. Untuk mendapatkan kesempatan bermain dan berekreasi;
6. Untuk mempunyai nama dan kebangsaan;
7. Untuk mendapatkan pelayanan khusus apabila mempunyai cacat;
8. Untuk yang pertama-tama mendapat pertolongan dalam bencana;
9. Untuk belajar menjadi anggota masyarakat dan mengembangkan kemampuan
individual;
10. Untuk dibesarkan dalam semangat perdamaian dan persaudaraan universal;
11. Untuk menikmati hak-hak ini, tanpa mempersoalkan ras, warna, seks,
agama, kebangsaan, atau asal usul sosial.
Hak-Hak Anak sekalipun masih dalam tahapan baru saja dilahirkan ke dunia

tetaplah memiliki Hak Asasi Manusia pada umumnya. Anak yang baru saja

dilahirkan memiliki Hak Asasi Manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh

masyarakat atau berdasarkan hukum positif yang ada, melainkan semata-mata

berdasarkan martabatnya sebagai manusia.63

62
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (kumpulan karangan), Melton Putra, Jakarta,
1985, h. 160.
63
Rhona. KM.Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, 2008, h.11. mengutip pendapat dari Jack
Donnely,Universal Human Rights in Theory and Pratice, Cornell University Press, Ithaca and
50

Dari apa yang telah dijelaskan diatas, dapat ditarik pemahaman bahwa anak

wajib dilindungi agar yang bersangkutan tidak menjadi korban tindakan

kebijaksanaan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta maupun

pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam rangka

pembahasan masalah perlindungan anak perlunya dimengerti tentang keadilan yang

tepat, yang mendukung kegiatan perlindungan anak. Rasa keadilan seseorang akan

mempengaruhi adanya kelangsungan kegiatan perlindungan anak. Keadilan

sejatinya merupakan suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak

dan kewajibannya secara rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat.

Secara garis besar, Konvensi Tentang Hak Anak adalah instrumen yang

paling komprehensif yang berlaku untuk saat ini. terdapat setidaknya 4 (empat) poin

utama dalam Konvensi Hak Anak tersebut antara lain: (1). Non diskriminasi (Pasal

2); (2). Kepentingan terbaik bagi anak; (3). Hak untuk hidup, kelangsungan hidup

dan pengembangan anak; dan (4). Pandangan anak.

Tabel Kasus Penelantaran Anak

Jumlah Kasus
(Tahun)
No Kasus Penelantaran Anak 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Jumlah

1 Sosial dan anak dalam situasi 92 79 246 191 174 211 993
darurat
2 Anak Terlantar (Anak 54 39 69 84 74 87
Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial)
3 Anak Dalam Keadaan Konflik 17 22 44 19 14 18
Sosial/Peperangan
4 Anak Korban Perebutan Hak 149 247 322 347 251 223
Kuasa Asuh

London, 2003, h.71. Lihat juga dalam Maurice Cranston, What Are Human Rights?, New York,
1973, h.70.
51

5 Anak Korban Pelarangan Akses 112 141 224 238 255 241
Bertemu Orang Tua
6 Anak Korban Penelantaran 94 154 237 223 182 154
Ekonomi (Hak Nafkah)
7 Anak Hilang 24 35 70 42 41 30

8 Anak Korban Penculikan 37 56 78 71 93 54

9 Anak Tanpa Kepemilikan Akta 26 28 46 50 74 42


Kelahiran
10 Anak Sebagai Pelaku Aborsi 6 5 14 21 19 33

11 Anak Sebagai Korban 18 86 62 94 59 57


Pembunuhan
12 Anak Sebagai Korban Aborsi 2 4 5 11 16 54

Sumber: Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia Tahun 2011-2016

Data-data yang telah disebutkan diatas merupakan data yang masuk ke Komisi

Perlindungan Anak Republik Indonesia dan pasti banyak lagi kasusu-kasus serupa

yang terjadi diluar sana yang tidak dapat diidentifikasi.

Penegakkan hukum menjadi faktor penting disamping peran pemerintah

dalam menanggulangi penelantaran anak maupun pembuangan anak. Tahapan

keadilan tersebut pertama kali ada pada proses penyidikan. Kepolisian Negara

Republik Indonesia sendiri mendasari dan mentaati peraturan perundang-undangan

maupun ketentuan-ketentuan yang berlaku berbasis kepada:

1. Kemanusiaan, norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakkan


hukum manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia
mempunyai keluhuran budi;
2. Keadilan, merupakan suatu kehendak yang ajeg dan kekal untuk
memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi hak nya;
3. Kepatutan (equity), merupakan sesuatu yang wajib dipelihara dalam
pemberlakuan undang-undang dengan maksud untuk menghilangkan
ketajamannya. Kepatutan perlu diperhatikan terutama dalam pergaulan
hidup manusia dalam masyarakat;
4. Kejujuran, pemeliharaan hukum atau penegak hukum harus bersikap jujur
dalam mengurus ataupun menangani hukum, serta dalam melayani
justitiabellen yang berupaya mencari hukum dan keadilan. atau dalam kata
52

lain, setiap yuris diharapkan mampu sedapat mungkin memelihara


kejujuran dalam dirinya dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang
curang dalam mengurus perkara.64
Tindak pidana penelantaran anak maupun pembuangan anak yang baru saja

dilahirkan tentu memerlukan perhatian khusus untuk penanggulangannya kedepan.

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan dalam upaya melakukan

penanggulangan terhadap kejahatan seperti yang telah dikemukakan oleh G.P.

Hoefnagel, bahwa penanggulangan kejahatan itu dapat dilakukan dengan 3 (tiga)

cara sebagai berikut:65

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);


2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (Influencing news of society on crime and
punishment/ mass media).
Marc Ancel menyatakan bahwa modern criminal science terdiri dari 3 (tiga)

komponen yaitu: Criminology, Criminal law, dan Penal Policy66. Penal Policy

adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis

untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan

untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

kepada pengadilan untuk menerapkan undang-undang dan juga kepada

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.67

64
O. Notohamidjodjo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, BPK Hunung Muria, Semarang,
1975, h. 34.
65
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni,
1998, h. 48.
66
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 75.
67
Riki Firman, Analisis Kriminologis Kejahatan Penelantaran Bayi, Jurnal Fakultas
Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2014, h. 8. Mengutip pendapat dalam Marc Ancel,
Social Defence, A Modern Approuch To Criminal Problems, London, Routledge and Kegen Paul,
1965, h. 4-5.
53

Penegak hukum, dan komisi khusus untuk menanggulangi masalah

pembunuhan terhadap anak yang baru saja dilahirkan (infanticide) atau bahkan

aborsi merupakan langkah yang dapat diwujudkan dikemudian hari. Penegakkan

hukum penting untuk lebih bersifat aktif dalam menangani infanticide yang ada

agar tidak lagi terulang kembali. Hukum sejatinya perlu memperbaharui mengenai

masalah infanticide ini dengan cara yang lebih tajam dalam artian lebih tegas dalam

penegakkan hukumnya, sehingga sebuah langkah awal yang diharapkan dan

menjadikan ketakutan bagi pelaku (efek jera) ataupun kepada masyarakat agar tidak

terjadi kembali mengenai hal ini.


54

BAB III

RATIO DECIDENDI (PERTIMBANGAN HAKIM) DALAM MEMUTUS

TINDAK PIDANA PEMBUANGAN ANAK DAN PENELANTARAN ANAK

YANG MENYEBABKAN MATI DALAM PERSPEKTIF

PENELANTARAN ANAK

3.1. Pengertian Ratio Decidenci (Pertimbangan Hakim) Dalam Putusan

Pengadilan.

Ratio decideni adalah sebuah istilah yang berasal dari bahasa latin yang

sering diterjemahkan secara harfiah sebagai “alasan untuk keputusan itu” (the

reason/ the rationale for the decision) Blacks Law Dictionary menyatakan ratio

decidendi sebagai “(1). The point in a case which determines the judgement, (2).

The principle which the case establishes”.68

Aspek-aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap suatu tindak

pidana yang didakwakan kepada seorang terdakwa dimuka persidangan merupakan

konteks yang paling penting dalam suatu putusan hakim. Majelis Hakim dalam

menjatuhkan putusan sudah barang tentu memperhatikan berbagai aspek-aspek

yang ada demi tegakknya suatu putusan yang berkeadilan bagi semua pihak tanpa

terkecuali.

Pertimbangan-pertimbangan yuridis dalam putusan hakim pada hakikatnya

merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandellen) dari suatu tindak pidana apakah

perbuatan perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak

pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh

68
http://www.miftakhulhuda.com, Ratio decidendi, diakses pada Senin, 27 November
2017, pukul 03.17 WIB.
55

bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan

berpengaruh besar terhadap amar/diktum putusan hakim.69

Lazimnya dalam praktik peradilan pada suatu putusan hakim sebelum

pertimbangan-pertimbangan yuridis ini dibuktikan dan dipertimbangkan, hakim

terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta yang terdapat di persidangan yang timbul

dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa

dan barang bukti serta alat bukti yang diajukan di persidangan dalam acara

pemeriksaan didepan persidangan. Pada dasarnya fakta-fakta yang terungkap di

persidangan dalam acara pemeriksaan didepan sidang berorientasi pada dimensi

terkait locus (tempat terjadinya tindak pidana) dan tempus delicti (waktu terjadinya

tindak pidana), modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilakukan

atau dengan kata lain bagaimana cara pelaku melakukan tindak pidana tersebut,

penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana,

kemudian bagaimanakah akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbuatan

terdakwa, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak

pidana, dan sebagainya.70

Selanjutnya, setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan

pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur

(bestandellen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa/penuntut

umum. Sebelum mempertimbangkan unsur-unsur (bestandellen) tersebut, maka

menurut praktik lazimnya dipertimbangkan tentang hal-hal yang bersifat korelasi

69
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia,
Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2014, h.219.
70
Lilik Mulyadi,Ibid, h. 219.
56

antara fakta-fakta, tindak pidana yang didakwakan, dan unsur kesalahan terdakwa

yang biasa dikenal dengan kalimat sebagai berikut:71

------“Menimbang, bahwa sekarang majelis akan mempertimbangkan dan


meneliti apakah dari fakta-fakta tersebut apa yang dilakukan oleh terdakwa
merupakan tindak pidana ataukah tidak sebagaimana yang didakwakan oleh
jaksa/penuntut umum”;----------------------------------------------------------------
------“Menimbang, bahwa untuk mempersalahkan seseorang telah melakukan
tindak pidana maka semua unsur-unsur daripada tindak pidana yang
didakwakan haruslah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum”;-
------“Menimbang, bahwa secara tunggal/subsideritas/alternatif/kumulatif
terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam dakwaan....... melanggar pasal.....;----------------------------------
------“Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan jaksa/penuntut umum
bersifat..... maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan dakwaan..... yang
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut..... dan seterusnya;-----------------------

Hal tersebut dapat dinilai dari kata “menimbang” berarti hakim dalam

mengemukakan pendapat dan keyakinannya telah melalui serangkaian proses

berfikir dan bermusyawarah. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman: “Putusan diambil

berdasarkan sidang permusyawaratan majelis hakim yang bersifat rahasia”.

Kemudian KUHAP juga mengatur dalam Pasal 182 ayat (7) KUHAP:

“Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dicatat

dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan

isi buku tersebut sifatnya rahasia”. Karena hakim dalam menjatuhkan putusannya

bersifat merdeka dan independen, sudah barang tentu bahwasanya terkait dengan

ratio decidendi hakim pun akan bersifat demikian (merdeka dan independen)

asalkan masih dalam koridor keilmuan hukum yang dapat diterima, didasarkan pada

motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para

pihak yang berperkara.

71
Lilik Mulyadi,Ibid, h. 220.
57

Pada hakikatnya dalam pembuktian terhadap pertimbangan-pertimbangan

yuridis dari tindak pidana yang didakwakan, majelis hakim haruslah menguasai

mengenai aspek teoritis dan praktik, pandangan doktrin yurisprudensi dan kasus

posisi yang sedang ditangani, kemudian secara limitatif (terbatas) menetapkan

pendiriannya. Ada usulan bahwa salah satu metode untuk menemukan apa yang

menjadi ratio dari suatu perkara tertentu adalah dengan mengkaji (berbagai)

persoalan dalam perkara tersebut kemudian menghubungkan fakta-fakta kunci dari

perkara ini. apabila pernyataan yudisial berhubungan dengan persoalan tersebut

secara langsung, maka ini setidaknya akan menjadi salah satu dari rationes dalam

perkara tersebut. Hakim biasanya akan memberikan alasan terhadap keputusan

yang pada akhirnya dibuat dan cara dirinya memandang alasan-alasan ini

beroperasi sehingga menuntut kepada interpretasinya terhadap persoalan tersebut

di pengadilan.72

Ratio Decidendi atau The Ground of reason the decision merupakan pondasi

penting yang juga mengikat. Karena putusan pidana berada di ranah hukum publik,

maka bagian itu juga mengikat untuk publik atas dasar kepentingan umum

(algemene belangen).73 Dapat pula disimpulkan bahwasanya ratio decidendi juga

merupakan pertanggung jawaban hakim kepada masyarakat luas mengenai

pemikirannya dalam memutus suatu perkara. Fungsi ratio decidendi adalah sebagai

sarana mempresentasikan pokok-pokok pemikiran tentang problematika konflik

hukum antara seseorang dengan orang lain, atau antara masyarakat dengan

72
Peter de Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law, dan Socialist
Law,Bandung, Nusa Media, h. 24.
73
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2009,
h.54.
58

pemerintahan terhadap kasus-kasus yang menjadi kontroversi atau kontraproduktif

untuk menjadi replika dan duplika percontohan, terutama menyangkut baik dan

buruknya sistem penerapan dan penegakkan hukum, sikap tindak aparatur hukum,

dan lembaga peradilan.74

3.2. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Lumajang

Nomor. 600/Pid.B/2011/PN.Lmj.

Putusan Nomor. 600/Pid.B/2011/PN.Lmj tersebut adalah putusan dalam

perkara tindak pidana penelantaran anak berjenis kelamin laki-laki berumur 1 (satu)

hari dengan berat 2 (dua) kg 3 (tiga) ons panjang 46 (empat puluh enam) cm yang

dilakukan oleh Terdakwa Halimah Binti Dul Hamid, Alamat Dsn Kampung anyar

Ds. Taman Asri, Kec. Ampel Gading, Kabupaten Malang.

Atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa berikut ini Jaksa/Penuntut

umum memberikan dakwaan tunggal dengan Nomor Register Perkara: PDM-

463/LUMAJ/10/2011 tanggal 1 November 2011 yang mendakwa Terdakwa dengan

Pasal 308 KUHP: “seorang ibu yang menaruh anaknya disuatu tempat supaya

dipungut oleh orang lain tidak berapa lama sesudah anak itu dilahirkan oleh

karena takut akan diketahui orang ia telah melahirkan anak atau dengan maksud

akan terbebas dari pemeliharaan anak itu, meninggalkannya, maka hukuman

maksimum yang tersebut dalam Pasal 305 dan Pasal 306 dikurangi sehingga

seperduanya”.

Pasal 308 KUHP sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum ini

mempunyai unsur “menaruhkan anak” yang berarti membuang anak kecil artinya

74
Abraham Amos H.F, Legal Opinion Teoritis & Empirisme, Jakarta, Grafindo Persada,
2007, h.34.
59

meninggalkan anak kecil yang belum berumur 7 (tujuh) tahun disuatu tempat,

sehingga dapat ditemu (ditemukan) oleh orang lain dengan tidak mengetahui siapa

orang tuanya, maksudnya ialah untuk melepaskan tanggung jawab atas anak itu. Ini

boleh dilakukan siapa saja. Akan tetapi jika yang melakukan perbuatan itu adalah

ibu atau bapak kandungnya sendiri, maka ancaman hukuman ditambah dengan

sepertiganya (Vide: Pasal 307 KUHP). Jika perbuatan itu dilakukan oleh seseorang

ibu tidak beberapa lama sesudah anak itu dilahirkan oleh karena ketakutan akan

diketahui orang ia melahirkan anak, maka ancaman hukumannya dikurangi

separuhnya (Vide: Pasal 308 KUHP). Perbuatan dalam pasal 304 KUHP dan pasal

305 KUHP apabila berakibat luka parah atau mati, dihukum lebih berat.75

Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Lumajang dalam perkara

pembuangan anak ini memberikan pertimbangan yang pada pokoknya sebagai

berikut:

1. Dalam pembuktian perkara ini dan seluruh unsur-unsur pasal 308 KUHP

dalam dakwaan Jaksa/Penuntut Umum telah terbukti dan terpenuhi

pada perbuatan terdakwa dan yang terbukti tersebut adalah berdasarkan

pada hukum, maka Terdakwa harus dinyatakan bersalah atas perbuatannya;

2. Menimbang, mengingat pasal 308 KUHP serta peraturan-peraturan lain

yang berkaitan dengan perkara ini, MENGADILI:

a. Menyatakan terdakwa Halimah Binti Dul Hamid terbukti secara


sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“membuang bayi”;
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan;
c. Menyatakan barang bukti berupa (Terlampir);
d. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).

75
R. Soesilo, Op.Cit, h. 224
60

Putusan Pengadilan Negeri Lumajang Nomor. 600/Pid.B/2011/PN.Lmj

tersebut yang hanya menjatuhkan pemidanaan selama 3 (tiga) bulan terhadap

seorang perempuan yang telah membuang seorang anak yang baru saja

dilahirkannya menurut hemat penulis merupakan putusan yang kurang bijak.

Majelis Hakim pengadilan Negeri Lumajang dalam pertimbangannya hanya

melihat dari sisi pelaku saja (terdakwa) yang berstatus sebagai janda sehingga

menjadi tulang punggung keluarga dan bahwa terdakwa sudah mengakui semua

perbuatannya. Menurut penulis Majelis Hakim sebaiknya melihat juga dari sisi anak

yang menjadi korban dari tindakan orang tuanya yang tidak manusiawi. Anaki tidak

diberikan hak-hak nya sebagai sorang anak dan malah ditelantarkan begitu saja.

Banyaknya kasus pembuangan anak yang dihadapkan dimuka persidangan

untuk memperoleh keadilan sering terbentur mengenai masalah norma hukum yang

mengatur perbuatan pembuangan anak tersebut. Masih dianutnya norma

pembuangan anak yang masih mengikuti KUHP yang dalam hal ini sebenarnya

dapat pula dapat ditarik sebagai penelantaran anak yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, karena secara asasnya

pembuangan anak kandung tersebut adalah sama dengan penelantaran anak yang

dalam hal ini justru dilakukan oleh orang tua kandungnya sendiri.

Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Lumajang juga kurang teliti dalam

menempatkan tindakan yang dilakukan Terdakwa dalam suatu ketentuan dalam

hukum pidana. Seharusnya sebagai perwakilan dari sisi korban pelaku tindak

pidana, Penuntut Umum harusnya lebih menempatkan dan menaruh ketentuan

hukum pidana yang lebih membuat efek jera bagi terdakwa. Padahal didalam Pasal
61

30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan mengatur mengenai

tugas dan wewenang kejaksaan adalah untuk meningkatkan kesadaran hukum

dalam masyarakat, kesadaran hukum tidak akan tercapai apabila tidak memberikan

ketentuan pidana yang memuat efek jera yang maksimal kepada setiap pelaku

tindak pidana.

3.3. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bondowoso

Nomor. 101/Pid.Sus/2015/PN.Bdw.

Putusan Nomor. 101/Pid.Sus/2015/PN. Bdw tersebut adalah putusan dalam

perkara tindak pidana penelantaran bayi berjenis kelamin laki-laki berumur 1 (satu)

hari dengan berat 2,3 (dua koma tiga) kg panjang 45 (empat puluh lima) cm, lingkar

kepala 33 (tiga puluh tiga) cm yang dilakukan oleh Terdakwa Filda Umiatul

Hasanah Binti Nurhasan, Alamat Desa Pakisan RT.006, RW. 001, Kecamatan

Tlogosari, Kabupaten Bondowoso.

Atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa berikut dakwaan yang

diajukan oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bondowoso Atas tindak

pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Jaksa/Penuntut umum memberikan dakwaan

Alternatif yang mendakwa Terdakwa dengan Pasal 77 huruf b Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak atau Pasal 307 KUHP atau Pasal 308 KUHP.

Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan


atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
“Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00.- (seratus juta rupiah)”
Penjelasan: Cukup jelas.

Pasal 307 KUHP:


62

“Jika yang melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 305 KUHP adalah


bapak atau ibu dan anak itu, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal 305
KUHP dan Pasal 306 KUHP dapat ditambah dengan sepertiga”.

Pasal 308 KUHP:


“Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran
anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk
ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri
daripadanya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 KUHP dan
Pasal 306 KUHP dikurangi separuh”.

Pasal 307 KUHP adalah pemberatan terhadap orang tua kandung (ibu atan

bapak) yang membuang anaknya. Pasal 307 KUHP merupakan pemberatan dari

Pasal 305 KUHP (pembuangan bayi/anak) dan Pasal 306 KUHP (pembuangan

bayi/anak yang menyebabkan luka berat atau meninggal dunia), hukumannya

ditambah dengan sepertiga. Dengan kata lain apabila bayi/anak yang ditelantarkan

tersebut dalam keadaan hidup maka pemidanaan berdasarkan Pasal 305 KUHP

ditambah sepertiga yakni (5 tahun 6 Bulan ditambah 1/3 dari 5 tahun 6 bulan = 7

tahun 3 bulan penjara), sedangkan apabila tindakan tersebut menyebabkan si

bayi/anak mengalami luka berat atau meninggal dunia maka sesuai Pasal 306

KUHP juga ditambah sepertiga yakni (9 tahun ditambah 1/3 dari 9 tahun = 12 tahun

penjara).

Sedangkan apabila merujuk pada pasal 308 KUHP yang dalam hal ini

merupakan “peringanan” terhadap tindak pidana pembuangan bayi, sanksi

pidananya menjadi apabila tindakan tersebut sesuai dengan unsur Pasal 305 KUHP

pemidanaannya menjadi (5 tahun 6 bulan dikurangi ½ dari 5 tahun 6 bulan = 2 tahun

8 bulan penjara). Apabila tindakan tersebut sesuai dengan unsur pasal 306 KUHP

pemidanaannya menjadi (9 tahun dikurangi ½ dari 9 tahun = 4 tahun 5 bulan

penjara).
63

Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Bondowoso dalam perkara

pembuangan bayi ini memberikan pertimbangan sebagai berikut:

1. Memperhatikan, Pasal 77 B Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain yang

bersangkutan, MENGADILI:

a. Menyatakan Terdakwa Filda Umiatul Hasanah Binti Nurhasan


tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “menelantarkan anak’;
b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Filda Umiatul Hasanah Binti
Nurhasan oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun;
c. Menetapkan pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani oleh
Terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dihukum sebelum lewat
masa percobaan selama 1 (satu) tahun;
d. Menghukum pula kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
denda sejumlah Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
e. Menetapkan bahwa apabila pidana denda tersebut tidak dibayar,
maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
f. Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah
Rp. 5.000 (lima ribu rupiah);

Pertimbangan hukum majelis hakim (ratio decidendi) dalam perkara

tersebut diatas penulis merasa terdapat antinomi antara pasal yang didakwakan

dengan pemidanaan yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Padahal dalam hal ini

penuntut umum mendakwa berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak yang

sudah barang tentu dikenal sebagai salah satu instrumen hukum yang digunakan

untuk melindungi hak-hak anak. Karena anak adalah bagian yang tidak terpisahkan

dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan

negara. Agar kelak mampu bertanggung jawab dalam keberlangsungan bangsa dan

negara, setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh

dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial.


64

Perubahan undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi

pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong

adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak

korban dan/atau anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk

mengantisipasi anak korban dan/atau pelaku kejahatan di kemudian hari tidak

menjadi pelaku kejahatan yang sama.76

Akan tetapi tujuan yang dicita-citakan oleh undang-undang tersebut akan

sangat jauh dari yang diharapkan apabila dalam implementasinya tidak sesuai

dengan amanat undang-undang tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Bondowoso dalam putusan dalam perkara ini penulis merasa kurang cermat dan

memahami asas-asas perlindungan anak. Bagaimana tidak, Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Bondowoso hanya menjatuhkan pemidanaan yang dalam Pasal

77 B UU No. 35 Tahun 2014 Tentang perlindungan Anak yang maksimal ancaman

pidananya 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00

(seratus juta rupiah), akan tetapi dalam perkara diatas hanya dijatuhi dengan pidana

penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000,00.- (satu juta

rupiah). Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bondowoso untuk

memperingan pemidanaan didasarkan pada status terdakwa yang masih sebagai

mahasiswa (masih terlalu muda) untuk menjalani suatu pemidanaan. Padahal tindak

pidana dapat dilakukan tanpa memperhatikan batasan umur dan begitupula korban

dari suatu tindak pidana tidak berbatas pada umur pula.

76
Penjelasan Uum atas Undang-Undang nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
65

Padahal undang-undang yang didakwakan sudah tepat menurut penulis,

akan tetapi penjatuhan pemidanaan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Bondowoso tidak mencerminkan dan mewakili keadilan terhadap bayi/anak yang

dibuang atau ditelantarkan oleh Terdakwa di areal persawahan warga. Putusan

Pengadilan Negeri Bondowoso semakin menjauhkan cita-cita perlindungan

terhadap bayi/anak yang ditelantarkan.

3.4. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Majalengka

Nomor. 164/Pid.B/2013/PN.Mjl.

Putusan Nomor. 164/Pid.B/2013/PN. Mjl tersebut adalah putusan dalam

perkara tindak pidana penelantaran bayi berjenis kelamin laki-laki berumur 1 (satu)

hari dengan berat 3 (tiga) kg panjang 49 (empat puluh sembilan) cm, yang dilakukan

oleh Terdakwa Yayah Sartiah Binti Darman, Alamat Dusun Tengah RT.014, RW.

004 Desa Sindanghaji, Kecamatan. Palasah, Kabupaten Majalengka.

Atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa berikut dakwaan yang

diajukan oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Majalengka Nomor Register

Perkara: PDM-163/MJLKA/07/2013 tanggal 11 Juli 2013 Atas tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa. Jaksa/Penuntut umum memberikan dakwaan tunggal

Pasal 77 Huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak.

Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang


Perlindungan Anak:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan:
a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi
sosialnya; atau;
b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami
sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial;
66

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau


denda paling banyak Rp. 100.000.000,00.- (seratus juta rupiah)”;
Penjelasan : Cukup Jelas.

Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Majalengka dalam perkara

pembuangan bayi/penelantaran anak ini memberikan pertimbangan sebagai

berikut:

1. Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi terdakwa telah

melahirkan seorang anak hasil dari pemerkosaan dan yang menjadi korban

pemerkosaan adalah terdakwa sendiri, sehingga untuk menutupi rasa malu

tersebut terdakwa berniat untuk membuang anaknya dikarenakan terdakwa

tidak mempunyai biaya dan orang yang tidak mampu karena terdakwa telah

bercerai dari suaminya;

2. Mengingat dan memperhatikan hukum yang berlaku dan udang-undang

yang bersangkutan khususnya Pasal 77 huruf b Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, pasal-pasal dalam KUHP dan

KUHAP serta pasal-pasal lain dan undang-undang yang bersangkutan,

MENGADILI:

a. Menyatakan bahwa terdakwa Yayah Sartiah Binti Darman telah


terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Penelantaran terhadap anak’;
b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Yayah Sartiah Binti Darman
oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan
denda sebesar Rp. 5.000.000,00.- (lima juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan
pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
c. Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan;
d. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa
dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan;
e. Menetapkan barang bukti berupa: (terlampir) dikembalikan kepada
Terdakwa Yayah Sartinah Binti Darman;
f. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000,00.- (seribu rupiah).
67

Perkara pembuangan bayi dalam perspektif penelantaran anak kali ini

diakibatkan pemerkosaan yang dialami oleh Terdakwa ketika bekerja sebagai

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Hingga Terdakwa melahirkan

seorang bayi di kamar mandi dan agar supaya bayi tersebut tidak menangis,

terdakwa memberinya air dari bak mandi dan kemudian bayi yang baru saja

dilahirkannya tersebut diletakkan di depan gudang kayu supaya bayi terdakwa

tersebut ada yang merawatnya.

Apabila selintas kita melihat kasus posisi sebagaimana dalam perkara

diatas, tentu akan memunculkan rasa iba karena seorang perempuan yang diperkosa

sewaktu dirinya bekerja sebagai TKI di luar negeri. Akan tetapi apabila kita

melihatnya dari sisi yang berbeda, bayi yang baru dilahirkan oleh Terdakwa juga

mempunyai hak-hak yang seharusnya dipenuhi oleh terdakwa sebagai ibu

kandungnya.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dibuat

untuk memberikan perlindungan kepada anak yang masih memerlukan suatu

undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi

pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian,

pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa

perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan

pembangunan nasional khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 ini dibuat untuk perlindungan

terhadap anak agar orag tua, keluarga, dan masyarakat, serta pemerintah dan negara

untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang
68

dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan

perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan

fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan

perkembangannya secara optimal dan terarah.77

Penulis menilai bahwa Surat Dakwaan dan Tuntutan yang diajukan oleh

Penuntut Umum sudah tepat dengan memberikan ketentuan yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU

Perlindungan anak yang lama). Akan tetapi maksud pemberian efek jera kepada

terdakwa menjadi terhambat dikarenakan Majelis Hakim dengan pandangan

berbeda memberikan pemidanaan yang jauh lebih ringan daripada tuntutan Jaksa

Penuntut Umum.

Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan hanya menilai

kesopanan terdakwa selama berada dalam persidangan, dan bahwa terdakwa belum

pernah dihukum sebelumnya dalam menilai hal-hal yang meringankan atas diri

terdakwa, padahal majelis hakim telah menetapkan bahwa perbuatan terdakwa

menunjukkan ketiadaan tanggung jawab terdakwa terhadap perbuatan anak

terdakwa yang telah ditelantarkannya.

Majelis Hakim memang memiliki independensi hakim dalam menjatuhkan

putusan pemidanaan terhadap terdakwa. Putusan Hakim (vonis) dijatuhkan

memberikan dampak yang dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yang berbeda. Salah satu

sisinya, putusan (vonis) merupakan ujung tombak bagi hukum pidana sebagai

fungsinya untuk mengontrol segala hal yang menimbulkan suatu keresahan bagi

masyarakat (dampak secara umum) dengan cara dipidananya seorang terpidana.

77
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
69

Dampak yang lain adalah sebagai efek jera bagi Terpidana dalam hal

mempertanggung jawabkan suatu perbuatan yang telah dilakukannya (dampak

secara khusus). Akan tetapi, seiring perkembangan hukum pidana dewasa ini,

konsep penestapaan telah berangsur-angsur dimodifikasi melalui konsep

restorative justice sehingga suatu vonis dapat berupa upaya pemulihan (treatment)

bagi terpidana. H.L. Parker berpendapat:78

“Tujuan utama dari treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau


untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada
perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang, tetapi pada tujuan
untuk memberikan pertolongan kepadanya”
Sehingga Punishment menurut H.L. Parker pembenarannya didasarkan
pada 1 (satu) atau 2 (dua) tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak
dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or
undesired conduct or offending conduct);
2. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si
pelanggar (the deserved infliction of suffering on evildoers/retribution
for perceived wrong doing).
Apabila pemidanaan disebutkan bertujuan untuk menestapakan ansich,

maka kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai

penganut teori pembalasan yang modern. Misalnya Van Bemmelen mengatakan

bahwa untuk hukum pidana dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri

(vermijding van eigenrichting) tetap merupakan fungsi yang penting sekali dalam

penerapan hukum pidana yakni memenuhi keinginan akan pebalasan

(togemoetkoming aan de vergeldingsbehoefte), Pompe yang seumur hidupnya

berpegang pada teori pembalasan ini dalam arti positif dan konstruktif dan bukan

dalam arti tidak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka yang anti

78
Muladi, Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
2010, h.6.
70

pembalasan, dan Enschede menganggap pembalasan sebagai batas atas

(bovengrens) dari beratnya pidana. hanya saja ia berpendapat bahwa tidak perlu

pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dan beratnya tindakan penguasa dalam

lingkungan kebebasan individu ditentukan oleh tuntutan kemanfaatan di dalam

batas-batas pembalasan.79

Putusan Hakim di sidang pengadilan merupakan hasil atau kesimpulan dari

proses-proses yang telah terjadi didepan persidangan. Putusan merupakan suatu

penilaian yang dilakukan oleh Majelis Hakim berdasarkan bukti-bukti yang telah

ditunjukkan didepan persidangan dan dengan keyakinan hakim itu sendiri,

menjadikan suatu dasar bagi hakim menjatuhkan Putusan kepada terdakwa. Baik

berupa putusan bersalah (guilty) ataupun putusan tidak bersalah (not guilty), terkait

proses atau tahapan penjatuhan yang dilakukan oleh hakim.

Sejatinya dan seharusnya perlindugan terhadap anak harus dilakukan secara

terus menerus oleh berbagai pihak yang dilakukan seara bertanggung jawab. Upaya

perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam

kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari

konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif. Undang-

undang perlindungan anak meletakkan kewajiban memberikan perlindungan

kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:80

a. Non diskriminasi;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

79
Ibid.h.15..
80
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak.
71

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan

d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran

masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan,

lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia

usaha, media massa, atau lembaga pendidikan (baik formal maupu informal).

Perlindungan anak dilakukan dengan segala upaya untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang

dengan baik. Secara umum peraturan perundang-undangan yang ada tidak

memberikan definisi yang memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan,

eksploitasi, penelantaran, diskriminasi dan perlakuan salah terhadap tindak pidana

kekerasan, eksploitasi, penelantaran, diskriminasi dan perlakuan salah terhadap

anak. Bahkan jenis tindak pidana tersebut tidak didefinisikan sehingga sulit untuk

menakar perbuatan pidana yang ditujukan kepada anak.

Unsur-unsur penelantaran anak hanya terdapat secara eksplisit dalam Pasal

76 huruf C UU No. 23/2002 jis UU No. 35/2014 jis UU No. 23/2004 jis UU

No.44/2008 yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 76 huruf C:
“setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak”.
Pasal 76 huruf D
“setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”
Pasal 76 huruf E
72

“setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,


melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul”.

Kemudian dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 35 Tahun 2014 hanya mendefinisikan

anak terlantar sebagai berikut: “anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi

kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial”. Sejatinya

rumusan dalam ketentuan hukum sebagaimana diatas belum cukup untuk

memastikan bahwa seseorang telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah

melakukan tindak pidana penelantaran pada anak.

Unsur-unsur penelantaran anak dibagi menjadi beberapa bentuk

penelantaran anak yang ada yakni: (1). Penelantaran fisik, (2). Penelantaran

pendidikan, (3). Penelantaran secara emosi, (4). Penelantaran medis. 81 Pasal 77

sampai Pasal 89 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak mengatur mengenai jenis-jenis perbuatan yang dapat digolongkan sebagai

perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana apabila dilakukan oleh setiap orang

maupun korporasi termasuk dalam perkara tindak pidana terhadap anak sebagai

berikut:

1. Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002;


Dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang
mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil mupun moriil
sehingga menghambat fungsi sosialnya, atau penelantaran terhadap anak
yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik,
mental, maupun sosial.

2. Pasal 78 UU No. 23 Tahun 2002;

81
Putu Sarasita Kismadewi, Pertanggung jawaban Pidana Orang Tua Yang
menelantarkan Anaknya Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak, Jurnal Hukum, Program kekhususan hukum pidana, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Bali, h. 12.
73

Mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat aditif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak
korban perdagangan, atau anak korban kekerasan, padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu.

3. Pasal 79 UU No. 23 Tahun 2002;


Melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4)
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

4. Pasal 80 UU No. 23 Tahun 2002;


Melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau
penganiayaan terhadap anak dan apabila perbuatan tersebut menyebabkan
anak luka berat, mati termasuk pula yang melakukan penganiayaan tersebut
orang tuanya

5. Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002;


Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain atau
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

6. Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002;


Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

7. Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002;


Memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau
untuk dijual

8. Pasal 84 UU No. 23 Tahun 2002;


Secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan
tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain

9. Pasal 85 UU No. 23 Tahun 2002;


Melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dan secara
melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan
tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan
yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua
atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak

10. Pasal 87 UU No. 23 Tahun 2002;


74

Secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan


militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam
kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan
dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung
unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15

11. Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002;


Dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan
belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya

12. Pasal 89 UU No. 23 Tahun 2002.


Dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika
dan/atau psikotropika atau melibatkan anak dalam penyalahgunaan,
produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.

Masih tersebarnya pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi anak ini

membuat aparat penegak hukum terkadang tidak sesuai menempatkan ancaman

pidana dalam suatu ketentuan pasal perundang-undangan. Seperti yang terdapat

dalam Putusan Pengadilan Negeri Lumajang Nomor.600/Pid.B/2011/PN.Lmj,

Putusan Pengadilan Negeri Bondowoso Nomor.101/Pid.Sus/2015/PN.Bdw,

Putusan Pengadilan Negeri Majalengka Nomor.164/Pid.B/2013/PN.Mjl, disamping

terkesan salah menerapkan ketentuan hukum, juga tidak tampak ketegasan hakim

didalam menyelesaiakan perkara tindak pidana pembuangan anak yang baru

dilahirkan tersebut. Hal ini terlihat dari tidak maksimalnya ancaman pidana yang

dijatuhkan dalam Pasal 307 KUHP, Pasal 308 KUHP, Pasal 341 KUHP, Pasal 342

KUHP serta Pasal 77 UU Perlindungan Anak

Apabila terjadi demikian, seyogyianya ancaman pidana yang paling sesuai

adalah dengan mengacu pada ketentuan UU Perlindungan Anak atau dipilih tindak

pidana yang ancaman hukumannya paling berat bagi pelaku tindak pidana

pembuangan anak yang baru saja dilahirkan tersebut. Sejatinya Pasal 341 KUHP
75

atau dapat dipidana dengan Pasal 342 KUHP (disertai dengan pemberatannya)

dapat dijadikan patokan dasar mengenai pengenaan sanksi pidana bagi pelaku.

Karena pelaku pembuangan atau penelantaran anak yang baru saja dilahirkan

tersebut diantara lain dilakukan pasti oleh orang tua yang baru saja melahirkan anak

tersebut. Disamping itu pengenaan Pasal 341 KUHP mengenai pembunuhan

berencana atau Pasal 342 KUHP (beserta pemberatannya) sebagai efek jera yang

dikenakan pada pelaku tindak pidana, karena ancaman tindak pidananya sangat

berat dan sesuai dengan perbuatan pelaku tindak pidana pembuangan atau

penelantaran anak yang baru saja dilahirkan juga dikategorikan sebagai suatu tindak

pidana berat.

Disamping itu dalam persidangan seharusnya hakim menggali mengenai

fakta-fakta keterlibatak laki-laki yang menyebabkan kehamilan tersebut agar laki-

laki yang menyebabkan kehamilan tersebut yang nantinya setelah melahirkan anak

tersebut ditelantarkan ataupun dibuang oleh si ibu dapat juga dimintai pertanggung

jawaban pidananya sesuai ketentuan Pasal 343 KUHP. Apabila tidak dilakukan,

maka akan selamanya putusan hakim tidak akan tegas apabila mengadili perkara

serupa, karena hanya akan menganggap bahwa perempuan (ibu) tadi hanya sebagai

korban, dengan demikian karena pemahaman yang keliru inilah mengaburkan suatu

kenyataan bahwa si anak yang ditelantarkan ataupun dibuang, dan mungkin

menyebabkan matinya si anak tersebut, si anak inilah yang menjadi sebenar-

benarnya korban dalam tindak pidana penelantaran atau pembuangan anak ini.
76

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Hingga saat ini praktis instrumen hukum yang mengatur mengenai bayi

belumlah dibuat, sehingga masih merujuk pada KUHP dan Peraturan

Perundang-Undangan lain yang terkait dengan anak-anak, karena konsep

bayi dan anak-anak memiliki persamaan yakni belum dewasa dan cakap

hukum. Penelantaran dan pembuangan anak yang baru saja dilahirkan yang

menyebabkan matinya anak tersebut, pelaku tindak pidana saat ini sebagian

besar hanya dikenakan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP.

Penelantaran anak ataupun pembuangan anak yang menyebabkan matinya

anak diatur dalam ketentuan Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP

(kindermoord). Dalam hal ini terdapat perbedaan yang sangat tipis

mengenai perbedaan penelantaran anak yang baru dilahirkan dan

pembuangan anak yang menyebabkan matinya anak. Penelantaran anak

yang menyebabkan matinya anak tidak ada niat dari pelaku untuk

membunuh anak yang dilahirkannya tersebut, berbeda dengan pembuangan

anak, dimana pelaku memang sengaja membunuh anak yang baru dilahirkan

tersebut. Disamping itu laki-laki yang menyebabkan perempuan tersebut

hamil dan tidak berkenan dengan lahirnya anak tersebut dapat kenakan

pertanggung jawaban pidana sesuai Pasal 343 KUHP;

2. Sanksi Pidana yang ada selama ini dalam persidangan tindak pidana

penelantaran atau pembuangan anak yang menyebabkan kematian pada


77

anak hanya terfokus pada KUHP saja, hal tersebut juga dilaksanakan dengan

pemidanaan yang tidak berat (tidak mengenakan pidana maksimal).

Sebagian besar hakim melalui contoh kasus yang ada memberikan

pertimbangan bahwa pelaku tindak pidana melakukan hal tersebut karena

keadaan malu dan sangat terpaksa karena sebelumnya mengandung dengan

belum adanya perkawinan yang sah.

4.2. Saran

1. Harus dibuat pengaturan khusus diluar KUHP mengenai tindak pidana

penelantaran dan pembuangan anak yang baru saja dilahirkan oleh orang

tuanya karena selama ini belum adanya pengaturan khusus yang terkait

mengenai hal tersebut. Agar tidak lagi terjadi kekosongan hukum (vacuum

of norm).

2. Kepada Hakim pemeriksa perkara tindak pidana penelantaran dan

pembuangan anak yang menyebabkan kematian dapat bertindak lebih tegas

kembali kepada pelaku tindak pidana dengan mencoba tidak hanya

menerapkan ketentuan husssskum dalam KUHP sebagai dasar hukum

pemidanaan. Selain itu karena penelantaran anak dan pembuangan anak

yang baru saja dilahirkan juga dapat dikenakan terhadap laki-laki yang

menyebabkan kehamilan yang nantinya si anak tersebut lahir dengan

kondisi yang tidak diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai