com/klinik/detail/ulasan/lt54b538f5f35f5/arti--tujuan--lingkup--dan-contoh-
diskresi/
Intisari:
Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat
pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan
dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau
tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Namun, penggunaannya harus oleh pejabat yang
berwenang dan sesuai dengan tujuannya.
Pejabat pemerintahan yang dimaksud yaitu unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di
lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
Ulasan:
Istilah diskresidapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (“UU 30/2014)”. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari laman resmi Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia, kehadiran UU yang terdiri atas 89 pasal ini dimaksudkan untuk
menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, menciptakan kepastian hukum,
mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat
pemerintahan, memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan,
melaksanakan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan azas-azas umum
pemerintahan yang baik (AUPB), dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga
masyarakat.
Menurut Pasal 1 Angka 9 UU 30/2014, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan,
tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat
pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Demikian yang diatur dalam Pasal 6 ayat
(2) huruf e jo ayat (1) UU 30/2014.
Lalu siapa yang dimaksud dengan pejabat pemerintahan di sini? Untuk menjawabnya, kita mengacu
pada definisi pejabat pemerintahan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 3 UU 30/2014:
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi
Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
Hal-hal penting menyangkut diskresi yang diatur dalam UU 30/2014 antara lain:
1. Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang [Pasal 22 ayat (1)]
2. Setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk Pasal 22 ayat (2) dan
penjelasan]:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum. Adapun yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah
tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau
disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam
atau gejolak politik.
3. Diskresi pejabat pemerintahan meliputi [Pasal 23]:
a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak
mengatur;
c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak
lengkap atau tidak jelas; dan
d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna
kepentingan yang lebih luas.
4. Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat [Pasal 24]:
a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
5. Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan
dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan
dimaksud dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi
membebani keuangan negara [Pasal 25 ayat (1) dan (2)]
Seperti yang kami jelaskan di atas, pejabat pemerintahan yang melakukan diskresi di sini adalah unsur
yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara
lainnya. Contoh sederhana dari diskresi yang jelas dan dapat kita lihat di kehidupan sehari-hari adalah
seorang polisi lalu lintas yang mengatur lalu lintas di suatu perempatan jalan, yang mana hal ini
sebenarnya sudah diatur oleh lampu pengatur lalu lintas (traffic light). Menurut Undang Undang Lalu
Lintas, polisi dapat menahan kendaraan dari satu ruas jalan meskipun lampu hijau atau mempersilakan
jalan kendaraan meskipun lampu merah. Demikian contoh yang disebut dalam laman
resmi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi(“KemenPANRB”). Penjelasan lebih lanjut mengenai diskresi polisi ini dapat Anda simak pula
dalam artikel Penegakan Aturan Lalu Lintas dan Diskresi Polisi.
Masih bersumber dari laman KemenPANRB, sekaligus menjawab pertanyaan Anda, contoh pejabat yang
diberikan diskresi yang disebut dalam UU 30/2014 (saat itu masih berupa rancangan) adalah mulai dari
Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota hingga Kepala Desa.
Sebagai contoh lain, seperti yang disebut di atas pula, diskresi juga dapat dilakukan oleh penyelenggara
negara. Penyelenggara Negara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah
pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Salah satu penyelenggara yang dimaksud di sini adalah hakim.
Bagi seorang hakim pidana, diskresi itu mengandung arti upaya hakim memutus suatu perkara pidana
untuk lebih mengedepankan keadilan substantif. Hakim bebas membuat pertimbangan dan putusan,
termasuk menyimpangi asas legalitas, untuk tujuan mencapai keadilan substantif. Penjelasan lebih lanjut
soal diskresi hakim dapat Anda simak dalam artikel Diskresi Hakim: Pandangan Orang Dalam.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Referensi:
1. http://setkab.go.id/uu-no-302014-inilah-hak-kewajiban-dan-diskresi-pejabat-pemerintahan/, diakses pada
14 Januari 2015 pukul 14.40 WIB
2. http://www.menpan.go.id/berita-terkini/953-mencari-titik-temu-pengertian-diskresi-dalam-uu-adpem,
diakses pada 14 Januari 2015 pukul 15.01 WIB
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b510afc8b68/bahasa-hukum-diskresi-pejabat-
pemerintahan/
Mereka yang bersuara keras meminta perlindungan itu terkesan menjadikan penegakan
hukum korupsi sebagai ‘kambing hitam’ minimnya realisasi anggaran atau minimnya
pembangunan. Mereka tak bisa berkreasi karena takut kesandung tuduhan korupsi.
Mereka mengadu berkali-kali kepada petinggi negara ini, minta ini minta itu, yang
intinya agar ‘jangan dikriminalisasi’ kalau sedang menjalankan tugas. Apalagi kalau
dalam menjalankan tugas itu mereka membuat ‘jalan pintas’, agar program lebih cepat
terealisasi.
Kata kunci dari pernyataan Presiden adalah ‘diskresi’. Diskresi itu dibayangkan sebagai
langkah mendobrak stagnasi, mencari jalan pintas agar suatu program berjalan, atau
menyiasati sesuatu agar tujuan yang diinginkan cepat tercapai. Lantas, apakah
sebenarnya diskresi itu?
Istilah diskresi selama ini lebih banyak dikaji dalam bidang hukum administrasi negara.
Namun, diskresi tampaknya bukan hanya domain bupati, walikota, gubernur, atau
menteri. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim pun dianggap punya
diskresi. Aparat penegak hukum seperti polisi dan hakim punya diskresi (Baca
artikel: Penegakan Aturan Lalu Lintas dan Diskresi Polisi, dan artikel Diskresi Hakim:
Pandangan Orang Dalam).
Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, dua orang hakim, menulis
buku Diskresi Hakim, Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam
Perkara-Perkara Pidana (2013). Mereka menulis berdasarkan sifatnya diskresi dibagi
atas diskresi terikat dan diskresi bebas. Pembagian ini terkait kebebasan hakim memilih
langkah apa yang akan ditempuh. Misalnya keputusan untuk menahan atau
menghukum seseorang.
Mantan hakim agung, Abbas Said, termasuk yang mencoba menjadikan diskresi
sebagai fokus kajiannya saat menempuh doktor ilmu hukum di Universitas Padjadjaran
Bandung. Disertasinya, ‘Pengawasan Terhadap Penggunaan Diskresi oleh Polisi dan
Jaksa dalam Proses Penegakan Hukum Pidana’, banyak mengutip definisi dan cakupan
diskresi. Menurut Abbas (2013: 40), pada dasarnya diskresi adalah kebebasan
bertindak atau mengambil keputusan pada pejabat publik yang berwenang berdasarkan
pendapat sendiri. Diskresi diperlukan sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas
hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan atau perbuatan administrasi negara
harus berdasarkan ketentuan undang-undang. Masalahnya, tidak semua undang-
undang mengatur semua tindak tanduk pejabat pemerintah. Karena itu diperlukan
kebebasan atau diskresi bagi pejabat dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
UU Administrasi Pemerintahan
Setelah sekian lama diperdebatkan batas-batasnya, Pemerintah dan DPR akhirnya
menyetujui bersama masalah diskresi diatur. Maka, materi muatan tentang diskresi bisa
ditemukan dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP).
Diskresi diatur dalam satu bab khusus berisi 11 pasal (Pasal 22-32).
Diskresi menurut UUAP adalah Keputusan danatau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkrit yang dihadapi
dalam penyelengggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan
yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau
adanya stagnasi pemerintahan.
Dari definisi ini ada beberapa poin yang bisa diambil. Pertama, diskresi hanya bisa
dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Pejabat yang tak berwenang tidak bisa
melakukan diskresi. Lalu, muncullah pertanyaan: apakah seorang pelaksana harian
(Plh) atau pelaksana tugas (Plt) bisa melakukan mutasi dan rotasi pejabat dengan dalih
diskresi? (Baca artikel: ‘Pelaksana Tugas, Pelaksana Harian, dan Penjabat,)
Persyaratan diskresi
Seorang pejabat yang berwenang bisa melakukan diskresi jika memenuhi syarat. UUAP
memuat setidaknya enam syarat penting. Pertama, diskresi itu harus sesuai dengan
salah satu atau beberapa tujuan yang dapat dibenarkan, yakni: (i) melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan; (ii) mengisi kekosongan hukum; (iii) memberikan
kepastian hukum; atau (iv) mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu
guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Syarat pemberitahuan harus ditempuh sebelum diskresi diambil jika diskresi (i)
menimbulkan keresahan masyarakat; (ii) keadaan darurat; (iii) mendesak; atau (iv)
terjadi bencana alam. Pemberitahuan juga wajib dilakukan jika diskresi diambil guna
mengatasi stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas sepanjang diyakini
langkah itu berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat.
Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eko Prasojo, merangkum jenis
diskresi, kondisi, dan prasyaratnya dalam presentasinya ‘Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan dalam Reformasi Penyelenggaraan Pemerintahan’.
Jenis-Jenis Diskresi
Jenis/Bentuk
Kondisi Pra/syarat Melakukan Diskresi
Diskresi
Akibat hukum
UUAP membagi akibat hukum diskresi ke dalam tiga kategori. Kategori
pertama, melampaui wewenang yang berakibat diskresi menjadi tidak sah. Kategori ini
dianggap terjadi jika: (a) pejabat bertindak melampaui batas waktu berlakunya
wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan; (b) pejabat bertindak
melampaui batas wilayah berlakunya wewenang yang diberikan; atau (c) tidak sesuai
dengan ketentuan prosedur penggunaan diskresi yang diatur dalam Pasal 26-28 UUAP.