Anda di halaman 1dari 12

Paradigma Penegakan Hukum di Indonesia Ditinjau dari

Perspektif Filsafat Pancasila


Oleh: Harsa Permata

A. Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah negara yang besar dan luas, dengan penduduk
yang ratusan juta jumlahnya. Luas Indonesia tercatat sekitar 1.904.569 km2,
dengan jumlah penduduk berdasarkan sensus 2010 yaitu adalah sekitar
237.556.363 (id.wikipedia.org, diakses Selasa 28 November 2011, jam 14.45
WIB). Kedua data kuantitatif inilah yang membuat Indonesia bisa diidentifikasi
sebagai negara yang besar dan luas.
Dengan modal yang disebutkan tadi, yaitu luas wilayah dan jumlah
penduduk, seharusnya Indonesia bisa menjadi sebuah negara yang besar pula
dengan beragam prestasi di berbagai bidang, baik itu ekonomi, politik, hukum,
kebudayaan, dan lainnya. Akan tetapi setelah 66 tahun kemerdekaan Indonesia,
dalam kenyataannya Indonesia belum bisa berbicara banyak di tingkat dunia.
Bahkan dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, Indonesia
adalah termasuk ke dalam level yang agak ke bawah, berdasarkan survei dari
World Justice Project tahun 2011, dari 65 negara yang disurvei, Indonesia berada
di peringkat 47 dalam hal supremasi hukum (www.detiknews.com, diakses Selasa
28 November 2011, jam 14.53 WIB).
Hal ini adalah ironis, jika melihat dasar pendirian negara Indonesia adalah
Pancasila yang berisikan lima nilai ideal dan universal, yaitu ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Pancasila sebagai ideologi
bangsa Indonesia, jika ditinjau secara ontologis adalah sebuah “ada” yang berasal
dari cita-cita bangsa Indonesia, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila sudah
dipraktekkan oleh bangsa Indonesia, yang terdiri dari berbagai macam suku, dan
etnis, dalam kehidupan sehari-hari semenjak zaman dahulu kala. Pertanyaan
fundamental para pendiri negara sebelum mendirikan bangsa Indonesia, yaitu “Di
atas dasar apa negara Indonesia didirikan?”, para pendiri bangsa menyadari bahwa
makna hidup bangsa Indonesia harus berasal dari budaya dan peradaban bangsa
Indonesia, yang merupakan perwujudan nilai-nilai yang dimiliki, dihayati, dan
diamalkan oleh bangsa Indonesia sepanjang sejarah bangsa Indonesia, nilai-nilai
tersebut adalah hasil pemikiran bangsa Indonesia tentang kehidupan yang
dianggap baik (Gunadarma, 2007:16).
B. Isi/Pembahasan
Pertanyaannya kemudian mengapa ini semua bisa terjadi? Apa yang salah?
Prinsipnya (yang dalam hal ini adalah Pancasila) ataukah prakteknya? Oleh
karena itu maka dibutuhkan sebuah refleksi filsafati untuk menjelaskan ini semua.
Karena dengan sebuah refleksi filsafati diharapkan apa yang menjadi kebenaran
tersembunyi bisa terungkap.
Refleksi adalah sebuah perenungan, tetapi perenungan filsafati tidak sama
halnya dengan melamun, karena perenungan filsafati bukanlah berpikir secara
kebetulan yang bersifat untung-untungan. Sebuah renungan/refleksi filsafati
adalah sebuah proses berpikir dengan menggunakan akal/rasio, tujuannya adalah
untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang adekuat untuk memahami dunia
dan alam semesta, serta kehidupan manusia, juga segala sesuatu yang ada (Bakry,
2001:9).
Refleksi filsafati secara prinsip sama metode berpikir ilmiah,
perbedaannya adalah permasalahan yang dipersoalkan dalam sebuah rekleksi
filsafati bersifat umum, tidak membicarakan fakta-fakta khusus seperti halnya
metode berpikir ilmiah lainnya. Fakta-fakta dalam sebuah refleksi filsafati hanya
dibutuhkan untuk verifikasi terhadap sebuah argumen filosofis, apakah sudah
memadai atau belum (Bakry, 2001:10).
Sebagai bangsa Indonesia maka refleksi filsafati yang dilakukan adalah
berupa sebuah refleksi filsafati Pancasila. Refleksi filsafati Pancasila adalah
sebuah pemikiran rasional untuk menyusun sistem pengetahuan tentang manusia
dan kehidupannya dalam masyarakat dan negara yang berdasarkan pada hakikat
kodrat manusia (Bakry, 2001:11). Hakikat kodrat manusia berdasarkan Pancasila
adala monopluralis, yaitu manusia yang berketuhanan, berkemanusiaan,
berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan (Notonagoro dalam Kaelan,
2002:73).
Filsafat pancasila, adalah sebuah pembahasan Pancasila secara filosofis,
yang membahas Pancasila sampai esensi terdalam. Dengan refleksi ini maka
pengetahuan yang didapat adalah pengetahuan yang terdalam yang merupakan
esensi Pancasila yang bersifat hakiki, abstrak, umum, universal, dan statis
(Notonagoro dalam Kaelan, 2002:40).
Dari sini pertanyaan berikutnya adalah bagaimana hubungan Pancasila
dengan sistem hukum di Indonesia? Sistem hukum adalah sebuah alat kontrol
terhadap gejala-gejala kekuasaan yang bersifat asosial. Sistem hukum adalah
penting sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi
oleh kaidah agama, kesusilaan, dan kesopanan. Hukum yang berlaku dalam
masyarakat disebut sebagai hukum positif. Istilah “hukum positif” adalah untuk
membedakannya dengan hukum-hukum lain dalam masyarakat. Kata “positif” di
sini bermakna, pertama, sebuah hukum positif bukanlah sebuah kaidah sosial yang
tidak jelas bentuk dan tujuannya, kedua, dibutuhkan aparat yang menjaga
berlakunya hukum seperti polisi, dan pengadilan (Solaeman, 2001:267).
Pancasila adalah sebuah sumber hukum positif di Indonesia. Sebagai
sebuah sumber hukum, Pancasila memiliki fungsi konstitutif, yang artinya adalah
Pancasila yang menentukan dasar suatu tata hukum, yang memberi makna dan arti
bagi hukum itu sendiri. Yang kedua, Pancasila memiliki fungsi regulatif, yaitu
yang menentukan mengenai adil atau tidaknya sebuah hukum positif. Pancasila
adalah sumber dari semua peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber
hukum meliputi dua macam pengertian yaitu, pertama, sumber hukum formal,
yaitu sumber hukum dilihat dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum yang
mengikat masyarakat, seperti Undang-Undang, ketetapan presiden, peraturan
menteri. Kedua, sumber hukum material yang menentukan materi dan isi suatu
norma hukum. Jika sebuah norma hukum memiliki kontradiksi dengan norma
hukum lainnya yang lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila, maka terjadilah
sebuah inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan. Oleh karena itu norma hukum
tersebut batal demi hukum (Gunadarma, 2007:83).
Rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945
merupakan bagian dari UUD 1945 atau adalah bagian dari hukum positif. Hukum
tertulis seperti UUD—termasuk amandemennya—, demikian juga Undang-
Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar
negara (yang dalam hal ini adalah Pancasila) (Hanapiah, 2001:5).
Dari pembahasan tadi maka jelaslah bahwa kedudukan Pancasila adalah
sangat vital. Pancasila yang menjadi dasar paradigma dari seluruh produk hukum
positif. Konsekuensinya adalah seluruh produk hukum adalah turunan dari
Pancasila sebagai sumber hukum. Jika dilihat pada nilai-nilai yang terdapat dalam
Pancasila yang bersifat ideal dan universal, seharusnya produk hukum yang
diturunkannya juga bersifat ideal dan universal. Nilai ketuhanan dalam sila
pertama seharusnya memberikan semangat spiritual dalam sebuah produk hukum.
Nilai kemanusiaan dalam sila kedua seharusnya membuat sebuah produk hukum
lebih menghargai hak asasi manusia. Nilai persatuan dalam sila ketiga seharusnya
menjadi dasar jiwa kebangsaan dalam sebuah produk hukum, Nilai kerakyatan
dalam sila keempat seharusnya membuat sebuah produk hukum berpihak pada
rakyat. Nilai keadilan yang merupakan komponen penting sebuah produk hukum
seharusnya menjadikan hukum menjadi lebih adil.
Akan tetapi kenapa pada kenyataannya penegakan hukum di Indonesia
masih jauh dari kelima nilai tersebut? Apa yang salah dengan paradigma
penegakan hukum di Indonesia? Jika dilihat dalam konteks kesejarahan, kasus
menyimpangnya penegakan hukum di Indonesia dari lima prinsip yang ideal tadi
(Pancasila) sudah terjadi. Kasus munculnya Mahmilub (Mahkamah Militer Luar
Biasa) pasca tragedi 65 adalah salah satu contohnya. Mahmilub adalah sebuah
peradilan yang penuh rekayasa. Sebelum sidang, terdakwa dan saksi telah diatur
terlebih dahulu, serta diseleksi agar bisa menjawab pertanyaan yang diajukan
dengan sesuai. Dalam Mahmilub setiap terdakwa yang telah divonis tidak boleh
mengajukan banding, pilihannya hanya dua, 20 tahun penjara, atau hukuman mati
(Pour, 2011:394).
Dalam Mahmilub, kesaksian-kesaksian terdakwa dan saksi-saksi adalah
sangat tidak teratur. Proses peradilan dimulai dengan keyakinan yang telah
dipropagandakan angkatan darat bahwa “PKI” sebagai partai politik adalah
bersalah (Roosa, 2008:xvii). Pengadilan Mahmilub sangat bertentangan dengan
nilai kemanusiaan, dan keadilan dalam Pancasila. Vonis yang sangat kejam dan di
luar batas kemanusiaan membuat kita bertanya, apakah pengadilan Mahmilub
dijiwai atau bertentangan dengan Pancasila. Ironisnya tragedi 65 selalu diperingati
tiap tahunnya sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Apakah kesaktian Pancasila harus
lewat membunuh tiga juta orang seperti pengakuan Sarwo Edhie Wibowo (Pour,
2011:273).
Menurut Mahfud M.D (sekarang Ketua MK) dalam disertasinya pada
tahun 1993 di UGM, berpendapat bahwa penegakan hukum ditentukan oleh
konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Hukum responsif akan terjadi jika
konfigurasi politik yang melatarbelakanginya adalah sistem politik yang
demokratis. Hukum ortodoks akan terjadi jika sistem politiknya bersifat otoriter
(Mahfud, 2007:1).
Lebih jauh Mahfud juga berpendapat bahwa hukum adalah produk politik,
ketika politik berubah, maka hukum juga berubah, pasca rezim Orde Baru jatuh,
hampir semua hukum dan Undang-Undang produk politik Orde Baru diganti. UU
kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu, UU pemerintah daerah, UU
kekuasaaan kehakiman, dan pencabutan UU Subversi, adalah contoh perubahan
Undang-Undang pasca pergantian rezim Orde Baru ke Orde Reformasi (Mahfud,
2007:2).
Mahfud juga menyoroti maraknya KKN pasca jatuhnya rezim Orde Baru,
menurutnya ini disebabkan oleh empat faktor, pertama, reformasi hanya
memotong puncak, artinya reformasi hanya menjatuhkan presiden dan kabinetnya,
tanpa merombak birokrasi yang telah korup selama puluhan tahun. Kedua, masih
dominannya pemain-pemain lama, di sini berarti elit-elit politik yang ikut
membangun sistem Orde Baru yang korup ternyata masih dominan dalam
lingkaran kekuasaan. Ketiga, politisi baru yang tanpa visi, artinya politisi-politisi
yang lahir pascareformasi ternyata tidak memiliki konsep dan visi politik yang
jelas. Keempat, rekrutmen politik yang tertutup, artinya adalah rekrutmen politik
kedua lembaga politik yaitu legislatif dan eksekutif ternyata bersifat tidak
transparan. Keempat hal inilah yang menghambat penegakan hukum di Indonesia
pascareformasi (Mahfud, 2007:5).
Mahfud juga menggaris bawahi korupsi di lembaga yudikatif sebagai
imbas dari UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (bermula dari UU No.35 tahun
1999) untuk para hakim, yang pada prakteknya tidak hanya dimaknai sebagai
praktek kehakiman dan peradilan yang bebas tanpa intervensi, tetapi juga
dimaknai sebagai praktek kehakiman dan peradilan yang bebas melakukan
korupsi. Korupnya lembaga kehakiman ternyata juga berimbas pada lembaga
penegakan hukum lainnya seperti kejaksaan, kepolisian dan pengacara. Ketiga
lembaga ini menjadi semakin korup di era reformasi (Mahfud, 2007:6-7).
Dari uraian dan data tadi, maka sekali lagi bisa diajukan pertanyaan, di
mana posisi Pancasila sebagai sumber hukum dalam kasus lemahnya penegakan
hukum di Indonesia? Apakah pancasila hanya sebuah nilai ideal sehingga susah
untuk diterapkan? Bukankah jika sebuah norma hukum yang bertentangan dengan
sumber hukum (yang dalam hal ini adalah Pancasila) akan batal demi hukum?
Apakah budaya Indonesia yang merupakan causa material nilai-nilai ideal dan
universal Pancasila, adalah korup?
Sebastian Pompe dalam bukunya The Indonesian Supreme Court, a Study
of Institutional collapse mengatakan bahwa korupsi bukanlah budaya Indonesia.
Korupsi Yudisial dalam kaitannya dengan dunia peradilan, baru muncul pasca
peristiwa Malari pada tahun1974. Sejak itulah praktek pemberian amplop atau
upeti di kalangan hakim mulai membudaya. Hal ini seiring dengan langkah
Soeharto yang mengkooptasi kekuasaan kehakiman untuk mengokohkan
kekuasaannya. Hal ini berkebalikan dengan penegakan hukum pada tahun 1950-
an, saat itu Jaksa Agung Soeprapto bisa mengajukan siapa saja temasuk menteri
ke pengadilan karena melakukan tindak pidana (Mahfud, 2007:9).
Kalau ternyata nilai-nilai ideal dan universal dalam Pancasila dan
universal dalam Pancasila tidak berasal dari budaya yang korup, mengapa dalam
kenyataannya penegakan hukum di Indonesia terutama untuk kasus-kasus korupsi,
pada prakteknya lemah? Mengapa hukum dan perundang-undangan, serta praktek
penegakan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila ini masih saja
berlangsung?
Dalam prakteknya, ideologi Pancasila pasca kepemimpinan Bung Karno,
belumlah dilaksanakan secara konsisten. Pancasila di bawah rezim Orde Baru
dipertentangkan dengan ideologi yang mengusung jiwa keadilan sosial seperti
sosialisme, dan Marxisme. Pancasila kemudian dimanipulasi untuk memperkuat
kekuasaan Orde Baru. Penataran P4 adalah salah satu upaya Orde Baru
memanipulasi Pancasila. Pancasila memiliki perbedaan dengan P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pancasila adalah nilai-nilai yang bersifat
umum dan universal, sementara butir-butir Pancasila dalam P4 bersifat khusus
yang merupakan tafsiran subyektif oleh Orde Baru terhadap Pancasila. Oleh Orde
Baru, P4 dijadikan sebagai penafsir Pancasila. Padahal tafsir Pancasila sudah
tercantum dalam UUD 1945 (Mahfud dalam www.pemuda-muhammadiyah.or.id,
diakses pada tanggal 28 November 2011, jam 22.15 WIB).
Pada era rezim Orde Baru, Pancasila diposisikan sebagai “pseudo-agama”.
Pada era ini Pancasila tidak boleh dikritik. Pancasila dijadikan sebagai alat utama
pemerintahan yang bersifat represif. Hal seperti ini kemudian menimbulkan sikap
antipati dan sinis terhadap Pancasila. Monopoli terhadap Pancasila oleh
penyelenggara negara, membuat Pancasila kehilangan dukungan (Saidi, 2009:28).
Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pascareformasi, dihilangkannya
Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Pendidikan Pancasila dalam
kurikulum nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
(Hanapiah, 2006:5). Padahal dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2004 telah disebutkan bahwa Pancasila adalah sumber dari
segala sumber hukum negara Indonesia (Lukoni, 2008:10). Seharusnya UU
Sisdiknas No. 20 tahun 2003 yang kontradiktif dengan sumber hukum tertinggi
atau Pancasila dinyatakan batal demi hukum. Akan tetapi dalam kenyataannya UU
Sisdiknas mengenai penghilangan MPK tetap berlaku sampai sekarang.
Dengan penghilangan ini maka pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila
secara teori dan praktek menjadi semakin jauh dari kenyataan. Hal inilah yang
memicu lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Pancasila sebagai sumber
hukum yang merupakan kumpulan nilai-nilai ideal dan universal yang berasal dari
budaya Indonesia dari sejak zaman dahulu kala menjadi semakin terasing dari
pola pikir masyarakat, terutama para penegak hukum yang merupakan bagian dari
masyarakat.
Dengan semakin asingnya ideologi Pancasila, konsekuensinya adalah
masyarakat mulai mencari pola pikir alternatif sebagai pengganti Pancasila. Pola
hidup hedonisme yang berasal dari barat, membutuhkan dukungan finansial untuk
dipraktekkan.Korupsi tumbuh subur, penegakan hukum menjadi semakin lemah
akibatnya. Selain itu, keresahan dalam masyarakat akibat menjamurnya korupsi
memicu timbulnya pencarian terhadap ideologi alternatif. Akibat negatifnya
adalah kemunculan ideologi terorisme secara teori dan praktek.
Terorisme adalah serangan-serangan terorganisir yang bertujuan untuk
menimbulkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Perbedaannya
dengan perang adalah, aksi terorisme tidak mengikuti hukum peperangan seperti
serangan yang bersifat mendadak dan target korban jiwa yang tidak ajeg. Warga
sipil seringkali menjadi target dari aksi-aksi terorisme (id.wikipedia.org, diakses
pada tanggal 29 November 2011, jam 8.48 WIB). Dampak dari terorisme adalah
jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit. Orang tidak bersalah seringkali menjadi
korban.
Secara global, terorisme muncul karena adanya ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi global ini disebabkan karena negara-negara yang
mengikuti model pembangunan yang ditawarkan Amerika Serikat, ternyata
mengalami krisis ekonomi yang cukup parah (Nuruzzaman dalam Kahfi dkk,
2006:32). Ideologi pembangunanisme (developmentalisme) ini muncul sebagai
wacana pada tahun 1949, ketika Presiden Harry S. Truman, ketika ia
mengumumkan kebijakan pemerintahannya. Developmentalisme sebagai
selubung baru kapitalisme ini dikemukakan untuk membendung ideologi
sosialisme (Nuruzzaman dalam Kahfi dkk, 2006:33).
Menurut Noam Chomsky, istilah terorisme mulai muncul pada akhir abad
ke-18. Istilah ini mengacu pada kekerasan koersif (pemaksa) dari penguasa untuk
menjamin ketaatan rakyat (Sihbudi dalam Kahfi dkk, 2006:50). Secara umum
istilah terorisme meliputi terorisme negara (state terrorism), terorisme nonnegara
(nonstate terrrorism) (Sihbudi dalam Kahfi dkk, 2006:51).
Kekosongan ideologi pascareformasi, akibat dikesampingkannya Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa, mengakibatkan maraknya aksi-aksi terorisme
sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap sistem kapitalisme yang secara global
ternyata mengalami krisis. Di Indonesia aksi-aksi terorisme mulai marak kembali
pascareformasi, seiring dengan dibukanya keran demokrasi yang tersumbat
semenjak rezim Orde Baru.
Bagaimana menanggulangi permasalahan ini? Karena terorisme adalah
musuh kemanusiaan. Terorisme juga bertentangan dengan sila kedua Pancasila,
yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain terorisme, kasus-kasus
kekerasan terhadap agama lain juga marak di Indonesia pascareformasi. Kasus
penyerangan organisasi keagamaan yang mengatasnamakan Islam terhadap
Ahmadiyah, penyerangan terhadap peringatan hari lahir Pancasila pada tanggal 1
Juni 2008, Peristiwa pengusiran terhadap jemaat GKI Yasmin pada hari Minggu
tanggal 30 Oktober 2011 di pagi hari. Penyerangan ini dilakukan oleh kelompok
Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) (megapolitan.kompas.com,
diakses tanggal 29 November 2011, jam 15.22 WIB).
Jika dipahami secara lebih utuh maka seharusnya antara Pancasila dan
agama bisa saling mengisi, karena Pancasila tidak menolak konsep Tuhan dalam
agama. Bahkan tercantum dalam sila pertama yaitu, Ketuhanan yang maha esa.
Pancasila membutuhkan agama untuk menciptakan etika berbangsa dan bernegara
yang berdasar atas kesolehan sosial yang diambil dari ajaran agama. Agama juga
membutuhkan Pancasila untuk mempertemukan nilai-nilai universal yang terdapat
dalam setiap ajaran agama. Hubungan yang bersifat saling menguntungkan ini
bisa terjadi jika Pancasila dan agama serta penganutnya menyadari posisinya
masing-masing (Saidi, 2009:32).
Kebijakan Pancasila sebagai asas tunggal pada zaman Orde Baru melalui
UU No. 8 tahun 1985 pada kenyataannya mengekang kebebasan ideologi. Isi
kebijakan ini adalah semua Ormas (Organisasi Kemasyarakatan) diberi waktu dua
tahun untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ormas-ormas Islam
bereaksi keras terhadap kebijakan ini. Walaupun kemudian Presiden Soeharto
berhasil menenangkan keadaan dengan pidatonya yang berisi tentang Pancasila
bukan agama dan tidak akan diagamakan. Pada prakteknya, rezim Orde Baru tetap
bersikap keras terhadap kelompok dan individu yang terang-terangan menolak
Pancasila sebagai asas tunggal. Bukti dari sikap keras pemerintah adalah peristiwa
Tanjung Priok 1984 dan Gerakan Usroh di Lampung, penculikan para aktivis,
khususnya aktivis dakwah, yang dianggap bertindak subversif dan menggoyang
pemerintah (Aniek Nurfitriani dalam www.sangpenyihirkata.wordpress.com,
diakses tanggal 29 November 2011, jam 15.51 WIB).
C. Simpulan dan Penutup
Pasca dicabutnya kebijakan asas tunggal seiring dengan jatuhnya rezim
Orde Baru, sikap antipati terhadap Pancasila mulai berkembang. Bagi kelompok
yang menjadi korban asas tunggal, Pancasila adalah warisan Orde Baru yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Seharusnya jika pemahaman terhadap
Pancasila secara lengkap terwujud maka pandangan seperti ini tidak terjadi.
Konsep tauhid/keesaan Tuhan dalam ajaran Islam telah tercantum dalam sila
pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang maha esa.
Karena itulah maka sebuah usaha baik dari pemerintah maupun
masyarakat untuk menggali kembali nilai-nilai Pancasila patut dihargai. Dengan
Pemahaman terhadap Pancasila secara rasional, lengkap, dan utuh maka sebuah
masyarakat terhadap Pancasila secara rasional, lengkap, dan utuh maka sebuah
masyarakat yang bersih dan toleran bisa terwujud.
Penegakan hukum di Indonesia yang jauh dari nilai keadilan,
kemanusiaan, dan kerakyatan, adalah salah satu bentuk penyimpangan terhadap
nilai-nilai Pancasila. Penyimpangan yang dipicu oleh kekurangpahaman terhadap
ideologi Pancasila secara utuh. Jika para penegak hukum memahami Pancasila
secara utuh maka tidak akan ada praktek suap dan korupsi dalam tubuh lembaga
penegak hukum.
Oleh karena itu maka paradigma penegakan hukum di Indonesia harus
dikembalikan kepada pemahaman bahwa Pancasila adalah sumber hukum yang
tertinggi. Agar norma hukum dan praktek hukum tidak bertentangan dengan nilai
keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah
yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan masyarakat.
Daftar Pustaka
Buku:
1. Bakry, Noor Ms., 2001, Orientasi Filsafat Pancasila, Liberty, Yogyakarta.
2. Kaelan, 2002, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia,
Paradigma, Yogyakarta.
3. Kahfi, Syahdatul dkk., 2006, Terorisme di Tengah Arus Global
Demokrasi, Spectrum, Bekasi.
4. Pour, Julius, 2011, Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang,
PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
5. Roosa, John, 2008, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, Jakarta.
6. Solaeman, M Munandar, 2001, Ilmu Sosial Dasar, PT Refika Aditama,
Bandung.
7. Universitas Gunadarma, Diktat Kuliah Pendidikan Pancasila, Edisi 2007.

Jurnal dan Makalah:


1. Hanapiah, Pipin, Pancasila Sebagai Paradigma, Makalah-perbaikan dari
makalah yang pernah disajikan pada kegiatan “Deseminasi MKPK
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan” bagi para Dosen
Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan
Unpad, tanggal 24 November 2000, Kampus Unpad, Bandung.
2. Hanapiah, Pipin, Makalah-deseminasi hasil Simselok Pancasila yang
diselenggarakan oleh kerjasama Unpad, Lemhannas R.I., dan Pemprov
Jabar bagi Mahasiswa STISIP Tasikmalaya pada tanggal 20 Mei 2006 di
Kampus STISIP Tasikmalaya.
3. Lukoni, Huda, Makalah FILSAFAT HUKUM DAN PERANNYA
DALAM PEMBENTUKAN HUKUM DI INDONESIA, Didiskusikan
sekaligus dikoreksi oleh Prof. Dr. H. Muchsin, S.H seorang hakim Agung
pada Mahkamah Agung RI, yang dilaksanakan pada Program Pascasarjana
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Prodi Magister Ilmu Hukum,
Tahun Akademik 2007-2008.
4. Mahfud MD, M., Makalah Pengadilan dan Demokrasi, Disampaikan
dalam Dinner Lecture Komunitas Indonesia untuk Demokrasi, Surabaya
21 November 2007
5. Saidi, Anas, Relasi Pancasila, Agama, dan Kebudayaan Sebuah Refleksi,
Jurnal Masyarakat dan Budaya No.11 Volume 1 tahun 2009.
Situs:
1. id.wikipedia.org, diakses Selasa 28 November 2011, jam 14.45 WIB
2. id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 29 November 2011, jam 8.48 WIB
3. megapolitan.kompas.com, diakses tanggal 29 November 2011, jam 15.22
WIB
4. www.detiknews.com, diakses Selasa 28 November 2011, jam 14.53 WIB
5. Mohamad Mahfud dalam www.pemuda-muhammadiyah.or.id, diakses
pada tanggal 28 November 2011, jam 22.15 WIB

Anda mungkin juga menyukai