Anda di halaman 1dari 7

Nama : Mochammad Abizar Bramaputra

Tugas Pelaksanaan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau eksekusi adalah
aturan tentang cara dan syarat-syarat yang digunakan oleh perlengkapan negara untuk
membantu pihak yang berkepentingan dalam menjalankan putusan hakim jika pihak yang kalah
tidak mematuhi isi putusan dalam waktu yang ditentukan. Proses ini melibatkan badan atau
pejabat pemerintahan yang menerbitkan keputusan atau melakukan tindakan, dengan diawasi
oleh Ketua Pengadilan PTUN.

Syarat dari eksekusi putusan PTUN antara lain meliputi surat keterangan yang menyatakan
putusan telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan pembayaran panjar
eksekusi.

Adapun macam-macam eksekusi pengadilan diantaranya :

A. Eksekusi Otomatis
Eksekusi Otomasi terdapat dalam pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986, yang mengalami perubahan melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004
dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, mencakup pelaksanaan eksekusi otomatis.
Setelah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde),
Berdasarkan Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang
mengalami perubahan melalui Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009,yang berbunyi :
(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas
perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.
B. Eksekusi Hierarkis.
Eksekusi Hierarkis diatur dalam Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5) Undang-undang Nomor
5 Tahun 1986 dan diterapkan lagi unsur eksekusi hierarkis ini dalam Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009, pada Pasal 116 ayat (3) dan (6).
Pasal (3), dan (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi :
(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90
(sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut.
(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.

C. Eksekusi Upaya Paksa


Selama berlakunya mekanisme eksekusi hierarkis tingkat keberhasilan pelaksanaan
putusan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara relatif rendah. Dengan lahirnya
mekanisme “upaya paksa” yang melibatkan media massa ini, diharapkan bahwa instrumen
ini akan dapat memberikan sumbangan yang signifikan bagi efektivitas pelaksanaan
putusan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pembaharuan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan ayat (4), (5) dan
(7) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009. Perubahan ini adalah sebagai koreksi terhadap
lemahnya kekuasaan (power) badan peradilan yang memberikan peraturan perundang-
undangan dan dinilai tidak mampu memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan
pemerintah untuk melaksanakan putusan.
Pasal (4), (5) dan (7) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 yang berbunyi :
(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Nama : Handi Hadian

PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Eksekusi hak tanggungan dalam UUHT diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 20 UUHT yang
berbunyi:

Pasal 6

Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual obyek Hak Tanggungan ataskekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Pasal 20

(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:


a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek HakTanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat HakTanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungandijual melalui
pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalamperaturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak
Tanggungandengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengandemikian itu akan dapat
diperoleh harga tertinggi yang meng-untungkan semuapihak.
(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)hanya dapat dilakukan
setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukansecara tertulis oleh pemberi
dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepadapihak-pihak yang berkepentingan dan
diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua)surat kabar yang beredar di daerah yang
bersangkutan dan/atau media massasetempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan
keberatan.
(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungandengan cara yang
bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), danayat (3) batal demi hukum.
(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualansebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utangyang dijamin dengan Hak
Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telahdikeluarkan.

Pelaksanaan eksekusi hak tanggungan

1. Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda- benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.”

2. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak


Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan
merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan
suatu perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak
Tanggungan tersebut dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh PPAT (Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

3. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai
bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak
Tanggungan yang memuat irah-irah "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA" (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

4. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan


putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur
cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak
Tanggungan tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak
tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang. Kemudian eksekusi
akan dilakukan seperti eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

5. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan
diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2)
Undang-undang No.4 Tahun 1996).

6. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1
(satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak
Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya
dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media
massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta
PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada
membebankan Hak Tanggungan;
b. tidak memuat kuasa substitusi;
c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama
serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan
pemberi Hak Tanggungan;
8. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum yang tetap.

9. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani
dengan Hak tanggungan.

10. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang
hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah
tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan
semua beban, kepada pembeli lelang.

11. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.

12. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan
sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun
1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas
permohonan pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk
pemegang Hak tanggungan pertama. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah
membuat janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No.
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-
¬lainnya dan hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang
membebani tanah yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu,
akan tetap membebani persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli
dan pelelangan yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-
beban hak tanggungan yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah
tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan
paksa.

13. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama, maka lelang
tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan tidak dapat
ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang
diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang
Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor
Lelang Negara.

14. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas
hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan
dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).

Anda mungkin juga menyukai