Anda di halaman 1dari 6

Kejaksaan Akui Legal Standing

LSM
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50ff8b8824e42/kejaksaan-akui-ilegal-standing-i-lsm/

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tetap berpandangan LSM bukan


merupakan pihak ketiga berkepentingan sebagaimana dimaksud Pasal 80
KUHAP.

Kejaksaan seringkali menjadi pihak termohon dalam praperadilan yang diajukan LSM pegiat
anti korupsi. Sebut saja Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Hajar Indonesia, Laskar
Empati Pembela Bangsa (Lepas), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), dan
Gorontalo Corruption Watch (GCW).
MAKI beberapa kali mempraperadilankan penghentian penyidikan (SP3) yang diterbitkan
Kejaksaan. Sementara, Hajar Indonesia, Lepas, dan PPMI sempat mempraperadilankan
penghentian penuntutan (SKPP) kasus Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah walau
akhirnya tidak diterima Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Pengadilan selalu berdalih permohonan tidak dapat diterima karena LSM bukan merupakan
“pihak ketiga berkepentingan” sebagaimana diatur Pasal 80 KUHAP. LSM dianggap tidak
memiliki legal standing atau kedudukan hukum karena hakim praperadilan seringkali
mendefinisikan pihak ketiga berkepentingan sebagai korban atau pelapor.

Persepsi ini juga sering digunakan Kejaksaan ketika menghadapi praperadilan yang
dimohonkan LSM. Namun, dengan adanya putusan MK yang menolak uji materi mantan
Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, tafsir pihak ketiga berkepentingan diperluas menjadi
masyarakat yang dalam hal ini bisa diwakili LSM.
Putusan itu membuat Kejaksaan mulai mengubah pandangan mengenai pihak ketiga
berkepentingan. Wakil Jaksa Agung Darmono akhirnya mengakui legal standing LSM dalam
mengajukan praperadilan. “Ya, kalau itu sudah menjadi putusan MK, harus kita patuhi.
Putusan MK itu bersifat final dan mengikat,” katanya, Selasa (22/1).
Senada, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Setia Untung Arimuladi juga
mengatakan sependapat dengan putusan MK. “Prinsipnya sependapat, terutama terkait
dengan kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan hidup, bisa saja pihak ketiga dalam
hal ini adalah LSM atas nama masyarakat,” ujarnya.
Namun, putusan MK tersebut sepertinya tidak berpengaruh pada padangan hakim di
pengadilan. Selain karena Mahkamah Agung (MA) belum mengeluarkan peraturan atau
surat edaran untuk menyamakan persepsi hakim, MA juga masih memberikan keleluasaan
bagi hakim untuk menafsirkan pihak ketiga berkepentingan.

Persepsi ini juga sering digunakan Kejaksaan ketika menghadapi praperadilan yang
dimohonkan LSM. Namun, dengan adanya putusan MK yang menolak uji materi mantan
Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad, tafsir pihak ketiga berkepentingan diperluas menjadi
masyarakat yang dalam hal ini bisa diwakili LSM.
Putusan itu membuat Kejaksaan mulai mengubah pandangan mengenai pihak ketiga
berkepentingan. Wakil Jaksa Agung Darmono akhirnya mengakui legal standing LSM dalam
mengajukan praperadilan. “Ya, kalau itu sudah menjadi putusan MK, harus kita patuhi.
Putusan MK itu bersifat final dan mengikat,” katanya, Selasa (22/1).
Senada, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Setia Untung Arimuladi juga
mengatakan sependapat dengan putusan MK. “Prinsipnya sependapat, terutama terkait
dengan kasus-kasus yang berkaitan dengan lingkungan hidup, bisa saja pihak ketiga dalam
hal ini adalah LSM atas nama masyarakat,” ujarnya.
Namun, putusan MK tersebut sepertinya tidak berpengaruh pada padangan hakim di
pengadilan. Selain karena Mahkamah Agung (MA) belum mengeluarkan peraturan atau
surat edaran untuk menyamakan persepsi hakim, MA juga masih memberikan keleluasaan
bagi hakim untuk menafsirkan pihak ketiga berkepentingan.

Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Matheus Samiadji tetap berpandangan pihak
ketiga berkepentingan tidak bisa diartikan sembarangan. LSM dinilai bukan termasuk pihak
ketiga berkepentingan. “Pihak ketiga itu syaratnya tetap harus pihak ketiga yang
berkepentingan. Tidak sembarangan pihak ketiga atau LSM,” tuturnya.
Pandangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini memang tidak bisa disalahkan.
Sebab, hingga kini MA belum merasa perlu mengeluarkan PERMA ataupun SEMA untuk
mengukuhkan legal standing LSM. Pertimbangan untuk menerima atau menolak legal
standing LSM masih diserahkan pada otorisasi hakim praperadilan.
Selama ini, KUHAP tidak mengatur secara jelas makna pihak ketiga berkepentingan.
Akibatnya, makna pihak ketiga berkepentingan dalam Pasal 80 KUHAP menjadi multitafsir,
sehingga ada sebagian hakim yang mengakui kedudukan hukum LSM, banyak pula hakim
yang tidak mengakuinya.
Salah satu contoh hakim yang mengakui legal standing LSM adalah hakim Pengadilan
Negeri Gorontalo. Pada 13 Desember 2011, dalam putusannya, hakim mengakui legal
standing GCW, bahkan mengabulkan permohonan praperadilan GCW untuk membuka
kembali penghentian penyidikan kasus korupsi Fadel Muhammad.
Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo ini dikuatkan oleh pengadilan di tingkat banding.
Dikabulkannya praperadilan GCW inilah yang menjadi alasan Fadel Muhammad mengajukan
permohonan uji materi ke MK. Fadel mempermasalahkan pendefinisian pihak ketiga
berkepentingan yang tidak diatur secara jelas dalam KUHAP.

Nyatanya, MK menolak permohonan uji materi Fadel dan memperluas tafsir pihak ketiga
berkepentingan. Pihak ketiga berkepentingan tidak hanya diartikan sebagai korban maupun
pelapor, tapi masyarakat luas, dalam hal ini bisa diwakili sekumpulan orang/LSM yang
memiliki tujuan sama demi kepentingan umum.
Putusan MK ini tentu membawa angin segar bagi para pegiat anti korupsi, seperti ICW dan
MAKI. Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Febri Diansyah
mengapresiasi putusan MK dan berharap ke depan, tidak ada lagi perbedaan
pandangan hakim di seluruh Indonesia mengenai tafsir pihak ketiga berkepentingan.
https://bplawyers.co.id/2018/10/16/gugatan-legal-standing-cara-lingkungan-melawan/

Gugatan Legal Standing: Cara


Lingkungan Melawan
October 16, 2018
Perkembangan zaman menuntut perkembangan lebih jauh di bidang hukum.
Semakin kompleksnya permasalahan yang ada di Indonesia, membutuhkan satu
sistem penanganan yang lebih maju. Salah satunya, dalam menjawab persoalan
‘perwalian’ dalam hukum lingkungan adalah munculnya macam gugatan legal
standing dalam tatanan hukum Indonesia.
Gugatan legal standing atau disebut juga hak gugat organisasi, adalah gugatan
yang diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kepada pihak yang
melanggar hukum dalam kompetensi kemampuan LSM tersebut bergerak.
Kecakapan LSM untuk tampil sebagai pihak di pengadilan didasarkan teori
bahwa LSM adalah wali dari kompetensi LSM tersebut.
Gugatan Legal standing pertama kali muncul di Amerika Serikat pada
kasus Sierra v. Morton di tahun 1972. Lalu konsep tersebut semakin
berkembang dan diterima di banyak negara, seperti Belanda pada kasus Nieuwe
Mee (1986) dan Kuvaders (1992) dan Australia pada kasus Yates Security
Services Pty. Ltd. V Keating pada tahun 1990.
Di Indonesia, penggunaan gugatan legal standing pertama kali digunakan pada
tahun 1988 pada kasus gugatan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI) melawan PT Indorayon Utama (IU). Sejak saat itu, gugatan legal
standing menjadi dikenal di Indonesia. Dalam kasus tersebut Walhi
mempersoalkan pencemaran lingkungan yang diyakini dilakukan oleh PT IU.
Akan tetapi, konsep gugatan legal standing baru dikenal pada dua bidang di
Indonesia yakni, bidang lingkungan dan bidang perlindungan konsumen.
Gugatan legal standing di bidang lingkungan mulai muncul pada Putusan
Pengadilan antara WALHI melawan PT IU pada tahun 1988 dan diformalkan di
Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 1997. Sementara gugatan legal
standing di bidang perlindungan konsumen diformalkan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen yang terbit pada tahun 1999.
Gugatan legal standing tidak bisa diajukan oleh sembarang orang. Gugatan legal
standing hanya bisa dilakukan oleh LSM yang memenuhi syarat sebagai berikut:
berbadan hukum atau Yayasan; dalam Anggaran Dasar Organisasi yang
bersangkutan disebutkan secara jelas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut selaras dengan topik gugatan; telah menjalankan kegiatan sesuai
Anggaran Dasar tersebut.
Ketentuan di atas dapat dilihat pada Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen dan Pasal 92 Undang-Undang Lingkungan Hidup
Tahun 2009. Pasal 92 Undang-Undang Lingkungan Hidup memberikan syarat
tambahan bahwa pelaksanaan kegiatan sesuai Anggaran Dasar adalah minimal
selama dua tahun.
Lebih lanjut, berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
Nomor 088/G/1994/Piutang/PTUN.Jkt yang kemudian diperkuat dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 89K/TUN/1996, persyaratan tersebut seolah ditambah
dengan adanya kepedulian nyata di masyarakat secara berkesinambungan dan
harus bersifat representatif dari organisasi yang bersangkutan.
Selain itu, harus dipahami bahwa pengajuan gugatan adalah dalam rangka
kepentingan umum bukan kepentingan pribadi belaka. Jika diajukan untuk
kepentingan pribadi, maka Hakim tak segan-segan menolak gugatan. Hal
tersebut misalnya terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri Surakarta No.
162/PDT.G/2013/PN.SKA dimana hakim tidak menerima gugatan karena
diajukan atas kepentingan pribadi.
Tata cara beracara gugatan legal standing sama dengan gugatan pada
umumnya. Hanya saja, gugatan legal standing terbatas pada mengajukan untuk
dilakukan tindakan-tindakan tertentu. Tuntutan ganti kerugian terbatas pada
biaya atau pengeluaran yang bersifat riil.
BP Lawyers dapat membantu Anda
Apabila anda ingin berkonsultasi terkait permasalahan hukum, Anda dapat
menghubungi kami melalui:
E: ask@bplawyers.co.id
H: +62821 1234 1235
Author: TC – Thareq Akmal Hibatullah
https://ugm.ac.id/id/berita/13079-legal-standing-organisasi-lingkungan-hidup-sangat-diperlukan

Legal Standing Organisasi Lingkungan Hidup


Sangat Diperlukan
Pertama kali hak gugat organisasi lingkungan hidup atau legal standing organisasi lingkungan hidup menjadi
isu hukum pada saat WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengajukan gugatan pencemaran dan
perusakan lingkungan terhadap lima instansi pemerintah (Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Sumatra Utara) dan PT. Inti Indorayon Utama di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1988. Dalam putusannya No. 820/PDT.G/1988 PN. JKT PST
tanggal 14 Agustus 1989, majelis hakim menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.

Meski begitu, hal tersebut perlu diapresiasi karena hakim menerima legal standing WALHI, dan WALHI
sebagai pihak tidak terkena dampak lingkungan maupun bukan kuasa dari orang yang terkena dampak
lingkungan. Keputusan tersebut menjadi preseden bagi sengketa-sengketa lingkungan hidup yang kemudian
telah berhasil memasukkan upaya legal standing secara eksplisit dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), yang kemudian dicabut dan diganti dengan UU No.32 Tahun 2009
(UUPPLH).

"Dulu bentuk legal standing ini belum ada pengaturannya dalam hukum acara perdata di Indonesia. Sebagai
hal yang baru tentulah pada awalnya gugatan semacam ini belum dapat diterima oleh para hakim, namun
akhirnya ada hakim yang berani dan menerima organisasi lingkungan hidup sebagai pihak dalam gugatan
perdata," ujar Fajar Winarni, S.H., M.Hum, di Fakultas Hukum UGM, Rabu (21/12).

Menempuh ujian doktor Ilmu Hukum UGM dengan promotor Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., L.L.M dan
ko-promotor Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Si, Fajar Winarni menjelaskan berdasarkan pada sistem hukum acara
perdata konvensional atau hukum acara perdata yang biasanya berlaku, maka doktrin perbuatan melawan
hukum di Indonesia menganut asas "point d'interest, point d'action" atau tiada gugatan tanpa kepentingan
hukum, yang berarti bahwa seseorang ataupun kelompok dikatakan dapat memiliki standing apabila terdapat
kepentingan hukum. Dalam legal standing, organisasi lingkungan bukanlah pihak yang mengalami kerugian.

"Penerimaan sebagai pihak itu pun setelah melalui proses panjang, setelah beberapa kali gugatan diajukan
dalam bentuk legal standing yang pada awalnya ditolak oleh hakim dengan alasan tidak diatur dalam hukum
acara Indonesia. Namun, sejak tahun 1988 terjadi perubahan paradigma hakim tentang peran organisasi
lingkungan," jelas dosen Fakultas Hukum UGM itu.

Mempertahankan disertasi berjudul Kajian Yuridis Legal Standing Organisasi Lingkungan Hidup di Indonesia,
Winarni menandaskan Legal Standing organisasi lingkungan hidup diperlukan bagi perlindungan lingkungan
hidup karena dengan pemberian Legal Standing pada organisasi hidup untuk beracara di pengadilan sebagai
wali bagi lingkungan hidup, berarti lingkungan hidup secara implisit telah diakui memiliki hak. Meski
begitu, pengakuan Legal Standing organisasi lingkungan hidup di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai
perwujudan dari teori yang digagas oleh Christopher D. Stone karena peraturan perundang-undangan
lingkungan hidup di Indonesia belum ada ketentuan yang secara jelas mengakui adanya hak bagi lingkungan
hidup.

Karena itu, menurut Fajar Winarni, perlu segera dibuat peraturan yang lengkap mengenai Legal Standing
organisasi lingkungan hidup sehingga di masa datang akan lebih banyak organisasi lingkungan hidup yang
menggunakan hak gugatnya demi kepentingan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain itu, dari segi
peraturan diharapkan bisa meningkatkan kapasitas atau kemampuan aparat penegak hukum. (Humas UGM/
Agung)

Anda mungkin juga menyukai