Jawab :
Menurut pendapat saya, Pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJP) yang berpijak pada
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Keppres 80/2003) dan peraturan LPJK No. 11 a,
telah menyisakan beberapa kelemahan. Kehadiran Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
(Perpres 54/2010) Tentang PBJP menjadi tonggak pembenahan beberapa kelemahan Keppres
80/2003. Perpres 54/2010 diharapkan mampu menjadi sebuah solusi penyempurnaan praktik
seputar pengadaan barang/jasa pemerintah. Proyeksi penyempurnaan perlu dikenali dan
dicermati dalam Perpres 54/2010. Diantara yang harus dikenali adalah kemana arah perubahan
dihembuskan. Selanjutnya apa saja yang perlu dicermati dari konsekuensi perjalanan PBJP ke
arah perubahan tersebut. Yang tidak kalah pentingnya, bagaimana
Kementrian/Lembaga/Pemda/Institusi (K/L/D/I) menyikapi arah perubahan tersebut.
Bagaimana sikap anda bila sbg PPK, Panitia dan Bagaimana bila sebagai Peny B/J atau sbg
MenPU ?
Jawab :
Menurut pendapat saya, menyikapi Keppres 80/2003 dan Per LPJK No.11a, PPK mempunyai
tugas menetapkan spesifikasi teknis, menetapkan rancangan kontrak, menetapkan HPS, menguji
kebenaran, keabsahan, dan kelengkapan dokumen serta pembebanan anggaran. Tugas dan
wewenang lainnya yang harus dipikul oleh PPK yaitu (a) menetapkan rencana pelaksanaan
pengadaan barang/jasa, (b) memastikan telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara
oleh pihak yang mempunyai hak tagih kepada negara, (c) mengajukan permintaan pembayaran
atas tagihan berdasarkan prestasi kegiatan, (d) memastikan ketepatan jangka waktu penyelesaian
tagihan kepada negara, dan (e) menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada
penyedia barang/jasa. Suatu hal yang sangat penting dipahami oleh PPK dan Pihak
Ketiga/Penyedia barang/jasa adalah pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pemahaman terhadap aspek hukum bidang hukum adminstrasi negara, pidana, dan
perdata. Konsekuensi hukum dari sanksi hukum administrasi negara adalah sanksi hukuman
ringan, sedang, atau berat. Sedangkan sanksi hukuman dari sisi hukum perdata adalah ganti rugi
bersifat materi. Selanjutnya sanksi hukum dari perbuatan pidana adalah penjara.
Bila kontrak berakhir 15 Des 2008, sedang usulan perpanjangan waktu tidak disetujui krn akan
tutup tahun anggaran 2008, maka:
a.Apakah atas hal tsb dapat dilakukan pemutusan kontrak ?
jawab : menurut pendapat saya, jika telah dilakukan audit penyebab keterlambatan pekerjaan,
maka dalam hal ini dapat dilakukan pemutusan kontrak, karna telah melewati batas waktu yang
telah ditentukan.
Pemerintah melalui Pejabat Pembuat Komitmen diberikan kewenangan tersebut oleh perpres dan
peraturan pelaksananya diberikan kewenangan untuk membatalkan secara sepihak apabila
menurut penilaian Pejabat Pembuat Komitmen terjadi hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya
PA/KPA berwenang menetapkan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam kepada Penyedia
Barang Jasa melalui Surat Keputusan Penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam.
Dengan adanya hukuman (punishment) yang diberlakukan kepada calon penyedia dan penyedia
berupa dicantumkan dalam daftar hitam dan daftar hitam nasional yang dipublikasikan oleh
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP) diharapkan akan memberikan
efek jera. Tentunya pencantuman daftar hitam tersebut memiliki efek samping yang sangat
signifikan dapat mengurangi pendapatan perusahaan serta hukuman sosial dari masyarakat.
Sanksi yang diberikan kepada penyedia dalam hal pemutusan kontrak pada masa pemeliharaan
sebagaimana diatur dalam Peraturan LKPP nomor 9 tahun 2018 dan peraturan Menteri PUPR
nomor 14 tahun 2020, adalah dikenakan sanksi daftar hitam selama 1 (satu) tahun dan sanksi
berupa tidak dibayarkan uang retensi atau pencairan surat jaminan pemeliharaan. PPK berhak
menggunakan retensi untuk membiayai perbaikan/ pemeliharaan. Apabila terdapat nilai sisa
penggunaan retensi atau uang pencairan surat jaminan pemeliharaan tersebut maka PPK wajib
menyetorkan kepada Kas Negara.
KASUS 2
Dinas Bina Marga suatu Propinsi dalam proses tender pelaksanaan jalan HOTMIX, panitia
mensyaratkan HARUS Memiliki AMP atau Surat Dukungan dari AMP. Namun kenyataan para
pemilik AMP tidak mau memberikan Surat Dukungan kpd kontrakor lain yang tidak mempunyai
AMP. Padahal Para Kontraktor ( yg tidak memiliki AMP ) akan membeli hotmix kpd pemilik
AMP dg harga yg lebih kompetitif.
Pertanyaan:
a.Apakah hal tsb tidak melanggar Keppres 80/2003 dan UU No.5/1999 tentang Monopoli dan
Persaingan Usaha ?
Jawab : Tujuan diberlakukannya Keputusan Presiden ini adalah agar pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang sebagian
atau seluruhnya dibiayai APBN/APBD dilakukan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak
diskriminatif, dan akuntabel.
KASUS 1
Sebuah kontrak lump sum utk memasang sebuah generator turbin utk PLTN kpd penyedia jasa
mekanikal A.
Peralatan akan dipasok oleh kapal tongkang 2 minggu stlh penyedia jasa A melakukan mobilisasi
lapangan. Namun kondisi cuaca yang membeku menyebabkan air sungai menjadi es memblokir
perhubungan sungai menyebabkan keterlambatan 2 bln pemasokangenerator peralatannya ke site
pemasangan.
Untuk mengejar waktu, proyek manajer memerintahkan penyedia jasa B utk memulai
pemasangan instalasi sirkulasi pipa air dari bangunan turbin ke menara pendingin.
Pada waktu generator + peralatannya tiba, penyedia jasa A tidak bisa memindahkan komponen-
komponen berat dari dermaga ketempat pemasangan generator turbin krn lubang galian pipa
sedalam 7 m terisi
sebagian pipa sirkulasi yg menghalangi jalan masuk. Penyedia jasa A mengajukan klaim sebagai
tambahan kompensasi karena:
1.Tenaga kerja dan peralatan menunggu 2 bln krn es dan tambahan 2 bulan utk keterlambatan
lubang pipa.
Sebagai catatan, sesungguhnya dalam pembayaran sebelumnya telah terjadi beberapa kali
pembayaran yang tidak tepat waktu dan tepat jumlah( terlambat dan dicicil ). Proyek tsb telah
diserahkan oleh PT G ke PT H tepat pada waktunya, bahkan proyek tsb telah dibuka utk umum.
Ketentuan kontrak mengatakan bahwa penyedia jasa berhak mendapatkan pembayaran atas
tagihan dlm waktu 28 hari sejak tagihan diterima dan apabila PT.H gagal membayar seperti apa
yg terjadi dalam proyek ini maka PT.G berhak memutuskan perjanjian.
Dalam perjalanan kasus ini PT.G telah
beberapa kali melakukan surat menyurat dng PT.H mengenai keterlambatan pembayaran ini
namun PT.H memberikan tanggapan yang tidak tegas dan tidak pernah melakukan pembayaran.
Berhubungan dengan hal tsb diatas sesuai ketentuan kontrak maka PT.G mengajukan
permohonan ke Arbitrase BANI yg berisi al :
1.Menyatakan bahwa PT.H telah melakukan
perbuatan cidera janji.
2.Menyatakan PT.G berhak mendapatkan
pembayaran atas tagihan No.25 s/d No.30
sebesar Rp.80 miliar
3.Menghukum PT.H untuk membayar bunga atas
keterlambatan.
4.Menghukum PT.H untuk membayar biaya biaya lain sehubungan dengan perkara ini.
PERTANYAAN
1.Menurut pendapat saudara apakah permohonan PT.G
akan dikabulkan oleh Majelis Arbitrase BANI ?
2.Bila YA, apa yang menjadi alasan-alasan BANI untuk
mengabulkan permohonan tersebut ?
3.Apakah BANI akan memberikan bunga yang diminta
oleh PT.G karena keterlambatan pembayaran ini dan
bilamana YA, berapa besar prosentase bunga yang akan dikenakan mengingat tidak ada
ketentuan besarnya tingkat bunga yang tercantum dalam
perjanjian ?
4.Dalam kasus ini ada bagian pekerjaan yang
memang merupakan hak dari PT.G, namun tidak
secara tegas diminta ( nilai tagihan retensi ).
Apakah menurut pendapat saudara BANI akan
membayarkan tagihan ini mengingat hal tersebut
merupakan hak dari PT.G ?
KASUS 3
Kontraktor T mendapat Pekerjaan Renovasi dan
Pengerukan Sebuah Waduk Polder Pengendali
Banjir dengan nilai Rp.7 miliar dengan waktu
pelaksanaan 3 bulan. Dan ternyata pada waktu
akhir pekerjaan tgl 20 Des 2008 (3 bulan 5 hari)
kontraktor tsb baru dapat menyelesaikan 93% dari
total pekerjaan.Akhirnya kontraktor tsb dibayar
dengan nilai kontrak dikurangi sebesar 7%.
Bmn pendapat anda atas masalah ini bila :
1.Dalam tender dokumen dan penawaran kontraktor
jangka waktu pelaksanaan pekerjaan tidak 3 bln tetapi 4 bln. Namun akibat keterlambatan proses
tender dan mengingat tutup tahun anggaran 20 Des 2008 maka pengguna b/j minta agar jadwal
pelaksanaan ditanda tangani dg jadwal waktu pelaksanaan 3 bulan.
2.Dalam pelaksanaan juga terdapat hambatan atas
pelaksanaan pekerjaan yg menjadi tanggung jawab pengguna b/j, al:
a.Desain sangat tidak mantap ( penuh dg
kesulitan )
b.Keterlambatan atas ijin penebangan pohon
sekitar 2 minggu
c.Kesulitan dumping site area tidak bisa dipakai akibat protes dari masyarakat, sekitar 2 minggu
d.Keterbatasan kapasitas pabrik beton precast unt
memenuhi pesanan kontraktor, mengingat dlm waktu bersamaan banyak proyek memakai beton
pancang/ sheet pile beton bertulang. Sehingga walaupun kontraktor sudah memesan concrete
sheet pile sebelum mereka menandatangani kontrak, ternyata pasokan concrete sheet pile datang
terlambat.
e.Kontraktor sudah minta perpanjangan waktu s/d
tgl 28 Des tetapi tidak disetujui.
Pertanyaan :
a. Siapa yang salah dan bagaimana menyelesaikannya masalah ini.?
Jawab :
Menurut pendapat saya, didalam menentukan siapa yang bersalah dan siapa yang benar
didalam suatu duduk perkara, itu perlu melalui tahapan-tahapan sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Terlebih lagi dalam perkara kegagalan konstruksi suatu jembatan
dengan bentangan 100 meter, yang mana jembatan tersebut mengalami keruntuhan akibat
dari bahan yang digunakan tidak memenuhi suatu standar yang di tentukan dan merupakan
buatan pabrik lokal.
Jika merujuk pada kejadian pada jembatan Kutai Kertanegara, dimana sudah inkrah
keputusan hukumnya, maka yang menjadi tersangka dalam kejadian runtuhnya jembatan
Kutai Kertanegara ini adalah manager proyek/kontraktor, PPTK, KPA (kuasa pengguna
anggaran) dan PPK.
Tentu didalam perkara ini, perlu dilakukan penyelidikan dan investigasi oleh pihak
yang berwajib, dan pihak yang berkompeten dalam bidang permasalahan ini, hingga sampai
pada tahapan persidangan.
Menurut pendapat saya, Negara dan masyarakat umum sangat merasakan kerugian dan
terkena dampak dari kejadian ini. Oleh karena itu, pihak yang telah dinyatakan bertanggung
jawab hal perkara ini perlu diberikan berupa:
1. sanksi pidana tambahan
2. pencabutan ijin kerja/ usaha
3. sanksi denda berupa materil
Kemudian untuk kedepannnya bila ingin melakukan pekerjaan konstruksi diperlukan suatu
komitmen ketegasan dan perlu memperhatikan mutu dan kualitas bahan yang digunakan
dalam pekerjaan tersebut
c. Apakah ini ranah perdata / pidana atau hukum tata usaha negara.?
Jawab :
Menurut pendapat saya, dari kejadian permasalahan diatas kasus ini masuk dalam ranah
pidana. Hal ini mengacu pada UU No.2 tahun 2017 tentang jasa konstruksi dimana kasus
tersebut dipidanakan karena ada beberapa pihak yang terkait dan perlu mempertanggung
jawabkannya secara hukum.